Dokter Adi duduk tepat di samping peti tempat jenazah putra pertamanya itu terbaring, kedua tangannya bertumpu di peti itu, matanya menatap ke arah sudut dalam peti tapi pandangannya terlihat kosong. Ia terlihat sangat lesu, beberapa kali ia menghela nafasnya.
"Dokter..." sapa suster Indah yang baru saja tiba di rumah duka bersama dengan Dimas dan Rio. Dokter Adi tidak merespon sapaan rekan kerjanya itu, ia terus saja terdiam.
"Nak!" sapa bu Elisa lembut dari belakang mereka.
"Tante!" sahut suster Indah, Dimas, dan Rio bersamaan.
"Maaf ya nak, Adi sepertinya masih sangat terpukul dengan kejadian ini." ungkap bu Elisa.
"Dia terus seperti itu dari kemarin! Jangan tersinggung dengan sikapnya ya!" pintanya.
"Iya tante, tidak apa-apa! Kami mengerti keadaan dokter!" ucap Dimas.
"Ayo, kalian duduk di sana! Tante ingin berbincang-bincang dengan kalian!" ajak bu Elisa sambil merangkul pundak suster Indah. Suster Indah, Dimas, dan Rio mengikuti langkah bu Elisa.
Sementara itu, dokter Adi menyandarkan kepalanya ke salah satu sisi peti jenazah putranya itu dan perlahan air matanya mengalir dari sudut matanya. Wajahnya terlihat sangat pucat.
"Bug!" Pak Dony menepuk pundak putra semata wayangnya itu dengan cukup kuat hingga membuat dokter Adi tersadar dari lamunanya. Pak Dony duduk di samping dokter Adi.
"Kamu belum makan dari semalam, makanlah dulu!" bujuk pak Dony. Dokter Adi menggelengkan kepalanya.
"Aku belum lapar, pa!" ucapnya pelan.
"Kalau seperti ini terus kamu bisa sakit!" tukas pak Dony sambil memijat lengan putranya itu.
"Istri dan anakku merasakan sakit yang lebih parah dariku, pa!" ucap dokter Adi. Air matanya kembali mengalir ke pipinya.
"Lalu kamu juga mau sakit seperti mereka?" tanya pak Dony. Dokter Adi terdiam, ia kembali menatap kosong ke sudut peti jenazah putranya itu.
"Kalau kamu sakit lalu siapa yang akan memakamkan putramu ini dan merawat istrimu?" tanya pak Dony lagi. Nafas dokter Adi mulai terdengar menderu, air matanya pun lama kelamaan semakin deras mengalir.
"Istrimu belum meninggal, Di!" ucap pak Dony. Dokter Adi tersentak, ditatapnya wajah ayahnya itu.
"Papa tahu kamu merasa sangat kehilangan, papa dan keluarga lainnya juga merasa sangat kehilangan!" lanjut pak Dony.
"Tapi kita tidak bisa terus terpuruk dalam kesedihan ini! Masih ada yang membutuhkan semangat dan kekuatan dari kita!" tambahnya. Pak Dony meraih pundak putranya itu dan merangkulnya.
"Yang sudah pergi, biarkan pergi! Toh dia pergi ke tempat yang jauh lebih baik dari ini!" ucap pak Dony pelan, suaranya terdengar bergetar.
"Tuhan selalu mempunyai rancangan yang terbaik! Putramu... cucu papa ini sudah bahagia di surga sana!" Pak Dony mencoba memberi semangat kepada putra satu-satunya itu, meskipun dirinya sendiri merasa sangat kehilangan.
"Anakmu ini bukan lagi tanggung jawabmu karena dia sudah kembali ke Penciptanya..." lanjut pak Dony.
"Tapi Lia, dia masih hidup! Dia masih di sini bersama kamu dan dia masih milikmu! Kamu harus bisa bangkit demi istrimu itu!" ucap pak Dony. Tangis dokter Adi perlahan pecah, ia menyandarkan kepalanya di pundak ayahnya itu.
"Lia sangat membutuhkanmu! Kamu harus kuat dan papa yakin kamu pasti kuat!" bisik pak Dony. Dipeluknya putra semata wayangnya itu dengan erat dan dengan lembut ia menepuk-nepuk punggung anaknya untuk menenangkannya.
...
Dokter Adi menaburkan bunga di makam putra pertamanya itu, sesekali air mata masih mengalir dari matanya, tapi kini ia sudah bisa diajak bicara oleh orang lain.
"Dokter!" sapa Dimas. Dokter Adi menoleh ke arah Dimas, Rio, dan suster Indah yang mendekatinya.
"Kalian sudah datang sejak tadi ya?" tanya dokter Adi, ia berusaha tersenyum menyambut rekan-rekan kerjanya itu.
"Ya dok!" jawab suster Indah.
"Maafkan saya ya!" ucap dokter Adi. Suaranya terdengar berat dan bergetar.
"Tidak.. tidak apa-apa dok!" tukas Dimas. Dokter Adi memeluk Dimas, Rio, dan menjabat tangan suster Indah.
"Tetap semangat ya dok!" ucap Rio menyemangati dokter Adi. Dokter Adi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Terima kasih untuk perhatian kalian!" ucapnya.
...
Setelah selesai memakamkan putra pertamanya itu, dokter Adi kembali ke rumah sakit untuk menemani istrinya yang kemarin baru saja selesai menjalani operasinya. Saat ini, Lia masih dirawat di ruang ICU karena ia masih berada dalam masa kritisnya dan belum sadarkan diri, keadaan Lia pun masih belum stabil. Berbagai alat medis masih menempel di tubuh Lia untuk bisa terus memantau keadaannya.
Dokter Adi duduk di kursi yang ada di samping ranjang tempat Lia terbaring. Diraihnya tangan istrinya itu dan digenggamnya dengan sangat erat. Matanya memandangi wajah cantik istrinya itu, meskipun ada beberapa bekas luka di wajanya tapi bagi dokter Adi, wajah Lia tetaplah wajah yang paling cantik. Dokter Adi membelai lembut tangan Lia yang berada dalam genggamannya itu dan menciumi jari-jarinya.
"Rasanya pasti sangat sakit ya sayang?" bisiknya pelan. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya.
"Aku tahu kamu pasti merasa sangat sakit!" lamjutnya.
"Tapi aku berharap kamu mau berjuang untuk tetap hidup!" ungkap dokter Adi. Ia menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan tangan istrinya itu.
"Kamu harus berjuang, Lia! Harus!" Ucapan dokter Adi itu terdengar seperti sebuah paksaan.
"Aku tidak akan bisa hidup tanpamu! Aku sudah sangat hancur kehilangan putra kita, aku tidak akan sanggup kalau harus kehilangan dirimu lagi!" akunya. Ia mengangkat kepalanya dan memandangi wajah istrinya yang masih terlelap dalam tidur panjangnya itu.
"Kalau kamu mau pergi, ajak aku juga!" bisiknya. Tangisnya kembali pecah di samping tubuh istrinya.
"Aku tidak akan sanggup untuk menjalani hidup sendiri tanpa kalian!" akunya di sela-sela tangisnya. Dokter Adi membenamkan wajahnya pada ranjang Lia.
"Kamu harus bangun, Lia! Harus!" serunya.
"Tit.. tit.. tiiit.. tiiiiit" Tiba-tiba saja alat monitor pasien yang ada di ruangan tempat Lia terbaring itu berbunyi dengan cukup keras hingga membuat dokter Adi tersentak. Ia berlari ke luar ruangan itu dan memanggil perawat yang sedang bertugas saat itu untuk memeriksakan keadaan istrinya.
Beberapa perawat dan seorang dokter segera melakukan pemeriksaan pada Lia, sementara itu dokter Adi menunggu di luar ruangan. Ia terlihat sangat cemas dengan keadaan Lia, ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya pada Lia. Tak lama kemudian seorang perawat keluar dari ruangan tempat Lia dirawat.
"Bapak, silahkan masuk kembali!" ucap perawat itu. Dokter Adi terdiam sejenak menatap perawat itu, raut wajah perawat itu terlihat cerah ketika mengajak dirinya untuk masuk.
"Apakah sesuatu yang baik terjadi?" batin dokter Adi.
Ketika dokter Adi masuk kembali ke dalam ruangan itu, ia melihat seorang perawat sedang menyelimuti tubuh Lia dan perawat lainnya membereskan beberapa peralatan medis yang semula menempel di tubuh Lia. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Mamot_
mak kok gini sih?? tau lah kit hati aku.. prank.a enggk bgt.. hiiih
2021-04-14
2
Yousee Bugsy
embuh wes thor....
2021-04-14
1
Ratini Fanesa
sesak dada ku thor
2021-04-14
1