Kaki Nadia mendadak terasa berat melangkah, begitu melihat AUDY R8 Grey terparkir di pinggir jalan depan rumah Angga, saat ia tiba bersama Tristan untuk menghadiri acara aqiqahan anak kedua Angga.
Ia menyesali usahanya untuk membantu Mithalia bertemu Bimasena, membuatnya seperti orang bodoh ketika berbicara dengan Bimasena. Ia yakin, Bimasena pasti menertawakannya.
Ingin berbalik arah, ia harus bilang apa pada Tristan. Akhirnya dengan langkah yang berat, ia pun mengekor Tristan masuk ke rumah Angga. Angga dan istrinya menyapa mereka berdua ketika masuk ke dalam ruang tamu.
Seperti kata Angga pada WA group, malam adalah khusus acara untuk teman angkatan SMA nya. Wajah-wajah yang nampak di rumah Angga hampir semua ia kenal, membentuk kelompok-kelompok. Ada yang duduk di sofa mengobrol, ada yang bermain catur, ada pula yang berdiri di dekat meja makan, makan juga sambil mengobrol.
Nadia mengedarkan pandangan mencari-cari dimana gerangan Bimasena di ruangan itu. Karena ia akan menghindari untuk berdekatan dengan Bimasena. Namun ia tidak bisa menemukan sosok yang dicarinya.
Setelah memastikan kelompok yang duduk di sofa aman dari Bimasena, ia pun bergabung di tempat itu bersama Mithalia, Reyna, dan Glen. Sementara Tristan bergabung dengan kelompok yang bermain catur.
"Kok telat sih?" tanya Mithalia yang kelihatannya berdandan maksimal malam ini, teknik burung betina menarik perhatian burung jantan.
"Tristan, lama baru pulang dari kantor," jawab Nadia sambil duduk di sofa panjang yang kosong.
Saat ia duduk di sofa, ia baru memperhatikan di sampingnya tergeletak sebuah sling bag pria dari sebuah brand yang tidak bisa sembarang orang memilikinya.
Punya siapa?
Baru saja ia hendak bertanya siapa yang meletakkan sling bag di sofa, tahu-tahu sebuah tangan meraih benda itu, dan duduk di sampingnya.
Pemilik sling bag tersebut.
Orang yang ia hindari untuk tidak bertemu, sekarang sudah duduk di sampingnya. Mengulum senyum padanya. Senyum yang membuat jantung Nadia rontok seketika. Yang disebabkan oleh senyum yang terlalu memikat dilihatnya, bercampur rasa malu yang belum hilang karena gelagapan di saluran telepon.
"Hai Nadia!" sapa Bimasena.
"Hai!" balas Nadia dengan irama jantung yang tidak terkendali. Ia hanya mengulangi sepenggal kata Bimasena tanpa ada ucapan tambahan lain. Tidak tahu harus menambahkan kalimat apa.
Namun ternyata tidak ada basa-basi lain yang diberikan Bimasena kepadanya. Setelah itu Bimasena asyik berbincang dengan Glen.
Bagaimana rasanya duduk di samping Bimasena?
Yang jelas Nadia tidak perlu berbunga-bunga, karena ia dan Bimasena suatu yang imposibble (tidak mungkin). Oleh karena itu ia tidak perlu berlama-lama duduk di sofa (di samping Bimasena), agar jantungnya tetap pada posisinya saat ia pulang ke rumah nanti. Sebab ia deg-degan, bukan main.
Nadia menahan senyum, melihat tabiat dua temannya Mithalia dan Reyna di depannya mendadak berubah. Dua gadis yang bersaing mendapat perhatian Bimasena. Mereka yang sebelumnya bawel jadi lebih kalem dan rada-rada pemalu.
Belum lagi mata Mithalia dan Reyna yang tidak berhenti memandangi Bimasena dengan tatapan kagum. Membuat ia juga mencuri-curi pandang, ke Pria di samping kanannya, yang sedang asyik ngobrol dengan Glen perihal Propinsi Jambi, daerah asal Glen.
Melihat punggungnya saja sudah membuatnya kagum. Sambil membayangkan bila....... oh tidak, itu tidak boleh....bahkan sekedar membayangkannya pun terlarang.
"Kalau lu suka wisata alam, ada air terjun Sigerincing, air terjun Arai Indah, atau lu bisa hiking di Gunung Kerinci. Emang kapan lu mau ke Jambi?" Glen menjelaskan kampung halamannya pada Bimasena, membuat Nadia teralih dari membayangkan punggung Bimasena.
"Dalam waktu dekat," jawab Bimasena.
"Ajak-ajak dong kalau mau wisata ke Jambi," Reyna tiba-tiba saja nimbrung.
Bimasena tersenyum ke arah Reyna, "Reyna, saya akan ke sana, not for traveling, but for work (bukan untuk berwisata, tetapi untuk bekerja).
Membuat Mithalia tersenyum senang atas penolakan yang didapat Reyna dari Bimasena. Reyna merengus.
"Kamu pindah kerja ke Jambi?" lanjut Glen.
"Nggak, sekali-kali nanti saya kesana."
"Emang kamu kerja di perusahaan minyak apa? Bimoli? Sunco? Filma? Pasti kamu punya posisi penting deh," tanya Reyna kembali. Berusaha mendapat info sebanyak-banyaknya dari Bimasena. Namun cara yang sangat buruk dan kasar. Kembali membuat Mithalia yang mendadak kalem di atas angin.
"Nggak ada satupun yang kamu sebut tempat saya bekerja Reyna, saya cuma karyawan biasa kok, nggak punya posisi penting. Masih muda begini bagaimana bisa dapat posisi."
Penilaian awal Nadia, ternyata Bimasena sosok yang kurang terbuka. Sampai detik ini masih menyembunyikan perusahaan tempatnya bekerja juga alamat rumahnya.
"Nama perusahaannya?" lagi-lagi Reyna tidak sabar.
Bimasena mendesah dengan todongan pertanyaan dari Nadia, namun akhirnya mengalah.
"FreddCo Energy Reyna," akhirnya Bimasena menjawab juga atas desakan Reyna.
"Wouw...!!!" kata yang keluar bersamaan dari mulut Mithalia, Reyna dan Glen. Nadia cukup dalam hati, ia tidak ingin terlalu menampakkan kekagumannya pada Bimasena.
"Produsen minyak dan gas terbesar tuh di Indonesia tuh, hebat kamu Bima bisa kerja di Perusahaan Asing itu," gumam Glen geleng-geleng kepala. Namun nampaknya Bimasena tidak terpengaruh dengan pujian itu.
Melihat Bimasena bisa menjadi hiburan untuk cuci mata. Tapi itu berlaku bagi Wanita single seperti Mithalia dan Reyna. Namun bagi dirinya, Bimasena adalah racun. Terus melihat pesona Bimasena bisa membuat Tristan terasa hambar baginya.
Oleh karena itu ia harus cepat-cepat pindah dari samping Bimasena. Meskipun hati ingin berlama-lama duduk di sampingnya, seperti sepasang.......... oh tidak, tidak boleh, meskipun sekedar membayangkannya.
Begitu melihat kursi kosong di samping Tristan, segera ia pindah ke sana. Sebelum ia mabuk pesona Bimasena seperti Mithalia dan Reyna yang tanpa sadar matanya melotot memperhatikan Bimasena. Lebih baik ia mendampingi suaminya bermain catur.
Dari pada terus memperhatikan Pria yang jarang bicara tapi otaknya seperti terus berpikir itu. Sepertinya ia mempunyai beban yang berat, mungkin di kantor, karena ia belum mempunyai rumah tangga.
Sekarang ia duduk di samping Tristan. Menonton suaminya bermain catur melawan Alfredo. Alfredo memang jagonya olahraga, namun catur adalah olahraga otak. Tentu saja pemenangnya adalah yang otaknya lebih terasah, Tristan.
Tristan tertawa senang melihat kekalahan Alfredo.
"Ayo, siapa lagi nih yang berani melawan? tiga lawan sudah tumbang semua," tantang Tristan dengan bangganya.
Alfredo berdiri dari kursinya, berjalan menuju meja makan. Mungkin catur begitu menguras energinya sehingga ia butuh tambahan kalori.
Tanpa ia sangka penantang baru Tristan adalah orang yang justru membuatnya pindah duduk di samping Tristan. Sekarang pria itu sudah duduk di depannya, segaris dengan Tristan.
Ia harus menjaga dirinya agar nampak biasa-biasa saja, tidak terpengaruh dengan kedatangan Bimasena. Lagian mengapa juga ia harus terpengaruh.
Kali ini rupanya Tristan mendapat lawan yang sepadan. Keduanya tampak sama-sama berpikir merencanakan langkah selanjutnya agar tidak meninggalkan celah yang menguntungkan bagi lawan serta melihat-lihat posisi bagus untuk menyerang.
Bimasena bermain sangat tenang. Tidak seperti Tristan yang sering mendesis, atau bergumam tidak jelas.
"Sial!," ucap Tristan, saat melakukan blunder sehingga satu bidaknya menjadi korban blockade yang dilakukan Bimasena.
Bimasena tersenyum kecil dan bersandar pada kursi sambil menunggu Tristan mengambil langkahnya.
Entah mungkin hanya Nadia yang saja yang terlalu kegeeran, tapi ia merasa, Bimasena selalu menatapnya tanpa senyum. Atau karena mungkin kebetulan ia duduk di samping Tristan. Mau tidak mau matanya dengan mata Bimasena sering bertemu. Membuat tubuhnya kembali bereaksi, menjadi panas dingin.
"Kenapa belum menikah Bro?" pertanyaan tiba-tiba terlempar dari mulut Tristan. Entah karena penasaran dengan status single Bimasena atau sengaja ingin mengacaukan konsentrasi Bimasena.
Bimasena tertawa ringan namun tetap fokus pada papan catur, "Belum ketemu yang cocok untuk menjadi istri Bro."
"Calon udah punya?"
"Belum."
"Karena belum punya calon, kalau nyari calon istri jangan cuman lihat kecantikannya saja Bro. Tapi lihat kualitasnya. Cari wanita yang cerdas. Karena ibu yang cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas. Berdasarkan penelitian, Ibu menurunkan gen kecerdasan yang lebih banyak karena memiliki dua kromoson X daripada Ayah yang hanya memiliki satu kromoson Y," seperti itu Tristan menjelaskan pada Bimasena.
Nadia merasa ucapan Tristan itu menyindirnya. Bahwa Tristan sudah salah dalam memilih istri. Terlebih lagi dengan kening mengkerut, mata Bimasena menatap ia dan Tristan secara bergantian.
Tentu saja Bimasena cukup tahu, zaman sekolah dulu Nadia memiliki kecantikan di atas rata-rata, tetapi tidak masuk dalam kategori cerdas.
Tatapan Bimasena semakin mengerdilkan hati Nadia atas ucapannya Tristan. Ia bisa menerima sindiran Tristan, tetapi jangan di depan orang. Apalagi pada Bimasena.
Tristan melanjutkan lagi, "Dalam menjalin hubungan jangka panjang, pesona fisik wanita tidaklah terlalu penting, yang menyenangkan itu adalah pasangan yang bisa diajak membicarakan topik-topik berbobot dan berkelas. Seiring berjalannya waktu, kecantikan akan memudar, disinilah wanita cerdas lebih unggul dan terkesan lebih seksi. Berdasarkan penelitian lagi, pria yang memiliki istri yang cerdas, umurnya lebih panjang."
Tristan dan Bimasena sama-sama tergelak setelah Tristan mengucapkan kalimat umur lebih panjang. Namun Bimasena buru-buru menghentikan tawanya mungkin karena melihat perubahan air muka dari Nadia.
Nasehat Tristan memang sangat benar untuk Bimasena. Namun sengaja atau tidak sengaja sudah melukai hati Nadia, istrinya. Karena bukan sekali ini saja diucapkannya dan terus terngiang.
Sebelum-sebelumnya Nadia hanya bisa menelan ludah setiap sindiran yang sama dari Tristan. Namun sekarang lidah Tristan menjadi pedang paling tajam yang menggores hatinya.
Membuatnya tertawa getir dengan bibir bergetar. Tristan yang tidak acuh dan tetap fokus pada papan caturnya, sementara Bimasena yang terus menatapnya dengan pandangan khawatir, membuat matanya memanas. Namun ia berusaha membendung agar air mata tidak tumpah, untuk tidak memperlihatkan kelemahan dirinya.
"Setiap pria memiliki selera yang berbeda Bro, di kantor saya, boleh dikata hampir semua karyawan nya cerdas, berkualitas, dan dari universitas unggulan karena recruitment karyawan yang sangat ketat. Namun tidak ada yang membuat saya berminat. Kecenderungan saya melihat wanita pada kedewasaan emosional dan baik hati. Terdengar klise mungkin. Tapi wanita cerdas yang saya temui, belum bisa memikat hati. Pria itu makhluk visual, jadi tidak bisa dipungkiri, di mata pria kecantikan fisik itu masih penting." Entah ucapan Bimasena itu datang dari hati, atau hanya sekedar menghibur hati Nadia, namun malah membuatnya semakin sakit hati pada Tristan.
"Lu kerja di mana?" tanya Tristan, begitu Bimasena mengatakan di kantornya dipenuhi wanita cerdas.
"FreddCo Energy," jawab Bimasena singkat.
Tristan terbelalak, "you are great!(hebat kamu)."
"Permisi, saya ke toilet dulu." Nadia tak mampu lagi membendung air matanya. Ia menuju toilet dengan setengah berlari.
********
Nadia menyeka air matanya, merapikan kembali dirinya dan berjalan keluar dari toilet melewati ruang tengah, ruang tamu, teras dan keluar melalui pintu pagar rumah Angga. Ia berencana untuk pulang tanpa menunggu Tristan, juga tanpa sepengetahuan teman-temannya.
Ia sudah tidak betah berada di rumah itu karena sakit hati pada Tristan dan malu pada Bimasena.
Ia bersandar pada dinding pagar rumah Angga, menunggu taxi online yang sudah ia pesan.
Belum juga taxi itu datang, seseorang sudah ikut berdiri di sampingnya.
Bimasena.
Entah darimana pria itu muncul. Tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya dan ikut bersandar pada tembok pagar.
Setelah beberapa saat saling diam, akhirnya Bimasena bertutur,
"Bagaimana cara kita menjalani kehidupan, itu tergantung seperti apa kita memandang kehidupan. Jangan biarkan pikiran negatif bahkan pandangan orang lain mengendalikan dirimu, meskipun dari orang dekatmu sendiri."
"Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Jangan hilangkan kepercayaan diri yang pernah kamu miliki."
"Jalani hidup dengan caramu, dengan apa yang kamu miliki. Tidak perlu menjadi orang lain. Masa depan itu cerah bagi orang yang selalu memandang hidup dari sisi yang terang."
"Kalau kamu merasa tidak dihargai, maka hargai dirimu sendiri."
"Jangan berkecil hati."
"Jangan pulang sendiri, sudah larut malam, pulanglah dengan Tristan suamimu. Akan lebih aman."
Nadia tidak tahu harus menjawab apa, namun air matanya kembali menganak sungai.
Saat taxi online datang, Bimasena malah meminta sopir taxi itu pergi, dengan memberi uang tip sebelumnya.
"Masuklah ke dalam, tidak baik seorang perempuan berdiri di luar, malam-malam begini."
Nadia menggeleng, "Aku tunggu Tristan di sini."
"Kalau kamu mau tinggal di sini, aku juga harus tetap di sini menjaga kamu. Tidak baik kan kita berduaan di tempat gelap ini. Apa kata orang nanti. Masuklah Nadia."
Mungkin aman bila Nadia ditemani Bimasena di tempat itu, namun tidak aman bagi jantungnya. Sehingga ia tidak membantah lagi dan segera masuk ke dalam.
Jantungnya kembali tidak terkendali sejak Bimasena berdiri di sampingnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Wina Destania
Tristan cerdas tapi tidak berakhlak
2024-09-08
1
𝓙𝓾𝓶 𝓜𝓮𝓰𝓾𝓶𝓲
Kerennya ka Ina 🤗
2024-07-03
0
MaLovA
blum bisa move on dari novel ini, baca lagi yg ke 2 kali❤
2024-01-03
8