Pagi ini Desita melangkahkan kakinya dengan berat ke kamar Adriana, tanpa mengetuk pintu dia membuka kasar kamar gadis kecil itu. Pemilik kamar yang sedang duduk termenung di pinggir jendela pun menoleh ke arah pintu, dia hanya melihat tanpa ekspresi yang berarti kedatangan Ibunya.
"Aku datang hanya ingin memberitahu kapan kita berangkat! " ucap Desita seraya melangkah masuk, dia menatap sekeliling kamar Adriana dan tersenyum kesal karena sang empu kamar tak mengatakan apapun sejak dia tiba.
"Apa bibirmu terjahit? Apa kamu tak bisa mengatakan apapun?" geram Desita yang melihat Adriana memilih kembali melihat ke luar jendela.
"Aku harus bilang apa, nyonya?" ucap Adriana datar.
"Ck, kita akan berangkat tiga hari lagi!" decak Desita kesal.
"Usahakan hilangkan panggilan nyonya untuk ke depannya! Kamu akan hidup sebagai Rian dan dia selalu memanggilku mama!" lanjut Desita memberi perintah.
Adriana memilih diam sejenak, membiarkan semilir angin yang lembut membelai rambut dan pipinya. "Mungkin akan lebih baik aku memanggil anda dengan kata 'Mommy', kita akan tinggal di luar negeri, bukan?" kata gadis kecil itu setelah cukup lama diam. Dulu mungkin dia akan senang dan melompat kegirangan saat sang Ibu mengizinkan dirinya memanggil mama. Namun, sekarang semuanya tak lagi sama. Dia bukan lagi gadis yang memimpikan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Dia hanya menjalani hari karana telah berjanji dengan sang kakak. Bahagia atau tidak, itu urusan belakang.
"Ya sudah, terserah apa katamu saja. Mommy juga sudah cukup enak didengar daripada nyonya!" ucap Desita mengalah untuk pertama kalinya.
Desita membuka pintu, dia hendak keluar dari kamar Adriana. Langkah wanita itu terhenti di depan pintu, tangannya masih memegang gagang pintu. "Ngomong-ngomong, aku suka melihat kamu yang pintar dan memilih memotong rambutmu, walau potongannya tak rapi. Itu bisa kita perbaiki nanti!" kata Desita sebelum meninggalkan kamar Adriana.
"Jangan terlalu berpikir serius, aku memotongnya bukan untuk anda, nyonya!" lirih Adriana terbawa oleh hembusan angin.
Adriana mendongakkan kepalanya menatap langit, mata yang memancarkan kekosongan itu mengikuti awan-awan kecil yang berarak. Senyum kecil tercipta karena memikirkan sang kakak. "Aku pasti bisa bertahan, bukan? Dengan menjadi dirimu, aku merasa terus hidup bersama denganmu, kak!" bisiknya pelan seolah berbicara dengan Adrian yang telah meninggal.
Hanya dengan mengenang sang kakak, gadis kecil yang berusia lebih sepuluh tahun itu bisa menunjukkan ekspresi hidup dan tersenyum tulus. Selebihnya, dia hanya seperti robot tanpa hati. Melakukan dan berusaha menapaki jalan seperti kakaknya. "Kakak, tenang saja, aku akan bahagia," lanjutnya mengingat pesan sang kakak. Adriana menghabiskan waktu dengan terus menatap keluar jendela, langit yang tadinya berwarna biru cerah, kini telah ternodai warna jingga. Warna yang menandakan sore telah menjelang dan malam segera datang.
Pintu kamar gadis kecil itu diketuk tiga kali, setelahnya tak ada apapun yang terjadi. Adriana turun dari jendela kamar tempat dia duduk tadi, gadis kecil itu membuka pintu dan mengambil makanan yang diantarkan pelayan. Makanan tersebut diletakkannya di atas meja dan dia kembali menatap langit yang semakin menghitam.
...•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸...
Di meja makan, Desita menanyai salah satu pelayannya. "Apa makanan sudah diantar?" tanyanya seraya menatap mata pelayannya.
"Sudah nyonya, sekarang giliran Ella yang mengantarkan makanan!" jawab pelayan yang ditanya dengan sopan.
Desita mengangguk puas. "Bagus, kalian boleh pergi dari sini besok sore! Carilah pekerjaan dan semoga kalian cepat mendapatkannya," kata sang nyonya rumah.
Para pelayan mengangguk cepat lalu meninggalkan majikannya agar tuan dan nyonya mereka menikmati makan malam. Nyonya mereka lebih senang dengan keadaan tenang saat makan. Salah satu pelayan tak beranjak dari tempat dia berdiri, pelayan tersebut membuka dan menutup mulutnya, seakan ragu-ragu ingin menyampaikan sesuatu.
Kehadiran pelayan itu menarik atensi Desita, dia menatap heran pelayan tersebut. "Ada apa?" tanya Desita. Hermansyah pun ikut menatap pelayan tersebut.
Pelayan yang ditatap oleh tuan dan nyonyanya semakin ragu untuk berbicara.
"Kalau ada yang mau kamu katakan, katakan saja! Kalau tidak tinggalkan kami!" titah Hermansyah sedikit kesal.
"Mohon maaf sebelumnya tuan, nyonya!" kata sang pelayan dengan nada takut-takut.
"Hmm, maaf untuk?" tanya Hermansyah cepat.
"Tolong, emmm ..., perlakukan nona sedikit lebih baik, tuan, nyonya," pinta si pelayan ragu, rupanya pelayan tersebut adalah salah satu pelayan yang memperlakukan Adriana dengan baik.
Desita naik pitam, sendok dan garpu yang ada di tangannya dibanting dengan keras. "Lancang! Itu urusan saya! Kenapa kamu repot-repot ikut campur!" teriak Desita dengan amarah yang tak terbendung. Baginya, Adriana adalah pembunuh anak kesayangannya,, buat apa memperlakukan anak itu dengan baik. Sudah syukur dia mau memberi peran dan kesempatan anak itu untuk membayar kejahatan yang dilakukannya.
"Dengar, ini urusan saya dan istri saya! Jadi kamu jangan ikut campur dan sebaiknya lekas pergi sekarang juga dari rumah ini!" usir Hermansyah.
"Maka dari itu saya minta maaf sebelum berkata seperti tadi, tuan, nyonya. Saya hanya tak ingin tuan dan nyonya menyesal di kemudian hari. Tuan muda telah tiada, apa tuan dan nyonya sanggup kehilangan nona muda juga?" jelas pelayan tadi tak putus asa, dia hanya kasihan dengan perlakuan yang didapat sang nona.
"Dengar, lupakan tentang anak itu! Anggap dia tak pernah ada!Kamu boleh angkat kaki sekarang juga, saya tak mau melihat wajahmu lagi di sini!" balas Desita semakin meradang.
Pelayan tadi mengangguk, menuruti keinginan majikannya. Ralat, mantan majikannya. "Kalau begitu saya permisi, senang bisa bekerja dan melayani anda, tuan, nyonya. Saya harap anda tak akan menyesali apapun yang terjadi nanti!" kata di pelayan sebelum undur diri.
"Saya tak akan menyesal dan tak akan mungkin menyesal sampai kapanpun!" teriak Desita kesal.
Desita berdiri diikuti Hermansyah. "Bersihkan semuanya! Karena satu pelayan, nafsu makanku jadi hilang!" gerutu Desita sebelum meninggalkan meja makan.
"Tak usah didengar, dia tak tahu apa-apa!" bujuk Hermansyah, keduanya berjalan beriringan ke kamar mereka.
"Aku benci pelayan yang tak bisa menutup mulutnya! Sungguh tak tahu kapan harus bersuara, kapan tidak!" keluh Desita marah.
"Dan aku lebih kesal lagi karena yang dibicarakan soal pembunuh itu!" lanjutnya tambah marah.
"Kosongkan saja rumah ini dari semua pembantu yang ada, kita akan memanggil jasa pelayan jika memang dibutuhkan sebelum kita berangkat!" usul Hermansyah yang langsung diangguki oleh Desita.
"Itu juga yang aku pikirkan, pa," timpal Desita setuju.
Dengan semua pelayan lama mereka pergi dan pelayan panggilan saja yang datang di saat diperlukan, tak akan ada yang mengenali anak itu. Desita akan bebas melakukan apapun pada Adriana, mengubah gaya berpakaian dan juga merapikan rambut anak tersebut. Dia juga akan memindahkan Adriana ke kamar Adrian, anak itu harus terbiasa menggunakan semua barang-barang Adrian. Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh Desita dan pasti akan dia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
betul2 stres
2023-07-06
0
Diana Dwiari
aku sedih thor, mewek....kejam sekali
2022-08-30
1
Little_Bee
masih setia disini... awal yang mencabik-cabik emosi ...
Semoga selanjutnya... cerita gak kayak sinetron alay ya ... mbuleeettt 😘
2021-09-30
0