Lebaran Terakhir Abah

Lebaran Terakhir Abah

Abah

"Abah! Abah datang!" Aku berteriak lantang saat melihat seorang laki-laki hampir tua turun dari ojek dan berjalan mendekati rumah.

Aku dan adikku segera berlari mengejarnya. Kami berebut tangan yang mulai keriput itu untuk menciumnya.

Kuraih tas di gendongannya dan berlari ke rumah dengan dikejar adik laki-lakiku. Kami tertawa terbahak, bahagia. Setiap kali abah datang dari bekerja kami selalu bahagia.

Kubongkar tas selempang abah dan mengeluarkan seluruh isinya. Bau baju kotor segera menyeruak menyapa hidung kami.

Sambil tertawa kami terus mengeluarkan semua isi tas abah. Nampaklah apa yang kami cari.

Berbagai macam jajanan menjejali tas abah. Mulai dari wafer, biskuit, coklat, permen, dan aneka keripik kami keluarkan dengan semangat.

Abah masuk rumah dan mak menyambutnya dengan bahagia. Diciumnya tangan abah dan dituntunnya untuk duduk di atas tikar yang digelar.

Kulirik keduanya menggeleng melihatku dan adik yang masih berebut makanan dari dalam tas abah.

Aku mengumpulkan semua makanan dalam pangkuan, begitu pun adikku. Kami tertawa lagi melihat banyaknya hasil tangkapan kali ini.

Mak pergi ke dapur dan kembali lagi dengan segelas wedang hangat untuk abah. Kugoyangkan tas abah dan terdengar bunyi nyaring yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga saat mendengarnya.

Kurogoh saku tas abah dan mengeluarkan uang recehan dari dalam sana. Kami kembali berebut uang pecahan lima puluh perak, seratus perak, dan lima ratus rupiah pada zamannya.

Kukumpulkan sebanyak-banyaknya dalam pangkuan bersamaan dengan makanan ringan.

Kuserahkan tas abah yang telah kami kuras isinya pada mak saat mak mengambil baju-baju kotor abah.

"Bah, ini banyak banget. Hehe," ucapku senang. Adikku sibuk menghitung hasil tangkapannya sembari memakan coklat batang di tangan.

Abah tersenyum senang melihat kedua anaknya bahagia. "Iya, Alhamdulillah. Dibagi sama teman-teman, ya?" titah abah. Kami mengangguk kompak.

Setiap abah pulang membawa oleh-oleh, beliau selalu meminta kami untuk berbagi dengan teman-teman sepermainan.

Aku akan mengambil apa yang paling aku inginkan, dan sisanya kubungkus menggunakan plastik disatukan dengan milik adikku.

Kami akan bermain membawa banyak makanan dan membagikannya pada teman-teman.

"Ayo, makan dulu. Abah pasti lapar baru datang," ajak mak membawa makanan ke tempat kami duduk.

Sayur asam kesukaanku, aku memang suka sekali dengan yang asam-asam dan tidak begitu menyukai yang manis.

Ada tempe goreng juga yang dihidangkan mak. Sambal dan lalapan melengkapi menu siang ini.

"Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa 'adzaaban-naar, aamiin!" ucapku dan adik bersamaan.

Nasi sudah tersedia di piring kami masing-masing, kusendok sayur dan kusiramkan pada nasi. Tak lupa mengambil tempe dan sedikit sambal.

Menu sederhana, tapi begitu nikmat terasa. Abah makan dengan lahap. Sepertinya, abah memang lapar setelah tiga jam lamanya di perjalanan.

Abah melarang kami berbicara saat makan. Kecuali ada yang harus dibicarakan dan sangat penting.

"Makan itu sebaiknya pake tangan, jangan pake sendok. Kaya Abah, nih," ucap abah menunjuk tangannya yang dipenuhi nasi dan menyuapnya.

Kami berdua menurut karena selanjutnya kata abah, makan menggunakan tangan ada dalam hadits Rasuulullah Saw. Dan itu merupakan sunnah yang sebaiknya dilakukan oleh setiap muslim.

Jangan lupa mencuci tangan yang bersih terlebih dahulu sebelum makan. Itu nasihat mak.

Kami makan dengan tenang. Sungguh hati ini senang dan perut pun kenyang.

Kuhampiri mak yang entah sedang melakukan apa di belakang rumah.

"Mak, ngapain?" tanyaku seraya terus berjalan menghampiri mak. Ternyata mak sedang memotong-motong seekor ikan besar.

"Mak, abah bawa ikan juga?" Aku bertanya lagi. Sudah lama sekali aku tidak makan ikan, akhirnya abah pulang membawa ikan. Besar pula.

"Iya, dikasih bosnya," tukas mak tersenyum sembari terus memotong-motong ikan besar itu. Terlihat seperti ikan tongkol, tapi besar sekali.

"Ini ikan apa, Mak?" kubertanya lagi dengan antusias. Aku baru melihatnya secara langsung ikan sebesar ini.

"Ini, tuna. Sama seperti ikan tongkol, tapi dalam bentuk yang besar," jawab mak sembari menatapku yang tak berhenti tersenyum.

"Ikan ini yang selalu dibagi-bagi itu, ya, Mak?" tanyaku lagi karena selama ini aku selalu membagi-bagikan ikan tanpa tahu ikan apa yang aku bagikan.

"Iya," jawab mak singkat.

Mak membagi-bagikan ikan dalam beberapa kelompok. Aku menunggunya dengan sabar karena setelah selesai mak pasti akan memanggilku dan adik untuk memberikannya pada mereka.

"Nanti, kamu bawa ke pondok ikan ini sama ke rumah guru ngaji, ya?" ucap mak, aku mengangguk senang.

Dua bungkusan sudah di tanganku, pertama aku akan mendatangi rumah guru ngajiku. Setelah itu berulah ke pondok karena letak pondok berada di kampung sebelah.

"Ceng, dipanggil Mak!" teriakku memanggil adik yang masih sibuk dengan makanan tadi.

"Ya!" jawabnya seraya berlari ke belakang rumah. Dia datang lagi dengan membawa tiga kantong plastik ikan. Kutebak itu akan dibagikan pada bibi-bibiku.

Kami berpencar, aku berlari ke arah selatan karena tujuanku adalah rumah guru ngajiku. Setelah itu ke kampung sebelah ke rumah pemilik pondok besar di daerahku.

Panas terik matahari tak aku hiraukan, dengan hati yang riang gembira terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan. Dua kantong ikan kuayun-ayunkan seirama dengan langkah kakiku.

"Assalamu'alaikum!" salamku di depan sebuah rumah panggung tempat biasa aku mengaji.

"Wa'alaikumussalaam!" jawab suara seorang wanita dewasa dari dalam rumah. Itu istri dari guru ngajiku.

Aku menyalaminya saat dia datang dan memberikan kantong ikan tadi padanya.

"Itu ikan dari mak," kataku tanpa dijawab. Ia mengangguk dan tersenyum ramah.

"Salam sama mak, terimakasih," katanya yang aku angguki dengan cepat. Aku segera pamit karena harus mengantar bungkusan lain ke kampung sebelah.

Sama seperti tadi, aku mengetuk pintu rumah sederhana meski sudah permanen. Tidak seperti rumah guru ngajiku yang masih terbuat dari anyaman bambu.

Ia pun menitipkan salam terimakasih untuk mak dan abah. Aku kembali pulang. Entah kenapa hatiku selalu senang sepulangnya membagikan ikan.

"Assalamu'alaikum!" salamku di depan rumah.

"Wa'alaikumussalaam!" jawab mak dari arah dapur. Pasti mak sedang memasak ikan tuna tadi.

Aku menghampirinya dan berdiri di samping, ia sedang menumis bambu untuk ikan.

"Aceng udah pulang, Mak?" tanyaku karena tak melihat batang hidungnya di ruang tengah tadi.

"Udah, mungkin sama abah di kamar," tukas mak aku hanya mengangguk dan menunggu mak memasak ikan.

Rasanya tak sabar ingin segera mencicipinya. Perutku memberontak minta diisi padahal baru saja makan dengan sayur. Maklum karena ikan yang sedang dimasak mak begitu menggugah perutku membuatnya berbunyi nyaring.

"Lapar lagi?" tanya mak, aku mengangguk sembari tersenyum lebar.

Malam ini, kami makan enak. Ikan tuna yang dimasak semur selalu enak di lidah. Aku dan adik makan hingga perut kami benar-benar penuh. Padahal abah selalu menasihati tidak boleh makan terlalu banyak.

Terpopuler

Comments

Ella Rustandi

Ella Rustandi

jadi kangen ortu yg sdh tiada

2022-11-04

0

Lilik Anah

Lilik Anah

Aku suka dgn cerita abah lanjut thor

2022-06-02

1

Septia Yolanda

Septia Yolanda

keluarga yg bahagia

2022-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!