Nadia
--------------
Nadia duduk di depan meja rias, hendak melakukan ritual khususnya setiap malam sebelum tidur, yakni menggunakan skincare, diiringi pandangan sinis suaminya.
Ia mulai menggunakan make up remover untuk membersihkan debu, minyak dan kotoran lain yang yang menempel pada wajahnya.
Ia sudah tahu mengapa Tristan menatapnya dengan tatapan sinis. Karena ia menuntut istrinya bukan hanya memiliki kelebihan fisik saja, tapi juga harus intelektual.
Menurut Tristan, kelebihan fisik bisa membuat pria jatuh cinta, namun hubungan bisa bertahan lama bila sang wanita memiliki kecerdasan intelektual. Seorang suami lebih membutuhkan parner diskusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Maka saat itulah dibutuhkan perempuan yang bisa diandalkan kecerdasannya. Bila hanya dengan modal cantik, pria akan cepat bosan.
Nadia menyadari bila ia sama sekali tidak memiliki 'Kecerdasan intelektual', hal yang selalu dituntut dan didengung-dengungkan oleh suaminya.
Hal itu yang membuat percaya dirinya tergerus ke titik nol. Dulu, ia memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi saat ia masih berprofesi sebagai seorang model. Namun rasa percaya diri yang telah ia bangun, pelan-pelan diruntuhkan oleh Tristan suaminya sehingga sekarang ia selalu merasa rendah diri.
Setelah membersihkan wajah dengan make up remover, ia mencuci wajahnya dengan sabun pencuci wajah, lalu mengeringkannya dengan handuk, dan kembali lagi ke meja riasnya melanjutkan ritual.
Nadia mengingat sebuah nama yang pernah diucapkan suaminya, Hakimah, pemeriksa pertama yang baru saja masuk di kantor suaminya. Tristan sangat memuji kemampuan verbal, kemampuan berinteraksi dan logika berpikir pemeriksa baru itu.
Tentu saja Tristan memujinya karena menginginkan istrinya seperti orang itu. Lebih kasarnya, menginginkan dirinya cerdas seperti Hakimah.
Bagaimana bisa?
Dirinya merupakan type manusia yang pelit secara kognitif. Ia enggan melakukan pekerjaan yang mengharuskan berpikir kecuali bila terpaksa. Ia lebih menyukai pekerjaan yang santai tanpa banyak menguras otak. Meskipun ia sadari bahwa otak lebih dihargai daripada otot.
Membaca buku bukan hobinya. Ia lebih senang membuka majalah fashion, make up terbaru, dan semua yang tidak ada dalam kamus Tristan.
Beberapa kali Tristan membawakan buku untuknya, ia hanya membaca sampai sampulnya saja. Bahkan halaman pertamanyapun tidak pernah ia habiskan. Buku pilihan Tristan sangat tidak menarik untuknya.
Nadia lalu menggunakan exfoliator, toner, serum, dan yang terakhir krim malamnya. Sebagai wanita yang memasuki usia 30 tahun, ia harus rajin merawat kulitnya agar tetap kencang dan glowing.
Ia melirik suaminya yang secara bersamaan juga melirik ke arahnya. Mencibir terlalu banyaknya jenis skincare yang ia gunakan. Seperti biasa, menjelang tidur Tristan sangat sibuk dengan laptopnya. Membuat laporan hasil pemeriksaan, yang tidak kelar di kantor, sehingga harus dibawa ke rumah.
Ia lalu melangkah ke tempat tidur, membaringkan tubuhnya di sana. Membuka handphonenya untuk berselancar di dunia maya.
Ia membuka pesan pada satu aplikasi. Pesan masuk dari Mithalia. Ia membaca lalu membalasnya.
Mithalia:
Dya, gimana tadi menurut kamu?
Dahi Nadia mengernyit.
Nadia:
Maksud kamu? Apa yang bagaimana?
Mithalia:
Maksud aku Bimasena Dya.
Nadia:
Emang ada apa dengan Bimasena?
Mithalia:
Ah kamu sih nggak peka. Gimana menurut kamu Bimasena? kok cowok itu bikin aku berdebar sih?. Kok aku suka sih orangnya Dya? Dia kalem tapi nggak dingin. Low profile. Kalau nyapa dia hangat. Kok bisa ya, zaman SMA kita nggak pernah perhatikan dia. Perubahannya amazing.
Ah, ternyata bukan cuma dirinya yang dibuat bersebar Bimasena tadi. Mithalia juga. Atau mungkin semua teman wanita yang hadir di reuni kecil-kecilan itu. Dan sepertinya Mithalia sudah jatuh cinta
Nadia:
Cakep sih. Sama cakep dengan mobilnya 😄😄😄.
Tapi tampaknya ia pria yang tertutup ya?
Mithalia:
Mungkin karena kita baru pertama kali bertemu setelah sekian lama. Dya, bantuin aku dong, plizzzzz, comblangin aku dengan Bima. Reyna tadi udah terang-terangan ngincar Bimasena. Jangan sampai aku keduluan dari Reyna.
Mitha pengen dicomblangi sama Bima?. Jangan ah, jangan sampai mamak ikut jatuh cinta pada Bima.
Nadia:
Idih, zaman gini masih pake comblang. Gunakan teknologi Non!
Mithalia:
Dari tadi aku kirim pesan, belum di read sampai sekarang Dya. 😭
Nadia:
Emang kamu tulis apa?
Mithalia:
Terimakasih sudah datang Bima. Eh kamu tinggal di mana?
Nadia:
Udah deh, nanti aku pikirkan gimana caranya kamu bisa ketemu dengan Bima.
Mithalia:
Makasih sayangku Nadia. Kamu tahu Bima ngomong apa waktu pulang tadi? buat aku melayang ke awan-awan.
Nadia:
Apa?
Mithalia:
Dia bilang gini, Mitha kamu nyetir sendiri? hati-hati ya, langsung pulang ke rumah, udah malam.
Hanya itu membuat kamu melayang? bagaimana kalau kamu dengar Bima bilang apa ke aku tadi?,
"Bagaimana aku bisa melupakan nama wanita yang pernah diidolakan di masa lampau, meskipun ia tidak pernah melirik sekalipun padaku. Tidak pernah berbicara padaku. Bahkan mungkin ia tidak tahu namaku."
Nadia mulai membuka foto-foto yang diupload di group. Ada beberapa foto Bimasena. Ia tampak lebih menonjol dari teman-teman pria yang lain.
Bimasena seperti seorang aktor pemeran utama yang sedang berfoto dengan pemain sepakbola kampung. Ia bersinar sendiri. Yang lain redup. Termasuk Tristan.
Maafkan istrimu Tristan. Hanya memuji kok.
Iseng-iseng Nadia menzoom foto Bimasena, sambil sesekali melirik ke arah Tristan, jangan sampai tertangkap basah sedang mengintip foto Bimasena.
****************
NADIA
Hari ini aku harus turun langsung melayani pelanggang salon, karena 8 karyawanku sudah penuh. Tiga orang siswa SMA mengantri untuk mendapat layanan Facial Jerawat.
"Mbak, kok kulitnya kinclong banget, nggak pernah kena jerawat ya?" tanya gadis SMA itu padaku.
Aku tertawa dengan keresahan yang dialaminya akibat jerawat, sama seperti aku saat SMA dulu. Satu biji jerawat muncul di wajah, membuatku stres memikirkannya. Karena bagi seorang model, haram hukumnya jerawat nempel di wajah.
Berbekal dengan sedikit ilmu jerawat yang kumiliki, aku mulai menjelaskan pada tiga anak itu.
"Jerawat itu biasa mulai muncul pada orang seusia adek yang memasuki masa pubertas. Faktor utama pemicu jerawat itu hormon Androgen. Hormon yang muncul pada masa pubertas. Hormon itu memicu kelenjar sebum untuk mengeluarkan minyak. Akibatnya kulit akan lebih berminyak. Apabila kulit kotor maka sel-sel kulit dapat tersumbat dan menjadi jerawat, makanya kulit harus rajin dibersihkan."
Ponselku kembali berdering. Mithalia lagi. Untuk ketiga kalinya ia menelpon. Bertanya urusan comblangnya dengan Bimasena.
Mithalia: Kamu udah telepon Bima ya Dya?
Nadia: Belum Mit, salon lagi ramai nih. Aku harus terjun langsung layani pelanggan.
Mithalia: Tega benar kamu Dya, 5 menit pun waktumu kamu nggak sisihkan untuk aku.
Nadia: Baik-baik aku telpon sekarang.
Nadia cepat memotong Mithalia, karena dari seberang sana suara Mithalia terdengar seperti orang yang hendak menangis saja. Betul-betul Bimasena sudah megobrak-abrik hatinya.
Aku telepon Bimasena?
Baru rencana menelponpun jantung sudah nggak bisa diajak kompromi.
Akhirnya aku hanya mengirim pesan padanya.
Pesan yang diketiknya hanya sebentar, namun lama baru dikirim.
Dengan seribu pertimbangan.
Bagaimana kalau ia tidak membaca?
Bagaimana kalau ia tidak membalas?
Nanti aku bisa malu dan sakit hati.
Loh kan yang naksir Mithalia, bukan aku, kenapa mesti malu?
Karena kembali teringat Mithalia, akhirnya pesan itu akupun kirim.
Bismillah.
Nadia:
Assalamualaikum. Maaf mengganggu. Sibuk ya?
Ternyata berkirim pesan pun jantung sama saja tidak terkendalinya.
Message sent but not read
Sepuluh menit berlalu. Sungguh memalukan. Akupun menyesal mengirim pesan padanya. Dan aku menjadi kesal pada Mithalia, penyebab pesan memalukan ini.
Setelah tiga puluh menit, ia sudah membaca pesanku. Tapi tidak dibalas.
Selamat Nadia....kamu dicuekin. Kamu nggak penting.
Terimakasih Bimasena, aku harap kemarin adalah waktu pertama dan terakhirnya kamu hadir di reuni. Aku tidak ingin bertemu kamu lagi.
Untuk mengalihkan kekesalanku pada Mithalia dan Bimasena, aku kembali melayani satu pelanggan untuk facial jerawat meskipun beberapa karyawanku sudah kosong.
Setelah beberapa saat sibuk dengan pelanggan, kekesalan akibat pesan memalukan itupun bisa teralihkan. Kini aku fokus membersihkan komedo dan jerawat anak SMA ini yang banyaknya seperti bintang di langit.
Saat aku hendak membersihkan masker pada wajah pelanggan, ponsel yang aku simpan pada rak di belakangku berdering. tanganku meraba-raba ke belakang untuk meraih ponsel. Saat berhasil meraihnya aku membaca siapa penelpon.
Tanpa sadar karena terkejut ponselku terlepas dari tangan, jatuh ke kaki dan akhirnya ke lantai. Tanganku seperti tersengat aliran listrik saat membaca siapa penelpon.
Bimasena
Calling
Sekarang aku hanya melihati ponsel itu berdering di lantai. Rasanya aku tidak punya kekuatan untuk menjawab telponnya.
Aku harus bilang apa? semua yang sudah terkonsep di otak buyar.
Padahal ini demi Mithalia, bukan untuk aku. Duuuh.
Akupun lega saat ponsel itu berhenti berdering. Kupungut ponsel itu dari lantai, untung saja layarnya tidak pecah.
Namun ponsel itu berdering lagi. Bimasena lagi. Jantungku rasanya hendak meloncat keluar.
Dengan tangan gemetar aku menjawab telepon Bimasena.
Tuhan tolong aku
Aku : Ha ha halo
Bimasena: Maaf Nadia, lama baru dijawab, lagi rapat. Ada apa Nadia?
Aku : eh ini...
Aku lupa harus bilang apa. Bodohnya aku Tuhan.
Bimasena: Kamu kenapa Nadia?
Aku : Mi mithalia...
Bimasena: Kenapa dengan Mithalia?
Aku: Mithalia ingin bertemu kamu.
Terdengar suara tergelak di seberang sana. Apa ia menertawakanku karena gelagapan?
Bimasena: Jadi kamu menghubungi aku hanya untuk menyampaikan Mithalia ingin bertemu denganku?
Aku: Iya.
Bimasena: Hanya itu? tidak ada yang lain?
Aku: I iya.
Bimasena: Betul gak ada yang lain?
Aku: Iyah.
Bimasena: Oke baik Nadia, terimakasih infonya, aku mau lanjut rapat lagi ya. Sampai ketemu lagi.
Aku: Iya.
Bimasena mematikan teleponnya.
Aku lupa, dulu aku pernah menjuarai Putri Pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, aku juara I. Begitu luwesnya aku melenggang di atas panggung, dan begitu lancarnya aku menjawab setiap pertanyaan juri.
Tapi berbicara dengan Bimasena, itupun melalui saluran telepon, hanya iya, iya dan iya yang bisa keluar dari mulutku.
Sekarang aku tidak perlu tersinggung lagi pada Tristan. Memang benar dan aku sudah sepakat dengan Tristan.
Aku ini bo doh, gob lok dan semua kata-kata yang merupakan sinonimnya.
********************
Terimakasih telah membaca readers kesayangan.
Jangan lupa dukungannya yah.
Bila novel ini agak nakal, jangan ikutan nakal ya. Namun lihatlah pesan yang terkandung di dalamnya. Meskipun pesannya hanya seujung kuku.
Novel ini dibuat sekedar untuk menghibur readers.
Menemani readers pada waktu luang. Ataupun teman dikala sepi (alay ya?)
Tetap sehat dan bahagia selalu untuk kalian
😘😘😘😘😘😘
INA AS
Fb: INA AS
Instagram: INA AS
Readers, dapat salam rindu dari:
- Mas Hadi
- Mas Adit
- Pak Abraham
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Wina Destania
bener ya novel yang berkelas itu baru baca satu part aja udah kayak haus terasa banget
2024-09-08
1
Wahyu Adara
ngakak, wes pokoke narasinya mantep👍🏻🤣
2024-04-21
2
Jong Nyuk Tjen
aku baca yg ke 2 kalinya nih thor . Rasanya gmna gitu am novel ini ?
2023-10-24
5