Abah, Ajari Aku

"Bismillaahirrahmaanirrahiim ... tabaarokalladzii biyadihil-mulku wa Hua 'alaa kulli syai'in qadiir."

Aku mendongak setelah menyelesaikan bacaanku. Abah menggeleng.

"Di sini, kamu salah membacanya. Membaca Al-Qur'an harus menggunakan tajwid yang benar. Hukum nun sukun dan tanwin harus kamu fahami dengan benar. Membaca Al-Qur'an tidak bisa asal membaca saja, apa lagi kalo sampai salah membaca. Waduh, bisa berubah maknanya," jelas abah.

Aku melihat bagian yang ditunjuk abah, kalimat syai'in dan qadir. Lalu mengangkat wajahku lagi menatap abah yang tersenyum serius.

"Salahnya gimana, Bah?" tanyaku dengan alis yang bertaut bingung. Kurasa bacaanku tadi sudah benar. Mungkin?

"Pada kalimat syai'in ada nun sukun, dan setelahnya ada huruf qaf. Coba huruf qaf dalam hukum nun sukun termasuk huruf apa?" tanya abah.

Sudah seperti seorang ustadz yang sedang mengajari santri. Aku terdiam berpikir dan mengingat-ingat pelajaran tajwid tentang hukum nun sukun dan tanwin.

"Huruf ikhfa'!" jawabku sedikit ragu. Samar bayangan huruf yang melintas ketika guru ngajiku sedang menenangkan tentang itu.

Abah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu bagaimana hukum bacaan ikhfa'?" tanyanya lagi.

Aku seperti sedang menghadapi ujian lisan di hadapan guru. Dadaku berdebar-debar, otakku berputar mencari-cari jawaban. Aku menunduk dengan kedua bola mata berputar ke kanan dan kiri. Berpikir.

"Mmm ... disamarkan?" tukasku meragu dengan jawabanku sendiri. Abah mengangguk lagi. Aku bernapas lega.

"Coba seperti apa bacaan yang disamarkan itu?" pinta abah. Dan jawabanku adalah gelengan kepala, menyerah. Aku belum bisa mempraktekan bacaan ikhfa'.

"Hmmm ...." Abah menjauhkan tubuhnya dariku. Mata tajamnya menatapku dengan serius. Aku meneguk kasar ludahku. Gugup dan takut.

"Disamarkan itu artinya nun sukun di situ tidak dibaca jelas," terang abah. Aku mengernyit, tapi memperhatikan setiap penjelasan abah tentang ikhfa'.

"Jika dibaca jelas itu namanya idzhar. Min Khouf, jelas dan terbaca nun sukunnya." Lagi, abah menjelaskannya. Aku terus terdiam sembari memperhatikan.

"Kalau ikhfa' nun sukunnya tidak dibaca jelas seperti idzhar. Syai'in-g qadiir. Nun disamarkan menjadi ng bukan n," jelas abah. Aku mengangguk mengerti.

Aku terdiam sejenak, mempraktekannya dalam hati sembari menatap dua ayat yang salah bacaan hukumnya saat aku membaca.

"Faham?" Suara bertanya abah yang sangat dekat membuatku dengan cepat mendongak. Lalu mengangguk tanda aku sudah mengerti.

"Sekarang coba baca ulang!" titahnya menegakkan kembali tubuhnya bersandar pada tembok rumah yang masih berbentuk batu bata.

"Bismillaahirrahmaanirrahiim ... tabaarokalladzii biyadihil-mulku wa Hua 'alaa kulli syai'in-g qadiir."

Kubaca seperti apa yang diajarkan hatiku tadi. Lalu mendongak kembali menatap abah meminta pendapatnya apakah bacaanku sudah benar?

Anggukkan kepala dari abah membuatku mengembangkan senyum. Aku harus lebih berhati-hati saat membaca setiap ayat dalam Al-Qur'an. Salah satu harokat saja, itu sudah merubah arti dari makna sesungguhnya. Begitu nasihat abah.

Jadilah, malam itu hanya diisi oleh suaraku yang belajar tajwid bersama abah. Sementara mak dan Aceng asik menonton televisi. Menunggu adzan isya berkumandang.

"Shadaqallaahul-'adhiim," pungkasku mengakhiri belajar membaca Al-Qur'an menggunakan tajwid malam ini.

Adzan isya sudah dikumandangkan muadzin di mushola depan rumah. Abah dan Aceng bergegas pergi ke mushola, aku dan mak pun menunaikan shalat isya di rumah.

Usai menunaikan shalat isya kami berkumpul kembali di depan televisi untuk makan malam. Seperti biasa dengan kompak aku dan Aceng membaca doa sebelum makan.

Kata abah, supaya berkah dan menghindari godaan setan yang ikut makan bersama kita. Melihat abah makan menggunakan tangan, aku dan Aceng ikut makan menggunakan tangan.

Di tengah-tengah makan, Aceng berdiri dengan mulutnya yang penuh dan sambil mengunyah. Ia berjalan mendekati televisi dan memindahkannya. Lalu berdiri lama di depannya.

"Ceng! Kalau makan jangan sambil berdiri, nanti jadi kuda! Duduk!" tegur mak yang melihat Aceng masih berdiri di depan televisi.

Bocah itu menoleh dan kembali duduk masih mengunyah nasi di mulutnya. Dasar!

Makan malam berakhir. Sepertinya, akan ada wejangan dari abah setelah ini mengingat Aceng yang mendapat teguran dari mak tadi.

Kami duduk di depan televisi menunggu nasi turun sebelum beranjak ke tempat tidur.

Angling Darma film kolosal kesukaan abah yang tayang setiap malam menjadi tontonan kami sekeluarga setiap malamnya.

Abah duduk di antara kami, matanya akan fokus pada layar televisi saat adegan demi adegan silat dipertontonkan film yang dilakonkan oleh aktor Anto Wijaya sebagai Prabu Angling Darma dan Candi Satrio sebagai Patih Batik Madrim.

"Ceng, lain kali kalau makan atau minum jangan sambil berdiri." Suara abah menasihati di sela-sela iklan.

Abah menggunakan kesempatan itu untuk memberikan wejangan pada kedua anaknya ini.

"Memangnya kenapa, Bah?" tanyanya menoleh. Tatapan matanya begitu polos tanpa dosa. Aku pun sama menatap abah penuh rasa ingin tahu.

"Karena Allah dan Rasul-Nya melarang kita untuk makan dan minum berdiri. Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai saat umat muslim melakukan itu. Dalam haditsnya Rasuulullah melarang keras umat muslim makan dan minum sambil berdiri," jawab abah kemudian.

Aku dan Aceng saling pandang satu sama lain. Kami sangat sering makan dan minum sambil berdiri bahkan berlari.

"Aceng mah lari, Bah," tuduhku menunjuk Aceng yang menganga tak percaya saat aku melaporkan hal itu pada abah.

Abah menoleh pada Aceng, dahinya yang sudah berlipat bertambah jelas lipatannya saat abah menautkan kedua ujung aslinya tak percaya.

"Beneran?" tanya abah menegaskan. Aceng tidak menjawab, ia hanya mendengus kesal sambil melirikku. Aku terkekeh kecil.

"Tapi, Teteh juga kan sama," celetuknya. Kini, aku yang langsung bungkam. Beraninya bocah itu! Kulihat matanya melirikku dengan licik. Senyum smirk tercetak menjengkelkan.

Aku memberikan cengiran lebar pada abah saat ia dengan cepat menoleh ke arahku. Abah menggeleng dan terdengar helaan napas berat darinya. Huh ... selamat!

Aku takut dihukum, tapi abah hanya menasihati kami berdua untuk tidak mengulanginya di kemudian hari. Kami mengangguk patuh.

Namun, kami tidak bisa menjamin apakah kami tidak akan melakukannya di kemudian hari? Dasar! Apa? Kami memang masih bocah!

Kami melanjutkan acara menonton televisi saat naga Angling Darma muncul pertanda dimulainya kembali film kolosal tersebut.

Abah begitu serius menonton. Aku sering menemani abah menonton, di hari lain kami akan menonton serial misteri gunung Merapi yang diperankan oleh Farida Pasha sebagai Mak Lampir dan aktor tampan Marcelino sebagai Sembara.

Kulirik Aceng telah tertidur di pangkuan abah. Nyaman sekali. Aku pun ikut merebahkan tubuhku di kaki abah yang lain.

Menghadap televisi yang tidak berwarna di hadapan kami. Kian lama kian berat mataku terasa. Dan akhirnya benar-benar menutup dan hanyut dalam buai mimpi.

Terpopuler

Comments

mamah yeni

mamah yeni

Angling darma,, waktu aku SD kls berapa ya🤔🤔

2022-05-04

2

Qiza Khumaeroh

Qiza Khumaeroh

lanjuuttt

2022-05-04

1

Tika Apriyani

Tika Apriyani

yey

2021-05-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!