Adriana terus mengurung diri di kamar, belum ada yang tahu perihal rambut gadis kecil itu. Bahkan pelayan yang baik padanya pun tak ada yang tahu, apalagi pelayan yang tak menggubris kehadirannya. Mana mereka mau ambil pusing dengan ada atau tidaknya Adriana.
Makanan Adriana akan ditaruh di depan kamar, jika sang pemilik kamar tak juga keluar meski telah diketuk berulang kali. Gadis kecil itu juga hanya mengulurkan tangannya saat dia mengambil makanan yang diberikan oleh pelayan yang mengasihani nasibnya yang malang. Selesai makan, piring kotor pun dikembalikan dengan cara yang sama.
Selang beberapa hari selepas kedua orang tuanya memutuskan segala sesuatu apa yang harus Adriana lakukan di masa depan. Nyonya Ferdinan mengumpulkan semua pelayannya di ruang tengah. Mereka berbisik lirih menebak alasan mereka semua dipanggil secara bersamaan.
"Kalian pasti bertanya-tanya mengapa kalian semua dipanggil, bukan?" suara sang nyonya majikan terdengar, para pelayan mengangguk serempak. Ada juga sebagian yang menjawab iya dengan pelan.
"Kalian semua diberhentikan!" lanjut Desita dengan mimik wajah serius, membuat para pelayan yang berkumpul sedikit gaduh. Pemecatan serempak tanpa satu pun dari mereka yang melakukan kesalahan, sungguh membingungkan dan berita yang mengejutkan bagi mereka. Apalagi mencari pekerjaan sangat sulit, jika mereka dipecat, apa mereka akan mendapatkan pekerjaan secepatnya.
"Jangan khawatir, saya dan suami saya sudah menyediakan pesangon yang cukup untuk kalian." kata Desita seolah semua bisa diselesaikan dengan uang.
"Maaf sebelumnya nyonya, apa ada alasan tertentu mengapa kami semua diberhentikan? Apa kami melakukan kesalahan atau kinerja kami tak memuaskan tuan dan nyonya?" kepala pelayan menyuarakan pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh para pelayan lainnya.
Desita menggeleng seraya tersenyum ramah, senyum yang bahkan tak pernah dia berikan pada anaknya, Adriana. Namun, pelayan bisa mendapatkan senyum tersebut lebih mudah. "Seperti yang kalian tahu, kami sangat berduka saat ini dan tuan kalian sedikit lebih syok, sehingga saya memutuskan untuk mengganti suasana baru dan pergi ke tempat lain untuk melanjutkan hidup." ucap Desita dengan alasan yang setengah benar. Alasan utama dia memecat semuanya adalah agar mereka tak tahu apa yang dia rencanakan untuk anak perempuannya.
Dengan uang, dia menutup berita yang beredar tentang kematian anak tersayangnya. Berita yang keluar hanya mengatakan salah satu anaknya meregang nyawa di tangan para penculik. Tak ada yang tahu anak perempuan atau laki-lakinya yang terkena musibah.
"Rumah ini akan dijual, suami saya tak mau melihat rumah yang penuh dengan kenangan sekaligus membuat dirinya menjadi sakit jika mengingat lagi semua kenangan tersebut!" lanjut Desita, sang nyonya rumah mulai membagi-bagikan amplop coklat berisi uang pesangon untuk para pelayan yang dipecatnya.
"Saya harap kalian mengerti dan mendapatkan pekerjaan secepatnya!" katanya dengan senyum ramah.
"Terimakasih nyonya, kami semua turut berduka, semoga nyonya tak larut dalam kesedihan!" balas kepala pelayan.
"Semoga tuan juga cepat sehat, nyonya!" lanjut pelayan lainnya berdoa.
Desita tersenyum kecil. "Terimakasih, kalian boleh pergi. Saya akan kembali ke kamar!" Desita berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Para pelayan menunduk hormat, mereka ingin melayani majikannya hingga akhir, jadi mereka tetap di melakukan pekerjaannya sampai sang majikan pindah ke tempat yang baru.
"Bagaimana?" tanya Hermansyah saat melihat istrinya kembali.
"Berjalan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan!" balas Desita, kaki wanita itu terus melangkah menuju ruang ganti.
"Jadi sekarang kamu akan pergi ke sekolah Rian?" tanya sang suami lagi.
"Tentu saja, pa! Aku kan harus mengurus surat pindah anak kita," jawab Desita dengan nada sedikit riang.
"Ah ..., seandainya aku tak terbaring sakit, aku pasti akan ikut denganmu, ma," desah Hermansyah menghela napas kesal, sakit sangat melelahkan, dia tak bebas beraktivitas.
"Istirahat saja yang banyak agar papa cepat pulih, semakin cepat papa pulih, semakin cepat pula kita berangkat ke luar negeri," ucap Desita mencoba menghibur suaminya. Andai saja kata-kata seperti itu bisa sekali saja diucapkan untuk anak perempuan mereka. Sayangnya, Desita benci melakukan hal seperti itu jika menyangkut Adriana. Dia menganggap Adriana adalah seorang pembunuh kecil, dulu dirinya yang hampir meregang nyawa saat berjuang melahirkan anak itu. Sekarang anak itu tumbuh menjadi pembunuh asli karena membunuh satu-satunya anak yang mereka sayangi. Bersyukur dia menemukan cara untuk membuat gadis pembunuh itu membayar semuanya, gadis itu harus menggantikan tempat anak laki-laki mereka. Adriana harus bekerja keras mempertahankan nilai-nilai anak mereka.
"Aku pergi dulu, pa," pamit Desita sambil menyambar tasnya.
"Hati-hati di jalan, ma. Cepat pulang jika sudah selesai," pesan sang suami, Desita mengangguk, wanita itu keluar dari kamar dan melangkah ke garasi. Mobil merah kesayangannya telah dipanaskan ternyata, dia pun masuk ke mobil dan melaju meninggalkan kediamannya.
...•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸¸.•*´¨*•.¸...
Semua diselesaikan dengan cepat, surat pindah atas nama Adrian Ferdinan juga sudah didapat. Tinggal menunggu surat kematian yang diurus oleh salah satu bawahan Desita. Rumah yang mereka tinggali juga sudah ditawarkan kekenalan dan juga lewat iklan. Tinggal menghitung hari dan Ferdinan sekeluarga akan meninggalkan kota ini.
Adriana tak tahu dan tak berusaha mencari tahu ke mana mereka akan pergi. Dia tak peduli di manapun dia menetap, bukankah dia hanya harus berusaha untuk menjadi seperti kakaknya. Adriana hanya harus membunuh dirinya sendiri dan hidup sebagai kembarannya selama sisa hidupnya.
Desita dan Hermansyah juga tak akan terlalu peduli, keduanya hanya ingin anak kesayangannya yang hidup. Meneruskan bisnis dan usaha mereka, serta membanggakan nantinya. Desita pun belum bertemu lagi dengan Adriana, padahal keduanya tinggal di rumah yang sama. Ketidakacuhan keduanya sungguh terlalu wah, mereka akan melakukan segala cara agar Adriana menuruti dan mengikuti jejak Adrian. Gadis itu harus hidup sebagai laki-laki dan melupakan mimpi indah yang dia miliki.
"Apa kamu sudah melihat Rian?" tanya Hermansyah, keadaannya terlihat semakin membaik saat ini. Wajah pria itu tak lagi terlalu pucat seperti sebelum-sebelumnya.
"Buat apa? Toh, dia tak akan bisa lari ke manapun?!" balas Desita cepat dengan nada cuek.
"Tapi kamu harus sesekali melihat dia, bagaimanapun dirinya akan melanjutkan hidup anak laki-laki kita ke depannya, ma," kata Hermansyah lagi.
"Nanti saja, aku malas melihat wajahnya. Wajah itu membuatku teringat akan anak kita yang berlumuran darah, pa," timpal Desita seraya memalingkan wajah ke lain arah.
"Setidaknya berusahalah sedikit, akan aneh dilihat oleh orang lain nantinya. Tak mungkin kan sikap kamu ke Rian langsung berubah tanpa alasan yang jelas," bujuk sang suami dengan nada suara pelan.
Desita diam tak menjawab, kedua pasangan itu dilanda keheningan yang panjang. Tak ada yang membuka mulut melanjutkan pembicaraan. Mereka pun tak tahu, jika Adriana telah merubah penampilannya. Rambut panjangnya pun telah dia pangkas sembarangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
ni br namanya orto stres
2023-07-06
0
Jasu
kayaknya surga d bawah telapak kaki ibu itu gk berlaku buat Adriana dan ibunya karena ibunya jg gk bersyukur punya anak seperti Adriana,malahan menyesal telah melahirkannya 🤔
2021-09-01
3
sud
tinggalkan jejak
👣👣👣👣👣👣👣👣👣👣👣👣
2021-08-01
0