Ibu menatap takjub dengan tampilan baru putri tercintanya. Penampilan Anisa berubah total. Tubuhnya berbalut baju panjang yang dihiasi kerudung dengan warna senada. Dia terlihat semakin cantik dan teduh.
Anisa mengerti tatapan ibunya "Mulai di hari yang baik ini, aku ingin menjaga diriku dengan hijab, bu. Sudah saatnya aku memperbaiki diri" Anisa tersenyum lembut.
"Alhamdulilah, Nis. Ibu turut senang. Semoga kita Istikomah dalam kebaikan, nak" ujar ibu antusias.
"Bismillah ya, Bu. Terima kasih untuk setiap doa yang ibu lantunkan untuk kebaikanku"
"Ibu selalu bangga memilikimu, Nis. Semoga bahagia akan kembali menaungi mu" mata ibu berkaca kaca. Kemudian memeluk putri semata wayangnya. Anisa adalah putri yang selalu membuatnya tenang dan bangga selama ini. Mungkin ini jalan yang harus di lalui putrinya menuju kebahagian yang hakiki. Ibu selalu berbaik sangka pada sang pencipta semesta.
"Terima kasih untuk semuanya, Bu. Nisa harus segera berangkat" Anisa mengurai pelukannya.
"Iya, hati hati di jalan" ibu mengantar Anisa sampai teras.
Anisa tersenyum lega seraya meraih tangan ibu yang selalu ada untuknya, kemudian menciunya. Anisa melambai kemudian masuk kedalam mobil merah yang terparkir depan rumah.
Mobil kecil merah, melesat tenang di jalanan aspal menuju sebuah sekolah SMA swasta elit di Jakarta, SMA Garuda. Di sanalah Anisa mengajar. Anisa menjadi salah satu staf pengajar yang cukup kompeten.
Anisa memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Kemudian berjalan dengan percaya diri menuju ruangan guru. Kebetulan ia ada jam pelajaran pertama di kelas IPA dua. Beruntungnya dia bisa sampai dengan tepat waktu. Bahkan dia masih punya sisa lima menitan untuk sekedar menyiapkan diri.
Sampai di ruangan guru, Anisa meletakan tas di atas mejanya. Menyiapkan buku yang akan dibawa kedalam kelas nanti. Beberapa staf pengajar yang sudah datang menyapa Anisa yang berpenampilan baru. Mereka memuji dan memberi Anisa semangat.
"Pagi Nisa, Tampilan baru nih" Nania sahabat terdekat Anisa. Ia menggoda Nisa yang tampil beda hari ini. Anisa hanya tersipu.
"Iya, Na. Minta doanya, ya. Semoga aku bisa Istikomah"
"Pasti, Nis. Aku dukung seratus persen" Nania menepuk pelan bahu Anisa. Memberi semangat.
"Thanks, Na" keduanya tertawa ceria.
Nania dan Anisa memang begitu dekat. Kepada Nania lah Anisa bisa lebih terbuka tentang keadaan rumah tangganya. Nania dengan senang hati mendengarkan keluhan Anisa. Meski kadang Nania sering melakukan hal konyol yang membuat Anisa kesal.
Bel berbunyi tanda kelas akan segera di mulai. Mereka menuju kelas masing masing untuk mengajar. Sebelum berpisah, Nania masih menyempatkan diri memberi kode jempol pada Anisa. Anisa hanya menggelengkan kepalanya menanggapi Nania.
Anisa melangkah masuk kedalam kelas. Sejenak muridnya terdiam, kemudian mereka saling bersahutan mengomentari penampilan baru Anisa. Anisa hanya tersenyum santai mendengar komentar murid muridnya. Menghadapi anak seusia mereka janganlah terlalu kaku. Kadang celotehan mereka bisa menjadi hiburan tersendiri.
**
Tepat jam dua, Anisa sudah sampai di rumahnya. Ia di sambut oleh putri kecilnya yang baru saja bangun dari tidur siangnya.
"Bunda sudah pulang" mata indah itu mengerjap lucu. Rambut Alea masih berantakan.
"Iya" ujar Anisa sembari meletakkan tas di atas tempat tidur.
"Sini, bunda sisirin dulu rambutnya" Anisa sudah memegang sisir dan ikatan rambut untuk Alea. Alea mendekat sambil menguap ia membiarkan Anisa merapihkan rambutnya yang panjang.
"Lea mau dikepang dua" ucap Lea saat Anisa hendak menguncir rambutnya jadi satu.
"Oh, oke" Anisa lantas membagi dua bagian rambut Alea untuk dikepang sesuai permintaan.
"Lea selalu cantik, anak siapa sih, ini" puji Anisa saat menyelesaikan kepangan rambut Alea. Dia mulai gemas dengan putrinya. Ia berkali kali mencium pipi Alea. Alea hanya tertawa tawa senang dengan pujian sang ibu.
Saat sedang asik bercengkrama. Ara datang dengan bik Siti. Ara memakai stelan baju celana warna hijau bergambar Ultraman. Selera berpakaian yang aneh. Sayang sekali, Anak secantik itu di dandani seperti lelaki.
Anisa tersenyum lepas melihat Ara. ingin rasanya menyisir dan mendandani Ara sesuai dengan gendernya. Paling tidak pakaiannya bermotif feminim.
"Ara sudah datang?" Tanya Anisa sambil meletakkan sisir yang baru saja ia gunakan.
Ara hanya menatap Anisa yang sedang bertanya padanya. Raut mukanya seperti sendu. Tangan kecil Ara meraih tangan Anisa kemudian menggelayut manja. Anisa membiarkan saja tingkah Ara yang seperti itu.
"Sudah Tante"
" Lea, ada Ara. Katanya mau main boneka" Anisa menoleh pada putrinya. Kemudian Alea mengangguk.
Alea mengajak Ara bermain di ruang tengah. Di sana koleksi boneka bonekanya berada. Ara belum melepaskan tangan Anisa. Sepertinya, sangat menyenangkan menggandeng tangan Anisa bagi Ara. Anisa mengikuti Alea dan Ara masuk ke ruang tengah.
Anisa di bantu bik Siti mengeluarkan koleksi boneka Alea dari tempat penyimpanannya. Ara sudah mulai antusias dengan boneka boneka milik Lea.
"Sekarang, Lea dan Ara boleh main boneka di sini. Bunda akan ke kamar dulu" ucap Anisa. Kedua bocah itu mengangguk. Sebelum pergi Anisa mengecup kening putrinya. Ia hendak kembali ke kamar untuk istirahat sejenak.
Ara mendekati Anisa. Dia menyodorkan keningnya juga. Dengan spontan Anisa pun memberi hadiah kecupan sayang di kening Ara. Ara terlihat sangat senang dengan perlakuan Anisa padanya. Mata beningnya mengerjap di barengi senyum yang mengembang. Tanpa diduga Ara memeluk Anisa erat.
Anisa masih terkejut dengan tindakan Ara yang tiba tiba memeluk dirinya. Ada rasa iba di hati Anisa.
"Ara dan Lea tidak boleh rebutan, ya. Selamat bersenang senang"
Lea mengangguk dan mengajak Ara bermain boneka. Mereka membagi boneka boneka yang ada menjadi dua bagian, untuk Ara dan untuk Lea. Kemudian keduanya mulai larut memainkannya bersama.
Bik Siti sedang mengobrol dengan bu Ratna di teras depan. Sedang Anisa kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak. Menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku setelah seharian beraktifitas. Kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Semuanya berjalan sempurna dan tenang. Anisa sudah mulai terlelap.
Tiba tiba terdengar suara jeritan dari ruang tengah. Suara ibu dan juga bik siti. Anisa mengerjapkan matanya. Dengan wajah yang masih kuyu ia segera menuju ke arah ruang tengah. Di sana sudah ada bik Siti ,ibu juga Ara dan Lea .
Anisa sangat terkejut ketika melihat keadaan Ara. Kulit tubuhnya terlihat merah merah seperti ruam.
"Ada apa ini? Kenapa kulit Ara merah semua?"Anisa mulai cemas.
"Ara makan udang sama non Lea tadi, neng" bik Siti tidak kalah panik. Wanita itu lebih kebingungan.
"Apa Ara alergi udang?"
" Iya neng "
"Ya ampun, bik. Kenapa tidak bilang dari tadi. Kita harus cepat membawa Ara ke rumah sakit. Saya takut terjadi apa apa"
Anisa bergegas masuk kedalam kamar mengambil tas dan juga kunci mobil. Bik Siti sudah menggendong Ara yang tampak lemah. Mungkin ia sedang menahan rasa ruam juga nafasnya yang mulai sesak.
"Bu, titip Lea. Saya bawa Ara dulu ke rumah sakit"
"Iya, hati hati, Nis. Kalau sudah sampai cepat kabari ibu.
Anisa melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Ara harus secepatnya mendapat pertolongan. Jangan sampai terjadi sesuatu pada Ara. Bisa kacau semuanya. Andai saja ia tidak lelah tadi. Tentunya ia bisa menemani putrinya dan kejadian ini tidak perlu terjadi.
Sampai di rumah sakit, Ara langsung masuk ruangan unit gawat darurat. Beberapa tenaga medis segera memberi pertolongan pada Ara. Anisa dan bik Siti hanya bisa berdoa dari luar ruangan. Berharap Ara tidak mengalami hal yang lebih buruk lagi.
"Bik, cepat telepon Ibunya Ara" Anisa baru ingat ada orang yang paling berhak tau tentang keadaan Ara.
"Bibi tidak bawa telepon, neng "
"Ya sudah, nomornya ingat tidak?"
"Kalo nomor Papinya bibi tidak hapal, hanya hafal no rumah saja"
"Ya sudah, tidak apa apa. Paling tidak keluarganya harus tau, bik "
Kemudian bik Siti menyebutkan nomor rumah. Anisa segera melakukan panggilan. Untuk memberi tahu keadaan Ara pada orang yang ada di rumah sebelah itu.
Bik Siti dan Anisa semakin gelisah. Dari UGD belum ada kabar juga. Perasaan kawatir, takut mendera jadi satu. Ia harus ikut bertanggung jawab dengan keadaan Ara sekarang. Tidak lama petugas medis memanggil Anisa dan bik Siti. Keduanya bisa bernafas lega.
Setelah mendapat infus dan suntikan, Ara bisa di tempatkan di ruang perawatan. Untunglah keadaan Ara sudah tertangani hanya menunggu waktu saja, semoga semuanya semakin membaik
" Neng, saya takut sekali pada Papinya non Ara. Dia pasti marah. Bibik sudah teledor saat menjaga non Ara''
"Bukan cuma bibik, saya juga takut. Yang kasih udang itu Lea anak saya. Kejadiannya juga di rumah saya, bik. Jadi ..., Sudahlah, bik"
Kondisi Ara semakin membaik, setelah mendapat tindakan. Anisa duduk di sisi tempat tidur Ara. Ia menggenggam tangan kecil milik Ara. Sambil terus berdoa.
Ara membuka matanya, ia tersenyum saat melihat Anisa yang masih setia menunggunya.
"Maafkan Tante ya, Ara" Anisa mengusap kepala Ara penuh kasih. Ara hanya mengangguk. Anisa mengecup kening Ara yang masih kemerahan. Ara tampak sangat menikmati saat saat bersama Anisa.
***
Di kantor, Raditya baru saja selesai meeting dengan jajarannya. Badannya sudah terlihat letih karena urusan yang menguras tenaga, dan pikirannya. Bahkan ia belum sempat menyentuh makan siangnya meskipun sudah tersedia.
Ponselnya berdering kemudian ia duduk dan mengangkatnya. Dilihatnya nomor rumah. Apakah Ara sedang rewel? Radit sedang tidak memiliki energi untuk meladeni putri kecilnya.
"Ya halo"
"Den Radit, non Ara masuk rumah sakit. Non Ara tidak sengaja makan udang di rumah temannya"
"'Apa?" Seketika rahang Radit langsung mengetat. Pria itu benar benar menahan amarahnya.
"Maaf Den, kami teledor"
Radit menggeram menahan emosi . Bisa bisanya Ara memakan udang. Padahal seisi rumah tau putrinya alergi dengan udang. Dan apa lagi ini, putrinya makan udang di rumah tetangga ? tangannya mengepal erat .
Radit menatap Arman asistennya yang sedari tadi berdiri di sampingnya .
"Aku pergi, Ara masuk rumah sakit , kamu tangani urusanku di sini"
Tanpa menunggu jawaban Arman, Radit sudah melenggang pergi dengan langkah tergesa
Seperti orang kesetanan, Radit segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Arman hanya bisa menggelengkan kepala . Dia harus menangani urusan Radit di kantor. Dia sudah hapal betul, jika bukan hal yang gawat, Radit tidak akan pergi dari kantor begitu saja.
Radit masuk ke ruang perawatan Ara dengan amarah yang membara. Putri tercintanya tergolek tak berdaya dengan ruam kemerahan di sekujur tubuh dan selang infus.
"Bik Siti, Siapa yang meyuruh bik Siti membawa Ara keluar?. Apa lagi sampai makan di tempat tetangga. Kita tidak tau mereka itu menjaga kebersihan atau tidak. Dan satu lagi, kenapa Ara di rawat di ruangan ini ? apa bik Siti tidak bisa bilang untuk menempatkan Ara minimal ruang VIP" Bik Siti hanya menunduk sambil terus meminta maaf.
Anisa mendengar semua ocehan Radit dengan hati yang nyeri. Tadinya ia ingin menyapa pria itu dengan baik baik dan meminta maaf. Dia tidak tau kalau Ara memiliki riwayat Alergi. Tapi ucapan pria itu sudah melukai hati dan harga dirinya. Sungguh Arogan dan bermulut pedas.
Anisa masuk dan menemui papi Ara yang masih duduk sambil memeriksa tubuh Ara.
"Maaf pak tetangga. Untuk keteledoran saya. Saya tidak tau kalau putri anda alergi udang" Anisa berdiri tepat di belakang Radit sambil menahan emosi.
Radit menoleh pada arah suara Anisa. Sejenak pria itu tertegun menatap Anisa. Wanita itu tampak sangat tersinggung oleh ucapannya.
"Kami memang miskin tidak sekaya anda, tapi kami menjaga kebersihan untuk setiap makanan yang kami konsumsi" Anisa menatap sengit pria di depannya.
Radit masih terdiam, ia ingat sekali dengan wajah itu. Perempuan yang menangis di area gedung perkantoran yang menabraknya beberapa bulan yang lalu.
Radit sangat terkesan dengan wajah ini hingga tercetak di memori otaknya dengan jelas. Wajah sembab yang kemarin membuat dirinya kawatir. Sekarang terlihat begitu garang dan sedang menyindir dirinya. "Jadi dia tetangga baru sebelah rumah" bisik hati Radit.
Kemudian Radit tidak berkata apapun, pria itu pergi begitu saja dari hadapan Anisa. Radit menuju ruang administrasi untuk memindahkan ruang perawatan Ara agar lebih nyaman.
Sedang Anisa semakin kesal merasa tidak dianggap keberadaannya oleh Radit. Ingin rasanya mencakar muka pria menyebalkan itu.
Anisa menoleh, saat Ara memanggilnya. Wajahnya kembali berubah manis saat berhadapan dengan gadis kecil itu.
"Bunda" Ara memanggil Anisa dengan sebutan yang sama dengan Alea.
Anisa bingung mendapat panggilan itu dari Ara. Kemudian melirik bik siti yang masih syok dengan ucapan papinya Ara.
" Ara manggil Tante ?" Anisa memastikan diri. Dan Ara mengangguk. Gadis kecil itu meminta Anisa untuk mendekat. Anisa pun mengikuti keinginan Ara, ia duduk di sisi Ara.
"Ara boleh panggil Tante, dengan bunda? biar sama dengan Lea ?" Ara yang sedang terbaring lemah tampak memohon. Dan Anisa tidak tega melihatnya
Anisa masih bingung dengan keinginan Ara. Dan harus bersikap seperti Apa. Namun naluri keibuannya lebih dominan kemudian ia mengangguk tanda setuju.
Di balik pintu Radit memperhatikan interaksi putrinya dan Anisa. Ada beban yang menghimpit dadanya. Menyakitkan sekali, melihat dengan mata kepala sendiri Putrinya meminta wanita yang baru dikenal untuk mau dipanggil bunda. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum kembali masuk.
Anisa berdiri dan menjaga jarak dari Ara begitu Radit dan beberapa suster masuk ke dalam ruangan. Anisa melihat Radit yang sangat angkuh. Suster membawa Ara ke ruangan VVIP diikuti oleh Radit.
"Pak tetangga" Anisa memanggil Radit
Radit menghentikan langkahnya dan menatap tajam Anisa.
"Maaf... untuk semua kelalaian. Dan sebagai bentuk rasa tanggung jawab, saya membawa Ara ke rumah sakit. Saya hanya mampu memasukan Ara di ruangan ini. Saya tidak akan mampu jika harus membayar perawatan di ruang VVIP"
Anisa mengeluarkan seluruh yang cash yang ada di dalam tasnya, mungkin sejumlah lima juta rupiah. Anisa meraih tangan kokoh Radit dan meletakkan uang itu di tangannya. Radit terkejut dengan tingkah dan reaksi Anisa. Radit mengembalikan uang dari Anisa. Ia menolaknya dengan tegas dan Angkuh.
"Tidak perlu nona tetangga. Saya masih bisa mengurus putri saya dengan baik" Radit segera meninggalkan Anisa yang terpaku dengan kesombongan Radit.
"Angkuh, saya hanya berusaha untuk bertanggung jawab" teriak Anisa kesal. Radit tidak bergeming, ia mengikuti Ara yang di dorong oleh para suster menuju tempat rawat inap yang baru.
Jauh di dalam hati, Radit merasa sangat menyesal telah menyinggung perasaan Anisa. Radit pun merasa, Anisa cukup bertanggung jawab. Rasanya tidak tega melihat sorot mata Anisa yang terluka karena ucapannya. Karena itu Radit memilih untuk pergi begitu saja.
Lain halnya dengan Anisa yang merasa Sikap Radit sangat Arogan dan merendahkan harga dirinya. Bibit permusuhan mulai tertanam. Dengan perasaan yang dongkol Anisa meninggalkan rumah sakit.
Untuk apalagi dia berada di sana. Toh si tetangga tidak bisa menerima niat baik dan rasa tanggung jawab darinya. Anisa memang tidak mampu jika harus membayar ruang perawatan VVIP. Uang lima juta yang tadi di tolak Radit adalah harta terakhir Anisa. Anisa sudah tidak memiliki simpanan lain. Tabungannya habis untuk membeli rumah juga seluruh isinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Is Wanthi
iihh pak tetangga 🤭🤭🤭
2022-09-08
0
Nanik Purnomo
ayo semangat promosikan novelnya thorrr,jangan kecil hati
2021-04-19
2
Nanik Purnomo
lanjuuuutttt
2021-04-19
1