Risa melangkah masuk ke dalam sebuah cafe dengan langkah lebarnya.
Di belakang gadis itu terlihat seorang pria dengan pakaian rumah sakit beserta jubah dokternya yang berwarna putih bersih.
Melihat Risa yang telah duduk di salah satu kursi, pria bernama Juna itu pun ikut duduk. Ia duduk tepat di hadapan Risa.
“Selamat siang mas, mbak, mau pesan apa? Hari ini kita ada paket spesial berdua untuk pasangan loh.” kata seorang pelayan cafe.
Risa mendengus kesal mendengar kata ‘pasangan’ yang di ucapkan oleh pelayan cafe itu.
“Mbak, lain kali jangan asal tebak aja. Saya dan dia itu bukan pasangan.” ucap Risa yang sebenarnya terlihat berlebihan, seharusnya ia cukup diam saja. Tapi, gadis itu sungguh sangat alergi jika harus dikatakan berpasangan dengan pria di hadapannya itu.
“Eh? Bukan pasangan ya? Maaf mbak, maaf sudah salah mengira.” kata wanita pelayan cafe.
Risa tampak menghela nafasnya, melihat pelayan cafe itu meminta maaf, membuat hati Risa merasa tidak enak pada si waiters itu.
“Sudah mbak, gak perlu minta maaf. Sekarang tulis aja minuman yang mau kami pesan.” kata Risa.
“Iya mbak makasih. Jadi, mbak sama mas-nya mau pesan apa?” tanya si pelayan cafe.
Sejenak, Risa tampak diam, gadis itu bahkan terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di atas dagu. Ia sungguh terlihat seperti orang yang sedang memilih sesuatu dengan teliti.
“Ini aja deh, dua kopi cappucino latte. Tapi yang satu jangan terlalu manis ya mbak, gulanya sedikit aja, gak usah banyak-banyak.” ujar Risa sembari menunjuk ke arah buku menu itu.
“Oh oke, dua kopi capuccino latte, udah saya tulis. Apa ada lagi yang mau di pesan mbak, mas?” tanya pelayan cafe itu sembari menulis pesanan Risa ke dalam buku kecil yang ia gunakan untuk menulis pesanan para pembeli.
“Gak ada.” jawab Risa mewakili Juna yang hanya diam dengan kepala menggeleng singkat.
“Baik, kalau gitu, saya akan bacakan ulang pesanannya ya mbak. Jadi mbak pesan dua kopi cappucino latte, terus salah satunya minim gula, apa udah bener mbak?” tanya pelayan cafe itu, memastikan apa yang ia tulis di catatan pesanannya tidak salah.
Risa mengangguk, “Iya.”
“Mohon tunggu sebentar ya mbak, mas. Saya akan siapkan pesanan kalian." kata pelayan cafe itu yang kemudian pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
Setelah pelayan cafe itu pergi, Juna tampak menatap Risa semakin intens, seperti sedang menelisik setiap inci raut wajah gadis dihadapannya itu.
Juna bahkan sampai menumpukan kedua sikunya ke atas meja makan cafe itu.
Ia tampak bertopang dagu sembari memandangi Risa tanpa henti.
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu masih inget sama selera aku. Bahkan kamu juga tahu kalau aku enggak suka manis. Salut deh sama kamu Sa.” ujar Juna, membuat Risa mendesis kesal ke arahnya.
“Pede, emangnya aku ada mesenin kamu minum ya? Jadi orang itu jangan terlalu belagu, percaya diri amat, cih.” kata Risa.
“Lah tadi? Kamu pesen dua kopi capuccino latte kan? Kalau satunya bukan buat aku, terus buat siapa? Enggak mungkin kan buat kamu semua?" tanya Juna.
Awalnya emang satunya buat kamu. Tapi denger kamu ngomong gitu, maaf, harga diri aku ini terlalu tinggi buat dikata masih inget selera kamu. Inget muka kamu aja udeh eneg apalagi inget selera kamu, jijik aku. — batin Risa.
“Kalau emang dua-duanya buat aku kenapa? Mau protes? Emangnya situ siapa? Kamu enggak ada hak buat ngelarang aku.” jawab Risa, ketus.
Juna menghela nafasnya, kemudian mengubah posisinya, kini ia duduk tegap menghadap Risa.
Tapi tak lama dari itu, pandangannya tidak sengaja tertumpu pada sebuah arloji yang melekat sempurna di tangannya. Jarum pada jam itu kini terlihat mulai bergerak mendekati angka dua, membuat Juna harus mendesah pelan. Waktu santainya akan segera habis, karena pukul tiga nanti ia ada jadwal operasi.
“Iya deh terserah kamu aja. Suka-suka kamu, aku gak peduli juga. Sekarang yang lebih penting, kenapa kamu ajak aku ketemu? Kangen ya?” tanya Juna dengan topik pembicaraan yang berbeda, tapi masih dengan tingkat percaya dirinya yang tinggi.
“Kangen? Kangen kangen, jidat kamu itu kangen. Ngapain aku kangen sama kamu, inget muka kamu aja udah mual aku.” kata Risa dengan raut wajah sinisnya.
“Ooo— kamu kangen sama jidat aku ini? Kamu itu emang unik ya sa, dari dulu gak berubah sama sekali.” ujar Juna.
“Gak usah bilang dulu dulu dulu terus, sakit telinga aku dengernya. Sekarang ada hal lain yang mau aku bahas sama kamu, ini juga alesan aku mau ketemu sama kamu.” kata Risa.
“Oh, jadi apa yang mau kamu bahas sama aku? Aaaa— pasti masalah rumah tangga kita nanti ya? Kamu mau bahas tentang apa? Tentang anak ya? Aku sih terserah kamu aja sa, mau punya anak berapa. Satu juga gak masalah, dua juga oke, tiga kayaknya bagus, empat kedengarannya lumayan, atau kamu mau buat kesebelasan? atau satu lusin sekalian? Boleh juga tuh.” ujar Juna yang membuat Risa ingin sekali mencekik leher pria dihadapannya itu.
“Kamu itu udah bosen hidup ya?! Siapa yang mau bahas masalah anak sama kamu?! Gak tau malu. Lagian ya, aku tuh ogah punya anak sama kamu, mending aku jadi perawan sampe tua daripada harus— harus, harus— ”
“Harus apa?” tanya Juna dengan senyum menyeringainya, siap menggodai perempuan dihadapannya itu.
“Ah gak tau! Pokoknya bukan itu yang mau aku bahas. Makanya kamu itu kalau aku lagi ngomong dengerin yang serius biar gak salah tangkap.” protes Risa.
“Oke oke, sekarang aku serius. Tapi mending kamu cepet deh ngomongnya, aku gak ada banyak waktu buat ladenin kamu ngoceh terus. Bentar lagi aku ada jadwal operasi, jangan bikin aku telat masuk ruang operasi. Awas aja kamu kalau sampai aku telat terus di marahin senior, kamu itu yang bakal aku maki habis nanti.” kata Juna dengan nada ancaman yang sama sekali tidak membuat Risa takut.
Risa bahkan malah mendecih sembari menatap pria di hadapannya itu dengan raut sinisnya.
Setelah itu, karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Risa segera meraih tasnya dan membuka tas tersebut. Ia mengambil sebuah kertas yang merupakan surat perjanjian pranikah yang telah Risa buat semalam.
“Ini, kamu tandangani di bagian pojok bawah kanan itu, aku udah tandatangan di bagianku sendiri. Tapi kalau kamu mau baca dulu, ya baca aja, gak ada yang ngelarang kok. Lagian isi surat itu bener-bener clear, gak akan ada pihak yang di rugikan.” ujar Risa sembari menyodorkan sebuah surat berisikan poin-poin perjanjian pernikahan mereka.
Juna pun tanpa basa-basi langsung meraih kertas putih yang telah di toreh oleh tinta hitam berbentuk tulisan di atasnya.
“Ini surat perjanjian?” tanya Juna sebelum ia mulai membacanya.
Risa mengangguk, gadis itu tampak bersandar pada kepala kursi yang di dudukinya. Ia juga tampak melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Juna dengan santainya. Gadis itu sebenarnya sedang menantikan detik-detik surat perjanjian itu di tandatangani oleh Juna.
“Kamu yang buatnya?” Juna bertanya lagi, pria itu seperti ragu dengan isi surat perjanjian yang telah Risa buat.
“Iya.” jawab Risa, sesingkat mungkin, dirinya itu sungguh tidak sabar melihat Juna membubuhkan tandatangan-nya di atas surat perjanjian itu.
“Maaf, permisi, ini pesanan kalian tadi. Silahkan dinikmati.” ucap pelayan cafe yang kini datang dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi cappucino latte.
“Ya, terimakasih.” kata Risa sembari melemparkan senyum ramahnya ke arah pelayan cafe yang telah pergi dari meja itu.
“Ini buat kamu, tapi jangan ge'er, aku kasih cappucino latte ini ke kamu juga biar kamu cepet tandangani surat perjanjian itu.” ujar Risa, ia mendorong salah satu gelas kopi capuccino latte yang minim gula ke arah Juna.
Juna tersenyum, berpura-pura tidak peduli dengan sikap Risa yang sebenarnya memang memesankan minuman itu untuknya.
Pria itu kemudian kembali fokus membaca setiap kata dari lembaran kertas yang ada dalam genggamannya itu.
Beberapa poin-poin teratas, semua terlihat masuk akal bagi Juna. Ia sama sekali tidak ingin memprotesnya.
Tetapi, semakin ke bawah, poin-poinnya terasa semakin merugikan dirinya sebagai seorang suami nantinya.
“Sa.” panggil Juna dengan mata yang belum teralihkan dari lembaran kertas itu.
“Hm, apa?” tanya Risa yang terlihat sedang menikmati kopi capuccino latte-nya.
“Kamu udah gak waras ya? Udah hilang akal ya? Masa kita udah nikah tapi harus pisah tempat tidur? terus apa ini?! Aku gak boleh nyentuh kamu walau seujung rambut pun?! Bener-bener kamu ya. Pokoknya enggak, aku enggak setuju.” kata Juna yang sedang mengajukan protesnya pada si pembuat surat perjanjian.
💐 thanks for reading this novel. don't forget to favorite, like, comment and vote.💐
✍ Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada persamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian ataupun peristiwa yang terjadi.✍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
LaVoiser
lanjutin lg thor
2022-01-24
0
Yulia Ulfa
ceritanya beda dari novel2 yg pernah aku baca thorr....q suka karyamu Thor...semgt trus
2021-01-03
0
Yasminn
😂😂😂😂😂😂
2020-08-11
1