chapter 3

"Kak kau dimana?"

'di kantor."

"Cepat kemari."

'Memangnya kenapa.'

"Temani aku."

'Kau bukan anak kecil lagi. Jadi tidak perlu di temani pria dewasa.'

"Tapi aku bungsu."

'Aku juga bungsu.'

"Tapi aku yang paling bungsu diantara bungsu bersaudara dan tentunya yang paling tampan," nada narsisme. Di sebrang telpon sang lawan bicara memutar jengah.

'Kalau kau menelpon cuma bernarsis begitu kututup telpon—'

"Tunggu," cegahnya cepat.

'Apalagi,' kesalnya.

'Awas kalau tidak penting.'

"Ichihiro tidak ada di kantor, kak. Dia...dia di culik," ujarnya terdengar gusar. Dia menggigiti kuku ibu jarinya.

'Apa?!'

"Oleh siluman Kitsune."

'Hah?!' Makin kagetlah suara di sebrang atas informasi tidak masuk akal yang di terimanya.

'Dengar Shinji, tidak ada di kantor bukan berarti di culik. Jangan bergurau! Tidak lucu tau. Lagipula mana ada siluman di jaman sekarang,' suara di sebrang terdengar kesal.

"Aku serius," mata hitam itu bergulir resah.

"Tadi malam aku bermimpi Ichihiro di culik perempuan pi...rang, cantik memang. Tapi...tapi tetap saja dia telah menculik Kakakku. Aku tidak rela pokoknya. Dan terbuktikan pagi ini Ichihiro tidak datang."

'Jangan menakuti Shinji. Jelas itu istrinya.'

"Siapa yang menakuti. Aku serius. Dan dia yang ada di mimpiku bukan istrinya."

'Sudahlah kututup telponmu.'

"Hei tunggu Sei—" Shinji berseru kalap.

Tut Tut Tut

"ya."

"Ck, beraninya dia menutup telponku."

Shinji kembali menyentuh beberapa digit angka di ponsel pintarnya untuk menghubungi ulang tapi jawaban sang operator yang di terimanya kini.

"Brengsek! Di kira aku bercanda apa," Shinji kini ganti menghubungi Ichihiro namun lagi-lagi suara operator yang di terimanya.

"Sialan kau kak. Hari ini pasti kau bolos," Shinji uring-uringan padahal baru kali ini saja Ichihiro absen kerja. Pria itu berjalan keluar. Terpaksalah dia yang harus tangani meeting. Malah kliennya kali ini terkenal alot lagi.

Ck, double shit!

***

Nanami mengerjap sekali membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya. Matanya memandangi lamat-lamat kursi kemudi yang telah kosong. Pria yang semalaman bersamanya di mobil tidak ada. Nanami mengedip sekali dan terkesiap membenarkan posisinya yang tadi duduk menyender menjadi tegak.

"Ini dimana...dan kemana dia," gadis itu mengedarkan pandangan. Dan menyadari dirinya berada di tempat cukup sepi. Sudah ada kendaraan yang lewat memang namun masih jarang. Ini masih terlalu pagi. Kabut sisa semalam masih setia menyelimuti alam. Tempat ini cukup asing. Nanami sendiri tidak tahu dirinya persis berada dimana sekarang. Seingatnya tadi malam Ichihiro terus melajukan mobilnya yang entah mau kemana. Nanami sebagai penumpang yang baik hanya bisa diam menurut tanpa banyak bicara. Dan hal terakhir yang di ingatnya mobil Ichihiro meluncur meninggalkan kota dan berarti kini mereka berada di luar kota.

Nanami kembali menjelajahkan matanya dan barulah menemukan sosok lelaki yang memang tengah di carinya. Pria itu tengah memunggungi arahnya. Alis rapinya yang pirang menukik pelan, tak mengerti yang tengah di lakukan pria itu. Ichihiro, tidak tahu sedang apa disana. Di tanah lapang cukup luas dengan rerumputan mengering menutupi permukaan. Pria itu tengah mengawasi sepertinya.

Nanami berniat keluar untuk menyusul namun terurung ketika dilihatnya Ichihiro berbalik kemudian berjalan kearah mobil dan masuk kembali ke dalam mobil.

"Kau sudah bangun," itu kalimat sapaan pertama dari Ichihiro. Nanami mendadak merasa melankolis.

Apa yang kau harapkan memangnya?

Gadis itu hanya mengangguk menjawabnya. Kemudian mobil kembali meluncur dan entah akan kemana lagi Ichihiro, Nanami tidak tahu. Diam-diam benak Nanami bertanya. Kenapa Ichihiro justru mengajaknya jalan-jalan begini? Bukankah seharusnya mereka bercinta? Dan urusan mereka selesai setelahnya. Sudah begitu saja. Bukannya apa Nanami berpikir begitu, tapi memang bukannya selazimnya begitu? Dia tidak tahu. Ichihiro ini pria yang aneh....sepertinya.

"Ayo turun."

Nanami menatap sekitar. Lagi-lagi Ichihiro membawanya ke tempat yang tak di kenalinya membuatnya makin kebingungan.

"Kau tidak mau? Baiklah kau tunggu disini saja," lanjut Ichihiro akan diamnya Nanami yang justru terus memandanginya.

"Tidak. Aku ikut," sergah Nanami dan ikut keluar dari mobil Ichihiro. Nanami masih berdiri disisi pintu penumpang mobil Ichihiro yang telah di tutupnya. Hanya bola matanya saja yang mengikuti langkah Ichihiro yang menuju pinggiran sebuah danau dengan kedua tangan di saku celana. Danau yang airnya hampir rapat tertutupi dedaunan sewarna kemerah-merahan dari pohon mapel maupun momiji yang berguguran disisi kanan-kirinya.

"Kenapa masih di situ. Kemarilah."

Lagi-lagi Nanami menurut lalu melangkahkan kaki berbalut tumit tinggi untuk menghampiri Ichihiro dan berdiri di samping pria itu. Angin yang berhembus cukup kencang membuat Nanami secara alami memeluk diri. Ini penghujung musim gugur dan sebentar lagi saja memasuki musim dingin. Pantaslah udara dingin sudah begitu kentara. Nanami menyelipkan anak rambutnya yang menari karena tak terikat ke belakang daun telinganya.

"Tu-tuan...," Nanami memandangi Ichihiro yang menyampirkan jasnya di kedua bahu kurusnya.

"Padahal kau cukup tinggi kenapa masih saja tenggelam memakai jasku."

Nanami tiba-tiba merasa sewot. Itu karena kau yang terlalu tinggi! Nanami jadi sebal sendiri.

Lihat saja dirinya yang memiliki tinggi 163cm saja masih harus mendongak berlebihan hanya untuk memandang wajah Ichihiro jika mereka sedang berdiri berhadapan seperti sekarang. Nanami memang tidak tahu persisnya berapa tingginya badan Ichihiro. Tapi gadis itu bisa memprediksi kasar, mungkin tinggi Ichihiro antara 183cm sampai 185cm. Dan memang pada kenyataannya Ichihiro tumbuh bongsor. Di usianya yang ke-13th, dia sudah memiliki tinggi 165cm, kemudian sewaktu berumur 21th, tingginya mencapai 178cm. Dan kini di usianya memasuki awalan 30an, tingginya masih saja terus bertambah. Mudah-mudahan setelah ini Ichihiro tidak akan bertambah tinggi lagi atau kalau tidak, dia akan di sebut raksasa.

Kesal memang akan kalimat Ichihiro namun Nanami menoreh senyum di permukaan berusaha memaklumi karena secara harafiah Ichihiro baru saja mengatainya mungil atau bahasa kasarnya pendek. Padahal semasa sekolahnya dulu, beberapa teman seangkatan maupun seniornya malah memanggilnya tiang listrik berjalan.

"Duduklah disini," Ichihiro menepuk pelan kayu disisinya berharap si gadis yang dari tadi melamun mengikuti jejaknya. Nanami berdehem pelan. Lagi-lagi karena banyak melamun, dia tak sadar Ichihiro sudah bergerak. Kini pria itu tengah duduk di sebatang pohon di hadapan danau yang terhampar. Nanami mengambil duduk tak jauh di sisi Ichihiro. Dan kembali berdehem, pelan. Sekedar untuk mengurangi rasa gugupnya. Seandainya mereka sepasang kekasih. Ini bisa di katakan kencan. Jelas Nanami yang baru pertama ini mengalaminya merasa gugup luar biasa. Dia memang tak banyak berkomunikasi dengan laki-laki. Hanya tetangga flatnya. Dan itupun cuma satu-satunya. Nanami memang pribadi yang cukup menutup diri. Dia minder. Semua itu karena status sosialnya. Lagipula memangnya siapa yang mau berteman dengan gadis kumal, dekil dan miskin sepertinya. Sekarang saja ini dia agak sedikit berbeda. Itupun berkat permak penata rias atas perintah mama Mei. Jadinya dia kelihatan seperti Cinderella sekarang.

"Tuan, kenapa Anda malah membawa saya kemari? Bukankah seharusnya Anda membawa saya....," Nanami tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Jangan terlalu formal. Panggil saja Ichihiro," lama-lama Ichihiro risih juga jika terus di panggil Tuan.

"Gousiji-sama,"

"Terlebih yang itu," larangnya lagi. Kali ini lebih keras. Ichihiro memandang lurus mata Nanami untuk sesaat.

"Lagipula kau bukan pelayanku," sambungnya memandang danau didepannya.

"Bukankah saya memang pelayan Anda," Nanami mengarti di kalimat pelayan yang di ucapkannya.

Ichihiro menoleh dan pandangan mereka terkunci dalam 5 detik.

"Itu untuk hal lain."

Hening berbahasa dari keduanya cukup lama. Ichihiro sepertinya tak berniat membuka percakapan lagi. Nanami pun begitu. Dia tak tahu topik apa yang akan di angkat. Jadi Nanami memutuskan diam saja menemani 'Tuan'nya yang mungkin hanya sedang butuh kesunyian. Lama mereka disana tanpa suara. Hingga angin yang terus berhembus memaksa Nanami merapatkan jas Ichihiro ke tubuh kurusnya. Segeralah semerbak wewangian maskulin dan menyegarkan parfum Ichihiro yang tertinggal memenuhi indera baunya membuat Nanami tersenyum dalam diam. Jantungnya lagi-lagi berdentum. Untuk kesekian kali, dia memakai bekasan Ichihiro. Dan itu mendebarkan.

"Kau suka coklat."

Nanami bergumam pelan memandang Ichihiro dengan alis sedikit terkerut. Dia belum mengerti.

"Ini ambillah."

"Kenapa Tu— Ichihiro memberikanku coklat. Ini bukan Valentine kan?"

"Ambil saja kalau kau memang mau."

Ragu-ragu tangan Nanami terulur juga menerima sodoran batangan coklat yang berbalut kemasan dari tangan Ichihiro.

"Terima kasih,"

Tuk

Nanami merasakan pelan-pelan dari coklat yang di kecapnya. Ada rasa manis bercampur sedikit pahit menyempil di lidah perasanya tapi tetap enak. Nanami kembali menggigitnya ketika gigitan pertama sudah di telannya. Coklat itu sudah hampir habis. Sepertinya Nanami memang lapar. Tak salah Ichihiro memberinya coklat. Tapi akan lebih bagus kalau Ichihiro memberinya coklat panas di cuaca sedingin ini, tiba-tiba Nanami merasa dirinya begitu serakah karena menginginkan lebih.

"Itu tidak gratis."

"Apa?!" Nanami terkejut tentu saja.

"Kau harus membayar atas apa yang kau makan bukan?"

Tidak menyangka ternyata Ichihiro orang yang sangat perhitungan.

"Aku akan membayarnya jika white day kalau begitu," itupun kalau aku bisa bertemu denganmu lagi, Nanami membatin kecut.

Ichihiro diam tapi wajah datarnya melunak dan itu membuat perut Nanami tergelitik menyenangkan. Berlebihan sekali padahal Ichihiro hanya sedikit mengubah air mukanya, Nanami merasa dirinya terlalu melankolis dan terbawa perasaan. Sedikit saja respon dari Ichihiro efeknya begitu luar biasa untuknya atau mungkin setiap perempuan yang menerimanya. Benar-benar menakjubkan.

"Aku hanya bercanda. Kau menanggapi serius sekali,"

Lagi-lagi Ichihiro berujar datar. Tiadakah ekspresi lain yang kau miliki?

"Salju?" Nanami menengadah dan terlihatlah butiran-butiran putih dari langit yang mulai turun.

"Salju pertama ya," Ichihiro bergumam dan ikut melihat langit.

"Hu'um," Nanami terlihat bahagia sekali. Gadis itu tertawa. Tawa yang bebas layaknya anak kecil yang begitu mengagumi salju membuat Ichihiro memandangnya diam.

Nanami menengadahkan tangan. Membiarkan butiran itu memenuhi telapak tangannya. Ichihiro masih diam memperhatikan sebelum utasan senyum setipis benang tanpa disadari Nanami bahkan sang empunya, tercipta begitu saja.

"Ayo kembali."

"Hah," Nanami memandang Ichihiro terlihat tidak rela. Ini kali pertama dia menyaksikan salju dengan hati begitu lepas. Tidak seperti biasa yang berpanggul beban.

"Kau sudah kedinginan," Ichihiro berdiri kemudian mengarahkan pandangan kearah kepala dan paha Nanami.

"Dan penuh salju."

Nanami terkesiap. Dia baru sadar setelah memeriksa keadaan dirinya. Dia pandangi Ichihiro beberapa waktu. Anehnya kenapa Ichihiro tidak. Badannya bersih dari salju. Hanya beberapa rintik di pundaknya membuat Nanami merasa terlihat begitu menyedihkan karena di penuhi salju. Bahkan mulut dan wajahnya. Lucu sekali. Nanami buru-buru menghapus butiran salju di area mukanya. Ichihiro tetap memasang ekspresi sama. Datar.

"Mau sampai kapan kau melamun? Apa kau memang seorang yang senang melamun," tegur Ichihiro melihat diamnya Nanami dengan pikiran mengelana.

Buru-buru Nanami tersadar. Pipinya memanas. Dia malu sekali.

"Persik."

"Apa?."

"Apa," alis Ichihiro terkeryit.

"Kau tadi mengatakan apa?"

"Aku tidak mengatakan apapun."

"Tidak, tadi kau mengatakannya."

"Mungkin hanya salah dengar."

"Tidak mungkin, jelas-jelas kau tadi mengatakannya."

"Perasaanmu saja. Aku tidak mengatakan apapun kok."

Nanami mengatup mulut. Sepertinya percuma beradu argumen dengan Ichihiro. Dari pada memperpanjang masalah lebih baik dia diam saja.

"Ugh kenapa banyak sekali," Nanami menggerutu karena tubuhnya hampir seluruhnya tertimbun salju. Benar-benar memalukan.

"Hei, jangan mengeluarkan tanganmu begitu. Bahaya, bagaimana kalau sampai ada mobil yang lewat," tegur Ichihiro melihat Nanami mengibas-ngibaskan jasnya untuk melunturkan salju yang menempel keluar dari kaca mobil.

"Ma-maaf,"

"Hn, jangan mengulanginya lagi."

Ponsel Ichihiro yang belum lama di aktifkannya berdering membuat Nanami ikut mengalihkan perhatiannya.

"Hn,"

'Kau dimana?'

Nanami bisa mendengar jelas suara si penelpon walau Ichihiro tidak meloadspeakernya.

"Jalan."

'Di jalan mana?'

"Jalan kehidupan."

'Jangan seperti Kenzi, Ichi.'

Suara di sebrang meninggi terdengar kesal. Mau tak mau membuat Nanami tersenyum. Ichihiro meliriknya sebentar.

"Ada apa memangnya."

'Seiya bilang kau bolos. Benar?'

"Dapat isu dari mana pula itu."

'Ichi!', suara itu menghardik halus, tapi jengkel. Wajah Ichihiro melunak samar. Nanami menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tertawa walau tanpa suara.

'Tunggu...apa kau bersama.....seseorang.'

"Kenapa kau berpikir begitu?" Ichihiro heran juga dengan analisa jarak jauh sepupunya. Mendengar suara pun tidak. Jadi, kenapa sepupunya yang rada aneh itu bisa memprediksi.

'Aku memang tak bisa merasakannya. Hanya saja aku tiba-tiba.... menciumnya,' suaranya terdengar sangsi.

Ichihiro mengeryit. Apa ponsel bisa mengeluarkan bau? Atau sepupunya hanya asal bicara?

"Kupikir kau bukan Kenzi."

'Aku memang bukan Kenzi, aku Okito,' Gerungan terdengar. Ichihiro kembali melunakkan wajah. Mengganggu Okito memang salah satu kesenangannya juga walau wajahnya tetap terjaga datar.

'Kenapa sih dari tadi kau menyebut Kenzi terus. Kangen ya,' ledekan itu terdengar jadinya.

"Tidak, buat apa. Yang ada nanti kau cemburu."

'Brengsek! Aku sudah punya Ryoko tau.'

"Siapa Minggu kemarin yang lunch bareng di cafe."

'Itu kami bertemu klien bodoh!' terdengarlah amukan di sebrang. Ichihiro semakin senang di buatnya. Senang membuat Okito marah maksudnya.

'Hoi baka-Chi, cepat katakan siapa orang di sampingmu itu.'

Ichihiro melirik Nanami. Lantas pria itupun bergumam seperti berbisik hingga hanya Okito saja yang mendengarnya.

"Little fox."

'Apa.'

"Tak ada pengulangan."

'Aku memastikan bukan bertanya.'

"Ya terserah," Ichihiro mulai malas.

"Sekarang to the point, ada apa menelponku."

'Oh itu, kau sudah melihat lokasi proyeknya.'

"Hn,"

'Hn, apa pula itu.'

"Sudah gaki-Kei."

'Sopan sedikit tengil. Dia pamanmu bodoh,' Okito jadi sewot.

'Ya sudahlah dan baguslah kalau kau sudah melihatnya, jadi ada gunanya walau kau mangkir.'

"Hei," protes berat Ichihiro.

'Bye ya, aku tutup.'

Pip.

Ichihiro menatap nyalang telponnya. Lebih tepatnya pada si penelpon barusan.

Kalau seandainya dia kenalan Ichihiro, ingin rasanya Nanami bertanya tapi tidak, dia tahu batasan dan statusnya. Dia hanyalah orang asing yang sama sekali tak berhak mengikut campuri.

"Dari sepupuku."

Tapi sepertinya Ichihirolah yang sukarela membaginya tanpa dia minta sekalipun. Rasa haru menyusup hati Nanami. Tidak tahu mengapa, dia merasa memiliki keluarga lagi sekarang atau setidaknya teman.

"Ada apa dengan wajahmu, apa ada yang salah yang aku ucapkan."

"Tidak," Nanami menyeka air mata yang sudah nakal menitik di sudut.

"Aku bahagia. Terima kasih."

Ichihiro mengejap. Dia sama sekali tidak mengerti yang Nanami ucapkan tapi Ichihiro memilih bergumam.

"Hn."

Sibuk mengurusi urusannya sendiri Ichihiro sampai lupa akan tanggung jawabnya atas seseorang. Nanami. Benar. Ichihiro lupa kalau dia sedang tidak sendirian. Dia membawa seseorang. Seorang perempuan lebih tepatnya. Sementang dirinya tidak lapar dia mengabaikan orang lain.

Ya ampun, apa sekarang dirinya sudah menjadi orang yang benar-benar dingin dan tidak memiliki keperdulian.

Ichihiro memang sudah biasa telat makan atau tidak makan barang sehari pun dia tak masalah. Tapi Nanami. Jelas beda lagi. Dia tak boleh menyamakan kekuatan fisiknya dengan orang lain. Siapapun itu. Karenanya Ichihiro melirik Nanami. Gadis itu masih duduk manis di tempatnya. Satu lengannya berada di perut. Gadis itu menyandar kepala ke kaca jendela dengan fokus keluar. Dan Ichihiro bisa sangat tahu kalaulah gadis itu lapar. Lihat saja hari sudah beranjak sore. Dan mereka belum makan sama sekali. Hanya sebatang coklat yang mengisi perut Nanami tadi. Sepertinya Ichihiro perlu singgah ke tempat yang mengharuskannya makan. Dari pada itu pakaian Nanami juga lembab akibat salju. Ichihiro memandang jalanan yang di laluinya. Mereka sudah sampai. Syukurlah. Tidak memakan waktu lama lagi untuk singgah berarti. Belasan menit berlalu Ichihiro pun membelokkan kemudinya ke sebuah hotel. Ichihiro memang sengaja tidak memilih yang berkelas. Ada banyak mata di tempat tinggi yang sudah tahu siapa dirinya. Karenanya dia ingin menghindari seminimal mungkin. Ichihiro tak mau hanya karena dirinya bersama seorang wanita asing saingan bisnisnya jadi melebarkan taringnya. Bukan apa-apa bagaimana pun juga Ichihiro harus memperhatikan keselamatan gadis yang memang tidak seharusnya tak terlibat dalam sesuatu yang tidak perlu. Juga Ichihiro tak ingin nama baiknya menjadi hot topik media. Sebagai orang yang berpengaruh memang banyak hal yang harus di hindari.

Setelah memarkirkan mobilnya Ichihiro segera cek in di hotel tersebut dan meminta kunci inap pada sang resepsionis yang akhirnya memberinya nomor 303.

"Kau tunggu disini. Jika ada yang menekan bel dan membawa makanan kau makanlah dulu. Aku perlu keluar sebentar," tanpa menunggu respon, Ichihiro yang sudah berada didalam kamar hotel beranjak pergi meninggalkan Nanami yang diam patuh kemudian menutup pintu setelah Ichihiro menghilang dari jarak pandangnya. Gadis itu menghela napas. Dia pandangi penjuru kamar yang akan tempatinya. Cukup luxury menurutnya. Ada sebuah tempat tidur di tengah ruangan berkanopi dan berbantal putih yang mungkin hanya muat untuk dua orang. Satu set sofa berbentuk U dengan meja kaca di tengahnya, jendela geser yang mengarah ke balkon. Kemudian ada sebuah pintu di sisi kiri dekat pintu masuk yang Nanami yakini kamar mandi. Dan juga beberapa ornamen juga perabotan. Tidak terlalu penuh tapi berisi. Nanami yang merasa kedinginan memilih melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Dia perlu membersihkan diri sebelum nantinya menghangatkan badan.

Selepas melucuti semua pakaiannya Nanami mengguyur tubuhnya dengan guyuran air shower hangat. Memberi shampo di rambut pirangnya kemudian memenuhi dirinya dengan busa sabun beraroma begitu wangi di sekujur tubuh tanpa terlewatkan seruaspun. Membersihkannya dengan begitu hati-hati dan teliti. Dalam diam air mata itu tiba-tiba bergulir. Sebentar lagi saja semua yang di milikinya ini, satu-satunya harta kepunyaannya, akan dia serahkan pada lelaki yang sudah menyewanya. Nanami terisak cukup keras. Perempuan itu menutup mulutnya kuat-kuat. Menahannya untuk tidak menjerit sekencang-kencangnya. Ada ketidakrelaan di hatinya tapi semua itu atas mau dirinya sendiri semula. Dia yang sudah memilih memasuki lembah kotor ini. Tak ada jalan untuk keluar kini. Karenanya dia sudah terlanjur masuk. Mau tidak mau, suka tidak suka dia harus hadapi. Seberapa berat pun itu. Seberapa tidak inginnya hati ini, dia tidak bisa mengambil jalan berbalik. Dia sudah sejauh ini. Kalau dia memilih kembali maka belum tentu akan mudah masuk ke tempat yang sama. Sementara sekarang dia sedang sangat membutuhkan banyak uang memasuki pundi uangnya.

Cukup lama berada didalam kamar mandi barulah Nanami keluar dengan jubah mandi berwarna putih dan handuk yang membungkus rambut keemasannya yang panjang. Setibanya di kamar mata birunya yang bening langsung tersuguh hidangan hotel di meja bufet. Nanami menoleh ke pintu, berarti sudah ada pegawai yang masuk dan dia tak tahu. Ceroboh sekali, kenapa dia tak mengunci pintunya tadi. Bagaimana kalau orang jahat yang masuk. Bukankah akan merepotkan. Nanami bergerak mengunci pintu akhirnya. Kemudian barulah melangkahkan kaki menuju tempat tidur dan duduk di tepinya. Dia pandangi menu makannya yang tersaji untuk sesaat. Nasi putih dalam mangkuk kecil, sepiring kare, tempura, telur gulung isi daging sayur, sushi tuna, udang goreng, rebusan sayur, potongan buah dan teh hijau panas yang mengundang perut untuk keroncongan. Karenanya Nanami ingin segera mencicipinya untuk mengisi lambungnya yang memang sudah menjerit sedari tadi. Nanami mengatup tangannya dan berucap 'selamat makan' pelan kemudian mulai menyumpit nasi di lanjut udang goreng yang terlihat crispy. Mengunyahnya pelan-pelan kemudian tersenyum seusai menelan. Lalu Nanami mulai menyumpit yang lainnya seperti sushi tuna dan menu berikutnya yang lain. Semua tidak terlewat dan tandas dalam beberapa waktu saja.

"Ugh aku sampai tak menyisakannya sedikitpun. Ini terlalu lezat aku bahkan sampai tidak bisa berhenti."

Bola biru itu bergulir ke arah pintu.

"Kenapa Ichihiro belum kembali juga," keningnya berkeryit. Nanami melepas handuk di kepalanya dan mulai mengeringkan rambutnya. Dalam diamnya pikiran Nanami kembali berkelana. Gadis itu menelan ludah gugup ketika sebuah pemikiran menghampirinya.

"Ichihiro sampai memberiku makanan sebanyak ini. Apa dia ingin aku kuat....di ranjang...?"

Dan gumaman Nanami di jawab akan ketukan di pintu. "Jantungku" Nanami memegang dadanya yang berdebar tak karuan. Dengan langkah akan pemikiran gadis itu berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Ichihiro."

Tubuhnya terdorong mundur oleh tangan Ichihiro setelah pria itu menutup dan mengunci pintu. Mereka berpandangan lama. Nanami meremat jubah mandi hotel yang dia kenakan di bagian dada. Kemudian leher Ichihiro merendah menghampirinya dan ciuman itu segera terjadi. Nanami sedikit gemetar namun tidak berusaha melawan. Dia memejamkan mata rapat. Tidak menyangka Ichihiro akan langsung seagresif ini. Ciuman yang tak bisa di bilang singkat itu terlepas. Nanami membuka mata. Dia melihat napas Ichihiro memburu, sama sepertinya. Pandangan lelaki itu juga menggelap membuat Nanami menelah ludah gugup. Ichihiro merangsek ke batang leher Nanami, kedua tangan yang sedari tadi berada di pinggulnya membimbingnya berjalan mundur untuk kemudian mendarat di tempat tidur dengan Ichihiro yang menimpanya. Detik berikutnya dua insan berbeda gender itu saling menghangatkan diri satu sama lain dengan batin si wanita yang penuh akan pemikiran berkelumit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!