chapter 5

Untuk kesekian kalinya Ichihiro membubuhkan tanda tangannya pada map-map yang tadi di serahkan sekretarisnya dari berbagai departemen. Sekalipun telah memiliki sekertaris tak membuat Ichihiro menurunkan kewaspadaan. Karenanya Ichihiro selalu meninjau ulang hasil kerja dari sang sekertaris sebelum benar-benar menandatangani agar di kemudian hari tak timbul kesalahan yang merepotkan akibat keteledorannya. Namun tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Mulutnya terkatup. Bibirnya membentuk segaris lurus. Ichihiro mengangkat wajahnya. Dia letakkan bulpoinnya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya. Di putarnya kursi tersebut hingga membuatnya menghadap ke jendela yang memajang angkuh di ruangannya. Pria itu menopang rahangnya dengan telapak tangan tertutup.

Angannya melanglang untuk sejenak. Teringat kejadian beberapa hari lalu berikut mimpi yang menghampirinya terakhiran ini membuat Ichihiro mengeryit dahi kemudian menghela napas terdengar berat.

Dia menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, Ichihiro pun memutuskan beranjak dari kursi kebesarannya kemudian. Hari ini ada meeting penting. Kalau sampai dia absen lagi, adiknya bisa tambah ngamuk padanya seperti beberapa hari lalu cuma karena dia alpa sebelumnya. Terdengar lucu memang. Ini siapa bosnya siapa yang di marah coba. Tapi ya sudahlah. Ichihiro tak terlalu ambil pusing akan sikap Adiknya. Shinji memang sering begitu kalau padanya suka meledak-ledak tidak jelas. Padahal dulu dia manis sekali padanya sewaktu kecil.

Rapat dengan dewan direksi dan wakil Ceo ShG corp selesai dua jam kemudian. Ichihiro membereskan berkas pentingnya. Kini di ruangan itu hanya tersisa dirinya dan Seiya seorang.

"Kau tidak pulang?"

"Nanti" sahut Ichihiro tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya. "Kau duluan saja" sambungnya.

Seiya menghela napas. "Jangan lembur-lemburan loh, pokoknya kau harus pulang"

"Hn"

"Di kasih tau juga"

Ichihiro mengangkat pandangan kemudian membagi senyum manis. "Aye Mom"

Seiya mendengus dan sebuah gulungan kertas pun menepuk pelan kepala Ichihiro sebelum Seiya beranjak keluar ruangan meninggalkan Ichihiro seorang di ruang rapat. Ichihiro terkekeh, senang akan aksinya yang selalu bisa membungkam Seiya jika sudah mode bawel.

Ichihiro melirik arlojinya yang menunjukkan waktu sore. Ichihiro memandang luar dari jendela gedung yang kini tengah menampakkan cakrawala sewarna biru bercampur jingga, merah dan bergaris-garis merah muda. Ditambah kwakkan burung gagak menambah nilai keeksotisme sore hari ini. Terasa syahdu memang namun juga tersimpan mistis secara bersamaan. Misterius. Sama seperti hidup. Ichihiro kemudian beranjak dengan berkas penting di tangan kirinya.

****

Di trotoar sepi di senja hari itu perempuan beriris bola biru dengan surai emasnya yang di ikat lemas nampak berjalan lesu.

Sekarang apa yang harus kulakukan?

Seminggu sejak kejadian itu. Nanami memang tidak pernah kembali lagi ke Mizu's Club. Dia mendapat uang lebih dari pria tampan kaya raya yang baik hati. Ichihiro. Tak sekalipun Nanami melupakan pria itu. Selain sedikitnya orang-orang yang memang berinteraksi dengannya hingga membuatnya mudah mengingat. Bagaimana mungkin Nanami melupakan Ichihiro. Pria penolong sekaligus seseorang yang telah membuat persoalan hidupnya kian bertambah pelik saja. Meski begitu setidaknya Nanami masih bersyukur berkat sejumlah uang pemberian Ichihiro, dia bisa melunasi tunggakan sewa flatnya selama 3 bulan dan membantu biaya pendidikannya. Bahkan uang itu masih bisa untuknya makan sampai hari ini.

Namun kini masalahnya uang itu sudah semakin menipis. Upah dari kerja part timennya yang tak seberapa masihlah kurang untuk kebutuhan sehari-hari dan kuliahnya yang seakan membengkak. Padahal dia sudah berhemat sekali selama ini. Mengingat semua itu Nanami bertambah suram. Kedua bahunya turun ke bawah. Dia sudah tidak tahu di mana lagi harus mencari tambahan uang tanpa harus menjual diri untuk menyambung hidup dan pendidikannya kedepannya. Tinggal beberapa bulan lagi tapi rasanya sulit sekali. Biaya pendidikan kuliahan memang sangat mencekik pelajar dari kalangan bawah sepertinya.

Nanami tersenyum sedih. Ibu maaf, mungkin aku tak bisa memenuhi janjiku pada ibu.

Nanami ingat akan janjinya pada ibunya dengan mengatakan akan menempuh pendidikan sampai jenjang yang tinggi untuk membanggakan Ibu yang di sayanginya. Dengan harapan agar hidupnya nantinya lebih baik di kemudian hari. Namun nyatanya, dia tidak sanggup. Hidup tanpa orang tua memang sulit. Terlebih tidak memiliki kerabat dan sanak saudara. Untuk kuliah sekarang saja, Nanami harus ambil rehat beberapa tahun setelah kelulusannya dari menengah atas barulah bisa ambil kuliah. Semua itu Nanami lakukan untuk mengumpulkan biaya pendidikannya terlebih dulu. Tapi tetap saja biaya yang terkumpul masih kurang untuk meluluskannya tanpa hambatan.

Nanami memang hanya mengambil dua tahun untuk kuliahnya. Berharap nantinya mungkin lebih mudah untuk mencari pekerjaan dengan gaji lumayan jika mempunyai sertifikat pendidikan perkuliahan.

Nanami mendesah. Kepalanya terangkat. Netranya bisa menangkap langit yang tadi sewarna merah kejinggaan sudah merangkak gelap. Ah bahkan dia lupa kalau sebentar lagi saja malam akan datang.

Aku harus ke mana? Bingung perempuan itu karena sekarang sudah tidak ada tempatnya untuk berteduh. Ibu pemilik flat memilih mengusirnya karena ada orang yang membeli flat yang di tempatinya dengan harga tinggi. Jadi berakhirlah dia harus angkat kaki.

"Ibu, apa sudah tidak ada lagi kebahagiaan untukku? Kenapa aku harus hidup, jika hanya untuk terus menderita begini. Kenapa tidak kau ajak saja aku bersamamu dulu, Ibu? Mungkin itu yang terbaik, dan aku bisa berkumpul bersama Ayah juga," monolognya sedih. Air matanya jatuh yang dengan cepat di sekanya. Gadis itu mendesah begitu berat. Bahkan kepalanya terasa pening.

Meow

"Kasian banget," Nanami menghampiri seekor kucing liar di pinggir trotoar.

"Tubuhmu kurus sekali. Apa kau belum makan...," Di usapnya bulu hitam yang kusam milik si kucing dengan sayang. "Sebentar sepertinya aku punya sesuatu," Nanami bergerak mengambil bungkusan dari dalam tasnya.

"Ini makanlah,"

Kucing yang memiliki iris sewarna hijau itu sempat mengendus roti bantal yang di sodorkan Nanami kemudian barulah mulai memakannya.

"Makanlah yang banyak," Nanami memperhatikan si kucing yang masih setia makan. Gadis itu kembali membelai bulu si kucing.

"Tubuhmu kenapa bisa kurus begini. Seperti aku saja," mirisnya.

"Hei Kuro, apa kau juga sama tak memiliki kerabat sepertiku," dan pertanyaan Nanami hanya berbuah eyongan dari si kucing.

"Selamat tinggal, aku pergi dulu ya."

Meow

"Hei kau jangan mengikutiku. Aku tak yakin punya makanan yang bisa aku bagi lagi denganmu. Jadi kau hanya akan semakin kurus jika bersamaku," sendu Nanami. Seakan mengerti kucing itu berhenti mengikuti Nanami kemudian mengeong dengan suara yang terdengar sedih. Nanami melangkah meninggalkannya tapi sebuah mobil yang melintas begitu cepat mengagetkan Nanami hingga berbalik cepat di langkahnya yang belum begitu jauh.

"Kuro-channn," seru Nanami dengan mata terbeliak ketika menyaksikan kucing yang baru saja di tolongnya kini justru mati terlindas mobil. Gadis itu berlari cepat menghampiri.

"Kuro....," Bibir Nanami bergetar ketika melihat tubuh organ dalam si kucing terburai di aspal. Air mata Nanami pun turun.

"Kuro....maafkan aku, seandainya tadi aku tidak menolakmu, seandainya tadi aku bersikeras memungutmu, kau pasti tidak akan berakhir begini," gumamnya sedih. Ada rasa sesal di hatinya. Menahan rasa mualnya akan darah kental yang berceceran, Nanami mencoba mengumpulkan tubuh si kucing. Kemudian membawanya ke pinggir jalan yang bertanah untuk mengebumikan si kucing. Susah payah Nanami membuat lubang dengan hanya seranting dahan.

"Maaf....," Nanami menggumam lagi sebelum memasukkan si kucing ke dalam lubang yang sudah di buatnya sebelum menutupnya dengan rapat sampai bergunduk kemudian memberi tanda ranting dibagian atas. Nanami juga mendoakan si kucing tak lupa menabur bebungaan gugur yang di jumpainya keatas gundukan tanahnya. Setelah semua itu Nanami masih diam disana. Dia masih sedih dan begitu menyayangkan si pengendara tak bertanggungjawab itu. Padahal mitos mengatakan jikalau menabrak kucing haruslah di urusnya dengan layak atau kalau tidak maka keapesan akan menyertai hidup mereka. Walau orang itu keterlaluan, Nanami berharap perbuatannya bisa menebus ganti pertanggungjawaban si penabrak terhadap sang kucing.

Selesainya dengan sang kucing Nanami kembali melanjutkan perjalanannya yang entah akan kemana. Dia hanya mengikuti langkah kaki membawa. Nanami semakin lesu. Rambutnya yang terikat asal terus bergoyang setiap kali ada kendaraan yang melintas di jalanan raya. Memang cukup jarang yang lewat. Hanya saja jikalau ada mereka pasti akan melaju begitu kencang. Nanami mengalihkan pandangannya ke jalan raya besar disisi kanannya.

"Ibu...haruskah aku akhiri hidupku sekarang...seperti kucing tadi."

Nanami tersenyum tapi air mata itu mengalir menganak sungai menuruni pipi tirusnya. Tatapannya tiba-tiba kosong. Wanita itu berjalan menuju jalan raya. Ingin menemui takdirnya, persis seperti sang kucing. "....maafkan aku yang menyerah ini, Ibu. Aku datang."

"Tangkap dia!"

Nanami tersentak dan praktis menghentikan langkah. Membiarkan lajur mobil yang lewat menghempas kasar dirinya dari sisi dan menerbangkan rok bahannya sejenak. Gadis itu menoleh saat telinganya mendengar suara yang sedikitnya pernah di kenali inderanya.

Matanya membola melihat bagaimana wanita bersurai merah bersama beberapa pria berpakaian serba hitam berlari ke arahnya dengan tampang tak mengenakkan. Dia tahu betul siapa wanita itu. Karena itu segera saja perempuan itu berlari kabur. Dia tidak boleh sampai tertangkap yang pada akhirnya berakhir di tempat terkutuk itu lagi. Tidak. Dia tidak mau hal itu terjadi lagi. Sembari berlari menyeret kopernya, Nanami terus berdoa agar dirinya tidak sampai tertangkap. Batinnya menjerit meneriakinya untuk menambah laju larinya. Namun kakinya yang sudah lelah seakan kehilangan tenaga hingga membuatnya tak mampu berlari lagi. Sampai akhirnya dirinya tertangkap.

"Lepaskan aku." Nanami meronta keras berusaha melepaskan diri dan membuat perlawanan semampunya namun hasilnya percuma hingga sebuah pukulan pun di terimanya membuat perempuan itu terdiam di ambang batas kesadarannya dengan rasa sakit mendera tengkuknya.

"Menyusahkan! Bawa dia," dan hal terakhir yang di lihatnya adalah wanita berambut merah yang terlihat samar tertangkap retinanya tengah memberi perintah. Setelahnya Nanami tak bisa merasakan apapun lagi. Matanya terpejam dan tubuhnya meringan seketika.

Byurrrrr

Kepala Nanami yang tadi tertunduk layu terangkat pelan. Mata itu mengedip ketika merasakan dingin mengguyurnya. Dia tidak tahu tempatnya berada kini. Saat sadar setelah guyuran air dia sudah dalam posisi terikat dengan mulut di lakban. Gadis itu menggulirkan bola matanya dan hanya menemukan keremangan di ruangan kotor yang di tempatinya sejauh mata memandang. Mungkin ini gudang. Matanya kembali bergerak hingga kini dia menangkap jelas wanita pemilik bar yang menculiknya mulai mendekat dan akhirnya berdiri tepat di hadapannya. Bibir itu memang tersenyum tapi mata itu mengatakan hal sebaliknya. Di belakang si wanita para bodyguardnya yang bertubuh tegap menyertai.

"Selamat datang kembali manis," Mei merekahkan senyum.

"HUMPTTT," Nanami berontak di kursi ikatnya. Melihatnya saja Nanami tahu ada racun di balik nada manisnya. Nanami takut. Matanya juga perih, air garam yang tadi menyertai air dingin memasuki retinanya hingga membuat Nanami menurunkan air mata. Pandangannya pun sedikit buram.

Mei membungkuk. Telunjuk lentiknya menyusuri garis wajah Nanami. Nanami bergidik ngeri.

"Koneko-chan ini nakal sekali ternyata. Apa kau tau seekor Koneko tak boleh jauh dari induknya. Kenapa kau meninggalkan Mama, hem," Mei memasang wajah terluka dan sedih. Nanami makin merinding di buatnya. Dengan sekali sentakan Mei melepas lakban di mulut Nanami hingga meninggalkan rasa perih pada pipi gadis itu. Nanami memekik kecil tapi tak berani mengeluh.

"Karena kau sudah mengkhawatirkan Mama, kamu harus Mama hukum loh," Nanami meringis ketika Mei berganti mencengkram erat rahangnya. Tidak ada lagi senyum dari Mei. Yang ada hanya kilat kemarahan.

"Maaf...to-tolong maafkan saya Mama...sa-saya...," Nanami terisak.

"Saya...saya tidak mau berkerja lagi Mama...saya...saya mengundurkan diri. Ampuni saya, tolong lepaskan saya Mama"

Mei tersenyum singkat.

"Setelah kau membawa kabur uangku. Kau pikir aku akan melepasmu begitu saja hem...koneko -chan," Nanami terbeliak. Dari mana Mei tahu sejumlah uang yang dia terima dari Ichihiro.

"Dari pada itu kau tau bukan, resiko seseorang yang sudah masuk ke sini, hem~ Seseorang yang sudah masuk tidak akan mudah untuk keluar sayang~. Dan kau juga tahu hukuman apa yang akan di terima jika sampai berani kabur dari tempatku, bukan?" ucapnya sing a song yang terdengar mengerikan di telinga Nanami.

Nanami hanya mampu membeku. Air mukanya menampilkan kengerian yang sangat. Kali ini tamatlah sudah riwayatnya.

"Nah sekarang pilih, Koneko-chan~ mana yang harus aku gunakan untuk menghukummu?" bibir merahnya merekah senyum. Namun matanya menyipit tajam. Nanami menahan napas. Tubuhnya membeku ketakutan.

"Kau tidak mau pilih? Baiklah, aku yang akan memilihnya."

Mata Nanami melebar menatap benda yang sedang di mainkan oleh wanita pemilik bar di depannya. Di detik berikutnya Nanami hanya mampu menjerit saat benda tersebut mendarat telak ke bagian tubuhnya. Jeritan memilukan yang menyayat bagi sesiapapun yang mendengarnya.

****

Untuk kali ke empat Ichihiro membawa laju mobilnya ke tempat yang sama. Rasa ragu menyambanginya untuk masuk kini. Ichihiro mengetukkan jemari panjangnya di roda setir. Pikirannya bergelut hanya untuk memantapkan diri. Dan sudah 30 menit lamanya disana, Ichihiro tetap masih dengan pandangan sama yakni hanya menatapi plang yang di soroti lampu remang tanpa melakukan apapun.

Seperti orang bodoh, Ichihiro mendengus akan tingkahnya. Tangannya yang sudah berada pada persneling terlihat gusar, Ichihiro berniat melajukan mobilnya dan menunda niatnya tapi terurung lagi kemudian.

"Memastikan, ya, hanya memastikan, setelah itu kau bisa pulang karena dia baik-baik saja," ucapnya mengsugesti diri.

"Harus masuk" perintahnya lagi memantapkan awal tujuannya. Dia meragu sebab tak menemui apa yang di carinya waktu lalu dari kunjungan sebelum-sebelumnya. Tapi tidak ada salahnya mencoba lagi, berharap kali ini membuahkan hasil. Pria itupun keluar dari mobilnya. Berjalan mantap memasuki gedung berplang Mizu's Club.

"Hei tampan mau aku temani" tawar wanita pekerja malam itu menghadang langkah si lelaki berkemeja ungu itu.

"Sombongnya" kecewa wanita itu akan acuhan si pria yang berlalu begitu saja. Wanita itu mengupat kasar, rasanya kesal sekali karena tak pernah berhasil memikat lelaki pemilik iris legam itu. Padahal lelaki itu sering berkunjung belakangan.

Setiba di pintu masuk bagian dalam bar. Telinganya langsung di sambut musik DJ yang memekkan telinga berikut lampu laser warna-warni yang berkelip menyilaukan mata dan bagi sesiapun yang tak terbiasa pasti merasakan sakit berarti. Ini sudah tengah malam lewat. Pantaslah diskotik sudah ramai sekali. Dan tanpa di perintah matanya menyuguhkan cuma-cuma pemandangan diskotik dengan gamblang. Ichihiro memegang perutnya. Rasa melilit akibat mual di rasakannya tiba-tiba. Baru diketahuinya bar yang di datanginya kala itu ternyata club malam campuran. Karenanya tak heran kalau sekarang dia harus mendapati banyaknya percumbuan bebas. Baik berpasangan (lelaki dan perempuan) maupun antar sesamanya. Oke, untuk yang normal (berpasangan), dia sudah terbiasa melihatnya dan termasuk senang melakukannya. Hanya saja untuk sesamanya, Ichihiro benar-benar mual secara alami. Asam lambungnya naik tanpa di minta.

Tak tahan merasakan semua itu, Ichihiro pun memilih keluar. Dari pada dirinya muntah disana.

Ichihiro hanya menatap datar sambil menguarkan aura intimidasi saat beberapa wanita murahan berpakaian minim yang keluar masuk bar mengganggunya lagi. Bahkan diantara mereka meraba dan mencolek bagian dari tubuhnya. Tak mendapat respon berarti dari laki-laki yang mereka goda, wanita pekerja ranjang itu perlahan mundur teratur sambil memasang ekspresi masam mereka.

***

Sebuah tamparan keras membuat tubuh ringkih itu terhempas kasar menabrak tepi meja bufet sebelum akhirnya jatuh di ubin yang dingin. Perempuan itu memegang dahinya yang berdenyut hebat, tubuhnya menggigil dan dia merasa sekitarnya berguncang kencang memusingkan.

"Jalang keparat! Beraninya kau" desis seorang pria tua memandang nyalang wanita yang baru saja mematahkan kepunyaannya. Dia hampir memberi tendangan kalau saja tak ada intrupsi orang yang datang.

"Ada apa ini Tuan?" perempuan berambut merah masuk begitu mendengar keributan di ikuti penjaga setianya. Pria itu menoleh pada si wanita yang sebagai mucikari.

"Ajari jalangmu ini adab, dia baru saja akan membunuhku" desis pria itu masih menampilkan wajah kerasnya membuat wanita itu meminta maaf berulang-ulang segera tapi pria itu tidak peduli dan pergi begitu saja tanpa membayar penuh. Dia telah di kecewakan.

"Dasar gadis bodoh. Apa yang kau lakukan hah?!"

"Akh sakit ma, ampun" rintih perempuan pirang itu menahan tangan yang menarik rambutnya sampai terasa di akar saking kencangnya tarikan. Bahkan perempuan itu merasakan beberapa helainya sudah tercabut paksa.

"Daiki, seret dia ke gudang" perintahnya pada seorang bodyguardnya yang segera menyeret rambut perempuan itu untuk keluar ruangan hingga menuai jeritan memilukan dari si gadis malang itu tanpa ada siapapun yang berniat menolong walau di sana banyak orang yang melihatnya, mereka hanya menatap sebentar sebelum mengacuhkan.

Daiki melempar tubuh ringkih itu kasar kedalam gudang.

"Sekarang apa maumu. Aku sudah berbaik hati memberimu tempat tinggal tapi kau selalu berulah dan merugikanku"

"....." perempuan itu hanya sesegukan. Mei membuang napas kasar. "Jawab aku Nanami!" Bentaknya menarik dagu itu mendekat mempertemukan pandangan mereka. Mata Mei berkilat penuh amarah.

Cuh

"Aku muak dengan pekerjaan menjijikkan itu! Bebaskan aku!"

Mei mengusap ludah Nanami di wajahnya yang di lontarkan lemah. Saking lemahnya kondisi Nanami ludah itu sebagian besar jadi jatuh di dagu Nanami sendiri.

"Gadis brengsek!"

PLAKK

Sebuah tamparan keras menyapa pipi Nanami sampai membiru. Sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah pekat yang berasa karat. Nanami menangis tergugu. Kondisinya semakin menyedihkan.

"Kau memang tak bisa di baiki ternyata Nanami. Baiklah, jika kau terus berkepala batu"

Nanami menekuk ibu jarinya sampai kukunya melukai kulitnya. Luka lamanya belum begitu sembuh dan sekarang Mei sudah kembali mencambuknya tanpa ampun. Di tambah lagi sedari pagi dia belum mengisi lambungnya membuat perutnya begitu melilit serasa ada tangan yang meremas ususnya. Ingin rasanya dia pingsan namun alam bawah sadarnya tak kunjung menariknya.

"Bunuh...bunuh saja aku Mamaaaaa, bunuh....bunuh akuuuuu," lengking Nanami serak di sisa tenaganya. Wajahnya bersimbah air mata. Dia sudah tidak tahan jika harus menerima penyiksaan terus. Lebih baik dia mati saja sekalian biar bertemu Ayah dan Ibunya.

"Brengsek! Beraninya kau meneriakiku hah," murka Mei karena bukannya kapok Nanami masih tetap membangkang dan malah menantangnya.

"Baik, jika itu maumu akan kukabulkan," Mei berang dan gelap mata yang pada akhirnya mengambil pisaunya.

"Akh!" ditariknya lagi rambut Nanami kasar. Membawa gadis itu mendekat padanya secara paksa.

"Kau ingin matikan....," Desus Mei dengan mata yang berkilat didepan wajah Nanami. Hanya beberapa senti saja jarak mereka membuat Nanami bisa merasakan tajamnya napas yang di hembuskan Mei.

"Maka matilah sekarang!"

Nanami memalingkan wajah dan memejam mata erat ketika Mei telah mengangkat tinggi pisaunya bersiap menghunusnya namun setelah menunggu beberapa saat tak ada rasa apapun yang menderanya. Takut-takut Nanami membuka mata dan mendapati bola mata Mei yang tadi berkilat neraka kini berubah penuh ketakutan memandang sisi kanannya. Mata Nanami mengikuti arah pandang Mei dan matanya membola seketika kala mendapati darah segar mengalir dari tangan seseorang karena menahan laju pisau Mei. Menggenggamnya begitu mantap. Tangis Nanami pun pecah seketika kala mengenali seseorang yang jadi pahlawan untuknya. Terlebih orang itu harus terluka karena menolongnya.

"Bo-bos?" bisa di lihatnya Mei terkejut menatap pria yang saat ini memasang ekspresi datarnya. Pisau itu terlontar ke lantai dan Mei langsung berdiri dengan ekspresi kaget bercampur takut. Nanami berusaha mempertahankan kesadarannya. Namun luka di kepala yang didapatnya dari pelanggannya beberapa saat lalu membuatnya kembali merasa pening. Pandangannya mulai berkunang-kunang dan buram karena air mata yang mengalir. Bayangan orang-orang di hadapannya semakin banyak. Samar-samar telinganya mendengar percakapan keduanya.

"Berapa yang harus kubayar." itu kata terakhir yang tertangkap indra dengar Nanami. Sebelum dirinya jatuh dalam ketidak sadaran yang sesungguhnya. Namun satu hal yang di ketahuinya. Mulai detik ini, tubuhnya bukan lagi miliknya. Dia sudah tergadai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!