Hari masih pagi. Jam kantor pun masih setengah jam lagi beraktivitas. Maka darinya Ichihiro tidak terlalu buru-buru mencapai kantor.
"Perlu berapa liter Tuan?"
Ichihiro mengangkat sedikit pandangannya untuk melihat sang petugas pom bensin dan Ichihiro terkesiap setelahnya. Bibirnya mendadak kelu ketika matanya menangkap siluet pria pemilik iris arang. Pria yang sama ketika dirinya di bar kemarin lalu. A. Seijuro, Ichihiro masih mengingatnya.
"Tuan?" Teguran itu menyadarkan Ichihiro.
"Full," petugas itu mengangguk kemudian menjalankan tugasnya mengisi tanki mobil konsumennya penuh sesuai permintaan.
"Berapa?" Ichihiro bertanya begitu selesai.
"1500 reel Tuan."
Ichihiro memberi dua lembar uang seribuan.
"Ambil saja kembaliannya," ucap Ichihiro ketika pria bertopi merah itu bersiap memberi kembalian dari tas yang melingkar di pinggangnya. Seijuro tersenyum.
"Saya harus menerima yang seharusnya saya terima," ucap Seijuro kemudian menyodorkan kembalian 500 reel pada Ichihiro. Wajah Ichihiro melunak.
"Anda orang yang aneh."
"Sudah banyak yang bilang begitu," balas Seijuro mengutas senyum tipis dibalik face fokernya.
Din
Ichihiro menutup kaca mobil kemudian melajukannya. Begitu sudah agak jauh matanya memandang kaca di sisi pintu mobilnya dan mendapati bayangan si pria merah yang terpantul kembali bertugas untuk melayani konsumen yang lain.
"Sebenarnya apa pekerjaan orang itu."
"Selamat pagi, Ichihiro-sama," ujar ramah dari seorang staff keamanan yang menyapa Ichihiro begitu dirinya tiba di kantor.
"Pagi."
Ichihiro terus berjalan memasuki gedung kantornya sebelum tiba-tiba terhenti ketika sebuah siluet tertangkap sekelebat oleh mata hitamnya. Seorang laki-laki berparas tampan dengan surai merah mencolok memakai seragam kebiruan. Ichihiro menelan ludah susah. Mendadak rasa parno menghampirinya. Bagaimana bisa dia, si Seijuro itu sudah ada disini. Sementara dia baru bertemu dengannya di pom bensin beberapa saat lalu. Apa dia sedang di teror makhluk merah itu hingga kemanapun dirinya pergi dan memandang akan menjumpai kepala merah itu.
Dia masih manusia...kan?
"Aniki!"
Seruan itu mengalihkan fokus Ichihiro ke sumber suara sebentar dan ketika dirinya kembali menoleh sosok yang tadi di lihatnya terlihat sudah berbelok. Ichihiro ingin bergerak mengejar tapi decitan pantofel yang mendekat tak bisa dia abaikan begitu saja.
"Aniki," suara itu sudah dekat.
"Ada apa Shin—"
Belum juga Ichihiro habis berbicara sebuah hantaman menyapa dahinya. Dan semua itu perbuatan dari adiknya.
Shinji.
Tidak tahu kesambet apa mengadu dahi mereka cukup keras di hari sepagi ini.
"Apa-apaan kau," desis Ichihiro memegang dahinya yang nyut-nyutan. Orang-orang yang melihat kejadian barusan hanya melotot ngeri dua bersaudara yang biasa akur malah saling beradu.
"Hadiah dariku. Siapa suruh absen meeting penting," selepas mengatakan itu Shinji berlalu begitu saja. Tidak tahu wajah Ichihiro sudah memerah jengkel memandang nyalang punggungnya. Seandainya pandangan itu punya ketajaman nyata mungkin punggung Shinji sudah koyak di buat Ichihiro. Dan kalau saja Ichihiro tak menyadari dirinya berada pastilah dia sudah meneriaki Adiknya dengan serapahnya. Tapi tidak, Ichihiro sadar bahwasannya para staff dan karyawan yang berlalu lalang memandanginya. Takut-takut memang namun tetap saja terselip penasaran dibalik acara curi pandang mereka.
"Apa yang kalian lihat. Cepat kembali bekerja," suara itu memang datar namun tetap saja mengerikan. Karenanya mereka yang masih setia memperhatikan buru-buru ke habitat mereka sebelum bos besar mereka benar-benar marah dan menyemburkan bisa beracunnya. Maka tamatlah mereka alias di pecat. Tidak, terima kasih.
****
Nanami menyipitkan mata saat cahaya matahari menerpa wajahnya. Sedikit menggeliat malas sebelum akhirnya tersentak saat menyadari dirinya berada. Segera saja perempuan itu mendudukkan diri membuat selimut jatuh ke pangkuannya dan memamerkan tubuh atasnya yang tidak mengenakan apa-apa. Kepalanya menoleh cepat kesamping. Di lihatnya tempat tidur disampingnya sudah kosong. Pria yang semalam berbaring bersamanya tidak ada. Pria itu mungkin saat ini di kamar mandi atau mungkin sudah cek out. Nanami tidak tahu yang mana. Yang jelas kini diatas tempat tidur yang semalam di tempati pria bernama Ichihiro, banyak lembaran uang dengan nominal tertinggi tergeletak disana berteman selembar kertas. Tangan Nanami bergerak mengambil kertas itu lalu membacanya.
Usai membaca surat yang di tulis Ichihiro, Nanami mengerjap mata. Seakan meloading isi surat pemberian Ichihiro. Tak lama matanya menatap lembaran uang pemberian Ichihiro. Tangannya terlihat bergetar saat memegang uang jutaan itu. Tanpa terasa air matanya kembali turun.
"Kenapa aku tidak bahagia saat mendapat uang ini? Bukankah ini yang sedang ku cari? Kenapa aku malah merasa ada sesuatu yang hilang dariku."
***
Masih didalam mobil, Ichihiro menatap datar wanita pirang pudar yang saat ini sedang menghadangnya didepan pintu masuk rumah sambil bersidekap dada. Tak lupa wajah juteknya tertampil terang-terangan. Ichihiro kemudian keluar dari mobil. Lalu berjalan santai menuju pintu bermaksud masuk.
"Dari mana kamu? Dua malam tidak pulang, ponsel tidak aktif dan jam segini baru pulang," todong Shiori teramat marah. Ichihiro menghentikan langkah sejenak sebelum kembali berjalan.
"Aku bicara padamu?" Kejar Shiori akan Ichihiro yang terus melangkah acuh.
"Aku lembur dan menginap di rumah ibu."
"Bohong! Aku semalam kesana dan kau tidak ada. Di apartemen pun tidak ada. Katakan dengan jujur, tidur dimana kamu selama dua malam ini."
Ichihiro menghentikan langkah. Begitu pun Shiori. Ichihiro memejamkan mata sejenak. Kemudian menoleh, tatapan Ichihiro yang berkilat sempat mengkeretkan nyali Shiori. "...aku lelah. Bisakah kau biarkan aku istirahat."
Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Shiori. Wanita itu hanya memasang ekspresi kesal, menatap punggung suaminya yang bergerak menjauh kemudian. Ichihiro terus berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarnya di lantai atas. Rasa penat luar biasa dan banyaknya pikiran benar-benar membuatnya tak napsu untuk makan. Karenanya Ichihiro memilih langsung memejamkan mata di kamar saja. Membiarkan tubuh penatnya yang sedikit berpeluh menemani tidurnya.
"Sayang....sayang." Shiori mengguncangi bahu Ichihiro yang sedang tertidur. Membuat pria itu membuka kelopak mata dengan sedikit enggan.
"Ada apa?"
"Coba kau lihat, kulitku sudah kasar. Aku butuh spa sayang."
Ichihiro mengeryit, menatap datar kulit istrinya yang masih terlihat halus. Bahkan Ichihiro masih ingat kulit Shiori masihlah halus dua hari lalu.
"...kupikir setiap hari kau sudah spa? Dan bukannya kemarin lusa kau habis ke mall."
Ichihiro mendudukkan diri. Menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Di tekannya pelan pelipisnya yang masih berdenyut.
Shiori tersenyum jenaka. "....sayang, sayang..waktu itu tuh aku cuma shopping. Jadi aku butuh spa sekarang." ucapnya sing a song bernada manja dan bergelanyut di dada bidang suaminya dengan telunjuk yang menari di sana.
Ichihiro diam. Tidak tahu kenapa sekarang hatinya terasa kosong dan hampa. Padahal dulu hatinya selalu berdebar dan berbunga saat Shiori memeluknya seperti ini. Apa cintanya untuk Shiori sudah berkurang? Atau mungkin saja telah sirna?
"Tiga hari lalu aku sudah memberimu sepuluh juta. Masa sudah habis," Ichihiro berujar lelah.
Shiori menjauhkan kepala. Lalu memasang wajah cemberut yang di buat seimut mungkin.
"Jadi kau mau bilang tidak mau memberiku uang?"
Ichihiro diam. Menatap lurus iris mata Shiori yang dulu begitu di pujanya. Dulu?
"Baiklah kalau kau memang tidak mau memberiku uang." Shiori beranjak dari duduknya, berniat keluar.
"Shiori tunggu."
Shiori menghentikan langkah tanpa menoleh.
"Kau ingin berapa?"
Shiori mengulas senyum tipis yang terlihat menyebalkan. Segera saja wanita itu berbalik dan memasang wajah semanis mungkin.
"20 juta."
"Banyak sekali."
Shiori kembali cemberut. Ichihiro menghela napas. "....baiklah, tapi aku tidak bisa memberimu segitu."
Ichihiro membuka laci nakasnya. Meraih ceknya dan menulis nominal di sana. Tak lupa tanda tangannya dibubuhkan.
"Aku hanya bisa memberimu 10 juta." Ichihiro mengulurkan cek itu. Secepat kilat Shiori mengambilnya.
"Terima kasih sayang." Shiori mengecup pipi suaminya kilat. Lalu berlari keluar dengan tingkah terlalu girang.
Ichihiro menggeleng kepala. Di liriknya jam yang menggantung di dinding. Menghela napas kasar. Baru juga dia tidur 15 menit tapi istrinya sudah membangunkannya hanya untuk meminta uangnya. Tidak bisakah Shiori sedikit saja memperhatikannya. Setidaknya menanyakan, apa dia baik-baik saja atau ada yang di inginkannya. Ichihiro mulai lelah sekarang. Lelah dengan semuanya. Kenapa jadi begini. Dia merasa sekarang Shiori hanya menjadikannya sebagai ATM atau BANK berjalan yang hanya di perlukan untuk di mintai uang saja.
Ichihiro menatap kosong plafon kamarnya yang terdapat lampu gantung besar. Dia ingin tidur lagi. Namun kantuk sudah terlanjur menguap. Menyibak selimut, Ichihiro turun dari tempat tidur. Berjalan memasuki kamar mandi untuk membasuh diri. Dia belum sempat mandi tadi.
Usai mandi, Ichihiro memakai pakaian kantor seperti biasa hanya saja tanpa jas dan dasi. Berjalan menuruni tangga menuju lantai bawah Ichihiro membuka tudung saji dan mendesah pelan. Memang di sana banyak makanan yang tersaji. Tidak seperti sebelum-belumnya. Hanya saja semua makanan itu pastilah dari restoran. Menilik dari jenis makanannya. Selalu seperti ini. Akhir-akhir ini istrinya tidak pernah memasak untuknya. Padahal dia sudah kangen masakan dan perhatian dari istrinya. Ichihiro ambil posisi duduk kemudian mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk.
Ichihiro menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. Namun baru satu kunyahan, pria itu sudah berlari menuju wastafel dan segera melepehkan makanan didalam mulutnya. Ichihiro pun membasuh mulutnya yang kotor. Kedua tangannya yang berpegangan di tepian wastafel bergerak mencengkram. Dia tidak tahu seberapa besar lagi rasa sabar yang harus di miliki dan di tahannya. Kali ini istrinya sudah sangat-sangat keterlaluan. Tega-teganya dia memberi suaminya sendiri makanan basi. Kalau memang tidak mau memasak, apa tidak bisa membelikannya makanan yang baru.
Ichihiro beranjak dan keluar rumah. Menaiki mobilnya dan melajukannya tak tentu arah. Dia butuh ketenangan dan menyatukan kepalanya.
Ichihiro tidak tahu seberapa jauh mobilnya melaju. Yang jelas saat ini Ichihiro telah menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan yang sepi. Disamping kanan jalan terdapat banyak pepohonan besar yang tumbuh tinggi menjulang dan jalan setapak yang sepertinya menuju bukit.
Ichihiro terdiam di mobilnya. Lama. Dia membiarkan suara alam menemaninya. Angin yang berhembus lembut terus menarikan rambutnya dari kaca mobil yang sengaja dia buka.
"Berikan dompetmu"
Sebelah alis Ichihiro bergerak naik saat sebuah pisau menodong lurus di lehernya. Ichihiro mendongak hanya untuk bertemu wajah familiar namun dengan penampilan sedikit berbeda. Tanpa di minta benaknya menggumam sebuah nama yang di miliki seorang temannya. Tapi Ichihiro sadar, orang di hadapannya jelas berbeda dengan teman yang di kenalnya. Mereka hanya memiliki rambut yang sama. Orange terang berantakan dengan ujung runcing seperti duri durian.
"Ada apa ini?"
"Jangan banyak bicara, cepat serahkan dompetmu" desisnya. Iris madu itu menajam.
Ichihiro menyungging senyum miring. "Apa aku sedang di rampok" tanyanya tenang.
"Diam! Atau aku akan melakukan sesuatu yang kasar"
Lagi-lagi Ichihiro mengulas senyum. Dari tatapannya Ichihiro bisa membaca jika orang di hadapannya tidak benar-benar akan melakukan kekerasan padanya. Iris itu memendar keraguan. Dia hanya menggertak. Entah bagaimana hati kecil Ichihiro merasa orang ini sebenarnya orang baik.
Ichihiro membuka pintu membuat pemuda itu di buat bergerak mundur dengan gestur menjadi goyah. "J-jangan coba-coba."
"Kalau aku tidak mau kau mau apa"
"Jangan main-main atau—"
"Atau apa? Kau akan membunuhku"
"Ya" dan pisau itu tepat mengarah di bagian pinggang Ichihiro. "Jangan dikira aku hanya menggertak Tuan. Karena itu, cepat serahkan"
"Orang tolol mana yang pasrah saat di rampok"
Keadaan berbalik, kini Ichihiro yang memegang kendali. Dengan ketangkasan handal Ichihiro membekuk pemuda orange itu, mendempetkan kasar ke bodi samping mobilnya dengan satu tangannya di kunci erat kebelakang membuat pemuda itu berteriak karena lengan yang di putar. "Bagaimana?" Ichihiro menyeringai.
Pemuda itu tak menyerah begitu saja, dia pun melakukan perlawanan membuat mereka beradu fisik tapi pada akhirnya pemuda itu kembali di taklukkan oleh Ichihiro dengan kini posisi berlutut di tanah dan satu lengan yang Ichihiro kunci erat ke belakang.
"Moodku dalam keadaan tak baik, jika kau kukuh menggangguku. Aku tak jamin kau akan selamat, orang asing" desis Ichihiro di telinga pemuda berhelai orange itu.
Ichihiro memasuki mobilnya kemudian melaju tidak slow meninggalkan si pemuda yang bergeming dengan pemikiran yang di ucapan pemuda berambut hitam legam barusan.
"Yuzuhiko"
"Satoru?" Ucapnya pada pemuda pemilik surai merah bermata coklat yang berjalan menghampiri.
"Aku melihatnya tadi"
"Kenapa tidak membantuku heh" pemuda orange itu—Yuzuhiko jelas kesal.
"Kita memang ahli mencopet Yuzuhiko tapi untuk merampok sepertinya nol besar."
Yuzuhiko mendecih. Satori mengulum senyum. Kemudian menepuk satu bahu sahabatnya. "Caramu salah memangsa, kawan"
****
Nanami menyerahkan sejumlah uang pada pemilik flat yang disewanya ketika menagih.
"Ck, kemarin-kemarin nunggak dan sekarang bayaran kurang. Lalu kapan kau akan membayar penuh," wanita itu menampilkan dengan jelas raut tak sukanya seusai hitungan uang yang kurang.
"Maaf nyonya, untuk saat ini saya sedang membutuhkan uang itu untuk membayar uang kuliah saya."
"Ck, kau pikir aku tak butuh uang hah? Dari pada kau buang uangmu percuma untuk pendidikan yang belum jelas akan hasil timbal balik yang kau dapatkan kemudian lebih baik kau berhenti kuliah dan menabung untuk masa depanmu," ketus wanita gempal itu. Kemudian memandangi tubuh Nanami yang berlapis kain kedodoran. Tidak terlalu berisi tapi cukup menarik.
"Atau kau bisa menjual tubuhmu itu. Walau tak begitu bohai tapi kau punya wajah lumayan dan aku yakin kau pasti laku. Jadi kau tidak perlu berhutang lagi padaku terus-menerus begini."
"Nyonya tolong jaga bicara anda," Nanami mengepal tangan erat. Gara-gara perkataan si Ibu flat Nanami jadi terbayang malamnya dengan Ichihiro yang berakhir menyakitkan.
"Apa? Kau tersinggung," wanita itu memberi tatapan sinis.
"Lagipula aku tak percaya kau belum melakukannya."
Nanami meremat rok bahannya. Wanita bermulut pedas ini benar-benar keterlaluan menghinanya.
"Nyonya cukup! Atau saya akan marah dan bertindak tidak pantas pada Nyonya."
"Hem," wanita itu kehilangan moodnya.
"Pokoknya ingat, kau harus memenuhi tunggakannya berikut bayaran bulan depan. Aku tidak menerima alasan apapun. Kalau tidak bersiaplah angkat kaki," selepas mengatakannya wanita itu berlalu meninggalkan Nanami yang akhirnya merosot jatuh. Perempuan itu menangis. Dan begitu menyadari air matanya menetes, buru-buru di hapusnya bulir bening itu. Rasanya sesak sekali tapi Nanami tak memiliki siapapun untuk berkeluh kesah. Nanami ingin sekali memiliki seseorang. Tak banyak. Satu pun cukup. Dia hanya ingin seorang yang bisa di andalkan dan tempatnya bersandar. Dia sudah lelah. Lelah akan hidupnya yang sulit dan keras. Saking lelahnya bahkan Nanami pernah ada niatan untuk menjadi simpanan pria tua kaya saja. Tapi semua itu di urungkan. Selain hatinya yang menjerit menolak, Nanami juga berpikir bahwasannya dia jelek dan pastilah tidak ada yang mau menjadikannya wanita simpanan. Dan pastinya, Ibunya pasti akan bersedih di nirwana jika dia menjadi wanita perusak rumah tangga orang lain. Namun kenapa pada akhirnya dia tetap kehilangan mahkotanya juga. Sampai detik ini Nanami masih menyesali tindakannya akibat berputus asa hingga akhirnya meminta kerjaan pada Mei di klub malam itu dan berakhir bertemu Ichihiro. Puncak dari semuanya menjadi lebih kacau. Karena pada akhirnya setelah kehilangan keperawanannya kepercayaan diri Nanami pun ikut menurun. Nanami menangis begitu sedih dan kesakitan. Mental dan psikisnya lelah.
"Nanami."
"Ukitake."
Nanami yang hendak masuk kembali berbalik ketika ada yang memanggilnya dan menemukan teman sebayanya yang juga satu kampus cuma beda jurusan. Untungnya Ukitake tidak mendapatinya yang tengah menangis menyedihkan tadi.
"Kau...habis menangis ya," terlihat hati-hati mengatakannya. Nanami buru-buru memeriksa pipinya.
"Ah tidak, ini tadi habis kupas bawang kok Haha," terlihat bodoh. Ukitake meringis. Prihatin. Gadis itu memang selalu saja pura-pura kuat. Ukitake sebenarnya ingin membantu. Hanya saja dia sama dengan Nanami seorang perantauan. Terlebih Ukitake punya adik yang harus ikut di biayainya di kampung halaman tercinta.
"Kamu lucu ya, masa sama bawang yang kecil dari kamu saja sampe bisa dibuat nangis gitu," guyon Ukitake terdengar garing memang tapi berhasil membuat Nanami mengukir senyum.
"Ukitake bercandamu jelek sekali."
"Yang penting kau bisa tersenyum manis lagi begitu," balas pemuda itu. Nanami menghela napas. Kemudian kembali mengukir senyuman.
"Ukitake....terima kasih ya."
"Untuk apa?"
"Semua."
"Kau tidak perlu mengatakan itu, kita teman. Jadi saling menguatkan itu hal biasa," ucap Ukitake dengan tulus membuat Nanami kembali tersenyum. Setidaknya dia bisa melupakan sejenak kesedihan di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments