Di dalam kamar mandi, Gwen mencoba membuka paksa gaun pengantinnya dengan perasaan putus asa. Jemarinya gemetar, tubuhnya menggigil, dan ekspresinya sampai sekarang masih berkecamuk dalam perang kebencian yang menyiksa.
“Hari ini, Mr. Kayden telah berhasil menghancurkanku.” Suara Gwen terdengar parau dan nadanya jengkel. Ia masih berusaha membuka kancing mutiara kecil bagian belakang leher gaunnya. "Seharusnya dia membantuku merusak gaun ini juga.”
Karena Gwen kesusahan membukanya, atau lebih tepatnya dikatakan ia tak sabaran, akhirnya wanita itu menarik paksa gaunnya hingga robek seketika. Akan tetapi, Gwen sangat tidak peduli. Benar- benar sangat tidak peduli.
Tiba-tiba hal terpenting dalam hidupnya adalah melepas gaun tersebut untuk menyingkirkan dari tubuhnya. Menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Rainer, atau hari pernikahannya bersama seorang pria tak terduga yang dengan tegas mengajukan diri sebagai pengganti adiknya.
Hingga tak terasa Gwen mengeluarkan bulir-bulir bening yang mengalir menjauhi kelopak matanya. Air mata yang sudah ia tahan sejak tadi, lolos begitu saja dengan mudahnya. Tak lama kemudian, dengan punggung tangan sedingin es sebelum melangkah ke bilik pancuran, ia menyeka air matanya begitu kasar.
Jemarinya yang gemetar, menemukan keran air dan memutarnya sampai desiran air hangat sedikit panas membara menghujaninya. Lalu ia berdiri dan tidak bergerak, hanya membiarkan air itu menyengat menyapu seluruh tubuhnya.
Matanya terpejam, kemudian ia mendongakkan kepalanya ke atas menyambut air. Gwen tidak peduli jika air hangat sedikit panas itu bisa saja membakar kulit mulusnya, asalkan itu bisa menghanguskan setiap jejak bayang bayang Rainer dari dalam pikirannya.
Gwen tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri seperti itu. Tetapi dari lorong gelap ceruk-ceruk kesadarannya, samar samar ia menyadari ketukan yang terdengar dari luar pintu kamar mandi. Ia pun mengabaikan hal itu dan menjaga kepalanya tetap terangkat ke pancuran air.
Seketika Gwen merutuki kebodohan dirinya sendiri saat memorinya mengingat kejadian dua bulan yang lalu. Sebenarnya, ia sudah tahu sejak pertama kali berdiri di depan Kayden dengan tangannya dalam genggaman posesif Rainer, bahwa Kayden akan melakukan segalanya untuk memutuskan hubungan mereka. Dan bodohnya, Gwen terlalu percaya jika Kayden Kim akan membiarkan Gwen menikahi saudaranya.
“Rainer! Ya Tuhan …” Pikir Gwen sedih ketika wajah Rainer yang tampan dan penuh senyum muncul menyiksanya. “Kenapa dia tega padaku? Kenapa dia melakukan ini?”
“Gwen!” Gedoran keras di pintu kamar mandi membuatnya terlonjak. Kakinya nyaris tergelincir di lantai yang basah begitu mendengar suara berat dari Kayden.
Ternyata Kayden tidak menyerah dan kabur seperti adiknya. Pria itu masih berdiri tepat di sisi lain pintu kamar mandi. Seperti biasa, Kayden pasti siap memegang tanggung jawab sampai akhir.
Kayden Kim adalah si sulung beda ibu yaitu saudara tiri Rainer Kim yang lebih sukses, dan kepala keluarga Kim yang tersohor. Kayden resmi menyandang sebagai kepala keluarga Kim, setelah ayah mereka Bastian Kim meninggal lima tahun lalu karena mengidap penyakit jantung.
Sedangkan ibu kandungnya, ia memilih bercerai dari ayah Kayden dan meninggalkan Kayden lima belas tahun yang lalu bersama ayahnya, karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya telah memiliki seorang putra dari wanita lain.
Semenjak itu, Kayden berubah sedikit lebih dingin dan menjadi pria yang bertanggung jawab dalam segala hal. Ia bertekad tidak ingin menjadi seperti ayahnya yang telah menghianati ibunya, terlebih mengotori janji suci pernikahan mereka.
Kayden Kim, lelaki dengan bahu lebih dari cukup bidang untuk menerima apapun yang disodorkan padanya. Dan tentu saja Rainer secara tidak langsung telah menyodorkan Gwen kepada Kayden hari ini, pikir Gwen sambil tersenyum getir.
“Gwen ….”
Suara itu terdengar lebih dekat dan Gwen membuka mata, menoleh untuk menatap kosong aliran uap tebal di sekelilingnya. Dan samar-samar ia menemukan sosok Kayden berdiri dengan handuk direntangkan tepat di luar bilik pancuran yang terbuka.
“Siapa yang mengizinkan Mr. Kayden masuk ke sini?” kata Gwen, terlalu mati rasa untuk ambil pusing dengan ketelanjangannya sendiri ketika air masih mengucur ditubuhnya.
Kayden mengalihkan pandangannya ke belakang sambil berjalan perlahan-lahan mendekati Gwen untuk mematikan keran air. “Ayo,” katanya pelan, kemudian dengan gerakan cepat ia menutup tubuh Gwen dengan handuk besar yang dibawanya. “Kau sudah cukup lama di kamar mandi.”
“Cukup lama untuk apa?” kata Gwen ketus. "Lagi pula, aku tidak ke mana-mana!”
Kayden akhirnya memberanikan diri menatap wajah muram milik Gwen ketika handuk besar itu sudah menutupi tubuh wanita tersebut. “Bersembunyi di sini tidak akan membuat semua masalah lenyap!” tukasnya.
“Tinggalkan aku sendiri,” sahut Gwen datar. “Bukankah Mr.Kayden sudah memperoleh yang Anda inginkan? Jadi, tinggalkan aku sendirian!”
Kayden menggertakkan giginya sebelum ia berkata, “Sayangnya, aku tidak dapat melakukannya! Dan kau—” Sejenak ia menjeda kalimatnya. "Sayangilah tubuhmu! Janganlah berlama-lama di kamar mandi—”
“Dia tidak menginginkanku,” gumam Gwen pelan. “Rainer tidak benar-benar menginginkanku.”
“Astaga …" seru Kayden frustrasi karena muak melihat Gwen yang masih mengingat Rainer. “Dengarkan aku baik baik, Gwen.” Suara berat Kayden memerintah. “Rainer mungkin menginginkanmu, tetapi dia masih mencintai Valerie cinta pertamanya. Walaupun tetap saja dia tidak berhak menjanjikan apapun kepadamu selagi masih mencintai Valerie.”
“Dan Anda telah berhasil membawa wanita itu kembali ke kehidupan Rainer,” bisik Gwen menuduh.
“Ya.” Kayden menghela napas panjang. “Aku benar-benar menyesal, Gwen. Dan kau berhak tidak percaya akan penyesalanku ini. Tapi coba kau pikir, bagaimana jika kau dan Rainer telah menikah, tetapi Rainer masih mencintai Valerie? Bukankah itu bisa merusak pernikahan kalian?”
Entah bagaimana, permintaan maaf sekaligus penjelasan Kayden begitu menusuk hati wanita itu. Dengan segenap rasa amarah yang berkobar dalam diri Gwen, dia lantas menampar pria itu begitu keras.
Namun, Kayden menerimanya. Menerima tamparan itu sepenuhnya tanpa berkedip. Ia hanya berdiri menatap Gwen dengan bola mata cokelat dingin di wajahnya yang tajam, dan bibirnya membentuk garis tipis yang muram.
Gwen merasa ingin menangis, tetapi tidak bisa. Ia sekali ingin berteriak, menendang, dan memukul pria yang berdiri di depannya demi melepaskan semua luka dan kemarahan yang memuncak dalam dirinya, tetapi ia urungkan niatannya tersebut. Tamparannya tadi yang dilayangkan di pipi kanan Kayden, tampaknya telah menguras sedikit energi yang tersisa padanya.
Tanpa rasa bersalah, Gwen pun ke luar begitu saja meninggalkan kamar mandi. Ia mengabaikan Kayden yang berjalan mengekorinya.
“Sementara, pakailah piyama ku ini. Ini masih baru dan belum sempat aku pakai. Tetapi sudah di cuci dan …” Kayden tak melanjutkan kalimatnya karena melihat Gwen yang langsung meraih piyama itu dan kembali ke kamar mandi untuk memakai baju tidur tersebut.
Dengan tenang dan sabar, Kayden menunggu Gwen ke luar dari kamar mandi seraya duduk di bibir ranjang tidurnya. Tatapannya masih menatap pintu melengkung kamar mandi, berharap Gwen segera muncul dari balik pintu itu. Ia masih mengkhawatirkan wanita itu jika melakukan hal bodoh lagi seperti tadi.
Beberapa menit pun berlalu, Kayden akhirnya bisa bernapas lega karena melihat Gwen yang sudah ke luar dari kamar mandi dengan memakai piyama milik Kayden. Baju tidur tersebut tampak kebesaran yang menutupi tubuh putih mulusnya.
“Aku tidak ingin kita tidur satu ranjang.” Gwen memerintah dengan ketus. “Jika ada kamar lain, aku lebih baik tidur di sana. Bahkan jika tidak ada kamar lain pun, aku bisa tidur di sofa.”
Kayden pun lantas berdiri, lalu tersenyum getir. “Kau tidak akan kemana-mana. Kau harus tidur di sini, dan aku tidak akan tidur di kamar lain,” ujarnya tegas. “Aku akan tidur di sofa itu.” Ia mengangkat sedikit dagunya menunjuk ke arah kursi kulit di sebelah tempat tidurnya.
“Terserah!” Gwen kembali lagi menjawabnya dengan sinis. Tanpa menunggu lama, ia langsung bergegas segera naik ke tempat tidur. Wanita itu mengabaikan keberadaan Kayden yang masih berdiri di sisi samping tempat tidur. Sambil memejamkan mata, ia kembali memerintah Kayden. “Biarkan lampunya menyala!” ketusnya. “Karena aku membutuhkan penerangan setelah hatiku suram seharian.”
“Oke, aku tidak akan mematikan lampunya,” kata Kayden lembut. "Perlu kau ketahui satu hal, Gwen. Pada titik tertentu, kau harus menyadari bahwa beberapa orang dapat tinggal dihatimu, tetapi tidak dalam hidupmu.”
Gwen hanya menghela napas lelah sebelum ia memejamkan matanya. Rasanya ia begitu enggan menanggapi perkataan pria itu yang sekarang resmi menyandang status sebagai suaminya.
“Tidurlah, Gwen.” Kayden menarik selimut beludru mewah berwarna abu-abu untuk menyelimuti tubuh istrinya. Namun, wanita itu langsung menghempaskan selimut tersebut dengan kasar sehingga terjatuh di lantai.
Kayden hanya diam. Malahan pria itu menghela napas sembari mengambil selimut tersebut dari lantai dan meletakkannya di sebelah Gwen. Ia lantas melangkahkan kakinya menuju ke arah sofa untuk membaringkan tubuhnya yang lelah.
“Selamat malam, Gwen,” kata Kayden lembut yang menatap punggung Gwen dari jarak yang tak terlalu jauh, ketika mereka memilih mengistirahatkan tubuh dan pikirannya di tempat tidur mereka masing-masing.
Gwen seketika membuka matanya, tetapi bibirnya masih tertutup rapat. Walau sebenarnya ia sangat jelas mendengar ucapan Kayden, ia lebih memilih untuk diam. Sambil memejamkan mata, wanita itu mencoba menghilangkan kejadian buruk hari ini yang terjadi dalam hidupnya. Rasanya ia begitu lelah memikirkannya sampai sampai rasa kantuk pun menghampirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Mom's Kayla
c'mon Gwen..bukalah sedikit hatimu untuk Kayden..
2021-04-12
3
Erikha
lanjut thor...
2021-04-06
3