“Sa.” panggil Juna dengan mata yang belum teralihkan dari lembaran kertas itu.
“Hm, apa?” tanya Risa yang terlihat sedang menikmati kopi capuccino latte-nya.
“Kamu udah enggak waras ya? Udah hilang akal ya? Masa kita udah nikah tapi harus pisah tempat tidur? terus apa ini?! Aku enggak boleh nyentuh kamu walau seujung rambut pun?! Bener-bener kamu ya. Pokoknya enggak, aku enggak setuju.” kata Juna yang sedang mengajukan protesnya pada si pembuat surat perjanjian.
Risa menghela nafasnya, ia meletakkan gelas kopi yang dipegangnya itu ke atas meja kembali.
“Enggak waras? Hilang akal? Kamu kalau bicara jangan sembarang, kamu pikir aku enggak berani nampar mulut kamu yang kurang aja itu hah?! Lagian itu poin yang paling perfect untuk kita berdua, sama-sama menguntungkan.” ujar Risa sembari menunjuk ke arah lembaran kertas yang masih di pegang oleh Juna.
“Terserah kamu mau bilang apa, pokoknya aku enggak setuju, titik. Udah, aku mau pergi, enggak ada waktu buat bahas hal yang enggak penting kayak gini. Satu lagi, berapa kalipun kamu suruh aku buat tanda tangani surat perjanjian yang enggak menguntungkan buat aku, aku bakal terus nolak.” kata Juna yang kemudian langsung meneguk habis kopi capuccino latte-nya. Setelah itu, ia tampak berdiri dari kursinya.
“Eh tunggu dulu, kamu mau kemana?” tanya Risa ketika dilihatnya Juna yang tampak berdiri seperti mau pergi.
“Pikun ya?! Tadi kan aku udah bilang kalau aku enggak ada waktu buat ladenin kamu bahas beginian. Aku ada jadwal operasi sebentar lagi.” jawab Juna.
“Eh! Tanda tangan dulu!” kata Risa, ia menahan lengan Juna yang sudah ingin melangkah pergi dari meja.
“Aku enggak setuju sama isi surat perjanjian itu. Lagian ngapain sih nikah pakai surat perjanjian segala, nikah ya tinggal nikah aja, ribet banget jadi orang. Cepet lepasin atau kamu emang kangen sama aku, jadi enggak mau aku tinggal ya?” ujar Juna, sengaja berkata seperti itu agar Risa menyerah dan membiarkannya pergi.
“Tapi ini penting, kamu tandangani dulu dong sebelum pergi.” pinta Risa.
“Enggak, aku enggak mau. Isinya itu kebanyakan merugikan aku. Apaan enggak boleh nyentuh kamu padahal kamu itu istri aku. Pokoknya aku enggak setuju. Lepas!” kata Juna sembari menyentak tangan Risa yang masih memegangi tangannya.
Setelah itu, Juna pergi dari cafe. Tapi sebelum pergi, Juna tampak berjalan ke bagian kasir untuk membayar bon terlebih dahulu.
“Sss... pria sialan itu.” desis Risa dengan tangan kiri yang mengelus tangan kanannya. Sentakan dari Juna tadi lumayan keras, karenanya, tangan kanan Risa sampai terbentur meja cafe.
Risa mendengus kesal, kemudian beralih pada surat perjanjian yang ia buat. Namun tiba-tiba matanya membulat ketika melihat kondisi surat perjanjian itu sudah tidak lagi utuh.
“Juna! Awas kau! Sialan! Haaaa— surat perjanjianku yang berharga~” rengeknya.
Lembar-lembar surat perjanjian itu kini sudah tidak utuh lagi, mereka sudah menjadi lembaran kecil yang butuh kesabaran besar kalau ingin menyatukannya kembali.
“Sejak kapan pria sialan itu ngemutilasi surat perjanjian jadi kayak gini? Kok aku enggak sadar sama sekali sih. Ah Risa bodoh banget matanya.” gumamnya.
Kemudian, jari-jari lentik tangan Risa itu mulai memungut satu-persatu sobekan kertas tersebut. Sepertinya ia memang berniat menyatukannya kembali atau mungkin hanya merapikannya saja? Siapa yang tahu.
Intinya, Risa tetap akan meminta Juna untuk setuju dan menandatangani surat perjanjian nikah dengannya. Karena dengan surat perjanjian pernikahan itu dirinya baru bisa aman dan terbebas dari bayang-bayang masa depan yang suram.
•••
Juna melangkah cepat, ia bahkan terlihat sesekali berlari kecil agar dirinya segera sampai di bagian ruang operasi.
“Doker Juna.” panggil seorang perawat dari bagian unit gawat darurat.
Juna pun menoleh mendengar namanya dipanggil, ia terpaksa berhenti melangkahkan kakinya, berdiri di tempatnya menunggu si perawat perempuan itu datang ke arahnya.
“Ada apa? Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan. Aku sedang terburu-buru karena sebentar lagi aku ada operasi VIP.” ujar Juna, sedikit dengan nada tidak sabarnya.
“Ah, kalau begitu nanti saja. Setelah kamu operasi, baru aku ngomong. Ayo kita ketemuan di tempat biasa kita ketemu waktu masih pacaran. Aku bakal tunggu kamu di sana sampai kamu datang.” ujarnya.
Juna menghela nafasnya,
“Terserah kamu, tapi aku enggak janji kalau aku bakalan dateng. Lagian, kita ini udah putus, enggak ada hak buat kamu ngajak aku ketemu. Permisi.” kata Juna, ia langsung pergi setelah mengatakan kata-kata yang menyakitkan bagi perawat itu.
“Juna.” panggil perawat itu lirih.
“Ck, masih belum nyerah juga ya? Kamu itu sudah putus sama dia satu tahun yang lalu, tapi sampai sekarang masih belum bisa move on juga. Lagian ya, Juna itu sekarang sudah pacaran sama dokter bagian spesialis kandungan, Dokter Elia. Kamu belum denger gosipnya?” kata seorang perempuan dengan wajah angkuhnya. Perempuan itu memakai baju dokter dengan id card bagian unit gawat darurat.
Perawat yang memiliki nama Clara itu pun mendengus, ia menatap kesal dokter wanita di hadapannya.
“Dokter Luna, bukannya kamu itu juga belum bisa move on sama Dokter Juna. Kalau kamu sendiri saja susah move on, kenapa harus susah-susah nasihati orang lain? Ah, satu lagi, aku enggak peduli Dokter Juna udah punya pacar baru atau belum, intinya selama aku masih hidup, aku enggak bakal nyerah buat balikan sama dia. Bye.” ucap perawat Clara.
Setelah mengatakan kalimat panjang berisikan sindiran juga kepercayaan dirinya itu, Clara langsung pergi dari hadapan Luna.
Sedangkan Luna, ia hanya mendecih kepada Clara yang telah pergi. Kemudian, ia menatap ke arah dimana Juna telah lenyap dalam pandangan matanya.
•••
“Juna, akhirnya kamu datang juga. Senior barusan suruh aku nyariin kamu, kamu itu dari mana saja sih? Udah tahu bakal jadi assistennya senior Leo di operasi ini, tapi masih saja keluyuran tanpa tahu waktu. Ayo cepetan ganti pakaianmu itu, terus siap-siap masuk ruang operasi.” kata seorang dokter anastesi, dia teman baik Juna, Yoga.
“Senior sudah ada di dalam?” tanya Juna sembari bergegas melakukan hand scrubbing, gowning, dan hand-gloving sesuai standar operasional prosedur.
“Sudah, belum lama tadi baru dateng.” jawab Yoga yang juga sedang melakukan tindakan hand scrubbing, gowning, dan hand-gloving sebelum masuk ke ruang operasi.
“Aku duluan.” ucap Juna dengan tangan terangkat di depan dada, ia masuk ke dalam ruang operasi.
“Baru datang?” tanya senior Leo yang menatapnya dengan raut wajah seperti biasa, sinis.
“Iya.” jawab Juna singkat, pria itu saat ini sedang menggosokkan kedua telapak tangannya yang sudah diberi alkohol sembilan puluh enam persen.
Lalu kemudian, ia mulai memakai jubah operasinya yang dipakaikan oleh perawat pembantu.
“Iya katamu?! Juna, kamu itu sedang meremehkan operasi ini ya?!” ujar seniornya, Leo.
“Tidak.” jawab Juna. Setelah memakai jubah operasinya, ia kemudian berjalan ke arah meja operasi.
“Bocah sialan ini. Operasi single bypass jantung memang bukan sesuatu yang super rumit. Tapi tetap saja, kamu enggak bisa meremehkannya.” ujar Leo.
“Hm, aku tahu.” ucap Juna yang sudah berdiri di samping Leo, siap menjadi assisten seniornya selama operasi ini.
“Kamu dengerin senior kamu ini ngomong enggak sih Jun?” tanya Leo, merasa kesal dengan sikap Juna yang semakin hari, semakin menjengkelkan baginya.
“Aku enggak tuli. Tapi senior, kalau senior terus-terusan ceramahin aku, kita kapan mulai operasinya? Kalau kayak gini bukannya senior yang buang-buang waktu? Senior, bukankah kita ini harus serius pas udah masuk ke ruang operasi? Masalah pribadi seperti senior yang ingin menceramahiku itu, seharusnya di bahas nanti saja.” ujar Juna, membuat Leo sadar dengan dirinya yang kini tengah berada di ruang operasi.
Pria bernama Leo itu kemudian menatap sekelilingnya, tampak semua orang sudah siap dan sejak tadi menunggu aba-aba darinya sebagai dokter utama dalam operasi ini.
“Bocah sialan.” umpat Leo.
Juna tersenyum menyeringai di balik masker operasinya. Dirinya sudah sangat terbiasa dengan sikap seniornya yang satu ini. Pasalnya, Leo memang suka sekali mencari kesalahan Juna, seniornya itu seakan-akan selalu ingin memarahi Juna setiap detik.
“Yoga, mulai anastesinya.” ucap Leo pada Yoga yang sejak tadi sudah siap di posisinya, bagian anastesi.
“Siap.” jawab Yoga, pria berusia dua puluh lima tahun itu tampak mulai melakukan anestesi pada pasien yang terbaring di meja operasi.
•••
Risa melangkahkan kakinya dengan diiringi dengusan kesal.
Sepanjang kakinya melangkah, ia terlihat menekuk wajahnya sedemikian rupa. Orang-orang yang melihatnya pun merasa kalau Risa itu seperti seorang gadis yang baru saja di tolak, di tolak bekerja contohnya.
Bagaimana caraku biar laki-laki sialan itu mau tanda tangan ya? Aish, lagian kenapa sih yang enggak dia setujui itu malah poin yang paling aku setujui?! Kan nyebelin. Masa iya, nanti kalau udah nikah tidur sekamar, terus, terus— ah! Enggak bisa mikirnya, bener-bener harus cari cara biar dia tanda tangan, dengan begitu, aku baru bisa tenang.
💥 thanks for reading this novel. don't forget to favorite, like, comment and vote.💥
✍ Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada persamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian ataupun peristiwa yang terjadi.✍*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Keroppi
harusnya chef juna dan dokter risa😅
2021-05-10
0
Naoki Miki
haii mampir yuk ke krya q 'Rasa yang tak lagi sama'
cuss bacaa jan lupa tonggalkan jejaak🤗
tkn prfil q ajaa yaa😍
vielen danke😘
2020-10-20
0
Virgo Girl
Ampyunnnn deh.... mantan nya Juna berceceran dimana-mana....😠😠
2020-10-11
2