Pagi telah tiba, sejak subuh Rania sudah membantu ibunya. Sudah menjadi rutinitas Rania setelah bangun sholat subuh membantu ibunya. Memasak bahan yang akan dijual pagi ini. Hari ini dia terlihat agak santai karena bos Bara mau menjemput jam sembilan. Tanpa memberi tahu kenapa jam kantor dirubah. Rania hanya mengikuti keinginan bosnya sebagai karyawati yang baik.
Dari tadi telpon genggam Rania berdering terus. Itu adalah Dara yang kepo dengan Rania. Bertanya kemarin kemana. Dan banyak sekali, sampai hari ini Dara masih penasaran. Karena Rania tidak menanggapi Dara. Memang seperti itu Dara selalu dan selalu kepo kalau udah menyangkut sahabatnya. Dara sempat berfikir, kalau bosnya suka sama sahabatnya. Rania dengan sengaja mematikan telponnya.
Rania membantu ibunya kembali, setelah menghadapi kekepoan Dara. Rania membatu mengangkat nasi uduk dan bahan pelengkap lainnya. Baru sampai depan pintu, Rania sudah dibuat syok dengan kedatangan Bara. Padahal ini masih pukul enam pagi.
"Loh pak, bapak ganti jadwal ya?" tanya Rania sambil menaruh nasi dimeja jualan ibunya.
"Enggak, pengen cepet aja." jawab Bara santai.
"Ya sudah pak, saya siap-siap dulu. Atau bapak mau berangkat dulu nanti saya pakai motor sendiri? tanya Rania terbata.
"Enggak, udah santai aja. Aku emang sengaja kesini mau ketemu ibu kamu kok." kata Bara.
"Ketemu ibu saya?" tanya Rania.
"Iya, udah ada janji juga. Udah sana panggilin." suruh Bara.
Rania pun langsung masuk memanggil ibunya. Walau mulutnya sambil komat-kamit. Merasa ada yang disembunyikan oleh Bara dan ibunya. Setelah memanggil ibunya, Rania lanjut mandi. Takutnya Bara berubah pikiran dan merubah jadwal. Sedangkan diteras, Bara dan ibu Rania berbicara terlihat begitu serius.
"Bu, saya mau minta ijin mengajak Rania keluar kota, sekitar 3harian boleh?" Bara minta ijin.
"Jika untuk urusan kerjaan tidak masalah nak. Ibu bisa panggil keponakan ibu biar ada yang nemenin. Biasanya seperti itu." jawab ibu Rania.
"Sekalian saya mau minta ijin mendekati Rania bu. Mohon doa restunya." kata Bara sembari menjabat tangan ibu Rania.
"Kalau itu, hanya Rania yang bisa menjawab. Ibu akan bahagia jika Rania bahagia." jawaban ibu mantap.
Mereka diam seketika, saat Rania muncul dari balik pintu. Terlihat senyum yang begitu manis dari bibir Rania. Membuat hati Bara semakin ketar-ketir. Tapi Bara masih ingin mengenal Rania, karena hati Bara pun belum sembuh. Masih terasa sakit jika mengingat Bianka. Rania merasa ada gelagat aneh dari ibu dan bosnya.
"Nak sini, kamu siap-siap gih. Pak Bara ngajak kamu keluar kota tiga hari. Dia minta ijin sama ibu." kata ibu Rania.
"Keluar kota, memang ada jadwal keluar kota ya pak? kok di jurnal jadwal bapak tidak tercatat ya. Aku cek dulu ya pak." Rania terlihat panik.
"Memang ini jadwal dadakan, jadi tidak ada dijurnal kamu. Kamu siap-siap saya tunggu." jelas Bara.
Rania seketika langsung berlari ke dalam kamarnya. Memasukan beberapa baju, peralatan mandi dan make up nya. Tak lupa Rania membawa laptop dan power bank. Selesai Rania keluar dan menghampiri Bara. Mereka pun berpamitan kepada Ibu Rania. Diperjalanan tidak ada yang mengeluarkan suara. Rania merasa jengkel menghadapi sikap Bara. Yang tiba-tiba meeting, tiba-tiba keluar kota dan masih banyak syok terapinya.
Membuat Rania serasa tidak menjadi sekertaris yang berguna. Semua jadwal serba tiba-tiba, semenjak perusahaan Bara yang memimpin. Padahal dulu Rania santai, ketika Papa Bara yang memimpin perusahaan. Bara sendiri masih bingung, mau bilang apa kepada Rania. Karena memang tidak ada jadwal keluar kota. Tidak ada meeting atau pun urusan kerjaan. Bara hanya ingin mendekatkan diri kepada Rania. Ingin mengenal Rania, gadis yang selalu dibanggakan almarhum sahabatnya itu.
Dia ingin mencari kecocokan dirinya dengan diri Rania. Mereka pun, berada dalam lamunannya masing-masing. Perut Rania merasa lapar, karena pagi lupa sarapan. Dan dia juga lupa tidak membawa bekalnya. Mau bilang sama bos Bara dia tidak berani. Rania hanya memegangi perutnya yang keroncongan. Bara menyadari akan hal itu. Bara menyuruh supirnya berhenti di rest area untuk mencari makan.
"Turun, istirahat sarapan dulu." Kata Bara dingin.
Bak gayung disambut, Rania pun turun dengan semangat. Dia melihat begitu banyak penjual, karena mereka berhenti direst area yang menyuguhkan food corner. Ada berbagai masakan nusantara. Dan Bara tetap memilih bubur ayam sama susu jahe. Rania tidak jadi kegirangan, menu yang dipilih Bara adalah pantangan Rania.
Tenyata Bara sudah memesankan nasi goreng untuk Rania dan teh hangat. Rania menyambutnya dengan senyuman. Tanpa aba-aba ia langsung menyantap makanan dihadapannya. Bara melihat Rania yang begitu lahap makan. Merasa ada yang berbeda dari Rania. Tidak ada jaim-jaimnya, dia menjadi diri dia sendiri. Kebanyakan wanita selalu jaga image kalau dihadapan laki-laki. Seperti Bianka yang selalu menyek-menyek. Selalu pilih-pilih makanan. Harus direstauran mahal dan higienis tempatnya.
Bara jadi membandingkan Rania dengan Bianka. Yang jelas-jelas mereka dua orang yang berbeda. Latar belakang mereka pun jauh berbeda. Rania adalah perempuan berpendidikan dan beradab. Soal perilaku jauh lebih sopan Rania dibandingkan Bianka. Rania juga sosok wanita pekerja keras. Tidak ada sedikitpun pekerjaannya yang terbengkalai. Semua jadwal dan data-data tersusun dengan rapi. Sesuai dengan apa yang diceritakan Almarhum Randi.
Soal wajah, Rania tergolong cantik, manis dipandang. Usai makan mereka melanjutkan perjalanan. Bara membukakan pintu mobil untuk Rania. Rania hanya diam terpaku.
"Ayo masuk, mau ditinggal disini." kata Bara masih tetap dingin.
Rania masuk kedalam mobil sambil ngedumel. Dia bisa habis kesabaran jika menghadapi orang seperti Bara. Sama perempuan tidak ada manisnya. Dingin seperti es dikutup utara. Gerutu Rania dalam hatinya. Perjalanan masih dua jam lagi. Rania tak sengaja tertidur pulas dan menempel di pundak Bara. Bara membiarkan Rania tidur dipundaknya. Karena Bara pun mulai nyaman dengan kedekatan mereka. Hanya Rania yang masih belum membuka hati.
Rania masih selalu mengingat almarhum kekasihnya. Randi begitu berarti dalam hidup Rania. Dia yang selalu ada bagaimanapun keadaan Rania. Selalu mendukung apa pun keinginan dan harapan Rania. Bara pun berusaha memilih meluangkan waktu tiga hari untuk mendekati Rania. Setelah itu, rencananya baru akan dimulai mendekat lebih intens lagi.
Setelah perjalanan yang begitu melelahkan. mereka sampai disebuah apartemen mewah milik Bara. Bara pun tak membangunkan Rania. Dia turun tangan sendiri menggendong Rania sampai dikamar tempat tidur Rania selama di sini. Dalam apartemen Bara hanya ada dua kamar tidur. Satu untuk Bara dan satu untuk Rania. Supir Bara tinggal dihotel depan apartemen. Karena lelah Bara pun tak sadar kalau dia tertidur disamping Rania.
Bangun dari tidur, Rania berteriak sekuatnya. Untung saja ruangannya didesain kedap udara. Bara terbangun sambil mengerjapkan matanya. Rania berdiri dipinggir ranjang tempat tidur. Bara malah tersenyum melihat tingkah Rania. Otak jail Bara mulai beraksi.
"Bapak ngapain?" tanya Rania.
"Emang kamu nggak liat? kita baru saja lo tidur satu ranjang. Pakek peluk saya erat banget." kata Bara dengan santai.
"Enteng banget bapak jawabnya. Apa yang bapak lakuin? seumur-umur saya tidak pernah tidur dengan laki-laki. Bisa-bisanya bapak seenaknya ya. Udahlah saya pulang, terserah bapak mau pecat atau apa." kata-kata Rania penuh emosi.
Dengan sigap Bara menarik tangan Rania. Dan Rania pun jatuh dalam pelukan Bara. Rania berusaha melepaskan pelukan Bara. Bara tak menghiraukan malah mempererat pelukannya. Rania dengan tenaga penuh menginjak kaki Bara. Bara pun melepas pelukannya dan meringis kesakitan.
"Rasain...!!!" Rania keluar dari kamar.
Matanya terbelalak melihat perabotan dan furnitur mewah diapartemen Bara. Tapi cepat-cepat ingin keluar dari apartemen itu. Tetap saja tidak bisa karena kuncinya dipegang oleh Bara. Bara menyusul keluar kamar, dia acuh dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Rania menatap Bara penuh dengan kekesalan.
Bara tetap saja membiarkan Rania dengan salah paham yang terjadi. Karena Bara mulai nyaman dengan sikap Rania. Tak pernah takut jika dirinya benar. Mau itu sama atasannya atau pun sama rekannya bekerja. Dia juga bukan tipe perempuan gampangan. Bara duduk disofa ruang tv, sambil santai menonton tv.
"Yakin ingin keluar ndak mikirin ibumu yang dirumah capek-capek bekerja..." ucap Bara mantap.
Rania masih terdiam terpaku mengutuki Bara. Yang dengan santai malah menonton tv. Rania mulai jengah dan perlahan berjalan mendekati Bara. Duduk disofa tapi Rania menjaga jaraknya. Takut kalau Bara, tiba-tiba mendekat.
"Ibu saya pasti mendukung keputusan saya. (Jangan bapak pikir saya adalah perempuan gampangan. Saya juga punya harga diri!" Rania masih emosi.
"Lagian sadar ndak sih? yang peluk siapa yang kena marah siapa?"tanya Bara.
Rania diam seribu bahasa, dia berpikir keras. Dia sadar yang memeluk Bara dia. Dan terlihat pakaian Rania masih utuh. Tidak ada satu baju pun yang lepas dari tubuhnya.
"Saya tidak menyentuh mu sama sekali Rania. Bahkan saya yang menggendong mu, dari mobil sampai kesini lantai lima. Baikkan saya?" kata Bara sambil berjalan mendekat kearah Rania.
"Stop... bapak mau ngapain jangan deket-deket." ucap Rania sambil memundurkan tubuhnya.
Suasana hening, Bara semakin mendekat kearah Rania. Jarak mereka begitu dekat, hampir bersentuhan. Rania tak bisa apa-apa hanya bisa memejamkan mata. Berharap tidak akan terjadi apa-apa. Sambil berdoa dalam hati, agar Bara segera sadar. Sikap Bara membuat hati Rania menjerit memanggil nama Randi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Wirda Lubis
lanjut
2023-10-16
0