NovelToon NovelToon

Sequel My Ustadz My Husband - Calon Makmum

Part 1

Gadis kecil itu terus berteriak memanggil kakak nya sambil menggedor gedor pintu mobil yg dalam keadaan terbalik, sang kakak pun segera berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan adik kecil nya yg terjebak di dalam mobil, hanya beberapa langkah lagi ia bisa mencapai adik nya namun tiba tiba mobil itu meledak bersama gadis kecil itu dan membuat dirinya terlempar...

"Amora...."

Pria itu terbangun dengan nafas yg tersengal, keringat dingin memabasahi tubuhnya, ia berusaha mengatur nafas dan menenangkan jantungnya yg berdebar.

Pria itu mengusap wajah nya dengan kasar, kemudian ia menyingkirkan selimut dan beranjak turun dari ranjang king size itu.

Ia memasuki kamar mandi, menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, berbagai emosi menyatu dalam dirinya hingga membuat tatapannya begitu tajam. Ia menggertakan gigi nya, mengepalkan tangan nya dan pada akhirnya melayangkan tinju nya pada pantulan wajah nya sendiri di cermin itu.

Tak peduli punggung jari nya yg terluka dan berdarah. Kemudian ia memejamkan mata, mencoba mengatur emosi nya. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Namun rupanya itu tak berhasil, emosinya masih meluap dan memberontak dalam jiwanya.

Dan tanpa sengaja, ia melihat serpihan pecahan kaca, pria itu semakin mengepalkan tangannya dengan kuat, menggertakan gigi nya hingga rahangnya mengeras, mencoba menahan sesuatu yg memberontak dalam jiwanya, namun ia tak mampu. Tangannya mengambil serpihan kaca itu, dan tanpa ragu langsung menyayat lengannya.

.

.

.

"Aku Dokter mu, Amar. Tidak perlu menatap ku seolah aku rival bisnis mu" wanita itu berkata sembari menatap pria yg di panggil Amar itu dengan begitu ramah. Wanita itu pun bangkit dari kursinya dan menghampiri Amar yg duduk tegak dengan tatapan arogan nya "Turun kan bahu mu, and rilex" wanita itu sedikit menekan bahu Amar. Kemudian ia menggulung lengan kemeja yg di kenakan Amar, dan melihat luka sayatan yg masih sedikit berdarah di lengan kiri nya.

Dengan kasar, Amar menarik tangannya.

"Aku rasa sesi terapi nya sudah selesai" Amar berkata dengan suara beratnya.

"Dokter yg memutuskan apakah terapi nya sudah selesai atau belum, bukan pasien"

"Aku bukan seorang pasien, Dokter Gea! Jika bukan karena Granny yg meminta, aku tidak akan datang kesini"

"Dan jika bukan karena permintaan Granny mu, aku sudah menyerah sejak lama" Dokter Gea segera menjawabnya dengan tenang, Amar enggan menanggapi hal itu "Dunia ini sangat indah dan penuh warna, Amar. Jadi kau sama sekali tidak perlu menambah warna dengan warna darah mu" Dokter Gea berjalan kembali menuju kursi nya "Move on, Amar! Sudah saat nya kamu move on, buka hati mu untuk cinta setidaknya pada dirimu sendiri, melukai diri sendiri itu berbahaya"

"Sayangnya hati ku sudah tidak berfungsi. Dan ya, sayatan kecil ini tidak akan membunuh seorang Amar Degazi" Amar berkata dengan penuh kesombongan, dan Dokter Gea hanya menanggapi dengan sebuah senyuman simpul, ia pun berkata.

"Mungkin itu tidak akan membunuh raga mu, tapi pasti akan membunuh jiwa mu. Dan aku yakin hati mu masih sangat berfungsi, kau hanya butuh sedikit sentuhan di hati mu"

Amar yg sudah merasa muak dengan nasehat nasehat yg sudah ia terima sejak beberapa tahun terakhir pun segera bangkit, ia mengambil jas yg sebelum nya ia lampirkan di kursinya dan kemudian mengenakannya.

"Terimakasih, Dokter Gea. Semoga hari mu menyenangkan"

Tanpa menunggu jawaban Dokter Gea, Amar segera berlalu dari ruangannya membuat Dokter Gea hanya bisa geleng geleng kepala.

"Semoga hari mu juga menyenangkan, Amar Degazi. Semoga ada seseorang yg bisa menyentuh hati mu dan membawa mu keluar dari kegelapan mu"

Amar berjalan keluar dan disana sudah ada Bobby, sopir sekaligus bodyguard nya yg menunggu.

Amar berjalan dengan gagah, wajah tampan, tubuh atletis dan setelan armani hitam yg membalut tubuh atletisnya itu sudah pasti membuat para wanita tak bisa mengendalikan lirikan matanya.

"Apakah kita akan langsung ke kantor, Tuan Degazi?" tanya Bobby.

"Ke kampus, aku ada ada pertemuan dengan Tuan Adirata"

"Baiklah, Tuan" Bobby membukakan pintu mobil dan mempersilahkan bos nya itu masuk.

Di dalam Mobil, Amar segera menghubungi sekretaris nya.

"Selamat pagi, Tuan Degazi"

"Apa pertemuan ku sudah di atur dengan Tuan Sarfaraz Yusuf?" Amar bertanya langsung tanpa berniat membalas sapaan ramah asisten nya itu.

"Iya, Tuan. Tuan Sarfaraz akan menemui Anda jam 13.30"

Dan setelah mendapatkan jawabannya, Amar pun langsung memutuskan sambugan telponnya tanpa sepatah kata pun.

.

.

.

"Nena...Nena..." pria itu berteriak sambil berjalan menuruni tangga.

"Engga usah teriak juga kali, Faraz. Ini rumah, bukan hutan. Bi Mina lagi pergi ke pasar. Ada apa?"

Sarfaraz mengahampiri wanita yg baginya adalah malaikat it, kemudian ia mencium pipi nya.

"Selamat pagi, Ummi" sapa nya pada ibu nya yg sedang mencuci piring.

"Kamu engga kerja? Sudah siang begini?"

"Ini mau berangkat kerja, tapi kemeja ku yg hitam engga ada"

"Emang engga ada kemeja lain?"

"Mau nya kemeja yg itu"

"Mungkin belum di setrika, pakek kemeja yg lain dulu"

"Hm ya sudah..."

Faraz kembali ke kamar nya untuk bersiap siap. Meninggalkan ibu nya yg kembali sibuk mengurus dapur.

Saat ia sedang fokus mengelap kompor, tiba tiba sebuah tangan melingkar di perutnya dan ia mendapatkan sebuah kecupan di kepala nya.

"Ada apa?" tanya nya sambil menoleh dan seketika sebuah kecupan langsung mendarat di pipi nya, membuat wanita yg sudah beranak dua itu langsung merona "Bilal... Ada apa? Engga kerja?"

"Sayang, bahkan setelah bertahun tahun pernikahan kita, kamu masih merona setiap kali aku mencium mu" ujar Bilal dan kembali mencium pipi Zahra nya itu. istri nya itu sudah membuka mulut hendak menjawab tapi seketika terdengar suara langkah kaki Faraz yg mendekat. Asma pun melepaskan tangan Bilal yg kini melingkar di pinggang nya.

"Abi... Ummi, Faraz berangkat kerja dulu ya" ucap Faraz kemudian mencium tangan kedua orang tuanya itu.

"Iya hati hati. Oh ya, di meja depan ada kotak pensil adikmu, tolong anterin ya ke kampusnya"

"Ya Allah, Ummi. Cuma kotak pensil? Kantor Faraz kan engga se arah"

"Ayolah, Nak. Kamu tahu kan adik mu engga suka memakai barang yg bukan miliknya"

"Ya udah, iya" jawab Faraz pada akhirnya yg membuat ibunya terseyum senang. "Faraz pergi dulu, silahkan lanjutkan adegan romantis Abi dan Ummi. Mumpung engga ada orang dirumah" Asma langsung memberikan tabokan pelan di pipi putra nya itu sambil terseyum malu. Sementara Bilal malah terkikik geli, sudah sering sekali Faraz menggoda ibunya itu karena ayahnya yg selalu bersikap mesra dan romantis padahal di usia nya yg sudah tak muda lagi.

Setelah Sarfaraz pergi, Bilal benar benar ingin melanjutkan adegan mesra nya, namun Asma menolak karena ia harus harus bersih bersih.

"Ayolah, Sayang. Benar kata Faraz, mumpung engga ada orang dirumah"

"Kayak engga ada lain waktu aja" jawab Asma sambil berjalan hendak mengambil sapu dan dengan sigap Bilal langsung menggendong tubuhnya yg tetap indah walaupun sudah dua kali melahirkan. "Bilal, lepasin" pinta Asma sambil mencoba turun dari gendongan Bilal namun Bilal malah membawa nya ke kamar nya.

"Hari ini aku sengaja engga ke kantor, aku kangen masa masa kita bersama seperti dulu" ujarnya sembari mendorong pintu dengan kaki nya.

"Aku juga kangen, Sayang" Asma berkata sembari melingkarkan tangan nya di leher ayah dari anak anak nya itu.

.

.

.

Faraz memarkirkan mobil nya di depan kampus adiknya, ia pun segera turun dan menuju ke kelas adiknya namun ia tak menemukannya. Faraz mencoba menghubunginya namun tak ada jawaban.

"Hey, tunggu..." panggil nya pada seorang gadis yg baru saja melewati nya.

"Ya?" tanya gadis itu

"Apa kamu melihat Maryam? Aku kakaknya"

"Maria?" tanya gadis itu dan bersamaan dengan itu ponsel nya berdering dan ia pun segera menjawab nya sambil mengangguk pada gadis di depan nya.

"Dia di aula. Lewat sini, Kak" ujar gadis itu dan Sarfaraz pun mengikutinya hingga ke depan sebuah ruangan. Sementara Faraz masih berbicara di telpon, gadis itu menyuruh Faraz menunggu.

Tak lama kemudian, seorang gadis dengan pakaian yg serba hitam lengkap dengan cadarnya datang menemui Faraz.

"Ini, kotak pensil mu" Faraz memberikan kotak pensil itu sembari mengakhiri perbincangannya di telpon.

Namun gadis bercadar di depannya malah memandang Faraz dengan tatapan aneh. Dan Faraz pun menyadari dia bukan adik nya.

"Kamu siapa?" tanya gadis itu dan itu memang bukan Maryam karena suara nya berbeda.

"Kamu yg siapa?" Faraz balik bertanya.

"Lah, kamu yg manggil aku ke sini"

"Apa? Buat apa aku manggil kamu?"

"Gimana sih? Katanya tadi ada yg mencari ku" gadis itu bersuara dan tampak sangat kesal, kemudian ia membuka hijab dan cadar nya hingga tak hanya memperlihatkan wajah nya tapi juga rambut panjang nya.

"Astaghfirullah..." Faraz menggumam dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa?" gadis itu bertanya dengan nada ketus apa lagi Faraz yg langsung membuang muka seolah tak suka melihat dengan gadis itu.

"Engga apa apa. Aku mencari adikku, Maryam"

"Oh, pantas. Aku Maria. Mungkin tadi teman ku salah dengar"

"Oke, makasih. Maaf mengganggu" Faraz mengucapkan itu dalam satu tarikan nafas dan tanpa menunggu jawaban Maria, Sarfaraz langsung meninggalkannya membuat Maria semakin tampak kesal.

Ia pun kembali ke dalam sambil melepaskan pakaian yg bahkan ia tak tahu apa nama nya itu. Kini Maria hanya mengenakan celana jeans dan tank top yg memperlihatkan kulit mulus gadis itu dan juga sebuah tato kupu kupu di bahu kiri nya.

Dia melemparkan pakaian itu pada teman nya dengan kasar.

"Panas tahu pakek itu, udah kayak makanan aja di bungkus atas bawah"

Temannya yg bernama Hira itu hanya tertawa, sebenarnya di kampusnya sedangkan mengadakan fashion show busana Muslim, dan karena Hira kekurangan model, ia pun meminta Maria menjadi model nya.

"Ini nama nya pakaian Syar'i, dan juga burqa atau biasa di sebut cadar"

"Apa engga pingsan orang yg pakek itu?" tanya Maria sambil mengibaskan tangan nya di depan wajah nya karena ia merasa ke panasan.

"Engga lah, di Indonesia banyak kok muslimah yg pakai ini, nanti kamu juga tahu" jawab Hira mencoba menjelaskan karena Maria adalah mahasiswi baru di kampusnya dan sebelumnya ia tinggal Amerika dan mungkin hanya tahu sedikit tentang Muslim.

.

.

.

Setelah menemui Tuan Adirata dan memberikan sejumlah uang sebagai donasi pada Parrish University, Amar pun segera hendak kembali ke kantor nya karena masih banyak sekali pekerjaan yg harus di tangani.

Dan Tuan Adirata pun menemani nya menuju mobil nya.

Dan saat melewati taman kampus, ia melihat sekumpulan gadis gadis berhijab yg sedang mengobrol, Amar melirik gadis gadis itu sekilas dan kemudian ia melanjutkan langkah nya.

"Semakin manusia berusaha mencapai sebuah kesempurnaan, maka semakin tampak kekurangan nya"

Amar menghentikan langkahnya saat ia mendengar kata kata itu dan ia menoleh mencari asal suara itu.

"Karena pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yg penuh kekurangan dan memilik batasan dalam hidup nya. Walaupun begitu, manusia tetap wajib berusaha melakukan yg terbaik"

Amar menyadari suara itu berasal dari kumpulan gadis gadis itu. Penasran, Amar pun mendekati nya, namun gadis yg sedang berbicara itu memunggungi nya.

"Siapa gadis itu?" tanya nya pada Tuan Adirata.

"Dia..."

"Maryam..."

Amar menoleh pada seorang gadis yg berjalan melewati nya sambil memanggil nama seseorang , gadis itu pun menuju kumpulan gadis gadis itu dan sekali lagi memanggil nama itu.

"Maryam... Kotak pensil dari kakak mu"

Dan seorang gadis dengan busana muslimah yg berwarna merah muda menoleh dan tersenyum pada gadis yg memanggil nya tadi.

Tak hanya bibirnya, namun matanya seolah ikut tersenyum dan hal itu berhasil membuat Amar tak bisa mengalihkan tatapan nya yg langsung terpana pada keindahan makhluk Allah itu.

"Dari kak Faz?" tanya gadis itu sambil menerima kotak pensilnya dan suara nya itu mengembalikan kesadaran Amar yg sempat hilang karena terpana dengan mata gadis itu yg berbinar seolah penuh cahaya.

"Ya, kata nya tadi sudah cari cari kamu, di telpon juga engga di angkat kata nya"

"Ops, ponsel ku dalam mode silent" wajah Maryam tampak menyesal namun di mata Amar ekspresinya itu malah tampak menggemaskan dan tanpa sadar Amar tersenyum lebar.

"Maryam, lanjutkan yg tadi" seru salah seorang teman nya.

"Ya, dari mana kamu mendapatkan kata kata bijak itu?" tanya yg lain nya penasaran.

"Dari Ibu" Maryam menjawab dengan mata yg berbinar seolah ia sangat bangga pada ibunya.

Namun di saat yg bersamaan, senyum di bibir Amar tiba tiba musnah di gantikan dengan tatapan tajam dan ber api api. Wajah nya pun kembali terlihat sangat dingin dan tegang.

Ia pun segera meninggalkannya tempat itu dengan emosi yg kembali bekecamuk dalam jiwa nya.

▫️▫️▫️

Tbc...

Part 2

Sesuai janji nya, Faraz menemui klien nya, Amar Degazi. Untuk membicarakan pembangunan hotel Amar.

Amar sengaja menggunakan jasa Faraz sebagai arsitek setelah ia melihat hasil kinerja pria muda itu, dimana setiap pembangunannya memikiki kesan unik dan tampak istimewa.

Walaupun usia nya masih 24 tahun, tapi putra Bilal itu sudah menunujukan yg terbaik dalam karirnya sebagai seorang arsitek.

"Aku ingin sesuatu yg baru, Tuan Sarfaraz. Aku tidak ingin hotel yg besar, aku ingin hotel yg nyaman seperti rumah, terasa sederhana tapi sesungguhnya terasa luar biasa. Sehingga para tamu yg menginap di hotel ku tidak merasa berada di sebuah hotel seperti pada umumnya"

"Itu keinginan yg luar biasa, jika tamu mu mendapatkan kenyamanan maka kau juga yg untung besar, karena mereka akan kembali lagi dan lagi"

Amar tertawa kecil mendengar penuturan Faraz.

"Kau benar, seorang pengusaha hanya akan memikirkan apa yg bisa mencetak uang lebih banyak"

"Bisa di mengerti, Tuan Degazi. Akan ku kerjakan proyek ini secepat nya"

"Baiklah, terimakasih" Amar dan Faraz sama sama beranjak dari kursi nya, kemudian mereka bersalaman.

Dan tiba tiba, wajah Maryam yg tersenyum dengan mata berbinar terbayang dalam benak Amar.

"Satu hal lagi" seru nya pada Faraz "Aku ingin sesuatu yg tampak mungil tapi indah"

Dan itu sedikit membingungkan Faraz, karena ia tak mengerti apa maksud klien nya itu.

"Bagian yg mana yg harus tampak mungil dan indah?"

"Entahlah, tapi aku ingin di hotel ku ada sesuatu yg mungil dan indah"

Faraz memikirkan hal itu sejenak kemudian ia mengangguk mengerti "Dan aku ingin menamakan hotel itu dengan nama almarhum adikku, Amora. Jadi bisa kau fikirkan sesuatu yg cocok dengan itu?"

"Amora hotel?" Faraz menggumam dan Amar mengangguk.

"Baiklah, Insya Allah. Saya akan lakukan yg terbaik"

.

.

.

"Ummi..." Teriak Maryam sembari berlari lari kecil menuruni tangga dan menghampiri ibunya yg saat sedang menonton TV.

"Ya Allah, Nak. Engga usah teriak, semua orang di sini punya pendengaran yg baik" ujar Ummi nya sembari mematikan TV nya.

"Hehe, Maaf. Tadi Maryam fikir Ummi ada dimana" tutur Maryam yg membuat Asma menggeleng "Tadi Kak Faz telpon. Katanya malam ini akan pulang sedikit terlambat"

"Apa ada pekerjaan yg penting?"

"Iya, dia sedang merayakan proyek nya Amar Degazi"

Maryam mengambil remote dan kembali menyalakan TV nya.

"Maryam, memang sudah muraja'ah hafalan Quran mu?"

"Udah tadi sama Abi" jawab Maryam tanpa menoleh pada Ummi nya.

"Baiklah, jangan begadang. Ummi naik dulu" Maryam hanya menggumam sambil ia terus mengganti ganti chanel tv, karena tak ada yg cocok ia pun mematikan kembali TV nya.

Sementara itu, Asma kembali ke kamarnya dan mendapati suami nya yg sedang fokus membaca sebuah buku.

"Bi..." Rengeknya pada suami nya itu sambil ia mendesakan tubuhnya pada suami nya. Bilal hanya menjawab nya dengan gumaman "Aku bingung dengan anak anak ku, entah Faraz atau pun Maryam, sering sekali mereka berteriak. Apa lagi Maryam, masak dia engga ada lembut lembut nya jadi cewek"

Bilal langsung tertawa mendengar keluh kesah istri nya yg sudah sering itu. Memang, Maryam saat berada dalam rumah seperti anak kecil, begitu manja pada Abi dan Ummi nya apa lagi pada Nena nya.

"Mungkin ibunya dulu juga begitu" jawab nya sembari menutup buku dan meletakkan nya di meja. Kemudian ia merengkuh istri nya dengan gemas. "Karena itulah seorang wanita harus memperhatikan sikap nya"

Asma terdiam sejenak dan ia mengingat ibu nya sendiri dan masa masa muda nya dulu, dia juga sering berteriak kalau memanggil orang rumah nya, dan ibu nya mengatakan seperti apa yg tadi dia katakan pada Maryam.

'Semua orang punya pendengaran yg baik'

Asma tersenyum geli mengingat masa masa itu. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibu yg memiliki anak gadis seperti dirinya.

Walaupun begitu, Maryam sebenarnya sangat berbeda dari dirinya, putrinya itu cerdas, kalem saat berada di luar rumah, dan sopan pada siapapun.

Bahkan, putri nya itu yg memiliki ide untuk membangun sebuah restaurant yg di kelola oleh mereka berdua saat ini. Maryam juga yg memberikan nama restaurant itu dengan nama panggilan kesayangan ayah nya pada ibunya, Zahra Resto.

"Tapi sekarang aku udah engga kayak dulu lagi"

"Iya, aku tahu. Tapi hanya saat di depan anak anak kamu engga kayak dulu lagi. Pas cuma di depan ku... Engga ada yg berubah" ucap Bilal karena memang Zahra nya itu masih sangat manja pada nya.

"Baguskan, jadi meskipun tua engga kerasa tua"

Bilal kembali tertawa dengan kata kata istri tercinta nya itu

.

.

.

Sementara itu, Faraz yg sudah merasa lelah segera memutuskan untuk pulang meskipun pekerjaannya belum selesai, ia dan teman nya masih belum bisa menemukan ide untuk proyek yg di ingin kan Degazi itu.

"Sudah cukup sekarang, Rian. Kita lanjutkan besok"

"Iya, tapi aku engga nyangka seorang yg dingin seperti Degazi ingin membangun hotel yg mungil dan indah" balas Rian dengan wajah yg mengkerut heran.

"Aku juga berfikir hal yg sama, aku engga heran kalau dia ingin membangun hotel yg engga terlalu besar, karena hotel nya yg besar dan megah sudah banyak. Tapi sesuatu yg mungil dan indah? Entah terinspirasi dari mana dia"

"Mungkin dari adik nya, bukankan dia membangun hotel itu atas nama mendiang adiknya"

"Bisa jadi"

.

.

.

Di perjalanan pulang, tanpa sengaja Faraz melihat seorang wanita yg berjalan sendirian dan wanita itu sesekali menoleh seolah menunggu sesuatu. Dan saat mobil Faraz sudah dekat, barulah ia melihat wajah tak asing itu, dia adalah Maria.

Tentu Faraz ingat wajah dan nama nya walaupun Faraz hanya melihat nya dalam sekejap mata, karena alasan bertemu wanita itu adalah Maryam dan nama mereka sangat mirip.

Faraz menghentikan mobil nya tepat di samping wanita itu dan kemudian membuka kaca mobil nya.

Maria terlihat terkejut melihat Faraz, dan tentu ia juga takkan lupa dengan orang yg mengira dia adik nya.

"Apa yg kau lakukan di sini malam malam begini, Nona?" Faraz bertanya dan tentu tanpa menatap langsung Maria.

"Aku tersesat, sejak tadi aku mencari taksi, tapi engga ada taksi yg lewat"

Faraz kasihan mendengar nya dan ia pun menawarkan diri untuk mengantar dan tentu Maria menolak, karena Faraz adalah orang asing.

"Aku tidakp akan menyakitimu, dan lagi pula ini sudah malam, sangat berbahaya bagi wanita berkeliaran di tempat sepi seperti ini"

Maria menatap Faraz penuh selidik, dan Maria sadar, Faraz seolah tak ingin menatap nya, membuat dia bertanya tanya apa yg salah dengan dirinya. Tapi malam yg semakin gelap dan suasa yg sepi mencekam, membuat Maria mencoba percaya pada pria asing ini.

Ia pun masuk ke mobil Faraz dan memberikan alamat rumah nya.

Di sepanjang perjalanan, kedua nya sama tak berbicara, Faraz sibuk komat kamit seperti membaca sesuatu.

"Apakah dia membaca sebuah mantra?" hati Maria bertanya penasaran.

"Mantra apa yg kau baca?"

"Hah?" Faraz sangat terkejut dengan pertanyaan yg terlontar begitu saja dari bibir Maria.

"Sejak tadi, kamu seperti membaca sesuatu tanpa bersuara"

"Oh..." Faraz melirik gadis itu hanya sekilas kemudian ia segera kembali fokus pada kemudi nya, apa lagi gadis di samping nya itu hanya mengenakan tank top, membuat Faraz berfikir apa dia tidak kedinginan atau di di gigit nyamuk "Aku hanya sedang berdzikir, Nona"

"Aku Maria..." Maria mengulurkan tangan nya namun Faraz hanya melirik uluran tangan itu

"Aku sedang menyetir" jawab nya santai.

"Ya juga" gumam Maria menarik kembali tangan nya "Apa berdzikir kata lain dari mantra? Karena kau terus komat kamit" Faraz tertawa kecil mendengar itu.

"Berdzikir itu untuk mengingat kan kita pada Tuhan"

"Tuhan" Maria kembali bergumam dan raut wajah nya menjadi masam. Dan kemudian suasana kembali hening, membuat Maria benar benar merasa tidak nyaman, apa lagi Faraz yg seolah benar benar tidak tertarik walau sekedar untuk menanyakan sedikit tentang nya sebagai basa basi seperti pria pada umum nya.

Hingga Faraz pun memasuki sebuah perumahan yg bisa di bilang elit

"Di sini rumah mu?"

"Iya, aku turun di sini saja"

"Kau yakin? Aku bisa mengantar mu sampai ke depan rumah mu"

"Tidak, terima kasih"

Maria pun kembali mengulurkan tangan nya, namun sekali lagi Faraz hanya melirik uluran tangan Maria.

"Kau tidak sedang menyetir, Tuan. Aku hanya ingin shake hand dan mengucapkan terima kasih"

"Em maafkan aku, Nona. Sebenarnya aku tidak bersentuhan dengan wanita yg bukan mahram ku" Faraz berkata tanpa menatap Maria.

"Maksud nya?" Faraz sedikit bingung karena tampak nya gadis di depan nya tak menagerti tentang agamanya, jika pun dia bukan seorang muslim, tapi masak iya se tidak tahu itu tentang islam. Fikirnya

"Maksud nya, aku tidak menyentuh wanita yg tidak ada hubungan darah secara langsung dengan ku"

"Oh... Muslim?" Maria berseru dan Faraz hanya menjawab nya dengan anggukan "Hanya shake hand. Apa itu juga tidak boleh?" dan Faraz kembali mengangguk.

Bukannya mengerti atau menghargai Faraz, Maria malah tampak sangat kesal dan menarik tangan nya yg sejak tadi menunggu Faraz menyambut nya.

"Aku rasa, itu telalu berlebihan, Tuan. Tapi terima kasih banyak sudah mengantarku, semoga kita tidak perlu bertemu lagi"

Faraz hanya melotot kemudian memgerjapkan matanya, apa gadis itu marah? Fikir nya. Karena nada bicara nya tinggi dan seolah marah.

"Hey, maksud ku..."

Terlambat, Maria sudah berjalan menjauh dengan wajah yg di tekuk.

"Dasar sok suci" geram nya "Sudah banyak model yg begituan, nanti kalau udah liat yg bening pasti di embat juga"

Faraz kembali melajukan mobil nya setelah Maria sudah tak terlihat lagi. Ia sungguh tidak tahu gadis macam apa yg dia temui itu.

Sementara itu, Maria yg sudah sampai rumah nya segera masuk dan mendapati suasana yg sudah sepi. Ia pun berjalan menuju kamarnya dan saat melewati kamar ayah nya, ia mendengar suara suara yg membuat telinga nya sakit dan dada nya sesak.

Dengan berani ia pun menendang pintu kamar itu dan melihat ayah nya yg sedengang bergemul entah dengan siapa.

"Daddy...!" teriaknya penuh amarah dan dua insan yg sedang melakukan dosa itu pun terperanjat.

"Maria... Get out!" perinatal ayah nya tegas, namun Maria melakukan sebalik nya, ia berjalan masuk, menarik wanita yg setengah telanjang itu dan melempar nya hingga terjerembab di lantai membuat wanita itu meringis dan terlihat ketukutan melihat kemarahan di mata Maria.

"Maria, are you crazy?" ayah nya meneriakinya dan seketika air mata Maria langsung meluncur bebas karena amarah dan luka di hati nya.

"You're really disgusting, Dad" Maria berkata penuh penekanan tepat di depan wajah ayah nya itu "Ini rumah mendiang ibuku, jadi Daddy dan pelacur Daddy yg menjijikan itu tidak berhak berada di sini"

Plak...

Satu tamaparan mendarat dengan mulus di pipi Maria yg masih basah karena air mata.

Maria tak gentar, karena sudah tak terhitung berapa kali ia sudah mendapatkan tamaparan bahkan cambukan dari ayahnya sendiri.

"Don't just slap me, you can even kill me if you want, Dad" seru Maria dengan mata yg sudah memerah.

Maria menunggu reaksi ayahnya selanjutnya, namun pria tua itu hanya terdiam dengan tatapan yg sangat tajam.

Maria pun menatap tajam wanita yg masih terjerembab di lantai itu. Wanita itu melirik takut pada Maria, wajah cantik dan tubuh mungil namun saat marah gadis itu tampak sangat menyeramkan.

"Keluar dari rumah ku! Dan jangan pernah berani bahkan untuk memandangi rumah ibuku"

Setelah mengucapkan itu, Maria segera berlalu dari kamar pria yg katanya ayahnya tapi di mata Maria tak lebih dari iblis.

.

.

.

Pelayan menyiapkan makan malam untuk Amar, namun perhatian Degazi itu tampaknya berada di udara.

"Tuan, makan malam nya" seru seorang pelayan dengan pakaian pendek nya. Seketika Amar tersadar dari lamunan nya.

"Bobby..." panggilnya pada Bobby yg berdiri di samping nya.

"Ya, Tuan..."

"Bobby, apa kamu pernah bertemu seseorang sekali saja tapi kamu terus mengingat nya?"

"Hah?" kening Bobby berkerut, heran dengan pertanyaan bos nya itu "Maksud, Tuan?"

"Maksud ku..."

"Oh gadis kampus itu..." Bobby berseru kemudian.

"Gadis apa?" Amar pura pura tak mengerti, padahal Bobby yakin yg Amar maksud itu adalah gadis yg di pandangi nya sewaktu di kampus tadi.

"Gadis yg Tuan pandangi itu..."

"Jangan ngaur kamu!" Amar berkata dengan sangat dingin "Tinggalkan aku!" perintah nya kemudian.

"Tuan, besok Granny minta di jemput langsung oleh Tuan" tutur Bobby sebelum meninggalkan Amar. Amar hanya menggumam sambil mengunyah.

"Tuan..." panggil Bobby karena berfikir Tuan nya itu tak mendengar nya

"Aku engga tuli, Bobby" ucap Amar sembari menatap tajam Bobby dari ekor mata nya.

Itu memang kebiasaan nya. Dia enggan menanggapi hal yg tak penting atau informasi yg sudah ia ketahui.

Dan gadis kampus itu, dugaan Bobby sama sekali tidak salah. Entah apa yg terjadi pada dirinya, tapi mata gadis itu seolah magnet yg menarik perhatian Amar dengan sangat kuat.

Dan entah bagaiamana, tiba tiba ia ingin di hotel nya ada sesuatu yg mungil dan indah seperti gadis itu.

"Mungkin aku hanya meridukan Amora, seandainya Amora masih hidup, dia pasta se usia gadis itu dan pasti secantik gadis itu"

▫️▫️▫️

TBC...

Part 3

Maria memandangi foto mendiang ibunya yg sangat ia rindukan. Dulu, ibunya adalah seorang katolik yg taat, penuh kasih dan cinta. Ia tak hanya memberikan kasih sayangnya, tapi juga nyawa nya untuk Maria. Ibu nya juga sering mengatakan pada Maria bahwa Tuhan itu penuh kasih dan akan selalu ada untuk hamba Nya.

Sementara ayahnya memang tak percaya pada adanya Tuhan, walaupun begitu, mereka adalah keluarga yg bahagia dan penuh canda tawa.

Saat usia nya 9 tahun, Maria kecil berlari di jalan raya untuk mengambil boneka kesayangannya yg sengaja di lempar oleh teman nya yg jahil. Dan saat itu juga, sebuah mobil melaju dengan sangat cepat ke arahnya, sang ibu yg melihat itu pun berlari menyelamatkan putri nya, namun na'as justru nyawa ibunya yg terenggut.

Sejak saat itu, ia dan ayahnya seolah hilang arah dalam hidup, di tambah ayahnya yg selalu menyalahkan Maria kecil atas kematian istri tercinta nya.

Untuk menghilangkan kesedihannya, sang ayah melampiaskan nya pada alkohol, berjudi, dan bermain wanita, bahkan ia mulai memukuli Maria saat ia sedih ataupun marah. Maria adalah sasaran empuknya untuk melampiaskan emosi dalam jiwa nya.

Dan perlahan tapi pasti, Maria pun kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Yg kata ibu nya penuh kasih, jika memang Tuhan penuh kasih, kenapa Dia mengambil ibunya? Kenapa Dia membiarkan ayahnya memukulinya sejak usia nya 10 tahun?

Tak ada yg membimbing Maria, karena ayahnya pun selalu mengekang Maria, tak memperbolehkan nya berteman dengan siapapun, sering mengurung nya dalam rumah, hingga ia benar benar tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

Dan 6 bulan yg lalu, ayahnya kehilangan segala nya di Amerika, perusahaannya bangkrut tak ada sanak keluarga satu pun. Dan pulang ke negara asal nya pun menjadi satu satu nya pilihannya.

Maria sangat berharap ayahnya berhenti dari semua kebiasaan buruk nya setelah berada di Indonesia, apa lagi ia telah kehilangan segalanya. Tapi rupanya, iblis tetaplah iblis dimana pun berada.

"I miss you, Mom"

.

.

.

Sarfaraz tampak sangat fokus mengerjakan proyek Amar Degazi. Bahkan akhir minggu yg biasa ia habiskan dengan kedua orang tua dan adik nya pun tak bisa ia nikmati.

Dia masih memikirkan hotel seperti apa yg sebenarnya di inginkan Amar.

"Serius amat, Kak" celetuk Maria dan mendaratkan pantatnya di sofa, ia membawa kerupuk dan menikmati nya dan ternyata itu membuat Faraz merasa terganggu.

"Aduh, Nyil. Bisa engga sih jangan ganggu kakak? Itu lagi bunyi kerupuk udah kayak jangkrik aja"

Bukannya berhenti, Maryam malah dengan sengaja mengunyah kerupuk itu lebih banyak dan menimbulkan suara yg tentu lebih menganggu, tak hanya itu, dia lebih mendekatkan diri pada Faraz membuat Faraz semakin kesal pada adik yg selalu ia panggil Unyil itu.

"Ada apa dengan kalian?" tanya Bilal yg melihat anak anak nya itu tatap tatapan seperti siap berperang.

"Bi, bilangin Kak Faz dong, berhenti manggil Maryam Unyil, Maryam udah dewasa Bi, malu sama teman teman Maryam kadang kak Faz manggil Maryam Unyil saat di kampus"

"Ya kamu memang Unyil" sanggah Faraz sebelum ayahnya menjawab.

"Bukanlah, Maryam tuh punya nama. Kak Faz gimana sih?"

"Loh, kok jadi kamu yg marah, Nyil? Kamu yg ganggu kakak dari tadi. Kakak lagi fokus kerja tahu"

"Weekend kali Kak"

"Ya engga apa apa. Amar Degazi membayar kakak mahal lho. Jadi harus cepat cepat selesaikan proyek dia"

"Engga usah mati matian cari duit kali, Kak. Duit itu engga di bawa mati"

"Iya, tapi zaman sekarang mau ke wc aja harus bayar dua ribu. Semua nya butuh uang tahu"

Bilal terkekeh dengan perdebatan putra putri nya itu, begitu juga dengan ibu mereka yg baru saja bergabung di ruang keluarga.

"Itu yg nama nya uang bukan segala nya tapi segala nya butuh uang" istri Bilal itu pun duduk di samping suami nya "Tapi semua harus di lakukan sesuai porsi nya. Jadi Faraz, biarkan otak mu istirahat setidak nya sehari ini"

"Oh ya, Faraz nanti kamu ke pesantren ya, bantuin Rayhan mengajar anak anak" sambung Bilal.

"Insya Allah, Bi"

"Di akhir minggu, mata pelajaran apa yg akan di kasih ke anak anak tk di santri putra?" tanya Maryam dan kembali mengunyah kerupuknya bahkan ia sengaja mendekatkan mulut nya ke telinga Faraz yg seketika membuat Faraz langsung menjewer adik nya itu.

"Nakal banget sih kamu ini, Nyil. Coba tiru Afsana. Dia itu kalem, engga kriuk kriuk kayak kamu dan kerupuk mu itu"

"Kalau engga kriuk artinya melempam, Kak. Kalau melempam mana enak"

"Kamu..."

"Faraz..." ibu mereka segera menyela atau adu mulut itu takkan berhenti

"Kak Faz sering banget muji Ana, Ummi. Jangan jangan Kak Faz suka sama Ana"

Dan satu tabokan kecil mendarat di pipi Maryam membuat gadis itu langsung mengerucutkan bibirnya dan tampak kesal.

"Bagi kakak, Afsana itu sama seperti kamu, sama sama adik kakak. Cuma beda nya, Afsana jauh lebih cocok jadi adik kakak, karena dia itu cantik, kalem lagi, engga kayak kamu, sering gangguin kakak" Maryam kembali mencebikan bibirnya.

"Liat tuh, Bi, Ummi. Kak Faz gitu amat"

"Dia cuma bercanda" hibur Abi nya "Oh ya, kalau kamu mau ke pesantren dan juga mengajar anak anak boleh. Akhir minggu pelajaran anak anak santri putra maupun santri putri sama kok, sama sama kisah para Nabi"

"Oh gitu, kirain beda. Ya udah Maryam mau kesana, mau bantuin Mbak Laila ngajar, Maryam juga suka cerita Nabi, minggu Lalu cerita nya Nabi Sulaiman"

"Nabi Sulaiman?" tanya Faraz

"Iya, Maryam suka cerita nya apa lagi karena ada ratu Bilqis nya yg pas masuk istana rok nya di angkat karena..."

"Lantai nya di kira air padahal lantai dan dindingnya adalah kaca yg bening" sambung Faraz dan seketika senyum lebar tercetak di bibir nya.

"Done" Faraz berseru riang membuat semua yg ada disana mengerutkan kening karena heran. Memang apa nya yg selesai?

.

.

.

Faraz menceritakan idenya pada Rian, dan Rian sudah menebak bahwa ide nya itu pasti terinspirai dari kisah kisah dalam Al Quran tentang zaman dahulu. Begitulah cara kerja Faraz selama ini.

Menjadi penghafal Al Quran sejak kecil, di beri pemahaman oleh Abi maupun guru nya, membuat Faraz tertarik pada semua kisah kisah indah dalam Al Quran. Dan ia menjadi seorang arsitek juga terinspirai dari orang orang zaman dahulu yg bisa membuat bangunan indah dan unik, padahal zaman dahulu tidak secanggih zaman sekarang, semua nya di lakukan secara manual.

Faraz menggabungkan ide bangunan modern dan juga bangunan kuno, karena itulah seperti kata Amar, Faraz selalu bisa membuat bangunan yg tampak unik dan istimewa.

"Apa menurut mu Degazi akan menyukai ide itu? Dan ya, dia akan membangun hotel itu di pinggiran kota, apa menurut mu itu engga terlalu mewah?"

"Kita akan tanyakan, selain itu minggu depan dia mengajak kita untuk survey tempat nya"

"Minggu depan aku engga bisa, Faraz"

"Kenapa?"

"Pernikahan sepupu ku, bukan nya aku sudah kasih tahu kamu"

"Aduh" Faraz menepuk jidatnya sendiri "Aku lupa, malah udah janji lagi"

"Ya udah, kamu pergi sendiri aja. Engga mungkin kalau di cancel. Bisa bisa dia membatalkan proyek nya"

"Benar juga" gumam Faraz, karena seperti itulah Amar Degazi yg mereka kenal, jika Amar sudah memutuskan sesuatu, maka itulah yg harus terjadi, dan jika ada halangan maka lanjutkan atau tidak sama sekali. Itu prinsip Amar Degazi.

.

.

.

Amar menemui rekan bisnis nya di Zahra Resto. Sambil makan siang, mereka membicarakan proyek penting dan juga Amar yg ingin meng invetasikan sebagian saham nya di perusahaan rekan bisnis nya yg bernama Sanjaya Putra.

Saat sedang mendengarkan Tuan Sanjaya yg sedang berbicara, tanpa sengaja Amar melihat Maryam yg sedang melayani pengunjung.

"Apa dia bekerja di sini?" batin nya bertanya.

"Permisi... Mbak..." tanpa fikir panjang Amar malah melambaikan tangan nya pada Maryam dan memanggil nya.

Maryam pun menghampiri nya dan mengunggingkan senyum ramah nya.

"Ya, Tuan?" Amar tak langsung menjawab, karena ia memang tidak membutuhkan sesuatu, tapi entah kenapa dia malah memanggil nya.

"Bodoh sekali"

"Em... Bisa bawakan satu gelas air dingin?" pinta nya asal.

"Baiklah, mohon tunggu sebentar" jawab Maryam dan ia pun segera pergi.

Amar terus memandangi Maryam yg berlalu dan tiba tiba ia dikejutkan dengan tepukan di pundaknya, dan saat menoleh

"Astaga, dia lagi" batinnya berseru tak suka melihat gadis cantik dengan pakaian kurang bahannya.

"Hai, Pa. Udah meeting nya?" gadis itu duduk di samping ayahnya, Dilara. Putri dari rekan bisnis Amar, Sanjaya Putra. Sejak bekerja sama dengan Tuan Sanjaya sekitar tiga tahun yg lalu, sejak saat itulah gadis yg bernama Dilara itu terus berusaha mendekati Amar.

Dan gadis itu semakin besar kepala hanya karena Amar yg pernah meniduri nya sekali. Oh ayolah, pria seperti Amar bisa meniduri siapapun dan kapan pun. Tapi sungguh, Amar tak menginginkan gadis itu lebih dari kenikmatan sesaat nya.

"Kenapa kamu melamum, Mar?" tanya Dilara pada Amar.

"Aku..."

"Tuan, air nya"

Maryam datang dan meletakkan segelas air dingin pesanan Amar, dan Dilara menyadari Amar tersenyum manis pada pelayan itu seolah dia bukan Amar dengan wajah dingin nya, bahkan tatapan Amar yg biasa nya tajam malah berubah lembut saat menatap Maryam.

"Terima kasih" Dilara yg menjawab dan langsung meneguk air itu membuat Amar mendengus kesal. Maryam tak mempermasalahkan itu, ia fikir mungkin Amar meminta air itu memang untuk Dilara.

Maryam pun meninggalkan meja Amar, di susul dengan Tuan Sanjaya yg juga berpamitan. Sudah Amar duga, bapak dan anak ini pasti bekerjama sama untuk membuat Amar dekat dengan Dilara. Tinggallah mereka berdua, namun pandangan Amar malah terus fokus pada Maryam yg sibuk melayani pengunjung, Amar sangat suka saat ia melihat Maryam yg tersenyum ramah, apa lagi matanya yg seolah ikut tersenyum.

"Kamu ngapain liatin pelayan itu terus?" tanya Dilara tak suka.

Bukannya menjawab, Amar malah membereskan barang barang nya dan segera beranjak pergi, tak peduli Dilara yg memanggil dan mengejarnya seperti orang bodoh.

.

.

.

Maria memilih beberapa barang yg dia butuhkan di mini market, ia juga membeli beberapa makanan siap saji, tentu karena tak ada yg mengurus dirinya di rumah, selain itu dia di sibukan dengan kuliah dan mencari lowongan pekerjaan.

Dia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidup nya, sementara orang yg seharusnya bertanggung jawab atas hidup nya malah sibuk dengan alkohol dan wanita.

Di kasir, Maria kebingungan karena ia tak menemukan dompetnya di tas nya.

"Mbak, bisa cepat sedikit? Kasian yg lain" ucap sang kasir karena memang ada banyak yg antri untuk membayar.

"Em sebenar dompetku ketinggalan. Aku cancel saja semua nya" seru Maria menahan malu, apa lagi kasir itu yg menatap nya dengan tatapan jengah.

"Tidak perlu" Maria menoleh pada asal suara yg tak asing itu.

"Tuan sok suci ini lagi" ia menatap tak suka pada Faraz.

"Masukan saja dalam tagihan ku" ucap Faraz sambil menyerahkan satu botol air mineral.

"Engga usah, makasih" balas Maria dengan nada judesnya.

"Kamu bisa menggantinya nanti, dari pada di cancel, lagi pula sepertinya kamu butuh semua barang barang itu"

"Engga usah" balas Maria kekeh. Padahal ia sangat berharap tak bertemu Faraz lagi, tapi entah kenapa malah bertemu di saat memalukan seperti ini.

"Masukan saja dalam tagihan ku" Faraz mengeluarkan credit card nya dan tentu saja si kasir tak menolak.

Maria hanya bisa memutar bola matanya.

Setelah membayar, kedua nya pun sama sama keluar.

Maria hendak menghentikan taksi, namun Faraz melarangnya.

"Kenapa memangnya?" tanya Maria masih dengan nada judesnya.

"Kamu engga punya uang kan?"

"Ya aku bisa bayar di rumah lah"

"Bagaimana kalau dompet mu engga ada di rumah? Mau bayar dia pakek apa? Biar aku antar"

Sebenarnya Faraz hanya bertanya asal, karena sejujurnya ia ingin mengantarkan Maria pulang, kenapa? Karena Maria terlihat sangat pucat dan mata gadis itu sembab, Faraz merasa Maria tidak dalam keadaan baik baik saja. Dan entah kenapa hatinya ingin menolong nya walaupun terlihat sekali Maria tak menyukainya dan Faraz tak tahu apa alasannya.

Sementara Maria membenarkan apa kata Faraz, karena ia memang tak punya uang lagi selain yg ada di dompet nya.

Akhirnya dengan sangat terpaksa Maria mau di antar Faraz.

Seperti biasa, di sepanjang perjalanan kedua nya sama sama diam.

Maria sendiri merasa tidak enak badan, mungkin karena kelelahan mengurus rumah yg cukup besar sendirian, kuliah dan setiap hari mencari lowongan pekerjaan dari satu tempat ke tempat yg lain.

Hingga Faraz sampai di perumahan itu lagi, dan ternyata Maria tertidur.

"Cantik juga... Astaghfirullah..." Faraz segera mengalihkan pandangannya.

"Kita sudah sampai" seru nya namun Maria tak berkutik "Hello... Kita sudah sampai" Faraz melambaikan tangan nya di depan Maria namun gadis itu benar benar terlelap.

"Bangun... Kita sudah sampai" kali ini Faraz menarik narik lengan baju Maria dan syukurlah karena gadis itu mengenakan kaos panjang.

Maria seketika terbangun dan ia terlihat salah tingkah.

"M... Maaf" ucap nya sambil mengelap pipi nya takut takut ada air liur di sana. Faraz yg melihat tingkah menggemaskan Maria hanya terkekeh kecil.

"Mau aku antar sampai depan rumah mu?"

"Engga, makasih. Oh ya, minta no telepon mu? Aku akan mengganti uang mu nanti"

"Engga usah, aku ikhlas membantu mu"

"Tapi aku yg engga ikhlas menerima bantuanmu" sekali lagi Faraz di buat terkejut dengan sikap dingin Maria dan nada bicara nya yg selalu ketus. Ia pun menyerahkan ponsel ya pada Maria dan Maria segera menghubungi nomor nya sendiri.

"Itu nomor ku, akan ku ganti saat aku menemukan dompet ku" ia berkata sembari menyerahkan ponsel Faraz, kemudian ia turun dengan membawa belanjaan nya.

"Jangan sampai aku bertemu dengan pria sok suci itu lagi, ikhlas membantu? Impossible"

▫️▫️▫️

TBC...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!