Bab 4

Hari yang panas , matahari bersinar terik. Tidak menyurutkan semangat tuan putri Citrawani untuk berlatih beladiri di halaman belakang kediamannya yang luas. Ia telah memerintahkan beberapa bawahannya untuk membangun tempat berlatih sementara. Meskipun sederhana, gedung berlatih itu lumayan kokoh kuat.

Siang dan malam Citrawani melatih bawahannya di situ. Ia bertekad menggembleng semua bawahannya menjadi wanita tangguh tak tertandingi, agar tidak mudah ditindas para pelayan dari kediaman permaisuri.

Sekar, Gentini dan dua puluh pelayan lainnya mengikuti arahan Citrawani dengan patuh. Peluh bercucuran di badan. Kostum olahraga yang mereka pakai telah basah kuyup. Pertama kali dibagikan kostum itu, mereka tercengang. Setelah dicoba, mereka semua saling mentertawakan dengan geli. Tetapi seiring waktu berlalu, mereka terbiasa dengan kostum yang dirancang oleh junjungan mereka, Citrawani.

" Nah, latihan hari ini cukup !" seru Citrawani. Ia melangkah ke tepi gedung tak berdinding itu, duduk di bangku kayu sembari mengelap peluh di dahi. Halaman belakang kediamannya penuh dengan berbagai pohon tua yang besar dan rimbun. Halaman belakang itu tersambung dengan hutan buatan yang dibangun oleh raja terdahulu.

Para pelayan membubarkan diri, kembali ke tugas masing-masing. Sekar masih mengenakan kostum olahraga, menuangkan segelas air manis untuk tuan putri.

"Sekar, bagaimana dengan pengaturan kelas keterampilan yang aku minta? Kapan selesai?" tanya Citrawani .

"Sudah hampir rampung, tuan putri. Hanya beberapa alat buatan luar negeri yang belum tersedia, karena memang para pedagang dari negeri jauh belum berlabuh di Hujung Galuh, tuan putri ."

"Baiklah. Alat apa saja yang belum tersedia? Aku punya beberapa rancangan yang berbeda. Aku bisa menentukan apa saja yang sudah bisa kita buat dengan bahan dan alat yang tersedia."

"Biar hamba buat daftarnya dulu, tuan putri."

Citrawani melambaikan tangannya.

"Kamu boleh tinggalkan aku, Sekar. Aku masih ingin ngadem di sini."

Citrawani menikmati semilir angin membuai wajahnya, hingga ia mengantuk. Kicauan burung seakan meninabobokan. Ia nyaris tertidur, tetapi kewaspadaanya bangkit ketika ia mendengar cekikikan geli dari arah hutan buatan.

Seorang lelaki duduk menggoyang kaki di atas cabang pohon, tidak jauh dari bangku tempat Citrawani menyandar. Lelaki itu memakai pakaian ringkas dan ikat kepala seperti seorang pendekar.

"Adik sepupu, apa yang kamu lakukan di situ, tertidur seperti anak babi. Hihihi."

Citrawani memukul kepalanya sendiri. Ia ingat siapa lelaki itu. Raden Surya Kencana, kakak dari Raden Suryapaksi. Beberapa hari lalu lelaki itu sempat mengunjunginya secara resmi di kediaman, bersama beberapa putra dan putri kerajaan.

"Kakak sepupu, kenapa duduk di atas dahan seperti anak monyet?" Citrawani membalas sambil tertawa.

Ia tahu, kakak suaminya itu bersifat agak ugal-ugalan dan tidak suka dengan segala macam peradatan di istana. Sekar yang memberitahunya. Ternyata benar. Bertemu sekali saja, mereka telah akrab dan saling menyukai, seperti saudara sepupu pada umumnya.

"Mana ada monyet setampan aku, adik sepupu?"

"Mana ada babi seimut hamba, kakak sepupu?"

"Imut itu apa?"

"Imut itu lucu dan menggemaskan."

"Oh."

Syuuuuuuhhh.

Raden Surya Kencana melayang turun . Ia berdiri di depan Citrawani, tubuhnya doyong ke depan mengamati kostum olahraga gadis itu.

"Aah, adik ! Darimana kamu mendapat pakaian seperti ini?" Raden Surya Kencana tercengang. "Dilihat dari dekat, dengan seragam ini ternyata kamu tidak mirip seperti babi. Kamu lebih mirip boneka pengusir burung di sawah. Hihihi."

"Katakan saja kalau kakak menyukai seragamku ini. Hamba akan buatkan satu untuk kakak. "

"Ah, ogah ! Nanti aku terlihat seperti pengusir burung juga. "

"Kakak pernah melihat boneka pengusir burung ?"

"Pernah, di sawah banyak yang seperti itu !"

"Di sawah mana?"

"Aduh, adik. Sawah itu berada di luar kota . Di desa-desa ada banyak."

"Kakak sering pesiar keluar kota?"

"Tentu saja, adik. Kakak sepupumu ini seorang pendekar pengelana, sudah banyak desa dan kota yang kakak datangi."

"Alangkah senangnya kalau hamba juga bisa berkelana seperti kakak sepupu," gumam Citrawani.

"Ayahanda tidak akan mengijinkan adik berpesiar keluar kota, kecuali....."

"Kecuali apa, kakak?"

"Hmm...aku tidak boleh mengatakannya, supaya adik tidak nekad pergi," Raden Surya Kencana menyeringai misterius.

"Ayolah kakak, sesama sepupu itu tidak boleh ada rahasia yang tersembunyi lho," Citrawani membujuk sepupunya. Ia sudah diberitahu oleh Sekar, bahwa sepupunya ini memiliki keanehan sifat, kadang-kadang pola pikirnya seperti kanak-kanak.

Surya Kencana mudah dibujuk oleh orang yang dia anggap teman. Tingkah lakunya pun kerap tidak menunjukkan keseriusan orang dewasa. Suka berpetualang, mendalami bela diri sampai ke perguruan yang jauh. Suka bersenang-senang, berjudi dan bermain-main. Sehingga meskipun ia putra sulung tertua, bukan ia yang mewarisi gelar pangeran putra mahkota.

"Siapa bilang sesama sepupu tidak boleh ada rahasia?" senyum Surya Kencana makin misterius. "Itu yang ada di balik seragam pengusir burungmu, ada rahasia adik yang tidak boleh aku ketahui, kan?"

Muka Citrawani memerah ketika Surya Kencana menunjuk dadanya dengan acuh tak acuh.

"Jangan bicara sembarangan, kakak ! Jika ada yang mendengar, bisa gawat. Kakak bisa dituntut untuk kasus pelecehan wanita, lho!"

"Pelecehan apa? Itu adik, ada yang bersinar biru di dadamu," dengan cuek, Surya Kencana kembali menunjuk dada Citrawani.

Gadis itu terhenyak. Bagaimana Surya Kencana bisa tahu, permata biru terang yang menghiasi liontinnya? Kalung dan liontin yang selalu dipakainya itu tersembunyi di balik pakaiannya.

"Hahaha, adik, kamu bingung ya, hahaha. Jangan cemas, suatu saat nanti kakak akan membawamu pesiar keluar kota, asal adik baik kepadaku, hahaha..."

Gema tawanya masih terdengar, ketika pangeran ugal-ugalan itu meloncat pergi dan menghilang di rerimbunan pohon.

Citrawani mengangkat tangannya untuk memanggil, tapi ia sadar sudah telat. Bayangan sepupunya sudah tak tampak lagi. Ilmu lari cepatnya, bahkan jauh melampaui Citrawani. Gadis itu termangu-mangu.

Ia meraba dadanya, menyentuh kalung emas bermata biru yang seingatnya, sudah ia pakai sejak ia datang ke dunia kuno ini. Ia ingat, permata kalung ini bersinar di tengah kegelapan. Tetapi itu terjadi jika kalung itu tidak tertutup pakaian.

Saat ini, matahari tengah bersinar terik dan ia menyembunyikan kalung itu di balik pakaian. Tetapi Surya Kencana melihatnya dengan telak.

Berbagai pertanyaan tak terjawab, berkecamuk di pikirannya.

"Tuan putri, semua peralatan yang anda minta, sudah lengkap daftarnya !" Sekar menunjukkan peti-peti kayu kemas yang tertumpuk di tengah ruangan.

"Baiklah. Biar nanti aku perintahkan pelayan laki-laki untuk membukanya. Sekar, aku minta kamu sampaikan permohonanku kepada Ibu Ratu untuk minta bertemu. "

"Baik, tuan putri. "

..

Sore itu permaisuri raja menerima Citrawani di kediamannya. Wanita paruh baya yang cantik dan anggun itu tersenyum ketika Citrawani memberi hormat padanya.

"Citra, Sekar telah melaporkan padaku kalau kamu ingin membahas sesuatu denganku. Katakan, apa yang kamu inginkan, nak? Apakah kamu sehat-sehat saja setelah jatuh pingsan?"

"Hamba baik-baik saja, Ibunda. Ampuni hamba kalau hamba lebih banyak berdiam diri di kediaman, karena hamba kuatir, hamba tidak mampu mengingat apapun ..." Citrawani menyembah sambil memasang wajah sedih.

"Hal itu aku sudah mengetahuinya, dan aku pun memakluminya, nak. Kamu tidak usah kuatir. Yang penting kamu tetap menjaga diri dan meminum obat dari tabib dengan teratur."

"Terimakasih, Ibunda. Untuk itu hamba datang kemari. Sejak mengalami amnesia, hamba tidak memiliki kenangan apapun, tidak memiliki ingatan akan hubungan dengan siapapun. Hamba merasa sangat kesepian."

Citrawani berhenti sejenak, untuk memberikan efek dramatis pada aktingnya. Permaisuri Raja terlihat tersentuh secara emosional. Ia menggenggam tangan Citrawani erat-erat.

"Nak, kamu tidak boleh berperasaan seperti itu. Istana ini banyak penghuninya, kamu bisa bercengkerama dengan kakandamu, dengan kakak permaisurimu, atau dengan ibunda. Aku dengan senang hati akan selalu menerimamu dengan tangan terbuka..."

"Terimakasih, ibunda. Hamba menjadi lega sekarang, boleh mengandalkan ibunda untuk masa mendatang," Citrawani bersujud di depan kaki mertuanya.

"Jangan sungkan, nak. Ibunda telah mengenalmu dan mengasihimu sejak dirimu masih orok. Bagaimana mungkin kamu tidak mengandalkanku?"

"Hamba yakin kepada ibunda, tetapi..hamba juga merasa takut...istana ini begitu luas, Ibunda .. penghuni istana begitu banyak, hati orang tidak bisa ditebak." suara Citrawani yang terlatih berubah menjadi bergetar memelas dan menyedihkan.

Ratu Panjalu dengan terharu mengangkat menantunya lalu mengajaknya duduk bersisian.

"Kasihan dirimu, anakku. Kamu masih begitu muda dan cantik. Ibunda yakin, kamu akan bisa membawa diri dengan baik, seperti dulu. Lama kelamaan, perasaan kakandamu akan kembali kepadamu. Ia hanya perlu diyakinkan bahwa dirimu masih Citrawani yang dikasihinya dulu...Kamu hanya perlu sabar dan tetap mengalah.."

"Hamba akan mengingat semua nasihat ibunda ." Citrawani tersenyum manis. "Ibunda, kalau boleh hamba ingin memohon sesuatu kepada ibunda ..."

"Apa yang kamu inginkan, Citra? Katakan pada ibunda.'

"Hamba memohon untuk diijinkan membangun sebuah sekolah keterampilan untuk para pelayan wanita di kediaman hamba."

"Oh, keterampilan apa yang akan kamu ajarkan kepada mereka, nak?"

"Berbagai macam keterampilan hidup, mulai dari ilmu memasak, ilmu kesehatan, olahraga, hingga ilmu pertanian, ibunda. Jika ibunda mengijinkan, hamba akan memulai kelasnya besok."

"Wah, secepat itu?" Permaisuri takjub.

"Gedungnya telah disiapkan, ibunda. Ruang hiburan di kediaman hamba telah direhab menjadi ruang kelas. Halaman belakang juga sudah diubah menjadi kelas olahraga dan perkebunan. Hamba mohon ampun jika ibunda tidak berkenan dengan kelancangan hamba..."

"Oh, bagus, ibunda sangat tertarik dengan buah pemikiranmu," puji permaisuri raja. "Jadi setelah mereka belajar, apa manfaat keterampilan itu buat mereka?"

"Kelak jika mereka telah ahli di bidangnya masing-masing, mereka akan hamba terjunkan langsung ke masyarakat, untuk mengabdi demi kesejahteraan rakyat kerajaan kita," Citrawani menunduk sambil mencakupkan tangannya.

"Wah, wah, wah, keinginan yang sangat mulia..." kata seseorang sambil bertepuk tangan.

Citrawani terkejut. Baginda Raja Aryaiswara berdiri di depan pintu diiringi beberapa pengawalnya. Citrawani segera bersujud di depan kaki ayah mertuanya.

"Ayahanda Raja," Citrawani mengangkat kepalanya sambil mencakupkan kedua tangannya.

"Permaisuriku, kenapa tidak berbagi berita kebahagiaan denganku?" tegur sang raja. Lelaki setengah baya yang masih perkasa itu duduk di samping istrinya sambil tersenyum. Permaisuri menggenggam tangan suaminya dengan penuh kasih sayang.

"Hamba hanya tidak ingin membuat anak ini merasa tidak aman Paduka, karena dia masih dalam keadaan bingung . Rencana hamba akan datang menghadap paduka nanti, tetapi kebetulan anda telah menghampiri hamba lebih dulu."

"Begitupun baik, permaisuriku. Uaah, otot-ototku terasa kaku. Aku mau berjalan-jalan sebentar di seputar istana. Nanti malam datanglah ke peraduan, ada yang mau aku bicarakan . "

"Dan kamu, anakku, aku mengijinkanmu untuk mewujudkan ide yang kamu miliki. Kamu juga boleh mencari beberapa ahli untuk menjadi guru di ruang kelasmu. Asalkan itu tidak bertentangan dengan norma yang ada di keluarga kerajaan kita, dan kamu bisa mempertanggungjawabkan aliran dana yang kamu gunakan."

" Terimakasih, Ayahanda Raja.." Citrawani menyembah dengan wajah berseri-seri.

Ia masih bersujud hingga ayah mertuanya telah jauh melangkah meninggalkan istana ratu permaisuri.

.....

.......

Para pelayan di kediaman Citrawani sibuk membongkar peti kemas yang dikirim oleh para pedagang dari negeri jauh. Berbagai macam barang yang asing dan jarang dilihat orang, membuat para pelayan terheran-heran.

"Ini banyak sekali jarum-jarum tipis, untuk apakah ini, tuan putri?" tanya Sekar penasaran. Dari tadi banyak sekali hal yang telah ia tanyakan.

"Itu namanya jarum totok, Sekar. Kalau di negeri jauh, namanya jarum akupuntur, untuk pengobatan. "

"Kata Raden Surya Kencana, ilmu totok jalan darah itu bisa untuk melumpuhkan orang, bisa juga untuk mengobati orang sakit. Betulkah begitu, tuan putri ?"

"Begitulah. Sekar. Kalau kamu bertanya terus, aku akan menotok urat ketawamu biar kamu ketawa tujuh hari tujuh malam tanpa henti," ancam Citrawani. Ia hanya bergurau. Tetapi Sekar menganggapnya serius, hingga ketika ia melihat hal yang paling aneh pun, ia tetap menutup mulutnya, tidak berani bertanya.

Gentini yang baru datang dan tidak tahu apa-apa, menjerit kegelian melihat beberapa kotak penuh berisi ulat gemuk.

"Iiihhh, ulaaat ..." teriaknya dengan tubuh merinding. Ia lari menjauh dengan terkial-kial ketika Citrawani mencomot seekor ulat dan dengan jahil menyodorkan padanya. Citrawani tertawa lalu menyodorkan ulat itu pada pelayan yang lain.

Kehebohan terjadi karena semua pelayan wanita terbirit-birit menjauh sambil menjerit geli. Citrawani terkekeh-kekeh senang.

"Ulat ini untuk apa, tuan putri?" Ki Parwata, kepala pengawal kediaman Citrawani bertanya. Lelaki ini biasanya sangat pendiam. Tetapi kali ini rupanya ia sangat penasaran melihat ulat-ulat gemuk yang dipesan khusus dari pedagang luar pulau itu.

"Paman Parwata, dan para pelayan semua. Dengarkan baik-baik ya! Jangan ada yang bertanya lagi. Ini adalah ulat sutra, yang akan menghasilkan benang sutra, untuk kemudian ditenun menjadi kain sutra."

"Oohhh??"

Suara-suara keheranan itu mendengung di mana-mana. Citrawani membiarkan para pelayan dan pengawal bertanya-tanya sendiri. Ia asyik mengamati ulat-ulat gemuk yang sedang dalam masa hibernasi. Setelah puas, ia mengangkat tangannya. Suasana pun menjadi hening.

"Baiklah. Aku akan beritahu kalian ya. Kita akan membangun peternakan ulat sutra mulai sekarang. Dan kalian yang akan bertugas merawat mereka. Untuk makanannya, kalian tidak perlu kuatir, kita sudah ada persediaan yang banyak sekali. Kalian tahu apa makanan ulat sutra?"

Berpuluh-puluh kepala menggeleng.

"Hah? Tidak ada yang tahu yaa? Rupanya pelajaran biologi kalian sangat cetek, huh..." Citrawani menggoyang-goyangkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan.

Para pelayan dan pengawal melongo. Kumat lagi penyakit kosa kata aneh tuan putri, begitu pikir mereka.

"Makanan ulat sutra adalah daun yang pucuk mudanya biasa kalian jadikan urap-urap, yang buahnya biasa dipetikin anak-anak. Hayo, tahu tidak?"

Semua menebak-nebak. Karena tidak ada yang benar, Citrawani menjawab sendiri.

"Daun besar , atau daun murbai, yang tumbuh di hutan belakang."

"Eh..ya ampuun..daun itu toh."

"Banyak ada di pagar. Di hutan belakang juga banyak."

"Betul. Tetapi itu masih kurang untuk ke depannya.. Mulai besok, kita bersihkan area samping yang masih kosong, kita tanami pohon murbai ."

Para pengawal bersorak semangat.

Tidak ada yang menyadari, sesosok tubuh yang mengintaj dari atas pohon besar di hutan belakang, tiba-tiba berkelebat pergi.

.......

Terpopuler

Comments

el_shiraz

el_shiraz

👍👍👍👍👍

2022-02-11

0

Jero Seroni

Jero Seroni

keren nih sicitra

2022-02-06

1

Sinarini Wayan

Sinarini Wayan

makasih 😘😘

2022-02-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!