Hari menunjukkan pukul 20.20, pekerjaan Ichihiro di kantor sudah selesai beberapa jam lalu. Namun Ichihiro masih belum atau enggan meninggalkan kantor. Padahal semua rekan dan karyawannya sudah pada pulang. Berteman kesunyian yang begitu sepi, serasa mengundang bulu kuduk untuk berdiri bagi orang yang penakut. Tapi tidak untuk Ichihiro. Pria itu masih duduk nyaman di sofa empuk mewahnya dengan satu kaki menaiki kaki lainnya. Duduk tenang sembari memandang bungkusan di tangan pemberian dari Seiya. Memandangnya lama penuh pemikiran, seolah baru pertama kali melihat dan mengenal benda itu. Alisnya memicing ketika teringat ucapan sepupunya ketika memberinya benda itu.
"Ambillah dari pada aku mengirimmu ke rumah sakit jiwa," guyonnya kemudian terbahak.
"Sialan," Ichihiro berdesis tajam. Membuang napas sebal kemudian memasukkan benda itu kedalam saku jas dalamnya. Melirik jam hitamnya barulah Ichihiro sadar hari semakin beranjak malam. Sedikit tidak rela, Ichihiro meninggalkan singgahsananya juga. Malam ini Ichihiro merasa malas untuk pulang. Dan ingin berlama-lama disana seandainya saja rasa bosan tak muncul.
Setelah berpapasan dengan Security kantor yang bertugas dan sempat terkejut akan keberadaannya sebelum akhirnya menyapa yang hanya di balas anggukan singkat dari Ichihiro dan meninggalkan pelataran kantor, Ichihiro melajukan mobil hitamnya di jalanan beraspal. Pelan-pelan. Ichihiro tak ingin buru-buru mencapai rumah kali ini atau malah enggan pulang.
Ichihiro memandang jalanan yang di laluinya tanpa arti sampai akhirnya Ichihiro memberhentikan laju mobil hitamnya di parkiran sebuah tempat yang di soroti lampu berpenerangan temaram. Mendesah pelan untuk sebentar barulah Ichihiro keluar dari mobilnya dengan sudah menanggalkan jas kerjanya, lengan kemeja hitamnya telah dia lipat sampai sebatas bawah siku. Itu dia lakukan karena tak ingin terlihat mencolok hingga berujung jadi pusat perhatian begitu penuh karena setelannya walau kenyataannya Ichihiro tetap menjadi sorotan dari orang-orang yang masih jarang. Semua itu terbukti dari beberapa pria yang menoleh dan para wanita berpakaian gulita minim yang langsung menunjukkan sinar ketertarikan di balik senyum yang mulai terbentuk ketika melihat laki-laki berparas tampan, tegas, menawan dan menggiurkan berjalan melewati mereka.
"Hei rokokmu membakar celanaku" seru seorang suara laki-laki.
"Ma-maaf"
Ichihiro berjalan tenang memasuki tempat yang di singgahinya. Sebuah klub malam. Tanpa mau repot memberi respon dalam bentuk apapun atas pandangan yang tak putus darinya. Ichihiro hanya menampilkan ekspresi datar cenderung dingin. Sebab dia tak ingin terlibat dengan siapapun itu mereka. Sekalipun itu wanita tuna susila yang jelas sudah banyak jasanya di pakai orang. Kali ini dia hanya ingin minum, mungkin.
Sekalipun dia pernah meladeni siapapun mereka, dia tidak suka memakai jasa orang yang sama lebih dari sekali dan malam ini Ichihiro ingin mendapat yang masih tersegel dan bukannya bekasan seperti biasanya, itupun jika dia benar-benar menginginkannya. Jika tidak mungkin dia hanya akan minum dan menikmati malam.
Setiba di pintu masuk dalam, Ichihiro mendapati keadaan bar belum cukup ramai. Walau sudah cukup banyak orang memenuhinya. Hal wajar mengingat malam belum semakin larut dan jelaslah makluk malam belum begitu liar menyambut gempita malam.
Ichihiro juga baru pertama ini mendatangi Mizu's Club. Ichihiro memang bukan seorang awam akan kunjungan ke tempat semacam bar. Hanya saja bar kali ini memang baru pertama ini di datanginya. Tempat dia biasa nongkrong bareng Seiya dan csnya di bar yang berbeda. Malam ini Ichihiro tanpa sengaja menemukan tempat ini. Tidak cukup wah tempatnya memang tapi cukup ramai sepertinya. Dan yah, mungkin menyenangkan.
Ichihiro berjalan semakin masuk sembari menggulirkan mata hanya untuk mencari spot ternyaman versinya dan Ichihiro memutuskan mengambil duduk di bangku tinggi di depan bartender yang masih sepi pengunjung.
"Pesan minum Tuan?"
Ichihiro memandang pramusaji berhelai merah dengan iris hitam yang memakai kemeja putih berpadan rompi hitam. Ichihiro mengangguk.
"Bourbon" sebut Ichihiro.
Sang bartender mengangguk dan segera meracik pesanan pelanggannya. Dengan lihai dia meramu cairan berwarna keemasan itu untuk kemudian menghidangkan gelas bertungkai tinggi itu ke hadapan pria berhelai raven sang pemesan.
"Silahkan Tuan," mengulas senyum tipis terlihat profesional.
"Terima kasih," Ichihiro menyesapnya perlahan, berusaha menikmati minuman yang mulai menyambangi indera rasanya. Setelah menghabiskan segelas bourbonnya dan di lanjut sang bartender mengisinya lagi kemudian, Ichihiro mengambil bungkusan pemberian Seiya sebelumnya. Mengambil sebatang isi di dalamnya hanya untuk kemudian di selipkan di antara belahan bibirnya. Bibir tegas yang sedari tadi sudah begitu di incar kaum penggoda yang memang memandanginya minat dan ingin mencicipi. Sayangnya Ichihiro sudah menolak mereka sebelumnya. Karenanya malam ini Ichihiro benar-benar tak ingin di ganggu. Setidaknya untuk sekarang sebab Ichihiro belum menemukan sesuatu yang menarik minatnya untuk teman satu malamnya.
"Ada pematik?" Pertanyaan Ichihiro berbuah bantuan menyalakan api dari sang bartender dengan cuma-cuma kemudian. Dan lagi-lagi di balas ucapan terima kasih oleh Ichihiro setelahnya. Ichihiro mengulirkan pelan matanya hanya untuk membaca nama sang bartender yang ternyata bername tag 'A. Seijuro'. Sudah begitu saja. Ichihiro lantas membalikkan badannya menghadap belakang. Masih duduk di tempat yang sama hanya pandangannya saja yang teralih ke lantai dansa dimana tempat itu kini mulai ramai sekali. Ichihiro diam memandang tanpa fokus berarti dan tanpa ada niatan berpartisipasi. Dia hanya menyesap batangan tembakaunya kemudian menghembus itu pelan ke angkasa yang akhirnya asap darinya berbaur dengan asap dari pengunjung lain yang sudah membumbung di angkasa terlebih dahulu. Membiarkan telinga terisi dentuman keras musik pemekak pendengaran, Ichihiro larut dalam ketenangan yang di buatnya sendiri.
Ichihiro masih duduk tenang tanpa menyadari sedari tadi, 3 orang, lebih tepatnya hanya seorang yang sangat memperhatikannya intens dengan senyum merekah di bibir berpoles merah delimanya. Seorang wanita berhelai merah darah panjang dengan iris hijau pudar. Dengan sebatang rokok menyelip diantara jemarinya yang lentik. Yang sesekali bibir berpolesnya menyesap pelan penuh penghayatan benda yang serupa kepunyaan Ichihiro. Seorang diantara lelaki yang berdiri disisi kanannya berbisik dan kemudian membuat wanita itu tersenyum semakin senang lalu turun dari kursi tingginya di bantu pria berhelai biru bertubuh tegap hanya untuk menghampiri tamu yang sedari tadi memang di perhatikannya.
Ichihiro berjengit saat abu rokoknya jatuh menimpa celananya karena ada yang meraba dadanya tiba-tiba, Ichihiro mengusapnya cepat sebelum abu itu melubangi celananya kemudian menaikkan pandangan hanya untuk bertemu pemilik mata yang mengumbar senyum. Tanpa dinyana bibir itu mendarat padanya sebelum Ichihiro sempat memberi respon bahkan mengelak.
"Apa yang kau lakukan" Dingin Ichihiro, terganggu dengan sikap agresif wanita itu. Dari penampilan dan juga sikapnya Ichihiro tahu, wanita yang sekarang bukan perempuan murahan yang tadi sempat menyambanginya. Mungkin dia mucikarinya.
"Apa maumu?"
"Seperti dugaanku. Kau dingin, tipeku sekali," Tangan nakal itu masih meraba tubuh Ichihiro yang sangat kencang. Atletis. Wanita itu tersenyum sumringah. Ichihiro diam bergeming, membaca tujuan mucikari itu. Ichihiro ingin melihat, apa dia punya sesuatu yang menarik untuk di tawarkan. Tangan itu menjalar naik, kali ini rahang Ichihiro yang mendapat giliran dan lagi-lagi senyum merekah dari bibirnya. "Tegas dan juga tampan. Sempurna"
Ichihiro sigap berpaling wajah saat menyadari perempuan itu mendekat dan akan mencuri ciumannya lagi hingga menuai rengutan perempuan itu.
"Jika hanya mempermainkanku. Lebih baik kau pergi. Aku tak ingin di ganggu."
Tanpa di duga wanita itu tertawa, tawa yang cukup keras namun tetap anggun dan teredam dentuman musik dari DJ hingga hanya Ichihiro dan orang sekitar dekat saja yang mendengar. Ichihiro memicing.
"Aku memang memprediksi jika kau tipe pria dingin. Hanya saja aku tak mengira sedingin ini," senyumnya. Asap rokok nampak keluar dari bibir tipisnya saat wanita itu menghembus dari mulut terkatup dan hidungnya.
"Perkenalkan aku Takamoto Mei," perempuan itu mengulurkan tangannya yang berjemari lentik berkutek merah yang di sambut Ichihiro sekedarnya tak lama berselang. Kemudian mereka berbincang, lebih tepatnya Mei yang telah ambil duduk di samping Ichihiro yang banyak bicara. Sementara Ichihiro hanya meminum gelas bourbonenya yang kesekian.
"Bos lagi ada masalah ya? Kelihatan stres begitu," ucap wanita bohai itu lagi. Ichihiro hanya diam, tak menanggapi ucapan Mei. Rokoknya sudah dia tenggelamkan di kotak asbak. Ichihiro memang bukan pencandu nikotin berbentuk tembakau itu.
"Bagaimana kalau bos sedikit bermain di sini." tawarnya. Senyum goda tak pernah luntur dari bibir merah merekahnya. Dan lagi-lagi tangan nakalnya meraba Ichihiro. Kali ini punggung sasarannya. Bergerak sensual hingga menggetarkan siapapun yang merasakannya. Tapi Ichihiro terlihat tidak terpengaruh sama sekali. Wanita itu menoleh sebentar pada bodyguard di sisi kanannya yang di balas senyum dari keduanya.
"....disini servisnya mantap loh bos. Saya yakin bos tidak akan menyesal." lanjutnya berbisik di dekat telinga pria muda dan tampan di sampingnya. Meski masih muda, Mei yakin pria ini pria kaya.
Ichihiro mulai memberi atensi pada Mei membuat Mei tertawa saat melihat micro perubahan di mata sekelam malam milik Ichihiro. "Bagaimana? Apa bos tertarik?"
"Aku tidak suka bekas." Ichihiro meneguk habis minuman di gelasnya. Dia merasa gerah. Ichihiro melepas satu kancingnya menemani satu kancing kemeja Ichihiro yang sudah tertanggal sebelumnya. Mei lagi-lagi tertawa yang tidak di hiraukan oleh Ichihiro kini. Ichihiro lebih memilih meminta sang bartender bar untuk kembali mengisi gelasnya yang sudah kosong. Pria itu menyipit kala rasa panas sedikit mengusik tenggorokannya.
"Aku punya barang bagus. Dia baru bekerja di sini. Dan aku jamin dia masih virgin. Apa bos tertarik?"
Ichihiro hanya melirik singkat wanita disampingnya. Lalu menenggak habis gelas minumnya. Dengan isyarat pandangan Mei meminta seorang bodyguardnya mendekat dan membisikkan sesuatu membuat dua bodyguard yang sedari tadi menemaninya beranjak pergi setelahnya. Dan tak berapa lama berselang kembali bersama seorang perempuan yang sedikit meronta dalam tarikan di lengannya.
"Bos lihat, bagaimana?" Mei turun dari kursi tinggi itu kemudian merangkul kedua bahu salah satu calon pekerja tunasusilanya kepada pelanggan tampan istimewanya.
Ichihiro mau tak mau menoleh. Kemudian matanya dengan jeli meneliti perempuan yang di tawarkan sang mucikari dari atas sampai bawah. Perempuan berhelai kuning gelap yang di sanggul rapi dengan poni dan anak rambut mengikal membingkai wajah ovalnya. Pakaian minim sewarna gulita pas badan yang memeluk tubuh semampainya dari dada sampai seperempat diatas pahanya. Serta sepatu stileto yang menghiasi jenjang kakinya yang juga berwarna senada. Matanya bisa melihat bahwasannya perempuan itu nampak tidak nyaman. Semua itu terlihat jelas dari gestur dan gerak kakinya. Pandangan Ichihiro kembali naik. Sayangnya, Ichihiro tak dapat melihat rupa si gadis karenanya dia terus menunduk sedari tadi.
Mei yang menyadari sikap calon pundi uangnya, mengangkat dagu si gadis dengan ujung jarinya agar naik. Ichihiro menarik sudut bibirnya. Tipis. Sangat tipis. Mei yang seakan tengah berkomunikasi dengan Ichihiro barusan tersenyum sumringah. Sepertinya pelanggannya tertarik.
Ichihiro pandangi bola mata si perempuan. Hanya dua detik karena perempuan itu memilih menghindarinya yang tentunya tak di biarkan oleh Mei.
Ichihiro meraih tangan itu lantas mencium punggung tangannya.
"Siapa namamu manis?"
Ichihiro bisa merasakan tangan yang di genggamnya sedikit gemetar, terasa dingin dan berkeringat. Gadis itu sempat terdiam 3 detik sebelum menoleh ke samping, kearah Mei. Mei tersenyum namun mata itu mengancam. Lewat tatapan meminta si gadis menjawab pertanyaan yang terlontar.
"Na....," Gadis itu gugup. Dia tampak berpikir sejenak.
"Runa....nama saya Runa Tuan," akhirnya gadis itu menjawab dan memejamkan mata rapat setelahnya.
"Nama yang bagus," Ichihiro memberi senyum palsu membuat sang gadis menelan paksa ludahnya melihat itu. Senyum itu terlihat mengancam. Sama seperti kepunyaan Mama Mei namun lebih dingin membuatnya bergidik.
Ichihiro berdiri tanpa melepaskan genggaman tangannya pada gadis yang di ketahuinya bernama 'Runa'. Sementara tangan yang lain, Ichihiro lingkarkan di pinggang ramping si gadis. Meremasnya pelan dan mesra kemudian menarik tubuh itu agar merapat padanya. Perempuan itu terkesiap pelan kemudian memandang sang pelanggan. Safirnya langsung bersirobok dengan pria pemilik mata gelap yang memandangnya tanpa ekspresi. Gadis itu lagi-lagi harus menelan ludah gugup. Mata itu memancar sangat dingin, mematikan namun juga begitu....menghanyutkan.
Buru-buru gadis itu merunduk. Kini dia rasakan dadanya kian meletup-letup campuran dari rasa takut dan terpesona secara bersamaan. Laki-laki yang tengah merengkuhnya ini benar-benar memiliki pesona yang luar biasa hingga gadis lugu sepertinya pasti akan mudah terpedaya.
"Hn, aku ambil," putus Ichihiro membuat senyuman Mei terilis untuk kesekian kali.
Mei memandang amplop coklat yang di terimanya dari Ichihiro. Iris matanya terbuka lebih.
"Hei bos, ini terlalu banyak." seru Mei heran akan segepok uang yang di sodorkan Ichihiro ke dadanya tadi. Ichihiro tidak menjawab. Pria itu terus berjalan menjauh sambil menarik, gandeng tangan perempuan pekerja tunasusila yang tadi di tawarkan Mei melewati lantai dansa hingga akhirnya keluar dari bar tersebut. Perempuan itu setia diam mengikuti langkah pria yang membawanya sampai parkiran dan menghampiri sebuah mobil mewah sewarna hitam. Dia tetap diam sampai akhirnya lelaki itu membukakan pintu samping kemudi lantas memerintahnya masuk melalui pandangan. Gadis itu menurut dan mendudukkan diri disana. Berusaha merilekskan diri dan mengatur degupan jantungnya. Ini kali pertama dia bersinggungan fisik dengan pria. Jelas efeknya sangat luar biasa baginya.
Usai menutup pintu, Ichihiro memutari mobil depannya lalu memasuki pintu kemudi dan duduk disana lantas melajukan mobilnya kemudian.
Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan. Ichihiro sepertinya tak berniat hanya sekedar berbasa-basi. Begitupun si gadis yang jelas bingung untuk membuka topik. Secara mereka tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas pelanggan dan pelayan. Itupun hanya berumur singkat. Setidaknya itulah yang di pikirkan sang gadis.
Si gadis yang sedari tadi memperhatikan jalanan merasa heran ketika si pria justru menghentikan laju mobilnya di pelataran sebuah minimarket 24 jam.
"Tunggu disini," tanpa menunggu respon, Ichihiro keluar dari mobilnya. Gadis itu diam menurut dan duduk di tempatnya. Tak berapa lama Ichihiro kembali. Gadis itu mau tak mau melirik kantung belanjaan si pria yang telah tergeletak diantara mereka, dimana itu berisi minuman kaleng. Bir. Cukup banyak. Dan beberapa coklat dan snack.
"Namaku Ichihiro," gadis itu memandang si pria atas kalimat kedua di mobil yang dia ucapkan meski tanpa menoleh.
"Siapa namamu?" Lanjutnya, tangannya yang tak berada di roda kemudi Ichihiro gunakan untuk memegang kaleng bir dan meminumnya setelah segel terbuka.
Gadis itu mengeryit.
"Bukankah saya sudah memberitahunya tadi? Apa Tuan tidak ingat?"
"Katakan yang sejujurnya," Ichihiro memberhentikan lajur mobilnya kemudian memandang si gadis intens. Gadis helai pirang yang memakai pakaian minim itu kembali gugup. Hawa berat dalam mobil menyergapnya tiba-tiba.
"A-apa maksud Tuan?"
"Perlukah kuraih kejujuranmu dengan caraku."
Gadis itu merapat ke pintu kala Ichihiro mendekat setelah melepas safe beltnya.
"Tu-tuan...," Gadis itu gemetaran begitu wajah tampan pelanggannya sudah tepat berada didepannya. Hidung mereka bahkan sudah saling bersinggungan. Gadis itu praktis merunduk.
"Katakan."
Suara itu bernada perintah tanpa memperbolehkan bantahan sedikitpun. Jemari panjang yang menarik dagunya memaksanya mendongak.
"Ba-baiklah....ta-tap-tapi bisakah T-tuan kembali duduk di tempat Tuan?"
"Kenapa memangnya?"
Jantung gadis itu kian mengencang. Bahkan telinga sensitif Ichihiro mendengarnya begitu jelas.
"Lagipula....," tangan Ichihiro menyapu lambat satu lengan si gadis dari siku terus naik sampai akhirnya berlabuh di pipi untuk menangkupnya hingga helaian rambut si gadis terselip di antara jemari panjangnya.
"Bukankah sebentar lagi kita akan jauh lebih dekat dari pada ini, hn."
Gadis itu yang tadi memejam mata rapat dan merasakan rasa rinding kini membeliak seketika. Kala sebuah benda kenyal dan hangat menyapa bibirnya yang tengah menutup. Hanya menempelkan tak lebih.
"Tu-tuan."
Ichihiro bergeming walau gadis itu menggeliat dan sempat mendorongnya kuat. Sepertinya Ichihiro sudah memprediksi akan reaksi si gadis selanjutnya jadi Ichihiro telah mengantisipasi.
"Katakan...jangan sampai aku mengulangnya untuk ketiga kalinya."
Lagi-lagi gadis itu harus membeliak ketika Ichihiro menyentuh lehernya. Lebih tepatnya benda berbandul yang menggantung disana. Kalung yang berukirkan nama kecilnya. Benar, dia sampai lupa ada bukti konkrit disana. Sekarang sudah tidak ada alasan untuknya mengelak. Mengambil napas perlahan, gadis itu lantas berbisik.
"T.... Ta... Takegawa...Nanami."
Ichihiro tersenyum singkat. Sangat singkat. Begitu singkatnya Nanami bahkan sampai tak menyadarinya. Gadis itu hanya memandang heran dalam diam. Laki-laki disampingnya benar-benar aneh namun kelegaan didapatinya begitu Ichihiro kembali duduk ke tempat semula.
"Minum ini," Ichihiro menyodorkan kaleng bir yang tadi di minumnya. Nanami mengeryit.
"Terima dan lekaslah minum. Aku tak menerima alasan."
Nanami jelas gugup namun tetap menerimanya. Diam-diam matanya melirik kantung belanja si pria tampan.
Minuman masih banyak kenapa aku di beri bakasannya. Seperti aku istrinya saja, menggerutu memang tapi Nanami tetap meminumnya. Begitu tegukan pertama di lakukannya didalam kabin mobil yang gelap pipi Nanami memerah. Dia baru sadar, dengan dia meminum dari tempat yang sama dari mulut Ichihiro berarti tanpa sengaja mereka telah berciuman. Tapi....bukankah tadi Ichihiro juga telah mengecupnya? Uh, Nanami pun tambah malu.
Jangan berlebihan Nanami. Bahkan setelah ini kau pun akan di ciumnya entah untuk keberapa kali.
Sementara Nanami sibuk dengan pemikiran melompat-lompat. Ichihiro terlihat duduk tenang memandang jalanan ramai tak berarti tanpa melepaskan fokus kemudinya. Lampu jalanan luar yang memflash wajah Ichihiro mengundang uluman senyum dari Nanami yang memperhatikan dari sisi diam-diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments