NADIA
Saung Pesona Alam.
Itulah nama tempat Mithalia mengundang kami untuk reuni kecil-kecilan teman sekelas saat kami SMA.
Suasananya sangat nyaman untuk dijadikan tempat refreshing. Suasana yang disuguhkan pada pengunjung, yaitu kembali ke alam dengan desain restoran ala pedesaan.
Fasilitas utama yang menjadi daya tarik di tempat ini adalah sederet saung yang menjadi tempat makan pengunjung. Saung-saung mengelilingi kolam ikan yang sangat luas seperti danau. Gubug-gubugnya dibuat dari daun alang-alang, sehingga sangat nyaman untuk bersantai dan sangat menarik mata.
Mithalia memilih saung yang besar untuk kami. Ada dua meja panjang di dalam saung yang kami tempati. Saung menghadap ke kolam renang. Di belakang saung terdapat pepohonan hijau yang menaungi tempat parkir di bawahnya.
Tidak percuma membuang waktu dan tenaga untuk datang ke tempat yang sangat jauh, yang terletak di pinggir kota ini. Terlebih lagi untuk mengobati kedongkolan hati akibat perdebatan kecil dengan Tristan sebelum berangkat ke tempat ini. Perdebatan yang hampir setiap hari terjadi.
"Lama banget sih, bisa lebih cepat dikit nggak? tempatnya lumayan jauh," tegur Tristan dari balik pintu kamar dengan wajah bersungut-sungut.
"Sabar, sebentar lagi."
"Dandan kok kayak mau ke kondangan saja."
"Emang kamu nggak bangga punya istri cantik?"
"Kecantikan di usia 30 tahun sudah tidak bisa dibanggakan. Apa sih yang kamu dapatkan dengan kecantikanmu itu? Bahkan ijazah S1 pun kamu nggak punya. Yang bisa dibanggakan di usia seperti ini adalah capaian yang kita sudah peroleh."
Memang ada benarnya apa yang dikatakan oleh suamiku, namun tidak urung ucapannya menyinggung perasaanku.
"Ya lalu kenapa kamu menikahiku kalau nggak bangga dengan diriku? kenapa nggak cari orang pintar saja seperti dirimu?"
"Sudah bukan waktunya lagi untuk mendebatkan itu lagi Nadia." katanya sambil meninggalkan aku di kamar.
Akhir-akhir ini aku berpikir untuk mengambil S1. Bukan karena mengejar ilmu ataupun ijazah. Hanya agar suamiku tidak terlalu merendahkan diriku dari segi pendidikan.
Di usia 30 tahun baru mengambil S1? apa tidak terlalu terlambat? Itu yang membuat aku masih ragu. Sementara teman-teman bahkan ada yang sudah menyandang gelar S2 dan mengambil S3 nya.
Tidak lama kemudian suaranya terdengar setengah berteriak.
"Nadiaaaa, buruan."
"Kamu berangkat duluan saja. Aku bisa kok ke sana sendiri."
Sungguh ia tidak mengerti bahwa wanita memiliki ritual khusus dan waktu yang lebih lama bila hendak bepergian.
Namun ia tetap menunggu meskipun dengan wajah bersungut-sungut.
Sepanjang jalan menuju Saung Pesona Alam kami lebih banyak diam, hanya berbicara sesuatu yang sangat penting saja.
‐-------------
Hampir semua yang memberi konfirmasi untuk hadir, sudah duduk di dalam saung. Mengobrol seru sambil menikmati indahnya suasana sore saat matahari akan kembali ke tempat peraduan.
Potret matahari terbenam sangat tampak indah dengan semburat jingga di langit yang cantik. Lampu taman mulai menyala, berwarna kuning temaram, dengan paduan suara air kolam.
Kami larut dalam obrolan seru. Aku duduk bersama teman-teman wanita. Membicarakan gosip selebritis, mode terbaru dan juga gosip teman-teman sekolah.
Para pria dengan topiknya sendiri. Kadang-kadang bola, ataupun situasi politik tanah air.
Namun obrolan kami mendadak berhenti, dan perhatian tertuju pada sebuah supercar berwarna grey yang berusaha mencari tempat parkir di belakang saung kami, saung nomor tiga.
"Wouw, mobilnya keren bingitz," satu suara memecah keheningan. Sepertinya suara Alena.
Teman-teman pria juga ikut memperhatikan supercar yang baru datang tersebut.
"Audi R8," gumam Tristan, suamiku.
Setelah supercar itu terpakir, pengendaranya turun dari mobil. Perhatian kami kembali beralih pada pengendaranya.
Seorang pria bertubuh tinggi tegap berkaca mata hitam turun dari mobil. Ia mengenakan jas slimfit casual juga berwarna grey lengkap dengan dasi.
"Wouuuuw," tanpa sadar Mithalia bergumam.
Sangat wajar, objek yang kami lihat sekarang melebihi pemandangan saung sore ini.
Tidak cukup sampai disitu, di samping mobilnya, pria itu membuka jasnya, lalu melempar ke dalam mobil. Kemudian pria itu membuka dasinya, juga dilempar ke dalam, ke jok mobil. Terakhir ia melepas kacamata hitamnya dan disimpan di atas dashboard mobil.
Beberapa bibir teman wanita berdecak. Termasuk diriku, meskipun dalam hati.
Sungguh sangat menarik bila adegan itu diulang kembali secara slow motion. Mirip iklan di TV.
Pria itu lalu menggulung lengan kemeja biru mudanya. Setiap aksi kecil yang dilakukan tampak mengagumkan. Tanpa sengaja ia menebarkan pesonanya.
Diluar dugaan, pria itu berjalan ke arah kami dan mulai melepas senyum kepada kami. Semakin dekat wajah tampannya semakin jelas.
Ia berjalan ke arah kami? siapa pria itu?
"Itu Bimasena ya?" suara Hendra terdengar di antara kami. Lalu mulai terdengar kegaduhan para wanita, atas sosok yang sedang berjalan mendatangi kami.
"Diakah yang bernama Bimasena? masa sih?"
"Perasaan dulu gak begitu."
"Beda banget jaman SMA dulu."
Para pria berdiri menyambutnya.
"Pa kabar bro?" mereka bersalaman khas pria satu persatu, berbasa-basi dan melepas candaan. Pria itu kemudian duduk di samping Hendra.
Diakah pria yang bertubuh gemuk dan tinggi teman sekelas dulu? Tidak banyak bicara dan lebih sering duduk pada kursi paling belakang di pojok?
Bagaimana aku tidak pernah memperhatikannya waktu sekelas di SMA dulu?
Perubahan yang sangat signifikan sejak lima belas tahun yang lalu. Teman-teman wanita yang masih single mulai gelisah. Berusaha mendapat perhatian Bimasena.
Mungkin yang paling cocok dengannya adalah Mithalia. Selain cantik, Mithalia juga berasal dari keluarga berada. Tapi apa ia masih single?
"Udah berapa ponakan Bro?" tanya Alfredo menepuk bahu Bimasena.
Bimasena tertawa ringan dan berujar,
"Jangan tanya berapa ponakan, tanya dulu sudah ada belum Ibunya ponakan."
Jawaban Bimasena disambut gelak tawa teman-teman.
"Ternyata masih single ya?" goda Rahmania sambil memberikan kode mata kepada Mithalia. Aku sudah tahu apa maksudnya.
Jawaban yang sangat melegakan untuk teman-teman wanita yang masih berstatus single.
Satu suara teman pria terdengar bertanya lagi, Angga. "Apa aktivitas sekarang Bro? kerja di mana?"
"Karyawan Bro. Di sebuah perusahaan,"
"Perusahaan apa?"
"Minyak Bro."
"Minyak goreng, minyak balur atau minyak bulus?" Hendra berseloroh.
Bimasena hanya tertawa tanpa memberikan penjelasan soal pekerjaannya.
Karyawan? yang jelas dari penampilannya ia tidak terlihat seperti karyawan biasa.
Bimasena tampaknya orang yang irit bicara. Ia hanya menanggapi pembicaraan teman-teman dengan satu dua kata, atau sekedar tertawa.
Ponselnya sebentar-sebentar berbunyi, sepertinya ia sangat sibuk, sehingga tidak begitu fokus pada topik yang dibicarakan teman-teman.
Bimasena mulai mengedarkan pandangannya satu persatu pada teman yang ada di saung ini sambil melepas senyum, dan menyapa beberapa diantaranya yang pernah akrab dengannya.
Aku? aku tidak pernah ingat kalau kami pernah saling berbicara dulu. Kesalahanku dulu adalah hanya bergaul pada orang-orang tertentu. Kaya, anak pejabat, cantik, tampan. Sehingga tentu saja aku malu bila tiba-tiba harus berakrab ria dengannya.
Belum lagi gerak-gerikku dalam pengawasan Tristan, yang akan mengatakan aku ganjen bila harus seperti teman-teman wanita yang masih single itu sudah mulai mendekat dan mencari-cari perhatian Bimasena.
Aku tetap duduk pada tempatku. Toh tidak ada gunanya lagi mendekat, bukankah aku sudah punya Tristan?.
Tidak seperti Reyna atau Mithalia, yang sudah meninggalkan tempatnya di dekatku demi berdekatan dengan Bimasena.
Pria yang tidak pernah kami perhitungkan dulu dan tidak pernah kami lirik.
Tapi anehnya, kenapa aku selalu mencuri-curi pandang ke arahnya.
Tidak salah kan bila hanya sekedar mengagumi makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu?
Sosoknya masih misterius, namun dari mobil, serta segala property yang melekat di tubuhnya menunjukkan ia sosok high class, tapi dari cara berbicaranya ia adalah orang yang tertutup dan mungkin low profile, karena tidak pernah menyombongkan sesuatu. Entah itu bila nanti.
Sambil sesekali menanggapi Alfredo yang sedang berdongeng tentang kehebatannya, Bimasena kembali mengedarkan pandangannya.
Sebentar lagi sampai ke arahku.
Tiga...dua...satu....
Mata kami bertemu. Ia tertegun melihatku dan berhenti mengedarkan pandangannya. Karena ia tertegun aku jadi nervous, apa ada yang salah di wajahku? Riasanku terlalu over? Ada sisa makanan di wajahku?
Ia menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan, akupun balas menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tidak lama kemudian ia melempar senyum ke arahku.
Oh Tuhan, tatapan dan senyumnya itu membuat hatiku berdesir, persendianku seperti ngilu. Akupun membalas senyumnya, tanpa mampu lagi menatap wajahnya. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku dari dia.
Kenapa aku jadi grogi seperti ini? hanya karena ditatap seorang makhluk yang baru datang?
Keterampilanku membangun kepercayaan diri di dunia modelling mendadak hilang oleh satu tatapan dan senyuman.
Beberapa kali aku mencuri-curi pandang lewat sudut mataku, beberapa kali juga aku melihatnya menatap kearahku. Apakah aku yang terlalu kegeeran? Mudah-mudahan tidak.
Lah apa arti mudah-mudahan tidak untukku? toh aku bukan single lagi. Ah otak ini sudah ngaco hanya karena melihat barang bagus.
Setelah makan malam, dilanjut ngobrol sebentar, satu persatu dari kami pamit pulang. Bahkan sampai pulang pun aku tidak pernah bertegur sapa dengan Bimasena. Namun beberapa kali aku melihatnya mengobrol berdua dengan Tristan.
Pukul sembilan malam aku dan Tristan pamit, saat teman-teman yang tersisa masih asyik mengobrol. Termasuk Bimasena. Namun aku berusaha menghindari matanya. Belum tentu juga ia menatapku kok.
Baru juga sampai di tempat parkir, mendadak Tristan berkata, "Tunggu sebentar, aku ke toilet dulu."
Dan yang paling menyebalkan karena ia tidak membuka kunci mobil sebelum ke toilet, sehingga aku harus berdiri menunggunya di samping mobil dengan kesal.
"Apa kabar Nadia?"
Sebuah suara asing mengejutkanku, membuatku refleks menoleh ke sumber suara itu.
Dan....lututku mendadak gemetaran. Aku tidak tahu harus menjawab apa pada laki-laki yang kini berdiri santai di depanku, dengan satu tangan pada saku celana dan satunya lagi memegang ponsel.
Bimasena.
"Masih ingat namaku ya?" bukannya menjawab, malah aku bertanya dengan pertanyaan bodoh.
Ia tersenyum.
"Bagaimana aku bisa melupakan nama wanita yang pernah diidolakan di masa lampau, meskipun ia tidak pernah melirik sekalipun padaku. Tidak pernah berbicara padaku. Bahkan mungkin ia tidak tahu namaku."
Aku mencoba tertawa untuk menutupi rasa gugup dan malu serta lidah yang tiba-tiba kaku, tidak tahu harus berkata apa atas perkataannya yang sangat menohok jantung. Kalimat yang menunjukkan kesombonganku di masa lampau.
Ia tersenyum kecil menatapku.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Skill confidence building ku lenyap entah kemana.
Untunglah aku terselamatkan dengan kembalinya Tristan dari toilet. Mereka saling berbasa basi sejenak lalu akupun pamit padanya.
"Hati-hati Nadia Humeerah," ucapnya sambil melihat aku masuk ke dalam mobil. Setelah Tristan melajukan mobilnya, aku bisa melihat melalui rearview mirror mobil, Bimasena masuk ke dalam supercar nya.
Ia masih ingat nama lengkapku?
Betulkah ia mengidolakanku di masa lampau?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Ira Suryadi
Baca Ulang ya ke 5x ny",,ga akan ada bosan ny aku mah mesti udh baca ber Ulang2 kali,,Novel Karya Penulis favorite kuh,,,🤗💚Sambil menunggu Up'ny,,"Ayank Buaya💚 Buguyu,,Up'ny jgn lama2 ya Ka"Ina,,soal'le Cerita mu sllu buat aku Penasaran,,,semoga ka'Ina sllu diberikn Kesehatan,,🙏🙏🤲🤗😍😘
2024-06-12
7
Santi
🥰🥰
2024-02-05
2
Musfa Ningsih Karyadi
cerita terkeren yg pernah kubaca, mengaduk aduk perasaan, pokoke author lna AS layak dpt bintang ⭐
2024-01-11
4