Senin pagi yang cerah, mentari menyambut pagiku dengan kehangatan sinarnya. Kicauan burung-burung yang bertengger di pepohonan di belakang rumah menjadi musik pengiring acara mandiku pagi ini.
Aku akan berangkat sekolah bersama abah karena hari ini pun abah kembali mencari rezeki di kota besar.
"Udah siap?" tanya abah sembari menggantungkan tas slempangnya di pundak. Aku mengangguk setelah mengenakan sepatuku.
Kulihat abah tengah menilik sepatuku yang tak berupa ini. Raut sedih terlihat jelas di wajahnya yang mulai keriput. Aku mengernyit. Lalu ikut melirik sepatu yang aku kenakan.
Aku hanya bisa meringis saat melihat bentuk sepatuku yang sudah tak karuan. Kusentuh tangan abah dan mengajaknya segera berangkat.
"Ayo, Bah! Hari ini upacara, nanti Nur terlambat," ucapku menarik-narik tangan abah untuk segera meninggalkan rumah.
Abah menoleh padaku dengan senyum yang dipaksakan. Aku sangat ingin mengatakan abah tak usah memikirkan sepatuku. Aku tak apa. Namun, lidahku kelu.
Abah mengangguk, "Mak, kami berangkat!" teriakku dari luar rumah. Mak dan Aceng datang tergopoh.
Aku menyalami mak dan mencium pipinya. Mak dan Aceng menyalami abah sebelum kami berdua meninggalkan rumah.
Abah ikut berjalan kaki bersamaku dan teman-teman.
"Ojek, Bah!" seru seorang laki-laki dari atas motornya. Ia menghentikan laju motornya di dekat kami. Abah mengangguk.
"Abah berangkat dulu, Ya! Belajar yang bener!" ingat abah sembari mengusap rambutku yang diikat dua.
Aku mengangguk. Kuraih tangan yang mulai keriput itu dan menciumnya. Abah berjalan mendekati tukang ojek lalu menaiki motor tersebut.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Aku kembali melangkah bersama teman-teman setelah ojek yang ditumpangi abah menghilang di pengkolan.
Kami berlarian menuju sekolah karena matahari sudah semakin naik. Beruntung, bel belum berbunyi. Jadi, kami masih sempat menyimpan tas lalu bergegas ke lapangan untuk mengikuti upacara.
Aku ditunjuk guru untuk menjadi pembawa acara. Dengan segenap keberanianku, aku menerima tantangan itu. Meski ini adalah untuk pertama kalinya bagiku, aku akan berusaha sebaik mungkin.
Upacara berjalan lancar dengan aku sebagai pemandu acara. Kami kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran. Kelasku dibagi menjadi dua. A dan B.
Dan aku, duduk di kelas B bersama teman-teman yang bertempat tinggal di sekitar kampungku.
Menyebalkan memang, kami yang duduk di kelas B selalu direndahkan oleh mereka yang duduk di kelas A. Entah karena apa?
Mungkin karena mereka tinggal di kota dan kami tinggal di kampung. Mereka anak pegawai dan karyawan, sedangkan kami hanya anak seorang petani. Apakah itu masuk akal? Tidak!
Meski dalam kegiatan ekstrakurikuler kami akan disatukan, tapi tetap saja kami akan menjadi dua kelompok. A dan B.
Saat olah raga misalnya. Lihatlah! Guru olah raga hari ini meminta kami untuk bertanding. Bermain voli dan bermain sepak bola. Ayo kita lihat! Kelas mana yang unggul? Aku yakin, karena kami tinggal di kampung dan selalu bermain lumpur juga hujan, tenaga kami lebih banyak dari pada mereka.
Dengan gaya sok cantik mereka, berjalan ke tengah lapangan. Pemimpin mereka berteriak menantang kami.
"Hei, Bebek! Buruan! Malah pada bengong," ketusnya sembari memasang senyum merendahkan pada kami.
Aku mendengus, di antara kami ada yang selalu bersikap berani. Eli namanya. Dia anak yang tomboy dan tak segan untuk berkelahi.
"Ya, Ayam!" tukasnya seraya terkekeh saat melihat wajah mereka menggeram.
Kami berenam berjalan ke tengah lapangan. Memposisikan diri masing-masing sesuai yang sudah diatur sebelum masuk lapangan.
Di bagian lawan itu ada sepupuku. Puji namanya, dia kini lawanku meski dia tak sama dengan yang lainnya.
Pluit ditiup tanda pertandingan dimulai. Bola dilempar ke tengah lapangan. Eli yang mendapat tugas sebagai blocker bersiap di posisi tengah. Ada juga Ani yang bertugas sebagai smasher tak jauh darinya. Dan aku, apalah aku? Hanya seonggok bubuk rengginang yang terabaikan.
Aku mengambil tugas sebagai server. Yes, bola pertama kami dapatkan. Kombinasi Eli dan Ani memang jos gandos. Kata mbak So Imah.
Aku bersiap di posisi dengan bola di tangan kiri dan tangan kanan bersiap memukul.
Bugh!
Servis pertama dariku. Bola membumbung tinggi melewati net. Aku berlari mengambil posisi. Terjadilah pertandingan sengit antara kelompok A dan B.
Aku akui mereka cukup kuat. Meski anak kota, mereka mampu mengimbangi permainan kami yang mereka juluki si anak hutan. Atau si anak lumpur.
Pertandingan berakhir seri, digantikan oleh pertandingan laki-laki. Kami beristirahat, sebelum menuju pertandingan lainnya dengan pemain yang lain.
Namun, karena tak ada lagi orang yang bisa diandalkan di kelasku, jadilah aku dan Eli maju lagi menjadi pemain. Dia akan menjadi penyerang dan aku akan menjaga gawang.
Lihat saja! Kali ini, kami akan mengalahkan mereka. Aku yakin, kaki-kaki mulus mereka tak pernah bersentuhan dengan bola kaki. Tidak seperti kami, bermain bola di kubangan lumpur dan di bawah guyuran hujan. Di mana pun, kami bisa.
"Gimana main bola nanti?" tanya Yuli temanku yang memiliki postur tubuh sedikit berisi. Kami sedang duduk menunggu instruksi dari guru yang sedang menjadi wasit permainan laki-laki.
"Ya, gimana? Main lagi nanti," tukasku melirik Eli yang hanya terdiam menonton pertandingan.
Kami saling menyoraki tim masing-masing. Sepertinya, untuk laki-laki kelasku yang unggul. Sebagian dari mereka sering membantu ayah mereka mencetak batu bata di tempatnya.
Apa kalian tahu? Bagaimana orang dulu membuat batu bata? Aku jelaskan!
Mereka akan mencangkul tanah merah, mencampurnya dengan air lalu mengaduk-aduknya hingga menjadi adonan yang siap dicetak. Menginjak-injak tanah merah itu dengan kaki hingga kalis. Sudah seperti membuat kue ya.
Setelah adonan tanah merah siap dicetak, tanah itu akan dibawa ke dalam sebuah tenda terbuka.
Di dalam sana, ada beberapa cetakan berbentuk persegi panjang yang akan digunakan untuk mencetak batu bata.
Tanah liat itu akan dibanting-bantingnya hingga sempurna untuk dibentuk menjadi sebuah batu bata.
Selanjutnya tanah itu akan dibanting di atas cetakan, ditekan-tekan agar padat lalu diratakan menggunakan sebuah tali kawat yang diikat pada dua buah kayu. Terakhir akan ditaburi abu bekas bakarannya lalu didiamkan sebelum dibakar.
Sudah bisa membayangkan bukan bagaimana kuatnya otot tangan dan kaki mereka meski usia mereka masih sangat muda.
Kami bersorak gembira saat tim laki-laki dari kelas kami memenangkan pertandingan. Mereka hebat, tubuh mereka yang berotot di usia muda semakin terlihat saat keringat membasahi kaos olahraga mereka.
Guru mengintruksikan kepada kami untuk beristirahat. Sebagian dari kami pergi ke kantin untuk membeli jajanan, tapi ada pula yang hanya duduk denganku di lapangan.
Kulihat di kejauhan, temanku yang lain sedang berjualan. Dia pendiam tak banyak bicara. Berdagang adalah keahliannya. Dia berdagang saat sekolah pagi dan sore. Aku kagum padanya, ia tak malu membawa dagangan ke sekolah.
Terpikir olehku, apakah aku ikut berjualan saja seperti dia. Lumayan, untuk uang jajanku. Ting!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Merry Hoo
alur ceritanya bagus..
2022-05-29
1
Adiba Syakila
q suka bngt dngn critax..jdi tringat msa2 kcil q pda thn 1984 .critax hmpir ama dngn prjlnn hdup q msa kcil😭
2022-04-27
1
Revalinda Rusdi
kayak lihat foto kopi kehidupan masa kecilku.
cuma aku tinggal dengan Kakek nenekku
2022-04-25
2