"Siapa yang membuat ini. Kau atau bibik?"
"Aku mas. Nikmat bukan? Karena aku membuatnya dengan tulus ikhlas."
Vim berdehem beberapa kali, menetralkan tenggorokan yang terasa tercekat mendengar penuturan Laras. Kopi susu buatan Laras memang pas di lidah tapi Vim tidak akan mau mengakui
secara langsung. Menunjukkan pada Laras membuat harga dirinya jatuh.
"Tidak, ini kebanyakan susu. Kau mau membuatku sakit dengan rasa manisnya heh."
"Tidak itu sudah pas antara kopi dan susu.
'
"Bawa ke belakang. Buat lagi yang enak."
"Hah?? Aku tidak mau."
Buang-buang minuman saja. Mana sudah disruput. Coba belum dirasa, pasti kuhabiskan. Laras menggerutu di dalam hati.
"Apa susahnya sih bikin kopi dicampur susu. Sekalian bawa potongan buah ke sini."
"Sangat mudah. Nanti mas katakan lagi oh ini kebanyakan kopi, kurang susu atau ini cair."
"Jadi kau mau atau tidak. Aku bisa ngomong ke papi ya supaya uang jajanmu dipangkas karena tidak menuruti perintah."
"Katakan saja. Sekarang aku mau ke belakang."
"Bawa buah-buahan kemari. Aku tunggu."
Sabar adalah tindakan yang tepat untuk menghadapi Vim, menuruti kemauannya dengan menyuguh-
kan buah-buahan yang telah dibersihkan dan dipotong ke hadapannya.
"Ini buahnya. Ada yang harus kulakukan lagi?"
Laras dengan sengaja tidak membawa kopi susu ke hadapan Vim lagi. Cukup buah saja.
"Tidak ada. Kau boleh duduk di situ."
"Jika tidak ada lagi aku akan ke kamarku. Hari sudah sore, waktunya untuk mandi."
"Baru jam lima. Waktu masih panjang, tidur juga boleh di kasurku itu."
"Sebaiknya aku kembali ke kamarku."
"Kau senang membangkang.
Menurut kenapa sih?"
Laras mulai kesal dengan tingkah Vim. Baru setengah jam berada di dekat Vim, rasanya seperti berjam-jam. Laras layaknya robot yang dikendalikan oleh Vim untuk
melakukan ini dan itu.
"Katakan mengapa kau mau tinggal di rumah ini."
Ucapan Vim membuat Laras mengangkat dagunya. Menelisik wajah di depannya yang sedang memegang hp di tangan kiri dan potongan apel di tangan kanan.
"Jawab saja. Tak perlu mengamati
wajahku. Kau baru sadar kalau aku tampan bukan."
"Karena aku senang bila ayah dan Ibuku merasa senang. Dengan menuruti mereka, aku sudah membuat mereka bahagia. Kedua orang tuaku percaya pada mami dan papi tidak akan pernah menyia-nyiakanku. Nyatanya aku mendapatkan kasih sayang mereka, sama seperti mas Vim dan Vano." Urai Laras dengan cara berpikirnya sendiri.
Vim memaklumi maminya yang sejak dulu sangat ingin memiliki anak perempuan. Vim bersaudara adalah laki-laki semuanya. Terbayang oleh Vim saat ia dan Vano masih kecil diajak membeli pakaian oleh mami dan mami selalu tertarik untuk membeli pakaian anak cewek yang terpajang dengan potongan dan hiasan pita dan renda yang indah.
...~~...
Laras bernasib baik mami mengangkatnya sebagai anak. Laras kecil selalu mengikuti Ibunya sesekali bertandang ke rumah Vim untuk mengantarkan hasil pekerjaan Ibunya atau menyelesaikan sedikit pekerjaan yang sama di rumah itu. Ketika itulah Laras dan Vano bermain bersama hingga terjalin keakraban diantara mereka.
Kedekatan itu menimbulkan keinginan mami untuk menjodohkan mereka. Perjodohan terjadi dan siapa yang tidak akan bangga memenuhi permintaan keluarga terpandang seperti Pak Dewantara dan Ibu Maharani.
Sebelum Laras tinggal bersama mereka, Vim pernah tanpa sengaja mendengar perbincangan papi dan mami di ruang tengah. Vim melangkah surut ke belakang dan menajamkan pendengarannya akan percakapan kedua orangtuanya.
" Tahun depan kita bisa laksanakan pih supaya Laras tidak keburu dilamar orang. Buat Vano saja lebih baik." Mami berkata.
"Sebaiknya untuk Vim. Coba pikirkan umur Vim sekarang."
"Dua puluh tujuh tahun. Vim sangat susah disadarkan. Semua gara-gara pacarnya. Karena dia Vim sekarang masa bodoh sama kehidupannya. Waktunya terbuang begitu saja. Bekerja saja asal-asalan."
"Siapa tahu bersama Laras nanti dia bisa berubah."
"Kasihan Laras papi."
"Vim harus berubah dan aku ingin Laras bisa membuat Vim berubah lebih baik. Laras pasti bisa mengalah dengan Vim karena usia mereka berbeda jauh."
"Mami maunya Laras sama Vano Pih, biar mereka tetap tinggal di sini bersama kita."
Ya Vim sadar dirinya terlalu masa bodoh dengan semua nasehat orangtuanya agar ia segera mencari pendamping. Supaya hidupnya lebih terarah karena saat ini Vim suka berbuat sesuka hatinya saja. Pekerjaan tidak dilakoni dengan tekun. Seandainya ia serius dengan pekerjaannya pasti Vim sudah lebih mapan.
Namun sebrengseknya Vim masih bisa berpikir jernih untuk tidak menyia-nyiakan hasil jerih payahnya. Walaupun kesuksesan Vim tidak selevel kedua kakaknya di luar negri, Vim masih bisa berpikiran jernih memanfaatkan gajinya, mengumpulkan uang dan membangun sebuah rumah di atas tanah yang diperuntukkan dirinya.
Kelak ia melepas masa lajangnya Vim sudah bertekad untuk membangun kehidupannya sendiri keluar dari rumah orang tuanya. Rumah yang ditempati oleh mereka sekarang nantinya akan menjadi milik Vano. Semua sudah diatur oleh Pak Dewantara dan tercatat atas nama masing-
masing Vadli, Viky, Vim dan Vano.
Gelak tawa di halaman belakang mengusik sanubari Vim. Di sana di lapangan yang disiapkan untuk mereka bermain bulu tangkis Vim melihat Vano dan Laras bersuka cita dalam kebersamaan. Ayunan raket mereka berlomba bergantian mengembalikan shuttle cock yang mereka berdua arahkan.
Vim memperhatikan dari jendela dapur. Ia akan mengambil minuman di lemari es saat suara tawa itu singgah di telinga Vim. Bahagia sekali Laras dan Vano.
Ada rasa yang menyentuh hati Vim. Entah apa namanya. Rambut Laras yang terikat dan bergerak ke ke kanan dan ke kiri laksana bandul jam itu membuat Vim tersenyum.
"Hah.. hah.. hah..kau selalu memberiku bola tinggi mas. Haahh..aku kesusahan meraih hah.. hah.."
Laras berhenti mengejar shuttle cock dan mengatur nafas.
Keringat bercucuran di wajah Laras. Kedua telapak tangannya bertumpu pada dengkul kaki.
"Hahaha supaya kau sering melompat dan badanmu lebih cepat tinggi!" Teriak Vano.
"Aku tidak mau bermain lagi. Aku lelah. Huuh aku lelah."
Laras duduk meluruskan kedua kakinya di lapangan. Nafasnya masih naik turun. Vim mengamati mereka dari kejauhan. Laras andai saja..
"Lap keringatmu. Bagaimana, kau masih mau main lagi atau tidak?"
"Cukup. Aku capek." Rengek Laras.
Wajahnya meminta belas kasihan.
Vano mengelap keringatnya dengan handuk kecil. Dia mendekatkan handuk tersebut ke penciuman Laras.
"Aaahhh bau tahu!"
"Hahahahaha...enakkan baunya."
Vano melarikan diri dari Laras menjauh mengitari lapangan. Laras berusaha mengejar Vano. meskipun tangannya tidak bisa menjangkau Vano. Tawa Vano lepas begitu saja berhasil mengerjai Laras.
"Awas..a..was..aku akan mendapatkanmu huuuh... Berhenti mas!"
Tapi Vano tetap berlari. Baru setengah lapangan Laras berhenti mengejar Vano. Laras terengah-
engah kembali. Wajahnya mulai cemberut menahan kesal dan matanya mulai merah menahan air mata. Vano mendapati perubahan wajah Laras lalu mendekati Laras.
"Uuuh gitu saja ngambek. Sudah jangan nangis. Dilap keringatnya.'
Vano meraih handuk kecil Laras dan menolong Laras mengeringkan keringat di wajahnya. Vim menarik nafas dalam. Seketika wajah Aurora muncul di benak Vim. Rasa itu selalu hadir bila Vim tiba-tiba mengingatnya. Rasa nyeri akibat ulah Aurora yang lebih memilih perjodohan dari orangtuanya daripada Vim. Vim beranjak pergi meninggalkan botol minumannya di meja.
...~~...
Masing-masing menuntaskan makan malamnya tak terkecuali Laras. Paling akhir adalah Laras dan ia akan membantu bibik membereskan meja makan setelahnya.
"Jadi minggu depan kita ke rumah Laras ya. Mengantar lamaran secara resmi. Vano sudah siap untuk bekerja."
"Mi sebaiknya aku menunggu mas Vim saja. Mas Vim duluan nikahnya." Vano mengutarakan
keinginannya.
"Bagaimana Vim? Sudah ada calonmu, biar papi dan mami melamar buatmu?"
"Vano saja duluan." Vim menjawab singkat.
Tak mengapa apabila Vano menikah terlebih dulu mendahului Vim. Bukan suatu masalah bagi Vim. Suatu saat cinta itu menyapa kembali, Vim akan menikah meskipun Vim merasa tak pasti menemukan pujaan hati yang bisa menyalakan lagi api cintanya.
"Katakan pada mami bila kau sudah memiliki calon istri. Mami dengan semangat akan membantu kalian."
"Belum mi. Lupakan saja. Vano duluan."
"Masih ada waktu mas. Dalam setahun ini kau bisa mencarinya."
Vano memberi semangat.
Busyet. Memangnya mudah menemukan calon istri dalam setahun, gerutu Vim dalam hati.
Seandainya calonnya adalah Laras masih mungkin. Siapa dan bagaimana Laras, Vim dan keluarga sudah mengetahui. Tapi sudahlah Laras sudah dijodohkan dengan Vano.
"Ras, lusa bantu aku di kamar membereskan barang-barang lama."
"Baik mas."
"Tunggu aku bangun tidur saja."
Laras menganggukkan kepala. Vim membersihkan mulutnya dengan tisu lalu pamit dari tempat itu. Menoleh sesaat kala namanya dipanggil oleh papi barusan.
"Vim papi mau bicara. Sebentar saja di ruang kerja."
"Ya pi."
Kedua lelaki itu berjalan menuju ruang kerja papi, sedangkan mami dan Laras membersihkan meja makan. Vano juga berlalu ke kamarnya.
"Sudah lama papi tidak mendengar ceritamu, bagaimana perkembangan di tempatmu bekerja."
"Oya pi lancar. Semua baik-baik saja. Papi jangan khawatir."
"Itu yang papi harapkan. Tidak terlalu mengecewakan. Papi harap ke depan ada kenaikan yang lebih baik lagi."
"Aku masih bertanggung jawab pi."
"Harus. Anak papi semuanya harus bisa. Mulai bulan depan ada Vano yang akan membantumu. Ajari dan bimbing adikmu untuk mengenal perusahaan."
"Tentu. Tiga bulan ke depan aku mengajari Vano. Aku menargetkan Vano harus bisa karena setelah itu aku akan menyusul mas Vadli."
"Kau mau bekerja dengan Vadli?"
" Bukan. Memulai usahaku di sana. Do'a kan aku pi."
"Tentu saja. Do'a papi bersama kalian semua. Kau butuh bantuan papi?"
"Sedikit tambahan dana pi."
"Boleh. Dengan perjanjian kau kembalikan sedikit demi sedikit seiring perkembangan usahamu. Bagaimana?"
"Setuju pi. Terima kasih pi."
"Papi harap di sana kau menemukan pendamping masa depanmu."
Vim tergelak menanggapi ucapan papi. Sebuah pengharapan yang Vim tidak tahu kapan bisa memenuhinya.
"Papi tahu kau bisa lebih hebat dari Vadli dan Viky. Ayolah bangkit dan raih masa depanmu. Lupakan masa lalumu. Di sekelilingmu banyak kok wanita-wanita cantik. Kau tinggal pilih atau mau papi jodohkan dengan anak perempuan kenalan papi?"
"Tidak perlu. Aku bisa mencari sendiri. Oya pi jangan cerita dulu sama mami kalau aku mau ke Australia."
"Ya tidak akan. Kau boleh pergi sekarang."
Malam belum terlalu pekat. Vim memutuskan untuk menemui teman-temannya. Janjian di club malam tempat mereka biasa berkumpul.
Di kamarnya Laras sedang menelpon orangtuanya.
"Besok Laras ke rumah ya Bu. Laras kangen masakan Ibu."
"Datanglah Laras. Bukankah Ibu Maharani memberikan izin padamu."
"Mami Maharani tidak keberatan kalau Laras tiap hari ke rumah. Cuma Laras harus kerjakan tugas kan bu."
"Iya nak. Besok jika waktu Laras longgar, Laras pulang sebentar ya."
"Iya bu. Ibu sudah makan? Ayah ada di rumah kan?"
"Ayahmu ada di rumah. Kami sudah selesai makan. Larita ada di kamarnya sedang belajar.
"Begitu. Ya sudah sekarang Ibu istirahat ya bu. Laras sayang sama Ibu."
"Iya nak Ibu juga sayang sama Laras. Baik-baik di sana ya."
"Iya bu. Daa Ibu..muaaah."
Laras tersenyum puas bisa berbicara dengan Ibunya. Waktu masih sangat panjang. Mata Laras belum merasakan kantuk. Menghabiskan waktu dengan membaca novel mungkin lebih baik daripada hanya berdiam diri.
Akhirnya cerita novel jua yang menemani Laras menghabiskan malam yang panjang. Berjam-jam Laras membaca novel itu hingga kuping Laras menangkap suara sedikit berisik di luar dekat jendela kamar Laras.
Laras menajamkan indera pendengarannya. Suara pintu dibuka dan suara seseorang seperti mengigau mengucapkan beberapa kata yang tidak teratur.
Kamar dengan pintu di luar itu adalah kamar Vim. Berarti Vim yang masuk ke kamarnya sendiri. Rasa penasaran menghinggapi
benak Laras. Laras keluar dari kamarnya dan melangkahkan kaki ke kamar Vim. Kamar Laras dan Vim memang berbatasan.
Pintu kamar Vim jarang ditutup. Hanya kain gorden yang menjadi penutupnya sehari-hari. Tangan Laras menyibakkan gorden sedikit, cukup buatnya mencari tahu apa yang terjadi di dalam.
Mata Laras menyaksikan Satpam sedang memapah Vim ke sofa dan membuka kancing baju Vim. Laras memberanikan diri masuk ke kamar Vim. Bau yang menyengat membuat Laras ingin muntah. Vim mabuk.
"Pak mabuk ya?" Tanya Laras setengah berbisik.
"Iya non."
Pak Satpam menggeleng-
gelengkan kepala memandang Vim. Kemudian menaikkan tubuh Vim ke atas ranjang. Vim terus meracau. Sebentar menyebut nama Aurora, sebentar kemudian memaki dan berkata-kata sendiri sampai akhirnya diam dalam tidur.
"Pak apakah sering Mas Vim begini?"
"Tidak juga non tapi dalam sebulan pasti ada seperti ini."
"Pak, Aurora itu.."
"Bekas pacarnya non. Mas Vim di tinggal nikah."
"Oo begitu. Ini pelariannya."
"Iya non. Kasihan mas Vim padahal mas Vim orangnya baik, pintar lagi. Karena itu saja dia jadi begini."
Pakaian Vim yang berbau alkohol dan rokok telah dilepaskan oleh Pak Satpam. Lalu celananya hanya dibuka kancingnya saja.
"Hidupkan AC non dan non tidurlah. Ini sudah sangat larut malam."
"Iya pak. Saya ke kamar lagi."
Sekali lagi Laras menatap wajah Vim. Kusut dan penuh derita di mata Laras. Betapa besar cintamu padanya hingga kau seperti ini. Tidak bisakah hatimu kau berikan pada yang lain yang lebih perduli padamu, Laras bergumam.
...~~...
Pagi menjelang, Laras berniat menjenguk keluarganya. Walaupun jarak mereka tidak terlalu jauh tetapi Laras jarang pulang. Bukan berarti ia melupakan kedua orang tuanya. Laras sadar diri ia hanya tinggal bersama keluarga Pak Dewantara. Untuk itu Laras harus bisa membawa diri di sana.
Melewati pintu pagar belakang, Laras mendapat banyak sapaan dari mereka yang bekerja dengan Ibu Maharani. Dari mereka ada yang sedang memberi cap kain polos, ada yang sedang mencuci kain-kain itu. Juga ada yang menjemur dan pada tahap akhir seseorang memasukkan kain yang sudah rapi ke dalam plastik.
"Laras mau kemana."
Itu adalah suara Pak Wido yang bertugas mencuci bahan-bahan jadi.
"Ke rumah Ibu, Pak. Mari Pak."
"Iya neng. Silahkan."
"Wah non Laras sudah cantik sepagi ini. Tidak diantar non?"
Giliran Bu Narti yang bertanya. Laras menggeleng dengan senyum simpul.
"Tidak bu. Saya sendiri saja. Mari Bu."
"Iya nak Laras. Hati-hati ya."
"Terima kasih bu."
Kendaraan yang lewat di jalan depan kediaman Pak Dewantara belum terlalu ramai. Sebentar lagi biasanya turis-turis lokal melalui jalan itu menuju lokasi pariwisata di daerahnya itu.
Kaki Laras mengayuh sepeda sejauh lima ratus meter hingga sampai di rumahnya. Meskipun disediakan sepeda motor Laras memilih menaiki sepeda dengan hiasan keranjang di depannya.
Rambutnya yang tergerai sepunggung menari-nari karena gerakan Laras.
Hatinya sudah tidak sabar menemui Ibu. Laras memanggil-
manggil Ibu hingga ke dapur.
"Ibu Laras pulang. Taraaaa.."
"Laras kamu mengagetkan Ibu.
Kamu dengan siapa nak."
"Laras sendiri bu. Kemarin Laras sudah minta izin sama Bu Maharani."
"Anak Ibu, kamu sudah sarapan belum. Itu Ibu sudah siapkan makan pagi. Ayah sudah keluar dari tadi. Larita masih tidur."
"Belum. Laras mau makan."
"Ya ambillah sesukamu. Bagaimana enak tinggal di rumah Ibu Maharani?"
"Enak Bu. Semuanya baik, kecuali.." Laras menggantung kalimatnya.
"Kecuali apa?"
"Hmmm..tidak ada bu. Semua baik kok sama Laras."
"Benarkah. Syukurlah kalau begitu."
Hampir dua jam setengah Laras menemani Ibunya di dapur. Kemudian Laras pamit kembali ke rumah orang tua angkatnya. Tak lupa ibu membekali Laras ikan Gurame goreng beserta sambal terasi untuk keluarga angkatnya.
Menyusuri jalan tadi yang dilalui Laras mengayuh sepedanya, Akan tetapi Laras merasakan sesuatu yang aneh dengan sepedanya yang tidak mau direm. Wajah Laras mendadak takut.
Jika Laras melewati pintu pagar belakang Laras akan bertemu dengan semua yang sedang bekerja. Yang Laras khawatirkan sepedanya bisa menabrak apa saja di depannya karena rem nya blong.
Jalan utama di pilih Laras. Kebetulan pagarnya kalau pagi masih terbuka lebar. Sepeda diarahkan Laras ke sebelah kanan rumah di mana ada kolam renang di situ. Seandainya jatuh masih aman kalau di kolam renang.
Laras membawa sepedanya ke kiri
kolam renang. Di pinggiran kolam renang Laras menurunkan kakinya untuk menghentikan sepeda. Sepeda oleng ke kiri.
Guuubraakkk.
Sepeda dan Laras membentur pintu di samping Laras. Tubuh Laras tergolek begitu pintu kaca itu terbuka. Laras Mengaduh dan memegang lengan kirinya yang sakit.
"Kau ngapain pagi-pagi berisik!"
Vim berdiri tegak mengamati Laras dengan wajah bangun tidur.
"Maaf, aku jatuh mas."
"Bangun! Kau tidak apa-apa kan.
Mengganggu saja!"
Vim meninggalkan Laras. Laras mencoba bangkit. Bukannya menolong malah dimarahin batin Laras.
"Apa yang sakit. Dioles minyak ini."
"Tidak..tidak ada yang sakit. Maafkan mengganggu tidurmu."
"Eee berikan obat ini dulu pada tanganmu baru kau bisa pergi."
"Tidak apa-apa kok mas. Nggak sakit."
"Sekarang tidak terasa sakit. Besok kau bangun tidur akan terasa sakitnya. Kemarikan lenganmu."
Laras takut Vim akan marah. Laras memajukan lengan tangan kirinya.
"Aku mengoleskan sendiri. Tolong tuangkan minyak itu ke telapak tanganku."
Vim menuangkan minyak tawon ke tangan Laras. Sesaat Vim menyaksikan lengan atas Laras yang terbuka. Itu saja sudah membuat Vim menelan salivanya. Sialan calon adik ipar gue cantik dan bening, ucapnya pada diri sendiri.
"Sudah mas. Terimakasih minyaknya mas."
Laras melihat senyum samar milik Vim. Ia pun melangkah keluar mengambil sepedanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
°•Anne's chaa•°
Lanjut baca, semangat ❤️
2021-11-28
1
TK
lagi
2021-11-06
3
Jo Doang
bagus ceritanya kak.. salam pocong family dan Kepala Suku
2021-10-31
3