REUNI INDAHNYA MENDUA
NADIA
"Bimasena? Yang mana ya? Kok aku nggak ingat?" tanyaku pada suamiku yang sedang sibuk di depan laptopnya.
Baru saja Admin group whatsapp Alumni SMA kami menambahkan satu orang yang bernama Bimasena ke dalam group. Sudah 12 tahun kami menjadi alumni SMA, dan sudah 6 tahun group kami terbentuk, barulah orang yang bernama Bimasena itu masuk ke dalam group. Kemana saja ia selama ini? Bahkan nama Bimasena sama sekali tidak ada dalam file SMA di otakku.
"Dia nggak sampai satu tahun sekelas dengan kita. Cuman kelas satu doang. Belum juga penaikan kelas dia udah pindah," jawab suamiku tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ciri-ciri orangnya gimana sih?" Aku makin penasaran saja.
"Eh kamu tuh kepo banget sih, besok juga kalau dia datang di acaranya Mithalia kamu bakal liat kok. Nggak ada kerjaan lain? Kalau nggak ada mending baca-baca buku, biar otak kamu gak buntu. Jangan orang dikepoin terus," hardik suamiku.
Ya seperti itulah suamiku, Tristan Atmaja. Tristan teman sekelas sewaktu aku masih SMA dulu dan merupakan siswa yang paling pintar di kelas kami. Karena merasa pintar, selama kami menikah ia selalu membandingkan otak cerdasnya dengan otakku yang pas-pasan. Awalnya tentu saja membuatku sakit hati. Namun lama kelamaan hatiku sudah kebal.
Menurut suamiku, wanita cerdas dan berpengetahuan luas lebih menarik daripada wanita yang hanya mengandalkan kecantikannya semata. Wanita intelektual bisa menjadi problem solver yang baik bagi sebuah hubungan.
Tentu saja itu sangat menyinggung diriku, karena dari berbagai sudut pandang, aku sama sekali tidak termasuk dalam kriteria wanita cerdas, terlebih lagi wanita intelektual.
Saat kami masih sekelas di SMA, aku sama sekali tidak pernah melirik Tristan, pria berkacamata itu. Bahkan aku tidak pernah menyangka suatu ketika akan menjatuhkan pilihan pada Tristan. Ia jauh dari kriteria cowok yang aku tetapkan kala itu.
Aku gadis yang populer di sekolah karena kecantikan dan karena sering mengikuti lomba puteri-puterian serta lomba modeling.
Membuat aku harus mencari pria yang sepadan denganku. Tentu saja yang tampan dan juga populer.
Hatiku lalu tertambat pada kakak kelas, Ketua Osis pada saat itu. Pria tampan dan anak pejabat.
Setelah tamat SMA, saat teman-teman berlomba mendaftar pada universitas favoritnya masing-masing, aku malah memilih masuk sekolah modeling dengan harapan kelak bisa menjadi seorang model profesional. Ya, cita-citaku menjadi model papan atas sekelas Paula Verhoeven dan Laura Muljadi.
Namun setelah menggeluti dunia modeling, ternyata dunia itu tidaklah semenyenangkan yang aku duga. Cita-citaku menjadi model papan atas terlalu tinggi.
Kadang-kadang aku sudah letih dengan berbagai latihan, tapi ternyata tidak pernah dipanggil untuk tampil.
Persaingan dalam dunia modeling sangat ketat. Belum lagi stigma negatif yang sering aku terima sewaktu masih menjadi model, bahwa kami para model bisa dibooking untuk kepuasan pria hidung belang.
Tidak mudah menjadi model papan atas. Dan aku terlambat menyadarinya.
Saat Reuni pertama dengan teman-teman SMA, pada saat kami berusia 24 tahun, di saat itulah aku menyesal memilih jalur modeling untuk berkarir. Saat reuni, teman-temannya sudah ada yang menjadi dokter, perwira polisi, jaksa, atau bekerja pada perusahaan bonafit.
Sementara diriku? hanya kecantikan yang membuatku masih percaya diri. Selebihnya itu tidak ada sama sekali yang bisa dibanggakan. Bahkan titel sarjana pun aku tidak memilikinya. Sungguh malang nasibku.
Disaat itu pulalah, aku mencapai titik jenuh pada Dunia Modelling dan ingin segera meninggalkan dunia itu.
Saat reuni pertama, disitulah aku berjumpa dengan Tristan, siswa terpintar di kelasku. Saat itu bahkan sampai saat ini, Tristan menjadi Auditor BPK.
Hanya dengan melempar senyum manis padanya, Tristan sudah jatuh hati padaku, dan ingin menikahiku. Karena kegagalanku di dunia Modeling, kriteria pria yang aku inginkan berubah pula. Aku menginginkan pria yang pintar, bukan lagi yang tampan dan maskulin. Dan Tristan sudah masuk ke dalam kriteriaku.
Kami akhirnya mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan.
Lima tahun pernikahanku dengan Tristan, kami belum juga juga dikaruniai keturunan. Beberapa kali aku mengajak Tristan untuk berkonsultasi dengan dokter, namun Tristan selalu menolak dengan alasan sibuk.
Memang benar, pekerjaannya sebagai auditor BPK membuat suamiku sangat sibuk. Ia bahkan sering Dinas keluar kota selama berhari-hari sampai berminggu-minggu lamanya.
Saat aku jenuh sering ditinggal oleh Tristan, aku pun memiliki ide untuk membuka salon. Tentu saja dengan meminjam modal pada mertua. Pada Ayah Tristan.
Sekarang aku sudah memiliki kesibukan, mengelola salon kecantikan yang aku bangun dengan bantuan modal ayah mertua.
Namun menjadi wanita yang memiliki pekerjaan belum cukup untuk membuat suamiku bangga padaku. Ia tetap saja selalu mengagungkan perempuan cerdas seperti otak yang dimilikinya. Tidak jarang bahkan ia menyebut nama perempuan cerdas yang ia kagumi.
Bila nama Menteri Keuangan Sri Mulyani atau pembawa acara TV Najwa Sihab yang ia sebutkan tidak ada masalah.
Namun bila ia sudah mengagumi orang di sekitarnya, harusnya ia sudah menyadari bila itu menjadi masalah dalam diamnya aku.
Tetapi aku berusaha untuk mengerti tentang pernikahan. Percikan asmara tidak lagi sama seperti waktu pacaran. Cinta sebenarnya tidak hilang diantara kami, namun romansa dan gairah sudah menurun karena kesibukan, kebosanan, kebencian, perasaan yang diabaikan, marah dan kesepian. Sehingga pernikahan kami seperti hambar. Terlebih lagi kami belum dianugerahi buah hati.
Ternyata orang yang tidak mengenal Bimasena bukan hanya diriku. Aku tertawa begitu group WA kami yang bernama Still Young diramaikan orang-orang yang mempertanyakan siapa Bimasena.
STILL YOUNG
Hendra:
Selamat bergabung Bro Bimasena, Selamat datang di Indonesia.
Bimasena:
Terimakasih Bro. Salam untuk teman-teman semua.
Mithalia:
Bimasena? yang mana ya? kok aku lupa.
You/ Nadia:
Sama...yang mana ya?
Hendra:
Bima sekelas dengan kita waktu kelas satu. Nggak sampai dua semester karena harus pindah ke Amrik.
Reyna:
Pasang foto dong Bimasena, foto profil kok pakai logo.
Alfredo:
Bimasena cowok yang berpostur tinggi, putih, berbadan subur, yang suka duduk paling belakang di pojok, jarang ngomong, tidak seperti kalian cerewet.
Reyna:
Oh oh oh, aku ingat, bukan yang sering telat datang itu ya?
Bimasena:
Tepat sekali.
Angga:
Bim, masih single ya? cewek2 masih banyak yang single tuh.
Bimasena:
Ha ha ha
Aku mulai bisa mengingat cowok bertubuh tinggi gemuk saat kami kelas satu dulu, namun aku sudah tidak bisa mengingat wajahnya. Ia bukan pria gaul dan tidak populer sehingga tidak masuk dalam lingkaran pertemananku. Bahkan aku tidak pernah melirik dan memperhatikannya sama sekali.
Yang membuat seorang siswa populer di sekolah, diantaranya:
Cantik dan tampan, seperti aku dan Hendra tentunya.
Pintar, seperti Tristan.
Anak orang kaya, seperti Mithalia.
Anak pejabat, seperti Hendra.
Bintang olahraga, seperti Alfredo.
Ketua Osis, seperti mantan pacarku.
Nakal, seperti Angga.
Dan Bimasena?, tidak masuk dalam penggolongan di atas.
Wajarlah bila teman-teman, jarang yang mengingat orangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Ira Suryadi
Baca Ulang lgi tuk k sekian kali'ny,,klo g salah ini yg ke-6x aku bca Ulang,,smoga Ka'Author ny Sehat sllu,,🥰
2024-11-03
0
Wahyu Adara
ikut sakit🥺
2024-04-21
1
Wahyu Adara
mampir ngopi Thor, kayaknya akan menghanyutkan nih ceritanya
2024-04-21
0