Bab 4

PARIS POINT OF VIEW:

Pagi ini setelah memeriksa keadaan butik, aku berniat bertemu sahabatku yang bernama Monalisa. Jika selama ini kami sulit bertemu karena studiku, maka hari ini aku akan memberi nya kejutan dengan datang ke rumah nya.

Aku melajukan mobilku menuju rumah baru nya yang memang masih dalam satu kawasan kota ini. Aku mulai turun dari mobil dan melepas kaca mata hitamku. Aku mengernyit melihat betapa ramai nya di halaman rumah nya. Terdapat policeline berwarna kuning mengitari rumah itu, beberapa polisi juga terlihat berjaga di sana. Tidak hanya polisi, tapi ada beberapa wartawan yang membawa beberapa kamera.

Aku menerobos kerumunan begitu saja dan memanggil mama nya yang sedang sesenggukan dipelukan papa monalisa.

“Paris,” mama nya mendekatiku dan masih menangis.

“Ada apa tante?” tanyaku.

“Monalisa meninggal,” sahut nya lirih diikuti tangisan yang menyayat hati.

“Apa?” tanyaku tak percaya.

Aku masuk mengikuti mama nya untuk melihat tempat kejadian perkara. Seorang perempuan dan laki laki muda juga ikut berjalan bersama kami juga. Tiba tiba saja seorang petugas kepolisian melarang kami masuk.

“Berhenti, anda siapa?” Tanya polisi menatap seorang perempuan dan laki laki yang ada di depanku.

“Kami dari kejaksaan,” sahut laki laki itu.

“Tunjukkan surat tugas kalian,” kata polisi itu.

“Ini surat tugas nya, dia jaksa Erika Putri Deisanto yang akan menangani kasus ini,” kata laki laki itu memperkenalkan rekan nya.

Perempuan muda ini jaksa?

Wow, keren!

“Baiklah silahkan masuk,” kata pihak polisi seraya melirikku.

“Dia keluarga kami, aku ibu kandung korban,” kata mama monalisa yang membuat polisi mengijinkan kami masuk ke tempat kejadian perkara.

Kami bertiga mengikuti jaksa muda tadi dengan beberapa polisi yang mengawal kami.

“Nama korban Monalisa Tan, pembantu yang menemukan korban pagi ini. Kemungkinan dia sedang bertengkar dengan suaminya sebelum meninggal,” kata laki laki muda yang mendampingi jaksa Erika.

“Bertengkar? Jadi maksudmu suami nya terlibat dalam kasus ini?” Tanya jaksa Erika.

“Suaminya pergi tadi malam ke hotel, tapi tersangka utama sudah pasti suaminya,” sahut laki laki itu.

Aku mematung melihat mayat Monalisa tergeletak di karpet ruang tamu begitu saja. Airmataku mulai mengalir, dengan cepat aku menghampiri mayat nya dan membalik nya untuk melihat wajah nya. Betapa kaget nya aku saat melihat memar di wajah nya. Aku menutup mulutku dengan cepat.

“Apa yang kamu lakukan!” teriak laki laki yang memakai baju kedokteran mirip APD serba putih. Dia terlihat sangat marah menghampiriku.

“Apa yang kamu lakukan?” Tanya nya lagi marah menatapku.

Lihat! Siapa yang saat ini ada di depanku? Laki laki gila itu? Dia Dhika yang mengantarku pulang kemarin malam. Kenapa harus sial sekali lagi bertemu dengan nya saat ini!

“Aku hanya ingin melihat kondisi sahabatku,” kataku kesal.

“Kamu menyentuh tubuh nya, kamu bahkan membalik tubuh nya,” sahut Dhika dingin.

“Memang nya kenapa?” tanyaku tidak terima.

“Kamu lihat itu?”Tanya dhika dingin.

“Apa itu dekomposisi?” Tanya jaksa Erika mendekat, tapi perempuan itu juga sedang memakai baju steril mirip Dhika.

“Ini livor mortis, bukan dekomposisi. Darah akan berkumpul di bagian bawah tubuh. Penyatuan darah setelah kematian ada di wajah nya, berarti dia tadi meninggal dengan posisi wajah berada di bawah,” sahut dhika menatap jaksa erika tapi dengan tatapan tidak marah lagi.

Apa laki laki gila itu menyukai jaksa cantik itu?

Kenapa moodnya langsung berubah baik? Mencurigakan!

“Dokter Dhika, menurutku suaminya yang melakukan ini,” sahut jaksa Erika.

“Kenapa kamu membaliknya?” Tanya dhika masih menatapku dingin.

“Kenapa tidak boleh membalik nya?” Tanya jaksa Erika membelaku.

“Untuk apa ada garis polisi? Jika boleh membaliknya sesuka hati, buang semua garis polisi dan biarkan semua orang masuk,” kata Dhika menatap jaksa erika tajam.

“Aku yang membaliknya jadi maafkan aku, kamu tidak perlu memarahi jaksa Erika,” kataku cepat menatap dhika tajam.

“Kamu bahkan tidak memakai sarung tangan dan sebagai nya, kamu pikir kita sedang bermain main?” Tanya dhika dingin menatap penampilanku saat ini.

“Lihatlah sepatumu!” kata dhika lagi menatap sepatuku.

“Apa salah jika aku memakai heels?” tanyaku kesal.

“Heelsmu tanpa pelindung dan kamu berada di dekat mayat, lihatlah kami semua memakai baju pengaman lengkap, sepatu kami saja terbungkus,” kata dhika menghembuskan napas berat.

Aku melipat kedua tanganku di dada dan terdiam masih menatapnya.

“Tidak tahukah kamu jika jejak heelsmu bisa merusak kasus ini, atau bisa bisa kamu menjadi tersangka utamanya! Ini,” kata dhika kesal seraya memberiku pelindung sepatu dan aku mulai memakainya.

“Suruh semua orang keluar kecuali tim forensic,” teriak dhika di ruangan itu yang membuat semua orang terdiam.

Semua mulai ketakutan dan berusaha mundur teratur untuk keluar dari ruangan.

“Paris!” panggil nya yang membuatku menghentikan langkahku.

“Aku? Kamu memanggilku?” tanyaku.

Jadi dia hafal namaku?

“Siapa lagi?” Tanya nya datar.

“Ada apa?”

“Tinggalkan sidik jarimu!”

“Untuk apa?” tanyaku seraya mengernyitkan dahiku.

“Kamu tidak ingin jadi tersangka kan? Sidik jarimu juga ada di tubuh nya karena kamu menyentuh mayat nya tadi. Jadi aku harus menghilangkan sidik jarimu di sana,” sahut dhika.

Karena sidik jari, aku harus menghabiskan kopi bersama jaksa Erika yang cantik itu. Dia tersenyum seraya memperhatikanku.

“Dokter Dhika memang sedikit dingin, aku meminta maaf atas nama nya,” kata jaksa Erika.

Aku menatapnya sejenak.

Kenapa harus minta maaf atas namanya?

Apa mereka punya hubungan khusus?

Apa mereka dekat sekali?

“Bukan sedikit dingin, tapi sangat dingin. Jadi namanya dokter Dhika?” sahutku.

“Aku pikir kalian sudah saling mengenal tadi, bukan nya dia tadi tahu namamu,” kata jaksa Erika tersenyum padaku.

“Mungkin aku terkenal,” sahutku asal seraya terkekeh.

“Sebaiknya anda tidak sering sering bertemu dengan dokter dingin itu, dia selalu muncul setiap kali ada orang meninggal,” sahut rekan laki laki yang dari tadi berada di sisi jaksa Erika.

“Apa dia sangat professional saat bekerja?” tanyaku.

“Kamu mulai tertarik padanya?” Tanya jaksa Erika tersenyum padaku.

“Tidak ada yang bisa mengalahkan nya, tapi emosinya seperti orang gila. Kamu bisa lihat sendiri tadi,” kata rekan jaksa erika seraya meminum kopi nya.

“Dia bukan orang gila, tapi lebih dari gila!” sahutku yang membuat jaksa Erika terkekeh.

"Sebenarnya dokter Dhika baik," sahut jaksa Erika tersenyum padaku.

"Sepertinya jaksa erika sangat mengenalnya," kataku santai mulai menyesap kopiku.

"Tapi ku rasa dia juga mengenalmu, apa benar?" tanya nya menatapku.

"Apa anda penasaran?" tanyaku.

"Tentu saja, aku penasaran dengan siapapun yang dekat dengan nya,"

"Saya tidak dekat dengannya, jadi anda tidak perlu khawatir,"

"Tapi aku dengar dia memanggil namamu tadi," kata jaksa erika.

"Apa anda tertarik dengan dokter gila itu? ambil saja," kataku tersenyum penuh arti.

"Bukan begitu, aku hanya merasa aneh saja. Bagaimana bisa dia mengenal orang secantikmu, apa kamu model?"

"Calon model," sahutku terkekeh.

Terpopuler

Comments

Fitria Dafina

Fitria Dafina

Selalu suka novelnya Autoorr 😍😍😍

2021-09-10

0

Deden

Deden

apakah monalisa anaknya chelsea ya??aku lupa

2021-07-30

0

anggita

anggita

paris,, monalisa..

2021-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!