Sequel My Ustadz My Husband - Calon Makmum
Gadis kecil itu terus berteriak memanggil kakak nya sambil menggedor gedor pintu mobil yg dalam keadaan terbalik, sang kakak pun segera berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan adik kecil nya yg terjebak di dalam mobil, hanya beberapa langkah lagi ia bisa mencapai adik nya namun tiba tiba mobil itu meledak bersama gadis kecil itu dan membuat dirinya terlempar...
"Amora...."
Pria itu terbangun dengan nafas yg tersengal, keringat dingin memabasahi tubuhnya, ia berusaha mengatur nafas dan menenangkan jantungnya yg berdebar.
Pria itu mengusap wajah nya dengan kasar, kemudian ia menyingkirkan selimut dan beranjak turun dari ranjang king size itu.
Ia memasuki kamar mandi, menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, berbagai emosi menyatu dalam dirinya hingga membuat tatapannya begitu tajam. Ia menggertakan gigi nya, mengepalkan tangan nya dan pada akhirnya melayangkan tinju nya pada pantulan wajah nya sendiri di cermin itu.
Tak peduli punggung jari nya yg terluka dan berdarah. Kemudian ia memejamkan mata, mencoba mengatur emosi nya. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Namun rupanya itu tak berhasil, emosinya masih meluap dan memberontak dalam jiwanya.
Dan tanpa sengaja, ia melihat serpihan pecahan kaca, pria itu semakin mengepalkan tangannya dengan kuat, menggertakan gigi nya hingga rahangnya mengeras, mencoba menahan sesuatu yg memberontak dalam jiwanya, namun ia tak mampu. Tangannya mengambil serpihan kaca itu, dan tanpa ragu langsung menyayat lengannya.
.
.
.
"Aku Dokter mu, Amar. Tidak perlu menatap ku seolah aku rival bisnis mu" wanita itu berkata sembari menatap pria yg di panggil Amar itu dengan begitu ramah. Wanita itu pun bangkit dari kursinya dan menghampiri Amar yg duduk tegak dengan tatapan arogan nya "Turun kan bahu mu, and rilex" wanita itu sedikit menekan bahu Amar. Kemudian ia menggulung lengan kemeja yg di kenakan Amar, dan melihat luka sayatan yg masih sedikit berdarah di lengan kiri nya.
Dengan kasar, Amar menarik tangannya.
"Aku rasa sesi terapi nya sudah selesai" Amar berkata dengan suara beratnya.
"Dokter yg memutuskan apakah terapi nya sudah selesai atau belum, bukan pasien"
"Aku bukan seorang pasien, Dokter Gea! Jika bukan karena Granny yg meminta, aku tidak akan datang kesini"
"Dan jika bukan karena permintaan Granny mu, aku sudah menyerah sejak lama" Dokter Gea segera menjawabnya dengan tenang, Amar enggan menanggapi hal itu "Dunia ini sangat indah dan penuh warna, Amar. Jadi kau sama sekali tidak perlu menambah warna dengan warna darah mu" Dokter Gea berjalan kembali menuju kursi nya "Move on, Amar! Sudah saat nya kamu move on, buka hati mu untuk cinta setidaknya pada dirimu sendiri, melukai diri sendiri itu berbahaya"
"Sayangnya hati ku sudah tidak berfungsi. Dan ya, sayatan kecil ini tidak akan membunuh seorang Amar Degazi" Amar berkata dengan penuh kesombongan, dan Dokter Gea hanya menanggapi dengan sebuah senyuman simpul, ia pun berkata.
"Mungkin itu tidak akan membunuh raga mu, tapi pasti akan membunuh jiwa mu. Dan aku yakin hati mu masih sangat berfungsi, kau hanya butuh sedikit sentuhan di hati mu"
Amar yg sudah merasa muak dengan nasehat nasehat yg sudah ia terima sejak beberapa tahun terakhir pun segera bangkit, ia mengambil jas yg sebelum nya ia lampirkan di kursinya dan kemudian mengenakannya.
"Terimakasih, Dokter Gea. Semoga hari mu menyenangkan"
Tanpa menunggu jawaban Dokter Gea, Amar segera berlalu dari ruangannya membuat Dokter Gea hanya bisa geleng geleng kepala.
"Semoga hari mu juga menyenangkan, Amar Degazi. Semoga ada seseorang yg bisa menyentuh hati mu dan membawa mu keluar dari kegelapan mu"
Amar berjalan keluar dan disana sudah ada Bobby, sopir sekaligus bodyguard nya yg menunggu.
Amar berjalan dengan gagah, wajah tampan, tubuh atletis dan setelan armani hitam yg membalut tubuh atletisnya itu sudah pasti membuat para wanita tak bisa mengendalikan lirikan matanya.
"Apakah kita akan langsung ke kantor, Tuan Degazi?" tanya Bobby.
"Ke kampus, aku ada ada pertemuan dengan Tuan Adirata"
"Baiklah, Tuan" Bobby membukakan pintu mobil dan mempersilahkan bos nya itu masuk.
Di dalam Mobil, Amar segera menghubungi sekretaris nya.
"Selamat pagi, Tuan Degazi"
"Apa pertemuan ku sudah di atur dengan Tuan Sarfaraz Yusuf?" Amar bertanya langsung tanpa berniat membalas sapaan ramah asisten nya itu.
"Iya, Tuan. Tuan Sarfaraz akan menemui Anda jam 13.30"
Dan setelah mendapatkan jawabannya, Amar pun langsung memutuskan sambugan telponnya tanpa sepatah kata pun.
.
.
.
"Nena...Nena..." pria itu berteriak sambil berjalan menuruni tangga.
"Engga usah teriak juga kali, Faraz. Ini rumah, bukan hutan. Bi Mina lagi pergi ke pasar. Ada apa?"
Sarfaraz mengahampiri wanita yg baginya adalah malaikat it, kemudian ia mencium pipi nya.
"Selamat pagi, Ummi" sapa nya pada ibu nya yg sedang mencuci piring.
"Kamu engga kerja? Sudah siang begini?"
"Ini mau berangkat kerja, tapi kemeja ku yg hitam engga ada"
"Emang engga ada kemeja lain?"
"Mau nya kemeja yg itu"
"Mungkin belum di setrika, pakek kemeja yg lain dulu"
"Hm ya sudah..."
Faraz kembali ke kamar nya untuk bersiap siap. Meninggalkan ibu nya yg kembali sibuk mengurus dapur.
Saat ia sedang fokus mengelap kompor, tiba tiba sebuah tangan melingkar di perutnya dan ia mendapatkan sebuah kecupan di kepala nya.
"Ada apa?" tanya nya sambil menoleh dan seketika sebuah kecupan langsung mendarat di pipi nya, membuat wanita yg sudah beranak dua itu langsung merona "Bilal... Ada apa? Engga kerja?"
"Sayang, bahkan setelah bertahun tahun pernikahan kita, kamu masih merona setiap kali aku mencium mu" ujar Bilal dan kembali mencium pipi Zahra nya itu. istri nya itu sudah membuka mulut hendak menjawab tapi seketika terdengar suara langkah kaki Faraz yg mendekat. Asma pun melepaskan tangan Bilal yg kini melingkar di pinggang nya.
"Abi... Ummi, Faraz berangkat kerja dulu ya" ucap Faraz kemudian mencium tangan kedua orang tuanya itu.
"Iya hati hati. Oh ya, di meja depan ada kotak pensil adikmu, tolong anterin ya ke kampusnya"
"Ya Allah, Ummi. Cuma kotak pensil? Kantor Faraz kan engga se arah"
"Ayolah, Nak. Kamu tahu kan adik mu engga suka memakai barang yg bukan miliknya"
"Ya udah, iya" jawab Faraz pada akhirnya yg membuat ibunya terseyum senang. "Faraz pergi dulu, silahkan lanjutkan adegan romantis Abi dan Ummi. Mumpung engga ada orang dirumah" Asma langsung memberikan tabokan pelan di pipi putra nya itu sambil terseyum malu. Sementara Bilal malah terkikik geli, sudah sering sekali Faraz menggoda ibunya itu karena ayahnya yg selalu bersikap mesra dan romantis padahal di usia nya yg sudah tak muda lagi.
Setelah Sarfaraz pergi, Bilal benar benar ingin melanjutkan adegan mesra nya, namun Asma menolak karena ia harus harus bersih bersih.
"Ayolah, Sayang. Benar kata Faraz, mumpung engga ada orang dirumah"
"Kayak engga ada lain waktu aja" jawab Asma sambil berjalan hendak mengambil sapu dan dengan sigap Bilal langsung menggendong tubuhnya yg tetap indah walaupun sudah dua kali melahirkan. "Bilal, lepasin" pinta Asma sambil mencoba turun dari gendongan Bilal namun Bilal malah membawa nya ke kamar nya.
"Hari ini aku sengaja engga ke kantor, aku kangen masa masa kita bersama seperti dulu" ujarnya sembari mendorong pintu dengan kaki nya.
"Aku juga kangen, Sayang" Asma berkata sembari melingkarkan tangan nya di leher ayah dari anak anak nya itu.
.
.
.
Faraz memarkirkan mobil nya di depan kampus adiknya, ia pun segera turun dan menuju ke kelas adiknya namun ia tak menemukannya. Faraz mencoba menghubunginya namun tak ada jawaban.
"Hey, tunggu..." panggil nya pada seorang gadis yg baru saja melewati nya.
"Ya?" tanya gadis itu
"Apa kamu melihat Maryam? Aku kakaknya"
"Maria?" tanya gadis itu dan bersamaan dengan itu ponsel nya berdering dan ia pun segera menjawab nya sambil mengangguk pada gadis di depan nya.
"Dia di aula. Lewat sini, Kak" ujar gadis itu dan Sarfaraz pun mengikutinya hingga ke depan sebuah ruangan. Sementara Faraz masih berbicara di telpon, gadis itu menyuruh Faraz menunggu.
Tak lama kemudian, seorang gadis dengan pakaian yg serba hitam lengkap dengan cadarnya datang menemui Faraz.
"Ini, kotak pensil mu" Faraz memberikan kotak pensil itu sembari mengakhiri perbincangannya di telpon.
Namun gadis bercadar di depannya malah memandang Faraz dengan tatapan aneh. Dan Faraz pun menyadari dia bukan adik nya.
"Kamu siapa?" tanya gadis itu dan itu memang bukan Maryam karena suara nya berbeda.
"Kamu yg siapa?" Faraz balik bertanya.
"Lah, kamu yg manggil aku ke sini"
"Apa? Buat apa aku manggil kamu?"
"Gimana sih? Katanya tadi ada yg mencari ku" gadis itu bersuara dan tampak sangat kesal, kemudian ia membuka hijab dan cadar nya hingga tak hanya memperlihatkan wajah nya tapi juga rambut panjang nya.
"Astaghfirullah..." Faraz menggumam dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kenapa?" gadis itu bertanya dengan nada ketus apa lagi Faraz yg langsung membuang muka seolah tak suka melihat dengan gadis itu.
"Engga apa apa. Aku mencari adikku, Maryam"
"Oh, pantas. Aku Maria. Mungkin tadi teman ku salah dengar"
"Oke, makasih. Maaf mengganggu" Faraz mengucapkan itu dalam satu tarikan nafas dan tanpa menunggu jawaban Maria, Sarfaraz langsung meninggalkannya membuat Maria semakin tampak kesal.
Ia pun kembali ke dalam sambil melepaskan pakaian yg bahkan ia tak tahu apa nama nya itu. Kini Maria hanya mengenakan celana jeans dan tank top yg memperlihatkan kulit mulus gadis itu dan juga sebuah tato kupu kupu di bahu kiri nya.
Dia melemparkan pakaian itu pada teman nya dengan kasar.
"Panas tahu pakek itu, udah kayak makanan aja di bungkus atas bawah"
Temannya yg bernama Hira itu hanya tertawa, sebenarnya di kampusnya sedangkan mengadakan fashion show busana Muslim, dan karena Hira kekurangan model, ia pun meminta Maria menjadi model nya.
"Ini nama nya pakaian Syar'i, dan juga burqa atau biasa di sebut cadar"
"Apa engga pingsan orang yg pakek itu?" tanya Maria sambil mengibaskan tangan nya di depan wajah nya karena ia merasa ke panasan.
"Engga lah, di Indonesia banyak kok muslimah yg pakai ini, nanti kamu juga tahu" jawab Hira mencoba menjelaskan karena Maria adalah mahasiswi baru di kampusnya dan sebelumnya ia tinggal Amerika dan mungkin hanya tahu sedikit tentang Muslim.
.
.
.
Setelah menemui Tuan Adirata dan memberikan sejumlah uang sebagai donasi pada Parrish University, Amar pun segera hendak kembali ke kantor nya karena masih banyak sekali pekerjaan yg harus di tangani.
Dan Tuan Adirata pun menemani nya menuju mobil nya.
Dan saat melewati taman kampus, ia melihat sekumpulan gadis gadis berhijab yg sedang mengobrol, Amar melirik gadis gadis itu sekilas dan kemudian ia melanjutkan langkah nya.
"Semakin manusia berusaha mencapai sebuah kesempurnaan, maka semakin tampak kekurangan nya"
Amar menghentikan langkahnya saat ia mendengar kata kata itu dan ia menoleh mencari asal suara itu.
"Karena pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yg penuh kekurangan dan memilik batasan dalam hidup nya. Walaupun begitu, manusia tetap wajib berusaha melakukan yg terbaik"
Amar menyadari suara itu berasal dari kumpulan gadis gadis itu. Penasran, Amar pun mendekati nya, namun gadis yg sedang berbicara itu memunggungi nya.
"Siapa gadis itu?" tanya nya pada Tuan Adirata.
"Dia..."
"Maryam..."
Amar menoleh pada seorang gadis yg berjalan melewati nya sambil memanggil nama seseorang , gadis itu pun menuju kumpulan gadis gadis itu dan sekali lagi memanggil nama itu.
"Maryam... Kotak pensil dari kakak mu"
Dan seorang gadis dengan busana muslimah yg berwarna merah muda menoleh dan tersenyum pada gadis yg memanggil nya tadi.
Tak hanya bibirnya, namun matanya seolah ikut tersenyum dan hal itu berhasil membuat Amar tak bisa mengalihkan tatapan nya yg langsung terpana pada keindahan makhluk Allah itu.
"Dari kak Faz?" tanya gadis itu sambil menerima kotak pensilnya dan suara nya itu mengembalikan kesadaran Amar yg sempat hilang karena terpana dengan mata gadis itu yg berbinar seolah penuh cahaya.
"Ya, kata nya tadi sudah cari cari kamu, di telpon juga engga di angkat kata nya"
"Ops, ponsel ku dalam mode silent" wajah Maryam tampak menyesal namun di mata Amar ekspresinya itu malah tampak menggemaskan dan tanpa sadar Amar tersenyum lebar.
"Maryam, lanjutkan yg tadi" seru salah seorang teman nya.
"Ya, dari mana kamu mendapatkan kata kata bijak itu?" tanya yg lain nya penasaran.
"Dari Ibu" Maryam menjawab dengan mata yg berbinar seolah ia sangat bangga pada ibunya.
Namun di saat yg bersamaan, senyum di bibir Amar tiba tiba musnah di gantikan dengan tatapan tajam dan ber api api. Wajah nya pun kembali terlihat sangat dingin dan tegang.
Ia pun segera meninggalkannya tempat itu dengan emosi yg kembali bekecamuk dalam jiwa nya.
▫️▫️▫️
Tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Eny Luphy
ga bosen baca berulang-ulang pun Thor..
2024-11-10
0
Andina Jahanara
Yach ... Asma/Zahra kok masih manggil nama sich ke suami.... /Smug/
2024-03-25
0
Amora
🤲
2024-03-22
0