Hal-hal yang sudah ditentukan oleh pencipta tidak akan pernah dapat diubah, karena itu adalah takdir — Terpaksa menikah dengan mantan.
•••
"Pertama masukkan irisan bawang putih dan bawang merah, tumis sampai tercium aroma dari bawang tersebut—" Suara dari layar televisi itu menggema ke penjuru ruang keluarga, disana sebuah keluarga kecil terlihat duduk bersama menikmati tayangan televisi yang di putar oleh Risa.
Disela-sela keheningan itu, dua orang paruh baya yang merupakan ayah dan ibu dari dua kakak beradik terlihat saling bertatapan satu sama lain. Mereka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi selalu urung karena kekhawatiran yang lebih dulu menyelimuti diri.
"Risa." Panggil sang ibu, pada akhirnya mereka harus mengatakan apa yang ingin mereka sampaikan pada putri mereka itu.
"Iya?" Ucap Risa tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi.
Kakaknya, Aro yang seakan memahami situasi saat itu, ia lantas merebut remote televisi dari tangan Risa, lalu menekan tombol power untuk mematikan televisi yang menyala.
"Kakak! Kenapa dimatiin? Itu tadi bagian intinya." Keluh Risa, ia menatap kakaknya itu dengan raut wajah masam.
"Mama panggi kamu tuh, kamu jangan gak sopan gitu dong, kalau orangtua manggil tuh di jawab." Ujar kakaknya.
Lalu kemudian, terdengar hembusan nafas dari diri Risa, gadis itu masih di liputi oleh rasa kesal, karena harus melewatkan tayangan yang sudah lama ia nanti-nantikan.
"Kan tadi udah aku jawab."
"Risa." Kali ini ayahnya yang memanggil namanya.
"Iya? Ada apa?"
"Papa sama mama mau ngomong penting sama kamu." Kata sang ibu.
"Apa?" Tanya gadis itu, kemudian mengubah posisi duduknya, ia menghadap ke arah orangtuanya yang sedang menunggu kesiapannya untuk mendengarkan perkataan mereka.
"Begini, papa kan punya seorang teman baik." Ucap sang ayah.
"Iya, terus?" Tanya Risa.
"Kami— kami membuat sebuah perjanjian—"
"Perjanjian apa?" Tanya Risa yang menyela perkataan ayahnya.
"Papa dan teman papa itu dari dulu pengen punya ikatan kekeluargaan, jadi kami punya perjanjian kalau nanti kami sudah menikah, kami mau jodohin anak kami."
"Terus?" Tanya Risa, ia mulai mencemaskan satu hal ketika mendengar kata pernikahan keluar dari mulut ayahnya.
"Papa mau kamu menikah dengan anak temen papa." Jawab Fero, ayah Risa.
"Papa gak lucu deh, papa lagi bercanda kan?" Tanya Risa. Ia menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik dan penuh harap, ia berharap jika ayahnya sedang melontarkan candaan padanya.
"Papa lagi serius Risa. Papa gak bercanda." Jawab ayahnya.
Risa memejamkan matanya sejenak, ia merasakan dunianya seakan runtuh seketika, gadis itu kemudian membuka matanya dan menatap kedua orang tuanya dengan raut muka yang tidak dapat di jelaskan.
"Kenapa gak kak Aro aja yang di jodohin? Kenapa harus aku?" Tanya Risa, dirinya mulai mencoba mencari alasan agar terhindar dari perjodohan yang menurutnya tidak masuk akal itu.
"Ck, kamu udah gak waras ya? Anaknya om Henry itu laki-laki. Kamu mau nyuruh kakak nikah sama sesama jenis? Maaf ya, kakak masih normal." Jawab sang kakak.
"Ya kan bisa sama anaknya yang perempuan. Emangnya om Henry gak punya anak perempuan apa?"
Terlihat Fero — ayah Risa menggelengkan kepalanya menanggapi pertanyaan dari putrinya itu.
"Istri om Henry meninggal waktu ngelahirin anak pertama mereka. Kalau aja anak pertama mereka itu perempuan, mungkin Aro yang akan kami jodohkan, bukan kamu. Tapi sayangnya, anak om Henry itu laki-laki. Tapi kamu tenang aja Risa, dia itu pria yang baik dan juga tampan, sangat sempurna untukmu." Ujar Dewi, ibu Risa.
"Risa nolak, Risa gak mau di jodohin, Risa gak mau di paksa nikah sama orang yang gak Risa kenal. Pokoknya gak akan pernah mau." Kata Risa, gadis itu kemudian bangkit dari duduknya, lalu berlari meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam kamarnya.
"Risa!" Panggil ayahnya dengan suara lantang, tapi gadis itu sama sekali tidak menghiraukan panggilan yang terdengar seperti peringatan ditelinga nya.
Ayahnya pun akhirnya memilih berdiri dan berjalan cepat mengikuti putrinya, Fero berhasil menahan lengan Risa ketika anaknya itu hendak menaiki anak tangga pertama.
"Denger papa, kamu gak punya hak buat nolak, papa udah janji sama om Henry soal pernikahan ini, kamu jangan buat papa malu. Terserah kamu suka atau enggak, kamu tetep bakal nikah sama dia." Kata sang ayah sembari melepaskan tangannya yang memegang lengan Risa.
"Papa— sejak kapan papa jadi orang yang suka maksa? Dulu papa gak pernah gini, tapi kenapa sekarang papa sama mama maksa Risa buat nikah sama orang yang gak Risa kenal?" Tanya Risa dengan nada suara yang mulai bergetar, gadis itu menahan isak tangis yang sebentar lagi akan pecah.
"Karena selama ini kami terlalu manjain kamu dan udah nurutin semua kemauan kamu, sekarang gantian kamu turuti kemauan kami, tolong sekali ini aja, patuh sama papa, sama mama. Ini semua juga untuk kebaikan kamu Risa." Jawab Fero, masih mencoba memberi asupan kepercayaan pada putrinya itu.
Risa menggelengkan kepalanya, kakinya perlahan-lahan melangkah, menapaki satu-persatu anak tangga, tapi kemudian ia menghentikan langkahnya, Risa berbalik dan kembali menatap ayahnya yang masih berada di bawah tangga.
"Gak, Risa gak mau pa. Risa bahkan belum pernah ketemu sama dia, gimana Risa bisa nikah sama dia? Risa mohon pa, Risa mohon batalin pernikahan ini." Pinta Risa.
"Risa, papa udah bilang sama kamu tadi, papa itu udah janji sama om Henry, papa gak bisa batalin pernikahannya gitu aja. Papa minta maaf sama kamu, berapa kalipun kamu nolak, kamu bakalan tetep nikah sama dia. Jadi dari sekarang kamu harus siap. Satu lagi, besok malam mereka mau dateng ke rumah kita buat makan malam sekaligus untuk ngelamar kamu, bisa dibilang, besok malam kamu bakalan resmi bertunangan sama dia." Ujar ayah Risa.
Setelah mengatakan beberapa kalimat yang seperti kilat menyambar pohon, ayah Risa pergi berlalu dari hadapan putrinya itu, dengan berat hati, ia meninggal putrinya yang sedang terpukul berat oleh kata-katanya.
Aro, kakak Risa, ia berlari menghampiri adiknya. Menjadi penyangga bagi tubuh Risa yang terasa lemas, gadis itu terlihat lunglai, semua terjadi begitu tiba-tiba, kenapa ayahnya tidak memberitahukan hal ini beberapa hari sebelumnya atau bahkan lebih baik sejak dirinya masih kecil, dengan begitu, mungkin ia bisa lebih menerima kenyataan ini.
•••
Seorang pria paruh baya berdiri di depan pintu kamar putranya yang terbuka, dapat terlihat oleh pandangan matanya, putranya itu sedang fokus membaca buku medis.
Tok. Tok. Tok
Suara ketukan itu membuyarkan konsentrasi Juna yang sedang mempelajari beberapa bahan materi yang akan di praktekkan esok hari.
Juna menoleh ke arah ketukan pintu itu, tampak oleh penglihatannya, sang ayah yang mulai melangkah masuk ke dalam kamarnya.
"Apa kamu ada waktu buat ngobrol sama ayah?" Tanya Henry, sang ayah. Pria paruh baya itu meraih buku yang Juna pegang, kemudian ia duduk di samping putranya itu sembari membaca buku yang ia ambil dari Juna.
"Ayah mau ngomong apa sama aku?" Ucap Juna yang balik bertanya kepada sang ayah.
Juna paham dengan sifat ayahnya itu, sekalipun ia berkata sibuk, ayahnya tetap akan memaksa dirinya untuk meluangkan waktu.
"Hal kecil, tapi penting buat ayah." Jawab sang ayah tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya.
"Apa?"
"Ayah mau kamu nikah." Ucap Henry yang sontak langsung ditanggapi rasa terkejut dari Juna.
"Apa?! Nikah? Kenapa tiba-tiba ayah nyuruh Juna nikah? Lagian aku masih sibuk sama program spesialisku." Ujar Juna.
"Tapi setau ayah, kamu itu masih bisa ngeluangin waktu buat gonta-ganti pacar tiap bulan." Kata Henry sembari menutup buku yang dibacanya, lalu meletakkannya ke atas meja.
"Ayah, masalahnya tuh beda. Nikah sama pacaran itu bener-bener beda banget. Nikah itu satu hal yang serius, beda sama pacaran yang cuma— main-main." Ucap Juna.
Henry menatap Juna dengan senyum tipis, pria paruh baya itu menatap putranya sejenak.
"Makanya ayah suruh kamu nikah, biar kamu bisa serius sama yang namanya perempuan. Lagian, kamu mau sampai kapan main-main terus hah?"
"Ayah—"
"Kamu tenang aja, kamu gak perlu susah-susah cari pasangan. Ayah udah cariin calonnya buat kamu. Ayah mau kamu nikah sama anak temen baik ayah." Ujar Henry yang menyela perkataan Juna.
Mendengar perkataan ayahnya, Juna tersenyum masam, ia mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat, sikapnya itu sudah mengutarakan sebuah penolakan atas perintah sang ayah.
"Besok malam kita dateng ke rumah temen ayah itu, ngelamar anaknya. Jadi besok, kamu itu udah resmi tunangan sama anaknya om Fero." Kata Henry.
"Ayah gak mengharapkan penolakan. Seperti biasa, kamu harus jadi anak yang penurut." Ujar Henry untuk yang terakhir kalinya, pria paruh baya itu kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar putranya.
Juna menatap kepergian sang ayah dengan wajah datar, ia beranjak dari tempat duduknya, melangkahkan kakinya untuk menutup pintu kamar.
"Seperti biasa, kamu harus jadi anak yang penurut. Ck, hidupku kan selama ini emang udah ada di tangan ayah, selalu aja harus nurut." Gumam Juna yang mengulangi kembali ucapan ayahnya tadi.
💐 thanks for reading this novel. don't forget to favorite, like, comment and vote.💐
✍ Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada persamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian ataupun peristiwa yang terjadi.✍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Uswstun Chasanah
lanjut author
2022-06-25
0
LaVoiser
kpan lanjut lagi thor
2022-01-24
0
cinta suci
semangat kk
2021-11-26
0