Citra akan turun dari tempat tidur, tetapi dicegah oleh si wanita anggun.
"Tetaplah istirahat, adik. Kakak hanya ingin melihat keadaanmu."
Senyum wanita itu terlihat tulus. Tetapi tatapan matanya tidak memancarkan kehangatan. Hati Citra merinding seketika. Apakah ini adalah awal dari aura-aura persaingan?
"Terimakasih, kakak. Aku tidak apa-apa, cuma sedikit pening."
Ada suara-suara terkesiap di belakang sang permaisuri. Dua orang pelayan menutup mulut mereka, memandang terbelalak ke arah Citra.
Citra menoleh pada Sekar dengan pandangan bertanya. Sekar yang memahami arti tatapan itu, berbisik pada majikannya.
"Tuan putri, panggil diri sendiri dengan sebutan hamba, atau adik, kepada Permaisuri."
"Oh, Okey! I see !"
Permaisuri Galuh Sundari dan dua pelayannya saling pandang . Dalam hati mereka bertanya-tanya dengan keanehan sikap dan kata-kata Galuh Citrawani itu.
Sekar berlutut di depan kaki Galuh Sundari.
"Mohon ampunkan tuan putri Galuh Citrawani, Paduka Galuh Permaisuri. Tuan putri hamba melupakan banyak hal, akibat cedera kepala yang dia alami. Jika ada hal yang kurang berkenan, mohon beri waktu tuan putri hamba untuk memperbaikinya di kemudian hari."
"Aah, adikku mengalami lupa ingatan?" Galuh Sundari terlihat cemas. "Apakah tabib sudah dipanggil dan Kakanda Raden telah diberi laporan?"
"Tabib sudah dalam perjalanan, Paduka Galuh. Tetapi laporan belum disampaikan pada Paduka Raden, menunggu hasil pemeriksaan tabib."
"Baiklah. Jika ada hal yang memerlukan bantuanku, segera laporkan padaku."
"Hamba mengerti, Paduka Galuh."
Galuh Sundari menghampiri Citra. Tangan halus itu meraih tangan dingin Citra dan digenggam sejenak.
"Kakak akan memastikan perawatan terbaik dari tabib untuk adik. Adik istirahat baik-baik supaya cepat sembuh, dan juga turuti semua anjuran dari tabib kelak."
Ditatap sedekat ini, Citra bisa melihat kulit yang sehalus kulit bayi ini, dan gigi yang putih dari balik bibir tipis. Citra tersenyum dan mengangguk dengan rasa terimakasih.
Tabib datang diiringkan seorang murid wanita. Galuh Sundari tetap duduk di dalam ruangan, menonton tabib dibantu muridnya melakukan pemeriksaan pada Galuh Citrawani.
"Tabib Darma, adik mengalami lupa ingatan total. Apakah Tabib bisa mengobatinya? Sungguh sangat tidak nyaman bagi adik, aku sendiri yang tidak mengalami bisa merasakan penderitaan adik," kata Galuh Sundari.
"Menjawab Permaisuri, cedera kepala tuan putri Citra cukup aneh, karena hamba tidak menemukan sumbatan pada saraf utama. Secara umum, kesehatan tuan putri baik-baik saja. Tetapi hamba akan meresepkan obat untuk merangsang daya ingat tuan putri."
"Oh, Begitu? Lakukan yang terbaik, Tabib Darma. Ambil persediaan bahan obat terbaik dari gudang obat di istana. Biar aku yang melapor pada Kakanda Raden Suryapaksi."
"Hamba laksanakan semua perintah permaisuri."
Tabib Darma memberikan bahan-bahan obat pada pelayan dan menjelaskan cara menakar dan merebusnya. Setelah Tabib Darma mohon diri dan berlalu dari kediaman Citrawani, Sundari bangkit dan menghampiri madunya di pembaringan.
"Tabib mengatakan kalau adik tidak punya masalah kesehatan, seperti yang adik dengar sendiri tadi. Yah, memang agak berat kehidupan di dalam istana, kakak mengerti dengan tekanan yang adik alami... Memang sungguh berat rasa hati jika sudah menikah lama, tapi tidak pernah dikunjungi suami ke kamar adik.... Meskipun kakak tidak pernah tahu bagaimana rasanya diabaikan oleh suami, tetapi kakak dapat memahami adik.. " raut wajah Sundari benar-benar sedih.
Kata-kata Sundari memang terdengar halus dan manis, tetapi sesungguhnya beracun.
"Kakak...adik sangat paham jika Kakanda Raden memiliki tugas berat di istana. Tidak menjadi masalah jika kakanda belum mengunjungi adik. Di mata adik, dia tetap suami yang akan mendampingi dan melindungi adik. Meskipun di mata orang lain kakanda terlihat tidak menyayangi adik, tetapi di mata negara adik adalah juga istri sah Raden Suryapaksi." Citrawani menyahut dengan suara sama manisnya.
"Yaah, kenyataannya memang kakanda telah menikahi adik dengan sah, untuk menemani kakak yang sangat beliau manjakan. Maafkan kakak ya dik, aku telah berusaha membujuk kakanda agar datang padamu sewaktu-waktu. Tetapi kakanda terus saja hanya mau mengunjungi kakak setiap malam. Aku sungguh menjadi tidak enak hati padamu."
Citra tersenyum. Dalam hatinya ia membatin.
Senyum yang tulus dan tatapan sedihmu hanya pura-pura. It's okey. Citra bukan gadis kemarin sore. Usiaku di duniaku yang dulu paling tidak sepuluh tahun lebih tua darimu.
"Kakak jangan cemas. Adik yakin tidak lama lagi kakanda pasti akan mencari adik, karena kita harus berusaha untuk membuat keturunan. Bukankan kakak dimadu karena belum melahirkan cucu untuk Paduka Raja?"
DEG !
Uluhati Sundari terasa dipukul seribu tangan bersamaan. Rasanya seperti akan memuntahkan darah sebentar lagi. Galuh Sundari melotot sembari memegang dadanya.
"Galuh Citra ! Beraninya kamu mengungkit hal yang menjadi luka terbesarku ! Beraninya kamu!"
Perempuan cantik itu terlihat mengerikan dengan mata indahnya yang melotot lebar-lebar dan bibir mengerut.
"Bukan hamba yang berpikir seperti itu ! Hamba dengar itu dari gunjingan para pelayan istana !Itulah kenyataannya, hamba adalah seorang putri yang jujur, " Citrawani masih memanas-manasi Galuh Sundari dengan cueknya.
Perempuan dari Jenggala itu menggeram. Tanpa mengucapkan sepatah kata pamit, ia meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, diikuti oleh kedua pelayannya.
"Beraninya kamu menghina paduka permaisuri!" salah satu pelayan melotot kepada Citrawani, tetapi dibalas dengan lemparan cangkir keramik oleh gadis itu.
Si pelayan mengaduh-aduh memegangi dahinya yang berdarah. Ia pontang-panting melarikan diri ketika Citrawani memandangnya galak.
"Hahahaha.." Citrawani tertawa geli.
Sekar Kemuning memandangi dengan cemas.
Apakah tuan putrinya selain mengalami lupa ingatan, juga menderita tekanan jiwa?
Tingkah lakunya menjadi sangat aneh, nakal dan bertolak belakang dengan sifatnya yang lemah lembut.
"Sekar, kamu kenapa? Apakah tingkah laku Sundari dan pelayannya itu tidak lucu?"
"Tuan putri... anda kenapa... kenapa bisa begini?"
"Kenapa? Bukankah Sundari sudah keterlaluan meremehkan aku, Sekar. Apakah kamu tidak suka jika aku membalas?"
"Tapi ini tidak sesuai dengan kepribadian tuan putri yang halus dan lembut..." Sekar menunduk.
Citra menatap pelayannya, kasihan.
Tentu saja aku berbeda dengan Galuh Citrawani, Sekar.. Majikanmu yang asli entah di mana dia sekarang. Tetapi aku pastikan tidak akan membiarkan seorangpun meremehkan Galuh Citrawani .
" Sekar, kamu jangan terlalu kuatir. Percayalah padaku, aku bisa mengatasi semua ini. Kamu tenang dan tinggal menonton apa yang akan aku lakukan."
"Tapi... Hamba mencemaskan keselamatan tuan putri. Paduka Raden sudah berubah, dia bukan lagi Raden Suryapaksi yang dulu. Dia sekarang sangat berpihak pada Galuh Sundari dan selalu mempercayai apapun hasutan permaisuri."
"Lihat saja nanti, Sekar. Kau lihat nanti sepak terjangku. Jangan panggil aku Galuh Citrawani kalau tidak bisa membalikkan keadaan," Citra mengedipkan sebelah matanya nakal, membuat Sekar ternganga dan terbelalak.
....
Galuh Sundari menangis dan bersimpuh di depan kaki Raden Suryapaksi. Tangisnya yang begitu menyedihkan tetap tidak meninggalkan kesan seorang putri yang anggun. Kedua pelayannya turut bersujud dengan kepala menyentuh lantai di belakang Sundari.
"Sayangku, dinda Sundariku yang jelita. Jelaskan, persoalan apa yang begitu melukai hatimu?" Suryapaksi memegang pundak Sundari dan menariknya bangun. Dituntunnya permaisuri untuk duduk bersisian di pembaringan.
"Kakanda, semua ini salah hamba yang tidak berguna dan tidak berbakti, sehingga semua orang juga berhak untuk menghina hamba... uuhuu..uhuuu.."
"Siapa yang berani menghinamu, dinda?" Suryapaksi mengerutkan keningnya.
"Ampuni Adik Galuh Citrawani, Kanda. Adik sedang lupa ingatan, sehingga ia melupakan penghormatan di antara kakak adik. Ia tidak sengaja mengingatkan kemalangan hamba yang tidak mampu memberi kanda keturunan." Tangan halus Sundari memeluk leher kekar Suryapaksi, kepalanya yang berambut hitam lebat menyandar ke dada bidang sang Raden. Sedu sedannya yang halus dan pelan masih terdengar sesekali.
Suryapaksi memeluk istrinya penuh kasih. Bibirnya hinggap di kening putih mulus itu dengan hati-hati.
"Lancang sekali Galuh Citrawani. Dia lupa kedudukannya di sini hanyalah untuk memenuhi titah ayahanda ! Dinda Sundari, meskipun kamu belum bisa memberiku anak, hatiku dari dulu dan kelak hanyalah milikmu. Kamu tidak usah kuatir, kanda akan menegur Galuh Citrawani agar kelak tidak berani berlaku lancang kepadamu."
Diam-diam Sundari tersenyum. Tetapi airmatanya tetap mengalir deras di pipi, diusap tangan kekar Suryapaksi dengan lembut.
"Sekarang kanda mau melihat kesayangan kanda tersenyum. Bulan jadi tertutup mendung kalau wajah ayumu manyun begini. Malam ini seluruh diri dan raga kanda milikmu, dinda... Mari kita berusaha lebih keras lagi untuk membuat anak."
Mereka berciuman mesra. Kedua pelayan Sundari mengundurkan diri setelah menurunkan tirai dan menutup pintu.
Di balik kelambu sutra itu, kedua sejoli itu saling pagut, saling pilin, saling renggut. Suara rintihan dan erangan eksotis dari bibir Sundari terdengar hingga ke telinga kedua pelayannya, yang menguping dari balik pintu dengan kulit wajah memerah bak kepiting rebus.
.....
"Kakanda, hamba mohon jangan datang ke kediaman hamba setiap malam. Hamba tidak ingin disalahkan oleh Ayahanda Raja karena tidak mau berbagi diri kakanda dengan adik Citrawani," keluh Sundari manja.
Kepalanya bersandar di lengan Suryapaksi yang direntangkan di atas bantal. Tubuh mereka berdua sama-sama polos tanpa sehelai benangpun, setelah pergumulan panas mereka sebelumnya.
"Hmm..." berat suara Suryapaksi. "Bukan salah dinda. Kanda yang malas mendatangi Citrawani. Kanda tidak bisa membagi cinta untuk wanita lain."
"Tetapi, kanda... kerajaan ini membutuhkan seorang penerus. Suka tidak suka, kakanda harus mengunjungi adik agar dia bisa mengandung cucu untuk ayahanda ..."
"Dinda ...."
"Ampuni hamba," Sundari memeluk Suryapaksi. " Ini demi kelangsungan keluarga kerajaan kita, kakanda. Mohon dipertimbangkan kembali. Percayalah, hamba tidak cemburu dan tidak marah, karena cintakasih hamba pada kakanda suci dan tulus. Semua akan hamba lakukan demi kejayaan kakanda dan kerajaan ! Bahkan jika hamba harus mengalah, hamba rela ditempatkan di istana pengasingan, atau dikembalikan ke Jenggala, demi untuk kebahagiaan masa depan kakanda dan adik Citrawani..."
"Tidak akan !" Geram Suryapaksi. "Jika Citrawani ingin mengusirmu dari sisiku, dia yang akan kuasingkan lebih dulu, dinda! Jangan pernah dia berani berharap menguasai kakanda untuk dirinya sendiri ! Itu tidak akan pernah terjadi."
"Tapi kakanda, bagaimana dengan permintaan ayahanda? Beliau sudah sangat ingin memiliki cucu..."
"Apakah istriku hanya Citrawani? Kanda memiliki dua orang istri. Dinda masih sangat muda, masih panjang harapan kita untuk mendapat keturunan."
"Hamba hanya kuatir, jika adik Citrawani tidak segera mengandung, maka kakanda yang akan disalahkan oleh ayahanda karena hanya menyayangi hamba dan mengabaikan adik.."
"Bagi kakanda, yang terpenting hanyalah dinda. Apapun titah ayahanda, biar kakanda yang menghadapi nanti."
"Oh, kakanda... hamba sangat mencintai kakanda..."
Jemari Sundari mengelus dan menyelinap dengan ahli, hingga sang Raden menggelinjang. Malam itu dihabiskan Sundari untuk melayani gairah Raden Suryapaksi yang menyala-nyala dan tiada akhir. Dengan piawai, Sundari bertekad membuat suaminya mabuk kepayang dan tidak akan pernah beranjak menuju ranjang sang madu, Galuh Citrawani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)
next
2022-02-20
0
Umi Zahwa
baru ini ni baca cerita dengan latar belakang sejarah..
menarik
2022-02-17
2
Nina Karlina
bagus bgt ceritanya...aku sukaaa
2022-02-16
1