Setoran Al-Mulk

"Nur, gimana hafalan doanya? Udah hafal? Nanti siang, 'kan abah pulang," tanya mak disela-sela memetik padi di sawah tetangga.

Aku yang sedang mencari belalang di pinggiran bersama adik dan teman-teman menoleh ke arah mak.

"Sudah, Mak. Alhamdulillah. Hehe, tinggal doa basuh kaki sama abis wudu aja," jawabku kembali melanjutkan mencari belalang di tanaman pinggir sawah.

Jika setelah hujan seperti ini, maka belalang akan banyak berhinggapan di daun-daun. Dengan mudah aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam botol bekas air mineral.

"Wah, Teh! Udah banyak banget tuh belalangnya!" seru Aceng yang tiba-tiba sudah berdiri dekatku.

"Iya, dong! Nanti datang ke rumah digoreng sama Mak," sahutku tersenyum membanggakan hasil tangkapanku.

"Wa, Ceng! Dapat yang gede lagi?" tanyaku saat melihat belalang besar yang hinggap di bajunya.

"Iya, mang Udin lagi yang ngambilin," tukasnya sembari melirik belalang yang bertengger dengan tenang di bajunya.

Ah ... paling datang ke rumah akan dia ikat perut belalang itu dan dimainkan sampai tak berkutik seperti kemarin. Lalu meminta Mak untuk menggorengnya.

Ih ... aku bergidik ngeri membayangkan belalang sebesar itu digoreng lalu dimakan. Dan jawaban mak sesuai yang aku harapkan.

"Belalang sebesar ini ga enak digoreng, makannya juga jijik. Kalo yang kecil enak, gurih dan garing." Ini jawaban mak.

Aku tos sama mak. Ternyata ga semua belalang enak untuk dimakan. Jika di suatu daerah mungkin biasa menggoreng belalang sebesar itu, tapi aku tidak biasa. Membayangkannya saja, ugh ... aku tidak bisa.

"Jangan minta Mak buat goreng lagi belalang itu!" titahku yang disambut cengiran darinya. Idih ... bukannya menjawab malah tersenyum mencurigakan.

Dia menatap botol belalangku. Jangan-jangan ... segera kudekap erat botol belalang dan mengusirnya.

"Jangan mimpi, ya. Kalo kamu berniat masukin belalang itu ke sini!" ancamku tidak main-main. Pasti akan ikut tergoreng. Aceng mendengus dan melengos pergi.

Menjelang Dzuhur kami kembali ke rumah. Dengan membawa bekal seperti kemarin dari pemilik sawah. Kami akan memakannya di rumah.

________*

Waktu berlalu begitu cepat, kami menunggu abah di depan mushola sambil bermain. Tak lama terdengar suara deru motor yang berhenti di depan mushola. Itu abah.

"Abah!" pekikku bersamaan dengan adik. Kami berhambur dari mushola dan mendekati abah.

Kami meraih tangannya setelah membayar ongkos ojek. Abah tersenyum melihat kami tak sabar untuk membawa tas slempang bergambar burung Garuda itu.

Kali ini, Aceng yang dengan sigap mengambil tas itu dan berlari ke rumah. Aku cemberut karena kalah cepat dengan Aceng. Abah memberikan isyarat padaku untuk menyusul adikku itu.

Di dekatnya pula, terdapat sebuah kotak yang tadi diturunkan tukang ojek. Aku berlari mengejar Aceng yang sudah masuk ke dalam rumah.

Mataku membelalak saat melihat Aceng yang sudah membongkar isi tas abah. Segera kudekati dan ikut membongkar.

Kembali berebut makanan yang dibawa abah juga uang receh berwarna kuning keemasan. Kali ini tidak sebanyak kemarin, tapi meski begitu kata abah kita harus selalu bersyukur.

Setelah mengumpulkan semua makanan, aku mendatangi mak yang sedang membungkus ikan yang dibawa abah.

"Wah, cumi!" kataku senang. Kulihat cumi-cumi itu sangat besar. Tidak hanya cumi, ada udang juga di sana. Mak membagi-bagi cumi menjadi beberapa bungkus. Seperti biasa kami akan memberikannya sesuai perintah mak.

"Mak, lapar! Udah mateng cuminya?" tanyaku sekembalinya dari mengantar cumi ke rumah guru ngajiku.

"Sebentar lagi!" jawab mak.

"Abah di mana, Mak?" tanyaku mencari keberadaan abah. Aku belum melihatnya lagi semenjak pergi mengantar ikan.

"Ke rumah kakek sama Aceng," sahut Mak lagi. Kakek yang didatangi abah bukanlah kakek kandung kami, dia orang yang berjasa mempertemukan mak dan abah hingga menikah.

Ugh ... melihat sayur cumi yang mengepulkan asap, tanpa menunggu diangkat aku mengambil piring dan nasi. Mak mengambilkan cumi untukku. Aku makan tanpa menunggu yang lain datang.

______*

Di malam hari, selepas mengaji di rumah guru ngaji. Aku menghadap abah untuk menyetorkan hafalan doa wuduku.

Satu per satu aku hafalkan, mulai dari niat, membasuh tangan, muka hingga kaki dan doa selepas wudu.

Abah menganggukkan kepala puas mendengar hafalan doaku yang lancar.

"Dipake saat wudu, jangan sampe ga dibaca doanya," ingat abah setelah aku menyelesaikan hafalan doaku.

"Iya," jawabku sembari tersenyum. Di ruang tengah itu, ada mak juga Aceng. Sebelum aku menyelesaikan setoran hafalanku, abah melarang kami untuk menyalakan televisi.

"Nur, bulan puasa nanti kamu setor hafalan surat tabaarok, ya," ucap abah di sela-sela kami menonton televisi.

"Tabaarok, Bah? Surat apa itu?" tanyaku tidak mengerti.

"Itu ada di Al-Qur'an, bukan di juz 'amma. Kamu hafalkan dan setor ke Abah setiap selesai shalat ashar," jawab abah. Aku sedikit ragu pasalnya aku belum mengaji di Al-Qur'an masih di juz 'amma.

"Tapi Nur masih ngaji juz 'amma, Bah," kataku sedikit ragu.

"Kamu, 'kan udah setor hafalan juz 'amma. Sekarang hafalan surat pendek dalam Al-Qur'an," jawab abah. Aku mengangguk pasrah meski pun ragu.

"Coba ambil Al-Qur'an, biar Abah tunjukkan surat tabaarok!" titah abah. Aku beranjak mengambil Al-Qur'an yang disimpan mak di atas lemari.

Kuberikan pada abah, dan laki-laki gagah itu mulai membuka lembaran Al-Qur'an tersebut. Ya ... abah adalah laki-laki gagah, meski tubuhnya sudah hampir dimakan usia. Abah masih kuat bekerja keras tanpa mengeluh.

Abah kembali menyodorkan Al-Qur'an padaku, dan menunjukkan surat tabaarok yang dimaksud. Kubaca nama surat yang tertera di atas.

"Al-Mulk, Bah!" kataku menyebutkan nama surat yang dimaksud. Abah mengangguk menjawab.

"Iya, nama suratnya Al-Mulk, tapi biasa disebut tabaarok untuk memudahkan yang tidak bisa mencari karena di awal surat itu kata tabaarok," jawab abah.

Aku mengerti, kenapa abah menyebutnya tabaarok. Surat itu diawali dengan kata tabaarokalladzii ....

Aku membacanya dalam hati. Meski pun aku masih mengaji di juz 'amma, tapi aku sudah bisa membaca ayat per ayat dalam Al-Qur'an. Itu hasil dari mengajiku semenjak aku kecil. Abah adalah guru ngaji pertamaku.

"Coba baca ayat pertama!" titah abah menunjuk pada ayat pertama dari surat Al-Mulk tersebut.

Aku mengangguk dan mulai membaca basmallah.

"Bismillaahirrahmaanirrahiim ... tabaarokalladzii biyadihil-mulku wa Hua 'alaa kulli syai'in qadiir."

Aku mendongak setelah menyelesaikan bacaannku. Abah menggeleng.

"Di sini, kamu salah membacanya. Membaca Al-Qur'an harus menggunakan tajwid yang benar. Hukum nun sukun dan tanwin harus kamu fahami dengan benar. Membaca Al-Qur'an tidak bisa asal membaca saja, apa lagi kalo sampai salah membaca. Waduh, bisa berubah maknanya," jelas abah.

Aku memang sudah belajar tajwid, hanya saja aku tidak terlalu mengerti itu. Dan sekarang sebelum menghafal surat Al-Mulk itu abah mengajariku tajwid terlebih dahulu.

Terpopuler

Comments

mamah yeni

mamah yeni

ya Allah Abah sosok seorang bapak idaman... 😍😍

2022-05-04

1

☘️ gιмϐυℓ ☘️

☘️ gιмϐυℓ ☘️

Al-Mulk,penerang di alam kubur 😊

2021-05-20

4

Tika Apriyani

Tika Apriyani

luar biasa

2021-05-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!