Anisa berjalan gontai, Rasa lelah menguasai jiwa dan raganya. Setelah perdebatan yang tak di gubris oleh lawan. Radit terlalu kuat untuk di sandingkan dengan Anisa. Hanya dengan tatapan tajam dan beberapa patah kata saja, Anisa sudah merasa begitu ciut. Tanpa di jelaskan pun, semua orang akan tau. Pak tetangga itu horang kaya.
Langkah Anisa terhenti saat berada di depan lobi rumah sakit. Anisa menangkap sosok yang sangat ia kenal. Anisa menggerutu kesal. Mengapa ia juga harus bertemu Fatah, saat ini. Disaat dirinya dalam keadaan kesal. Sungguh hari yang sangat luar biasa.
Andai saja bisa, Anisa ingin secepatnya menghilang dari sosok Fatah yang sudah terlanjur melihatnya. Namun rasa gengsinya lebih tinggi. Anisa ingin menunjukan dirinya kuat dan baik baik saja.
Fatah berjalan beriringan dengan wanita selingkuhannya. Oh, bukan lagi selingkuhan, karena sekarang Fatah adalah pria bebas. Mungkin statusnya sudah naik jadi calon istri, tunangan, atau kekasih. Kepala Anisa semakin pening dengan pemikirannya sendiri. Anisa tersenyum getir. Rupanya tidak baik berpura pura kuat di hadapan pasangan itu.
Tapi memang sudah nasib harus bertemu dan saling berhadapan. Tidak ada lagi celah untuk menghindari pertemuan mereka. Anisa menarik nafas dalam mempersiapkan detik detik pertemuan.
Fatah sudah di depannya dengan tatapan menyelidik. Memperhatikan Anisa dari atas sampai bawah . Mungkin Fatah sedikit asing dengan penampilan Anisa yang tertutup sekarang.
"Siapa yang sakit Nisa?"
"Tetangga " jawab Anisa yang mencoba tenang. Padahal dadanya penuh gemuruh di sana. Teryata hatinya sakit, saat kembali melihat kemesraan Fatah dan perempuan muda itu.
Fatah mengangguk, kemudian kembali bertanya tentang putrinya.
"Apa Lea tidak pernah menanyakan, ayahnya? Sudah sebulan ini aku tidak menerima telepon dari Alea" tanya Fatah lagi.
"Aku tidak menghalangi, kamu untuk bertemu atau menelepon putrimu. Alea sering bersama ibu. Kamu masih punya nomor ibu, kan?"
"Iya, Nis"
"Aku buru buru, harus pulang" pamit Anisa. Ia sudah tidak tahan melihat Gina yang menggelayut manja di lengan Fatah.
Fatah hanya bisa bergeser memberi jalan untuk Anisa keluar dari loby. Matanya menatap wanita yang telah ia khianati hingga menghilang. Tatapan itu begitu dalam. Entah apa yang di rasakan fatah. Yang pasti wanita di sebelah Fatah terlihat sangat cemburu.
Sampai di tempat parkiran, Anisa berhenti. Tubuhnya terhuyung hingga ia bersandar di pintu mobilnya. Perasaan sakit di dadanya kian terasa. Sekuat apapun ia menahan akhirnya tumpah juga. Seperti anak kecil Anisa tersedu. Meluapkan rasa sesak yang ia tahan sedari tadi. Anisa tidak lagi memperdulikan orang orang yang memperhatikannya. Ia hanya ingin menumpahkan perasaannya saat itu.
Berulang kali Anisa melafalkan kalimat istighfar. Agar hatinya bisa lebih menerima semua. Dia akan mencoba iklas. Namun sebagai manusia biasa, dia juga butuh waktu untuk bisa kembali kuat. Melupakan semua rasa yang pernah ada. Juga menerima takdir yang menimpanya.
Baru saja Anisa akan membuka pintu mobilnya. Dia harus melihat lagi pak tetangga yang sombong sedang menerima telepon tepat di samping mobilnya. Jangan jangan, pak tetangga sudah berada di situ dari tadi dan melihatnya menangis. Anisa langsung menutup mukanya. Ia mengumpat dalam hati pada pria sombong itu dan masuk kedalam mobil.
Baru akan menyalakan mesin mobilnya, ponsel Anisa berdering. Tertera nama ibu di layar, Anisa segera mengangkatnya. Ibu pasti sudah menunggu kabar dari Anisa sejak tadi. Tiba tiba Anisa ingin kembali menangis merutuki kebodohannya hari ini.
" Ya, Bu" jawab Anisa sambil menyeka ujung matanya yang masih mengeluarkan bulir bening.
"Bagaimana keadaan Ara?"
"Ara sudah ditangani oleh dokter, Bu. Alhamdulillah sudah membaik. Insha Allah akan baik baik saja"
"Syukurlah, nak. Apa kamu akan menunggu di sana?"
"Tidak, Bu. Sudah ada ayahnya "
"Ya sudah. Kamu hati hati, di jalan. Ibu dan Lea menunggu kamu pulang"
"Iya, Bu. Terima kasih" Anisa menutup ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam tas.
Ia segera menyalakan mobilnya dan membawanya ke jalan. Anisa ingin segera pulang. Meneluk Alea dan ibu. Dua orang yang selalu mencintainya tanpa syarat.
***
Radit berhenti di parkiran tepat di samping mobilnya. Dia melihat Anisa yang bersandar di pintu mobil merah sambil terisak. Perempuan itu sepertinya hobi sekali menangis. Radit jadi merasa tidak enak hati. Diam diam ia menatap Anisa. Mungkin wanita itu butuh pertolongan darinya.
Saat sedang terpaku memperhatikan Anisa ponsel Radit berbunyi. Sialan, ia hampir tertangkap basah sedang memperhatikan Anisa. Radit segera mengangkat ponselnya.
"Ya, ma"
"Ara sudah baikan, kok. Mama bisa ke sini, kan? Radit harus pulang dulu"
"Iya, ma. Terima kasih" Radit menutup ponselnya kemudian memasukan ke dalam saku.
Radit di kejutkan dengan mobil Anisa yang berjalan begitu kencang melintasinya. Radit hanya menggelengkan kepala. Mudah mudahan wanita itu baik baik saja di jalan.
Radit harus pulang ke rumah terlebih dahulu. Dia juga butuh persiapan untuk tidur di rumah sakit. Ia akan mandi dan berganti baju. Yang paling penting ia harus mengisi perutnya yang belum terisi dari siang. Pantas saja emosinya meledak ledak.
Radit bisa merasa tenang, saat ini mama sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Tentu saja mama setengah menyalahkan Radit yang kurang perhatian pada putrinya. Berulang kali sang mama meminta Radit untuk menikah kembali. Tapi Radit terus saja menolak.
Radit sudah mempersiapkan diri jika nanti bertemu sang mama. Wanita paruh baya itu pasti akan memberi nasehat yang sama. "Menikahlah...Ara butuh sosok ibu. Mungkin kamu tidak butuh istri tapi anakmu...?"
Radit tersenyum dengan ucapan mama yang selalu sama dan berulang. Radit pun akan menjawab dengan jawaban yang paling diplomatis dan sang mama tidak akan berkutik." Radit belum bisa jatuh cinta dengan wanita lain, ma. Mungkin jodoh Radit masih jauh" Selalu seperti ini di tiap akhir perdebatan Radit dan mama. Biasanya sih mama langsung diam. jodoh memang rahasia Tuhan.
Sampai di rumah, Radit langsung turun. Pria itu terlihat begitu berwibawa. Saat ini semua pekerja tampak tegang. Mereka merasa bersalah juga takut. Apa lagi wajah lelah Radit semakin membuat suasana tambah horor.
Radit duduk di meja makan, bik Tuti yang biasa memasak di rumah itu langsung mendekat. Ia menanyakan keinginan Radit dengan hati hati.
"Den, Radit mau makan sekarang? Biar bibik siapkan"
Radit mengangguk sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Tanpa banyak bicara, Radit langsung makan dengan lahap. Radit tau semua asisten di rumah ini sedang ketakutan gara gara Alea masuk rumah sakit.
"Siapkan baju Alea, bik. Tiga atau empat potong. Jangan lupa alat mandinya"
"Baik, den" bik Tuti bernafas lega, melihat Radit melunak. Semua takut jika sampai ada pemecatan.
Setelah mandi, Radit mengenakan baju santainya. Kaos oblong biasa juga celana training. Saat ia duduk di depan meja rias. Matanya tertuju pada foto foto yang ada di atas meja. Foto foto Ara dari bayi hingga usia lima tahun. Banyak kenangan yang ada di sana
Sepenggal memori berkelebat. Bayangan Bela, Mami dari Ara. Wanita itu telah meninggalkan Radit bersama Ara. Dan kepergian Bela meninggalkan luka juga pertanyaan yang selalu bergemuruh di benak Radit.
Waktu itu, Radit sedang berada di kantornya. Ada pesan masuk ke dalam ponselnya. Radit membuka pesan yang berupa beberapa foto. Foto foto Bela yang sedang lelap dalam pelukan pria lain.
Radit tidak mempercayai penglihatannya. Bisa saja itu hanya gambar rekayasa. Yang berusaha meruntuhkan keluarga kecilnya. Begitu sanggahan pikiran waras Radit saat itu. Diikuti dengan pesan kedua masuk.
"Jika aku tidak bisa memilikinya, kamu juga tidak, aku akan membawanya ke surga. Tempat yang tidak bisa kau sentuh " pesan dari nomor yang tak dikenal.
Dan satu jam kemudian Radit mendapat kabar istrinya kecelakaan masuk jurang bersama pria yang ada di dalam foto.
Apa arti dari semua ini. Apakah benar Bela mengkhianati dirinya. Atau Pria itu yang menculik Bela. Berjuta tanya dalam benak Radit berkecambuk. Dan jawabannya hanya Bela yang tau. Hingga kini Radit hanya bisa menerka nerka saja.
Radit mengusap mukanya kasar. Memori itu ia buang jauh. Ia mencoba berpikir jernih. Bagaimanapun selama bersama. Bela selalu menjadi istri yang baik. Tidak mungkin ia selingkuh.
Radit meletakkan kembali, foto foto itu di tempatnya. Apapun yang terjadi, Radit selalu mendoakan Bela bahagia di sana. Mungkin jodohnya harus sampai di sini. Radit sudah mengikhlaskan masa lalunya. Namun dia tidak menampik jika kejadian itu begitu membekas dan meninggalkan ketakutan tersendiri.
Dia selalu berhati hati pada wanita yang mendekatinya. Radit terlalu sempurna sebagai pria. Memiliki paras rupawan, tubuh tegap atletis. Belum lagi menyandang nama Wijaya di belakangnya. Seorang konglomerat yang memiliki berbagai bidang usaha. Dari properti, hotel, hingga beberapa pusat perbelanjaan di beberapa kota besar. Meski demikian, kehidupan Radit tidaklah semewah pengusaha yang lain. Ia hidup sederhana dan membaur. Dia tampak sebagai orang kaya tapi tidak mewah untuk ukuran konglomerat.
**
Radit sudah berada di ruangan Rawat Ara. Beberapa suster dan dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Ara. Bik Siti masih setia menunggu di sana.
"Bibik pulang saja, ada pak Amat yang akan mengantar" suara Radit tidak lagi seseram tadi.
"Den Radit, Bibik minta maaf" bik Siti menunduk wajahnya tampak memelas. Tentu saja Radit merasa iba. Bik Siti merupakan salah satu orang yang sangat berjasa dalam membesarkan Ara.
"Iya, saya maafkan. Lain kali jangan sampai teledor seperti itu. Ara masih belum paham apa yang bisa ia makan dan tidak. Anak seusia Ara hanya mengikuti kata hatinya. Jika dia suka dia akan memakannya" Radit menasehati bik Siti.
"Iya, den. Bibik akan ingat pesan den Radit"
"Ya, sekarang bibik pulang saja. Jangan lupa besok datang pagi. Minta pak Amat untuk mengantar" Setelah mendengar instruksi dari Radit, bik Siti langsung pamit untuk pulang.
Mama Arini hanya menatap putranya datar. Wanita paruh baya itu sudah bosan membicarakan tentang calon ibu untuk Ara. Radit selalu menolak. Akhirnya mama Arini menyerah. Sebagai seorang nenek ia sebenarnya ingin Ara lebih terurus oleh tangannya sendiri. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena Mama Arini pun harus sering keluar kota bahkan luar negri untuk menemani sang suami yang semakin tua semakin manja.
" Ara belum bangun, Dit?"
"Belum, ma. Kayanya pules banget mungkin pengaruh obat" Radit merebahkan diri di sofa tempat menunggu pasien.
Mama Arini mendekati Radit, ia duduk di dekat putranya.
"Mama tidak bisa terlalu lama di sini. Kamu tau kan, papa seperti apa sibuknya?"
"Iya" ucap Radit singkat.
"Coba kalau kamu sudah siap menggantikan papa. Papa tidak harus sesibuk ini"
"Kalau aku menggantikan papa, bagaimana dengan Ara? Aku akan semakin sibuk"
"Cari istri yang bisa kamu percaya, Dit. Sudah tiga tahun Bela pergi. Apa tidak ada wanita yang membuat kamu jatuh cinta?"
"Ma..., Masalah hati tidak bisa di paksa. Mama mau menikah dengan orang yang tidak mama cintai?"
"Pernikahan mama dan papa memang awalnya seperti itu, Dit" mama justru terkekeh dengan kisah pernikahannya dengan Wijaya. Awalnya dia sangat membenci sang suami namun lambat laun cinta mulai tumbuh di hatinya. Wijaya bisa mengalihkan dunia Arini dengan kebesaran cintanya.
"Nggak usah pamer kisah romantis kalian, Ma. Untuk wanita mungkin mudah saja melabuhkan cinta. Tapi untuk pria itu terasa sangat sulit. Aku tidak mau gagal. Aku harus memiliki cinta yang kuat seperti papa, agar bisa menaklukan wanita impianku"
"Kapan? Kasian papamu sudah terlalu tua" mama Arini seolah mengeluh pada putranya. Radit diam tidak lagi menjawab keluhan ibunya. Karena dia sendiri tidak tau itu kapan.
"Papi, bunda di mana?" Ara yang terbangun dari tidurnya langsung mencari sosok Anisa.
"Bunda?" Mama Arini terkejut dengan pertanyaan cucunya.
Mama Arini menoleh ke arah putranya yang langsung berdiri mendekati Ara yang masih terbaring.
"Anak papi sudah bangun, mau minum atau mau apa? Biar papi ambilkan"
Ara menggeleng. Gadis kecil itu membutuhkan jawaban bukan pertanyaan untuk mengalihkan bahasan utama.
"Bunda mana?" Ara kembali bertanya. Membuat Radit salah tingkah. Belum lagi wajah mama Arini yang terlihat sangat penasaran.
"Maksud kamu, Tante yang bawa kamu ke rumah sakit? Dia sudah pulang dari tadi" jawab Radit singkat.
"Tapi bunda mau ke sini lagi, kan?"
"Papi tidak tau" ucap Radit acuh.
"Ara sama Oma dulu, ya? Nanti kalau Ara sudah sembuh kita temuin bunda kamu" mama Arini terlihat sangat antusias dengan sosok yang di panggil bunda oleh cucunya. "Sekarang, Ara makan dulu biar cepat sembuh"
Ara pun menganggukkan kepalanya. Dengan mudah Oma membujuk sang cucu. Tentu saja itu yang di inginkan Ara. Bersama sosok wanita yang ingin ia panggil bunda.
"Oma suapin, ya" mama Arini mengurus sang cucu dengan telaten. Suap demi suap masuk kedalam mulut mungil Ara.
"Ara..."
"Ya, Oma" mama Arini melirik kearah Radit kemudian beralih pada cucunya.
"Apa bunda cantik?"
"Cantik, Oma" jawab Ara jujur.
Telinga Radit memerah. Pasti sang mama salah paham. Dia harus menghentikan kekonyolan sang mama secepatnya.
"Ma...tidak seperti yang mama duga. Aku bahkan tidak mengenal wanita itu. Dia hanya tetangga sebelah rumah yang membuat Ara masuk rumah sakit" Radit terlihat kesal dengan ulah sang mama yang terlalu kepo.
Mama tertawa melihat reaksi Radit. Dia terlalu berharap ada wanita yang sedang dekat dengan putranya. Hati ibu mana yang tidak merana, putranya begitu sempurna tapi tetap menyendiri.
"Jangan mikir yang aneh aneh, ma"
"Maaf Dit, mama terlalu berharap. Tapi jujur, melihat Ara yang begitu berharap pada wanita itu membuat feeling mama yakin. Wanita itu pasti sangat istimewa"
"Terserah mama saja, Asal jangan buat aku malu, ma. Aku masih laku tanpa harus kalian jodoh jodohkan"
Radit keluar dari ruang perawatan Ara. Ia pergi untuk sekedar menghirup udara segar di luar. Dia pun ingin menghindar dari desakan sang mama yang terus menerus memintanya mencari pendamping pengganti Bela. Mereka tidak tau apa yang telah ia lalui.
Sampai detik ini, Radit menutupi tetang kejadian yang menimpa dirinya. Seluruh keluarganya hanya tau Bela meninggal karena kecelakaan. Sedang pria yang bersama Bela tidak pernah ada yang tau. Meski itu keluarga Bela sendiri. Radit menutup rapat, karena dia sendiri tidak tau kebenarannya seperti apa.
Malam terus merambat, Radit masih betah duduk di taman. Sesekali ia menatap langit yang nampak cerah dengan cahaya bulan. Ia menoleh ke arah pergelangan tangannya dan segera bangkit dari bangku taman. Semoga sang mama sudah tertidur di dalam dengan Ara. Ia sedang enggan meladeni mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Nanik Purnomo
next
2021-04-19
1