"Memangnya siapa yang mau anter Ici ke sekolah ?" Tanya Rasya seraya menoel dagu mungil anaknya.
"Tante Zahra."
Rasya kembali melirik Zahra yang masih terus menunduk. Tidak salah jika Zahra membantunya dalam hal mengurus Ici, tapi sampai kapan ? Rasya merasa sangat tidak enak hati dengan Zahra yang selalu membantunya dari Ici masih bayi. Sebagai seorang lelaki, ia paham betul dengan tatapan dan prilaku Zahra yang menaruh hati padanya. Tapi sampai kapanpun, Rasya akan tetap yakin dengan cintanya pada sang istri. Walau ia ikhlas menjalani hidupnya yang sekarang ini, tetapi sungguh, hati kecilnya masih yakin dengan Aisya yang masih hidup hingga samai saat ini.
"Ici bisa masuk ke dalam sebentar nak ?! Abi mau bicara sebentar dengan tante Zahra," ucap Rasya seraya menurunkan Ici dari gendongannya.
"Boleh Ici disini saja bi ?"
Rasya menggelengkan kepalanya."Ini urusan orang dewasa sayang, kamu belum saatnya mendengarkan. Ici masuk ya !"
Ici pun mengangguk, ia melangkahkan kakinya meninggalkan abinya yang ingin membicarakan hal serius.
"Silahkan duduk Ra !" Pinta Rasya pada Zahra.
Zahra tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil dan sedikit berjalan untuk sampai ke tempat duduk.
"Afwan kak, kak Rasya mau bicara apa sama Zahra ?"
"Sampai kapan kamu mau mendekati Ici Ra ?Maksudku mendekati dengan lebih dan berperan sebagai seorang ibu untuknya," Tanya Rasya dengan tatapan seriusnya.
"Afwan kak, bukan maksud Zahra mengambil alih posisi Aisya, Zahra cuma kasihan sama Ici yang hampir setiap saat menangis merindukan uminya. Apa salah kalau Zahra membantu menenangkan Ici ?"
"Aku tau kamu sayang sama Ici Ra, tapi tolong bersikaplah biasa saja ! Aku gak mau Ici beranggapan kalau dia gak punya ibu dan harus menganggap orang lain sebagai ibunya. Ici punya Aisya Ra, sampai kapanpun gak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisinya !"
"Aisya sudah meninggal kak, mau sampai kapan kak Rasya menutupi kenyataan ini dari Ici, hah ? Oke fine, aku memang gak akan pernah bisa berada di posisi Aisya, terlebih lagi merebut hatimu darinya. Tapi demi Allah aku sayang sama Ici bukan karna ingin mendapatkan simpati dan perhatian dari siapapun, aku sayang sama Ici tulus dari hati kak !" Jelas Zahra dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Za-zahra, maafkan aku ! Aku gak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, aku hanya tidak ingin posisi Aisya di gantikan oleh siapapun," ucap Rasya merasa bersalah, terlebih lagi ucapannya membuat Zahra menangis.
Zahra tidak lagi berkata atau menjawab kalimat maaf dari Rasya. Ia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan rumah Rasya dengan isak tangisnya.
Rasya menyesal, menyadari jika ucapannya itu keterlaluan. Terlebih lagi Zahra adalah seorang wanita, yang secara tidak langsung Rasya telah menyakiti hati kaum ibunya.
Rasya sadar dengan perasaan Zahra padanya, meskipun ia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu, tapi tidak seharusnya ia menyakiti hati perempuan itu dengan kata-katanya.
"Astagfirullah, maafkan aku yang telah menyakiti mu Ra," gumam Rasya dengan penuh sesal seraya mengusap kasar wajahnya.
***
Hari demi hari telah berganti menjadi bulan, baru saja Ici di sambang oleh kakek dan neneknya dari jakarta, namun hari ini ia harus berpisah kembali dengan mereka.
Bunda Elsa dan Ayah Rama memang sering datang ke pesantren melihat cucunya. Bahkan oleh-oleh yang mereka bawa untuk Ici pun tidak tanggung-tanggung.
"Hu hu hu Ici mau ikut oma, Ici mau ikut !" Ici menangis seraya menarik-narik baju bunda Elsa, yang tak lain adalah orang tua Aisya.
"Sya, apa gak bisa libur beberapa hari ? Bunda gak tega lihat Ici yang terus-terusan merengek," ucap bunda Elsa pada Rasya.
Rasya memperhatikan anaknya yang terus saja menangis sedari tadi meminta untuk ikut omanya ke jakarta. Merasa tidak tega, Rasya menghela nafasnya kemudian mengangguk.
Bunda Elsa tersenyum setelah melihat Rasya mengangguk, ia berjongkok sejajar dengan tinggi bocah imut yang masih menangis itu.
"Ici sayang, iya Ici boleh ikut oma. Coba Ici bilang sama abi !" Ucap bunda Elsa seraya mengusap pipi cucunya.
Ici menghadap abinya, ia menatap lekat dengan tatapan penuh harap jika abinya akan mengizinkan ia untuk ikut kejakarta. Selama 6 tahun ini, Ici belum pernah datang ke rumah kakek dan neneknya di jakarta. Rasya selalu melarangnya dengan alasan Ici masih terlalu kecil untuk bisa jauh dari darinya.
Rasya mengerti tatapan anak gadisnya itu, ia mengangguk seraya berkata,"Iya. Ici boleh ikut oma sama opa ke jakarta, tapi abi juga harus ikut ! Gimana ?"
"Yey, abi juga ikut. Ici sayang sama abi !" Bocah itu berlari memeluk abinya kemudian mencium pipi kanan dan kiri sang ayah setelah ia berada dalam gendongannya.
Rasya menyiapkan keperluannya juga keperluan sang anak dan memasukannya dalam koper berukuran kecil.
Ingatannya melayang ketika ia membantu Aisya menyiapkan keperluannya saat ingin pergi ke jakarta.
Dimana saat Rasya selalu mengganggu sang istri dengan terus mengajaknya bicara hingga persiapan mereka tak kunjung selesai.
Menjahilinya dengan melayangkan beberapa ciuman di wajah Aisya, memeluknya dari belakang kemudian dilanjutkan dengan saling memadu kasih.
Rasya tersenyum perih mengingat masa itu adalah masa kebahagiaan yang pada akhirnya harus di renggut paksa oleh sang takdir.
Cairan bening tak bersalah itu keluar dari pelupuk matanya, Rasya memejamkan mata dengan memeluk foto istrinya.
Rasa rindunya kian memuncak, sesak di dadanya semakin terasa. Tapi ia harus apa ? Bahkan memohon dan bersujud pun Aisya tidak akan pernah kembali ke pelukannya.
'Sudah 2.280 hari kamu pergi sayang, tidak pernah walau sehari bahkan sedetik pun mas tidak merindukanmu, tidak lagi mencintaimu, dan tidak lagi berharap kau akan kembali. Sampai saat dan detik ini semua itu masih mas rasakan Aisya, mas sangat-sangat merindukanmu, sangat-sangat mencintaimu, dan sangat-sangat berharap kalau kamu sebenarnya masih hidup. Sejujurnya mas rapuh sayang, mas tidak kuat menjalani hidup seperti ini, mas hanya pura-pura tegar demi anak kita, demi orang tua kita. Hiks hiks, mas rindu Aisya, sangattttttttttt rindu !'
"Abi.....!"
Buru-buru Rasya menyeka air matanya, kemudian menoleh sekilas ke sumber suara.
Ici menghampiri abinya, ia mengusap air mata yang masih tersisa di sudut mata Rasya.
Rasya semakin tidak tahan untuk lebih lama lagi menyembunyikan air matanya saat tengah bersitatap dengan putri cantiknya itu.
Ici mengangguk, kemudian ia mengecup kening abinya cukup lama. Rasya meneteskan lagi air matanya, mencoba memalingkan wajahnya supaya anaknya tidak melihat bahwa abinya saat ini tengah rapuh.
Tapi Aishi anak yang pintar, ia mulai memahami sedikit demi sedikit kisah para orang orang tuanya. Ici menatap lekat Rasya, tatapannya itu seolah memberitahu kalau ia baik-baik saja walau tanpa seorang ibu di sampingnya. Ya, walaupun seringkali Ici juga merasakan rindu dan tidak tahan untuk segera bertemu dengn uminya, tetapi abinya sudah pasti akan lebih merindukannya.
"Ici gak papa gak ada umi yang menemani Ici dari kecil sampai umur Ici 6 tahun abi. Tapi Ici semakin sedih kalau abi nangis, Ici gak masalah harus jauh dan menunggu umi lebih lama lagi, tapi Ici gak mau jauh dari abi sekarang ini. Umi udah punya kebahagiaan sendiri kan bi ?"
Kebahagiaan sendiri ? Apa itu artinya....
Ya Allah, aku yakin aku pasti akan bertemu dengan Aisya suatu saat nanti.
Tugasku menunggumu, dan tugas takdir membawamu kembali padaku !
😭😭
**Vote kalau tembus 50, hari ini Author bakalan double up.
Jadi jangan pelit buat VOTE yak🤗🤗🤗**
Happy Reading guys
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Nadiroh Via
huuaaa😭😭😭 kasian mereka
2021-08-10
0
Tarisa Fatimah
😭😭😭😭
cepet kasih Zahra jodoh lah thoor...tpi jgn rasya...qu gk mau kalau sampk Rasya berpaling dr Aisyah...😢😢
2021-08-09
0
uhuuuyyy
ikut mewekz
2021-08-09
0