Namaku Nur. Saat ini usiaku menginjak delapan tahun dan duduk di kelas dua SD. Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Aceng.
Hidup bersama mak dan abah yang seminggu sekali bertemu karena harus bekerja di luar daerah. Tepatnya di kota metropolitan.
Aku memiliki kakak sambung dari abah dan mak. Hanya saja, aku tidak terlalu dekat dengan kakak dari abah. Padahal katanya saudara satu ayah itu adalah saudara kandung. Aku lebih dekat dengan kakak dari mak.
"Mak, Nur berangkat sekolah dulu," pamitku seraya mencium punggung tangannya dan tak lupa mencium pipi mak.
"Ya, hati-hati!" sahut mak lembut seperti biasanya.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Aku berlari keluar, mengenakan sepatu yang entah sudah seperti apa bentuknya. Aku ingat saat abah membelikanku sepatu ini.
Aku sangat bahagia saat mendapatkan sepatu yang berkelipan. Setiap kali aku melangkah, lampu yang mengitari pinggir sepatuku akan menyala berwarna-warni seperti pelangi. Merah, kuning, hijau dan biru.
Abah membelinya dua pasang kembar dengan Aceng. Hanya saja, dia belum masuk sekolah.
Kuayunkan langkah dengan ringan berjalan menuju sekolah beramai-ramai bersama teman. Meski sepatuku tak lagi menyala, aku tetap semangat pergi sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke dalam kelas. Sementara teman-teman pergi ke kantin untuk menukar uang jajan mereka dengan makanan.
Aku tidak merasa iri sama sekali. Meski sekolah tak pernah membawa uang jajan, aku tetap bersemangat. Yah ... aku akan membawa uang jajan saat abah pulang dari Jakarta.
Jika abah belum pulang seperti ini, maka aku tidak akan membawa uang jajan ke sekolah. Cukup makan yang kenyang di rumah dan membawa minum.
Abahku hanyalah seorang pedagang asongan di Jakarta. Beliau berjualan di sekitar pelelangan di Muara Baru. Dulu saat aku kecil, kami tinggal di Jakarta tepatnya di Kebon Tebu sangat sering terjadi kebakaran.
Menjelang sekolah, kami pindah ke kampung halaman. Jadilah, abah pulang seminggu sekali.
"Assalamu'alaikum!" salamku saat tiba di rumah, tapi tak ada sahutan. Aku tahu ke mana mak, beliau sedang berada di sawah membantu para tetangga.
Aku mengganti bajuku, dan duduk di atas bale-bale menunggu kedatangan mak. Biasanya mak akan pulang membawa bekal nasi merah, ikan asin goreng tepung dan sambal terasi. Bagiku, itu sangat nikmat.
Tak lupa aku mencari belalang yang selalu diselipkan mak di tudungnya yang kami sebut dudukuy.
Menjelang duhur, mak pulang bersama Aceng. Di tangannya ada bungkusan plastik. Itulah yang aku tunggu.
"Assalamu'alaikum!" salam mak.
"Wa'alaikumussalaam!" jawabku seraya kucium tangannya dan kuraih bungkusan itu.
Aku membukanya tidak sabar, mataku berbinar saat melihat apa yang aku bayangkan nyata di depanku.
Mak memberikan dudukuynya padaku, aku membaliknya dan mencari belalang yang terselip di sana. Ah ... ada satu. Kuambil dan kumainkan bersama capung setelah menyantap bekal yang mak bawa dari sawah.
"Mak, besok Nur mau ikut ke sawah. Mau cari belalang buat digoreng," kataku pada mak. Besok hari Minggu, sekolah libur. Aku akan ikut mak ke sawah.
"Iya, sekolahnya ada PR gak?" tanya mak sembari melepas atribut sawah dan meletakannya di belakang rumah.
"Udah beres, Mak. Tadi dikerjain bareng temen-temen," tukasku sibuk memainkan belakang dan capung di lantai ubin.
"Tuh, Teh! Gede!" kata Aceng seraya meletakkan seekor belalang besar di lantai.
"Wah, gede banget ini!" pekikku sembari menoel-noel belalang besar itu.
"Siapa yang tangkap?" tanyaku karena tidak mungkin Aceng yang menangkapnya. Dia baru lima tahun.
"Mang Udin yang nangkepin," jawabnya sembari mengambil kembali belalang besar itu dan meletakannya di baju.
"Ayo mandi! Udah sore ini," ucap mak yang membuyarkan permainan kami. Aku beranjak ke belakang rumah, di sana sudah tersedia air di dalam ember-ember untuk kami mandi.
Mak tidak mengizinkanku menimba air sendiri, karena selain dalam ember yang terisi air itu akan memberat. Kami masih menggunakan air sumur yang harus kami timba jika ingin menggunakan air.
Usai mandi sore dan shalat ashar, aku membaca doa-doa wudu untuk aku setorkan pada abah sepulangnya dari Jakarta nanti. Aku harus menghafal doa setiap gerakan anggota wudu.
Masalah pendidikan dan agama, abahku orang yang keras dan disiplin. Mungkin karena beliau adalah seorang veteran yang tidak diakui oleh negara. Beliau pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Masih jelas kulihat bekas peluru yang bersarang di kakinya. Setiap kutanya kaki abah kenapa kaya bolong gini? Beliau menjawab, ini bekas hantaman peluru saat berjuang melawan Belanda dulu. Maa syaa Allah.
Aku bangga padanya, meski negara tak mengakuinya, aku mengakui abahku sebagai pahlawan. Hormat untuk pahlawan yang tak terkenang jasanya! Dalam hatiku abah adalah seorang pahlawan baik dalam negara maupun keluarga.
"Ceng, ayo berangkat ngaji!" ajakku pada Aceng usai melaksanakan shalat Maghrib.
Ia datang tergopoh dengan sarung yang masih berantakan. "Bentar, Teh! Pake sarung dulu!" katanya seraya membenarkan sarungnya dan berjalan di belakangku.
Dengan membawa obor di tangan, kami berbondong-bondong pergi ke tempat mengaji.
Sebelum mengaji kami membaca beberapa sholawat lalu alfatihah, barulah kami akan berpencar ke guru ngaji masing-masing yang setiap hari mengajari.
Tempat ngaji kami di sebuah pondok pesantren salafi, banyak akang santri yang mengajari kami mengaji. Bagi yang sudah di tingkat atas akan ngaji pada pak kyai.
Sepulang mengaji, kami akan pulang bersama-sama karena kondisi kampungku yang masih belum terlalu banyak rumah dan tidak ada lampu jalan bahkan ada sebagian yang belum menggunakan listrik. Jika tidak membawa obor khawatir akan tersandung.
"Assalamu'alaikum!" salamku bersamaan dengan Aceng.
"Wa'alaikumussalaam!" jawab mak dari ruang tengah. Sepertinya, mak sedang menonton sinteron tersanjung yang diperankan oleh Ari Wibowo, Lulu Tobing dan kawan-kawan.
Kami menyalami mak bergantian lalu duduk bersama di depan televisi kotak kecil. Yang tidak berwarna alias hitam putih saja dan menyala menggunakan aki. Jika aki habis, televisi tersebut akan ciut. Semakin lama semakin mengecil dan terus mengecil sampai berbunyi,
Prat!
Lalu mati!
"Gimana ngajinya?" tanya mak pada kami berdua.
"Kata Kakak, sebentar lagi Nur khatam juz 'amma, Mak. Bacakan," jawabku senang. Mak terlihat berbinar. Kami menyebut kyai dengan sebutan Kakak.
"Beneran? Pinter banget anak Mak," jawab mak tak kalah senang, "kalo gitu abah pulang nanti Mak masak buat bacakan," sambungnya antusias. Aku mengangguk semangat.
"Kalo Aceng gimana?" Mak beralih pada anak laki-lakinya yang sedang serius menonton televisi.
"Aceng masih ngejah, Mak. Belum ke juz 'amma," jawabnya memberikan senyum pada Mak.
Mak mengusap rambutnya lembut, "Gak apa-apa yang penting harus benar-benar ngajinya, ya! Biar bisa kaya Teteh," tukas mak. Aceng mengangguk.
Adzan isya berkumandang, kami mengakhiri menonton televisi.
"Ceng, bisa ga jadi imam shalat buat kami?" tanya mak menguji shalat Aceng. Dengan bangga dia menepuk dada.
"Bisa! Ayo, Mak shalat! Biar Aceng imamnya," tukasnya tanpa ragu. Aku dan Mak saling memandang satu sama lain. Tak sadarkah dia baru berusia lima tahun? Tapi kami biarkan, lagi pula aku ingin melihat sudah seberapa benar shalatnya.
Dia menjadi imam, kami berdua menjadi makmum. Kami membaca niat shalat sendiri-sendiri tidak bermakmum pada Aceng karena usianya belum baligh. Belum memenuhi syarat untuk menjadi imam.
Aku bangga pada adikku itu, bacaan shalatnya sempurna. Gerakannya tepat, meski usianya barulah lima tahun. Kelak jadilah imam yang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Mama Oya
Dulu juga punya sepatu yg nyala2 gini kayak punya Nur ..
2022-09-06
0
Yarsha Mei
cerita yg sangat natural
lanjut thor
2022-05-16
1
mamah yeni
ceritanya bagus banyak pelajarannya...👍👍👍
2022-05-04
1