Kembali bertemu dengan seseorang yang dibenci, ada dua pilihan, yaitu saling menyerang atau meluruskan kesalahpahaman. — Terpaksa menikah dengan mantan.
***
Hari berlalu begitu cepat. Malam yang sangat dihindari oleh Risa telah datang beberapa jam yang lalu.
Risa menatap pantulan dirinya dari sebuah cermin besar yang ada di kamarnya, gadis itu menarik nafas dan mengehembuskannya berulangkali, membuang semua getaran yang membuncah di dalam hatinya.
Gaun yang ia pakai sangat indah, tapi menyimpan sejuta keburukan didalamnya. Warnanya yang gelap namun berani sangat bertolak belakang dengan perasaannya saat ini.
Risa diselimuti rasa takut dan juga emosi, ia takut setelah ini hidupnya tidak semulus seperti yang telah ia harapkan selama ini.
Menikah adalah hal yang sakral, setiap orang berharap itu hanya akan terjadi sekali dalam seumur hidup, begitupun dengan Risa, tapi pernikahan yang semacam ini, apakah akan baik-baik saja?
Keluhan demi keluhan tak bersuara yang terucap dari dalam hatinya menjadi wadah dari semua rasa yang saat ini menyelimuti diri gadis itu.
"Risa, kamu baik-baik aja kan?" Tanya Aro. Pria itu masuk ke dalam kamar adiknya, ia menutup pintu kamar itu, lalu berjalan mendekati Risa.
"Apa aku kelihatan seperti orang yang akan baik-baik aja setelah dipaksa nikah sama orangtua dan sama sekali gak bisa nolak?"
"Maafin kakak ya, kalau aja anak om Henry itu perempuan, seharusnya kakak yang ada di posisi kamu sekarang." Ucap Aro.
"Ini bukan salah kakak kok. Semua ini salah mereka yang udah buat perjanjian kuno kayak gini." Kata Risa.
"Tapi Risa, coba kamu ambil sisi positifnya, mungkin ini yang terbaik buat kamu." Ujar Aro.
Risa tersenyum masam menanggapi ucapan kakaknya itu.
"Sisi positif? Dari segi mana yang kelihatan positif? Kalau kakak ada di posisi aku, kakak bakal tau apa yang Risa rasain saat ini." Kata Risa.
Aro tampak menghela nafasnya, ia tidak mampu menjawab perkataan Risa yang skakmat baginya.
Kedua kakak beradik kandung itu kemudian diam dalam keheningan. Sampai akhirnya, suara pintu terbuka memecah keheningan yang terjadi di dalam kamar itu.
"Risa — eh Aro, kamu juga ada disini. Ayo kalian berdua cepet dateng ke ruang makan, mereka udah dateng." Ujar Dewi, ibu dari dua bersaudara itu. Setelah menyampaikan hal itu, Ia kemudian pergi dan kembali menutup pintu kamar.
"Ayo." Ajak Aro sembari mengulurkan tangannya.
Risa diam tak bergerak, ia menatap uluran tangan dari kakaknya itu cukup lama. Aro dengan sabar menunggu Risa menyambut uluran tangannya itu.
"Kak, bisa tolong bantu Risa kabur dari rumah gak? Risa beneran gak mau di paksa nikah." Tanya Risa, tatapannya beralih pada Aro.
"Maaf Risa, kakak—"
"Gak bisa? Ya udahlah, lupain aja." Ucap Risa, menyela jawaban dari kakaknya.
Gadis itu kemudian meraih uluran tangan dari sang kakak, Aro tersenyum melihatnya.
Mereka berjalan beriringan meninggalkan kamar Risa menuju ruang makan.
Saat memasuki area ruang makan, Risa terus menundukkan kepalanya, detak jantungnya berpacu cepat seperti sedang terpancing adrenalin.
"Ada kakak disini, jangan takut." Bisik kakaknya sembari menggenggam erat tangan sang adik, memberikan dukungan mental pada diri Risa.
"Risa?" Sebuah suara memecah kesenyapan yang terjadi, suara maskulin itu membuat Risa mendongakkan kepalanya, memastikan jika apa yang terlintas di pikirannya harus salah.
Tapi ternyata dugaannya benar, suara familiar yang sangat di bencinya, itu adalah suara Juna, mantan kekasihnya, pria pertama yang berani mencampakkan dirinya dengan alasan sudah bosan dengannya.
Risa membelalakkan matanya, menatap tajam ke arah orang yang paling di bencinya di muka bumi ini.
"Hiperseksual?! Ngapain kamu ada disini? Kamu kok bisa masuk ke rumahku?" Tanya Risa dengan perasaan yang sudah dipenuhi emosi.
"Hip—hiper—seksual?" Aro terdengar mengulangi salah satu kata yang Risa ucapkan, sebuah kata yang membuat semua orang di ruangan itu menatap Juna dan Risa secara bergantian.
Juna yang mendapat tatapan itu merasa canggung, ia menatap Risa tajam, pria itu bahkan terdengar mendesis kesal ke arahnya.
"Kamu ngomong apa sih sa? Semua orang bisa salah paham loh sama kata-kata kamu tadi." Ujar Juna dengan senyum yang dipaksakan.
"Salah paham? Kenapa harus salah paham? Itu kan memang fakta." Balas Risa.
"Tunggu dulu, apa maksudnya ini? Kalian— kalian sudah saling kenal?" Tanya Fero, ayah Risa.
"Iya om, kami—"
"Dia kakak kelas Risa waktu Risa SMA pa." Sela Risa, ia tidak ingin Juna mengatakan jika mereka pernah berpacaran sebelumnya.
"Serius? Kenapa kamu enggak cerita sama mama?" Tanya ibunya.
"Kenapa Risa harus cerita? Lagian mana Risa tau kalau mama kenal sama dia." Jawab Risa.
"Sebenarnya kami—"
"Aduh! Kenapa enggak ada yang makan sih? Ayo cepat di makan makanannya, nanti kalau udah dingin enggak enak loh. Ayo dong di makan." Ujar Risa, gadis itu kembali menyela perkataan dari Juna, membuat pria itu tersenyum menyeringai ke arahnya.
Risa berjalan cepat ke arah meja makan, ia mengambil posisi duduk disamping ibunya, yang artinya ia duduk berhadapan dengan Juna.
"Risa, makannya pelan-pelan, jaga sikap kamu didepan calon suami sama calon mertua kamu dong." Bisik ibunya ketika melihat putrinya itu menyantap makanan dengan terburu-buru.
"Dulu kami pernah pacaran." Ucap Juna dengan sekali tarikan nafas.
Ucapan dari Juna itu membuat Risa tersedak, gadis itu benar-benar dibuat terkejut dengan apa yang baru saja Juna katakan.
Risa sampai terbatuk-batuk, tenggorokan dan hidungnya terasa pedas dan perih. Gadis itu terlihat memukul-mukul dadanya pelan sembari mencari air minum yang ada di meja makan itu.
"Ini." Juna menyodorkan padanya segelas air mineral, tanpa pikir panjang, gadis itu langsung menerimanya dan meneguknya habis.
Risa menghembuskan nafas leganya ketika tenggorokannya terasa lebih baik dari sebelumnya.
"Apa itu benar Risa?" Tanya Dewi, ibu Risa. Wanita paruh baya itu bertanya tentang ucapan Juna tadi.
Risa menoleh, menatap ibunya,
"Itu— aku sama dia emang pernah deket, tapi cuma deket aja dan enggak pacaran, beneran kok, cuma deket aja, dia aja yang asal bicara gitu." Jawab Risa.
"Kalau gitu bagus dong ris, kamu sama dia udah saling kenal dan pernah deket, mungkin kalian emang berjodoh." Ujar Aro, pria itu duduk di samping kanan Risa.
"Eh tunggu dulu, jangan bilang— kalau dia, dia— apa dia orang yang mau dijodohin sama aku?" Tanya Risa, gadis itu menatap ayahnya dengan jari telunjuk yang mengarah pada Juna.
"Emang kamu pikir mau di nikahin sama siapa? Om Henry? Ya gak mungkin lah." Ujar ayah Risa dengan candaan yang di sambut tawa oleh paman Henry dan yang lainnya.
"Nikah sama om Henry juga kayaknya lebih baik daripada nikah sama dia." Ucap Risa, membuat semua orang yang ada di sana menghentikan tawa mereka.
"Jangan asal ngomong, kamu mau nikah sama om-om?" Bisik Aro pada adiknya itu.
"Kenapa? Emang salah ya? Lagian kalau aku nikah sama om Henry, berarti aku bakal jadi ibu tirinya, terus— " Kata Risa sembari membayangkan ketika dirinya menjadi ibu tiri yang jahat untuk Juna.
Tapi kemudian, khayalannya yang terasa menyenangkan hatinya itu terpecah ketika suara tepuk tangan disertai tawa dari paman Henry terdengar.
"Selera humornya sangat bagus." Ujar Henry, pria paruh baya itu tampak mengakhiri tawanya dengan menyeka sudut matanya yang terasa berair.
"Gimanapun juga, om senang kamu dan Juna ternyata udah saling kenal bahkan pernah saling dekat. Itu artinya, kalian cuma perlu lebih dekat lagi dan saling membuka hati masing-masing." Ujar paman Henry.
"Kalau begitu, ayo bersulang untuk peresmian pertunangan mereka." Kata Fero, ayah Risa.
Suara dentingan dari gelas-gelas yang diangkat dan saling bertabrakan pelan itu mengawali hari suram bagi Risa.
"Apa ini risa yang masak? Kamu gak sia-sia loh sekolah jurusan tata boga, ini beneran enak, cocok sama lidah om." Ucap paman Henry.
Risa hanya tersenyum dan mengangguk menanggapinya.
"Juna kayaknya juga suka sama masakan Risa." Kata ibu Risa.
"Eh, iya tante, ini soalnya masakan Risa emang enak." Ujar Juna sembari mengedipkan sebelah matanya ke-arah Risa yang tengah menatapnya.
Risa memalingkan wajahnya dari Juna, gadis itu terdengar mendengus kesal dengan tingkah mantan pacarnya itu.
•••
Selesai makan malam, kedua keluarga itu tampak duduk dan mengobrol bersama di ruang tamu, memulai pembicaraan serius tentang pernikahan kedua anak mereka.
"Gimana kalau dua minggu lagi?" Saran dari ayah Risa.
"Kecepetan pa, jangan dua minggu." Keluh Risa.
"Lebih cepat kan lebih baik, gak perlu di tunda terlalu lama." Ujar ibu Risa.
"Iya bener, dua minggu lagi juga gak masalah, lebih cepat juga lebih baik." Kata Henry, ayah Juna.
"Kalau gitu, udah deal ya, dua minggu lagi mereka menikah." Ucap ayah Risa, Fero.
Risa menghela nafasnya lesu, ia melirik ke arah Juna yang sejak tadi hanya memasang ekspresi datar, pria itu tampak tenang, sama sekali tidak berniat untuk mengeluh atau memprotes perjodohan mereka, membuat Risa merasa semakin kesal karenanya.
Dari semua laki-laki yang ada di dunia ini, kenapa aku harus nikah sama dia? Kenapa harus dia yang di jodohin sama aku?! Dia itu bahkan enggak bisa setia, dia juga enggak pernah ngehormatin perasaan wanita. Laki-laki sejenis dia itu seharusnya enggak usah lahir di dunia ini, nyebelin, ah suram sudah masa depanku punya suami kayak dia. — Keluh Risa dalam hatinya.
💐 thanks for reading this novel. don't forget to favorite, like, comment and vote.💐
✍ Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada persamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian ataupun peristiwa yang terjadi.✍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
LaVoiser
lanjutin thor
2022-01-24
0
Kim Taehyung V
kelanjutan dari cerita nya mana?.....
2020-10-05
0
Ani
smoga slalu bgus ceritax ya Thor
2020-09-12
0