Ketika Cinta Hadir
Ini adalah novel kedua.
Baca juga novel pertama ya, Semburat Jingga.
Tokoh dan cerita adalah fiktif, tidak berhubungan dengan siapapun
Jangan lupa like, comment & vote 🤗😙
Bau yang dihasilkan dari proses pengerjaan kain panjang dengan berbagai motif itu sangat khas.
Bagi mereka yang bekerja di situ sudah sangat terbiasa dengan baunya tapi bagi Laras baunya sangat asing. Mungkin kelak ia menjadi terbiasa dengan semua itu setelah ia menjalani hari-
harinya di rumah itu.
"Ini lima macam Bu Rani. Sekalian bahan dasarnya saya ambil, boleh Bu?"
"Boleh. Tentu saja."
Bu Maharani mengambilkan Bu Ati bahan polos tanpa motif beserta perlengkapan untuk melukis kain itu dan menyerahkan kepada Bu Ati. Selesai dengan urusannya, Bu Ati pamit pada pemilik rumah dan tempat usaha itu. Tinggal Laras bersama Ibu Maharani.
"Nak Laras ada perlu apa?"
"Ini Bu saya diminta Ibu mengantarkan ini."
Laras menyerahkan barang yang dibawanya. Sama seperti Ibu Ati, Ibunya Laras juga bekerja dengan Ibu Maharani. Hanya saja mereka tidak datang ke tempat si pemilik usaha melainkan hanya datang mengambil bahan dan di rumah mengerjakannya. Bila telah diberi motif diserahkan kembali kepada Ibu Maharani untuk dijual.
"Oiya, letakkan di sini saja. Sekalian mau ambil bahan kan?"
"Iya bu. Kata Ibu dua saja dulu."
"Baiklah. Ini bahannya. Hmmm Laras, kamu tidak menyambung sekolah lagi?"
Laras menggeleng. Keadaan ekonomi orang tuanya tidak memungkinkan Laras melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Tidak bu, ayah tidak ada biaya."
"Jangan terlalu bersedih ya Laras. Memang kadang-kadang apa yang kita inginkan tidak selalu menjadi kenyataan, tapi kita tetap harus bersemangat."
"Iya Bu. Saya permisi dulu Bu."
Ibu Maharani menganggukkan kepala dan memperhatikan punggung Laras. Laras yang membuat Ibu Maharani tertarik untuk menjadikannya anak perempuan dalam rumah itu karena Ibu Maharani memiliki
tiga orang anak laki-laki, tidak satupun anak perempuan.
Apa yang Ibu Maharani inginkan kini tercapai. Laras sudah tinggal menetap di rumah pengusaha di kotanya itu sesuai permintaan Ibu Maharani.
Baginya cita-cita untuk bersekolah tinggi haruslah dikesampingkan demi melihat kedua orang tuanya bahagia. Terutama ayah, ayah sangat mendorong Laras agar mau menerima ajakan Ibu Maharani untuk tinggal bersama beliau dan menjadi anak angkatnya. Kata ayahnya di sana Laras akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bisa melanjutkan kuliah dengam bantuan Ibu Maharani. Toh rumah mereka juga tidak berjarak jauh, hanya lima ratus meter pulang pergi.
Laras dibolehkan mengunjungi kedua orangtuanya kapanpun ia mau, tapi Laras sangat tahu diri sehingga ia memilih ujung minggu saja sebagai hari baginya pulang ke rumah.
"Catat saja yang menyerahkan kain dan yang mengambil kain polos. Ini buku-bukunya. Kamu mengerti Laras?"
"Mengerti Ibu."
"Dan satu lagi, mami minta tolong kamar yang itu dibersihkan kalau Vim tidak ada. Oiya jangan panggil Ibu tapi panggil saja mami sama seperti kakak-kakakmu yang lain."
"Baik mi."
"Nah ini kamarmu. Letakkan barang-barangmu pada tempatnya."
Ibu Maharani mengajak Laras masuk ke kamar yang lumayan besar di bagian tengah rumah tersebut.
"Anggap seperti rumahmu sendiri, mulai sekarang kamu seperti anak mami yang lainnya."
"Terima kasih mami.Laras tidak tahu mau mengucapkan apa lagi sama mami. Mami sudah baik sama Laras, jadikan Laras anak asuh mami."
"Mi..Mi! Mami di mana?!"
"Mami di sini Vim."
"Di Mana?!"
"Di kamar ini. Ada apa?"
"Huuhh mami ngapain di situ. Di sini kan kos_mengapa dia di sini?"
Anak Ibu Maharani yang ke tiga itu memperhatikan Laras dari atas sampai ke bawah dengan tatapan penuh kecurigaan. Keangkuhan mewarnai sikapnya. Hidungnya yang tinggi membuat dia semakin kelihatan angkuh dan tidak ramah.
"Mulai hari ini Laras tinggal di sini, dia bagian dari keluarga kita. Anggap dia sebagai adikmu."
"Tidak terlalu penting mi."
Lelaki itu Vim abang dari Vano, tidak menghiraukan ucapan Ibunya.
"Vim, Laras bisa membantu kerjaan mami di sini. Mulai sekarang dia akan membereskan kamarmu. Ingat Vim jangan dimarahi."
"Hah apa mi? Bibik ke mana?"
"Bibik sekarang menyediakan makanan untuk orang kerja, supaya tidak kena semprot sama kamu. Kamu itu bagaimana bibik bisa tahan sama kamu, kalau kamu suka uring-uringan."
"Ya Bibik kok di pindah tugas sih mih. Apa dia bisa bekerja sebersih bibik?"
Telunjuk Vim mengarah ke Laras. Sedari tadi Laras cuma seperti patung, mendengarkan saja percakapan Ibu dan anak itu.
"Ya bisa dong. Kamu meragukan kemampuan Laras?"
"Anak ingusan begitu." Bagian atas bibir Vim terangkat sedikit.
"Eeee Vim, bicaramu..."
"Aku keluar mi, pakai mobil mami."
"Kok pakai mobil mami Vim! Vim!"
Ibu Maharani mengejar Vim tapi yang dipanggil sudah menghilang dengan mobil warna pink milik Ibunya. Ibu Maharani menyesal meletakkan kunci mobil di atas meja kerjanya, sehingga Vim mudah mengambilnya. Biasanya Ibu Maharani meletakkan di kamarnya.
Seenaknya saja ia menyebutku anak ingusan. Apakah tidak aneh, badan dengan body atletis menggunakan mobil warna pink, pikir Laras.
"Ya sudah Laras, kamu bisa istirahat dulu atau berkenalan lebih jauh dengan bibik-bibik di belakang. Sore besok mulai bantu
mami ya."
"Iya mi. Laras mau beresin baju dulu."
"Ya. Setelah ibadah malam, kita makan bersama. Ingat jangan telat ya, yang muda tidak boleh telat."
Laras tidak keberatan sama sekali tinggal dan diberi tugas di situ karena Ibu Maharani yang baik hati. Sangat berbeda dengan anaknya yang tadi sempat menebarkan aroma keangkuhan.
...~~...
Saatnya makan malam tiba, semua sudah menempati posisi di kursi masing-masing, ada papi, mami, Vim dan Vano. Vim kelihatan resah dan Vano sibuk dengan gadget di tangan. Lama sekali anak itu, perutku sudah tidak bisa diajak kompromi batin Vim.
Vim mulai memainkan sendoknya tanda kebosanan melanda, sejurus kemudian kursi yang diduduki telah bergeser ke belakang dan Vim berdiri. Papi memperhatikan melalui ekor matanya dan mami menggelengkan kepala.
"Lambat banget keluarnya, cepatan semua sudah menunggu."
Pintu kamar terkuak lebar. Di dalam ruangan kamar, Laras meringis memegang perutnya yang sakit.
"Maaf. Katakan pada semua aku tidak ikut makan malam. Perutku sakit."
Vim memperhatikan dengan seksama sesungguhnya Laras benar-benar sakit atau hanya berpura-pura. Hatinya tergerak ingin menolong dan menawarkan obat tapi memorinya bertindak lebih cepat menampilkan rekaman beberapa bulan lalu tentang kekasihnya yang memilih orang lain daripada Vim.
Menolehkan luka dan bekas yang belum kering sampai-sampai Vim menjadi sangat mengutuk wanita.
Ia mulai membenci wanita sejak saat itu.
"Berikan perutmu minyak angin."
Intonasi suara Vim sedikit lebih rendah daripada sebelumnya, masih ada sisa kelembutan untuk makhluk yang disebut wanita. Dirinya iba melihat wajah Laras agak pias.
"Aku tidak punya minyak angin."
Demi mengingat orangtua dan adiknya yang sedang menunggu di meja makan, Vim meninggalkan Laras. Makan malam sudah lewat dari jam semula.
"Dia sakit perut. Mengapa tidak mengatakan sebelumnya. Kita menunggu lama."
"Sakit perut? Kau tanyakan karena apa?"
"Tidak mi. Buat apa ditanyakan."
"Dan kau tidak memberinya obat Vim?"
"Aku terlalu lapar malam ini mi. Mami bisa memberinya obat nanti."
Keheningan di meja makan kembali terasa, dentingan sendok dan garpu sama sekali tidak terdengar.
"Aku duluan. Ada tugas yang harus kuselesaikan."
Vano lebih dulu menyelesaikan makan malam diikuti papi dan mami. Vim paling akhir karena tadi menambah porsi makannya.
"Vim, ke sini tolong sebentar."
Hampir saja Vim melewati pintu kamarnya sendiri tatkala Vim mendengar namanya dipanggil mami. Kamar Vim dan Laras bersebelahan.
"Ada apa mi."
"Vim tolong naikkan Laras supaya bisa berbaring di kasur. Kasihan sekali adikmu. Mami mau ambilkan minyak angin."
Dia bukan adikku, darah kami berbeda, Vim berkata di dalam hati. Dari garis keturunan sama sekali tidak ada pertalian darah. Sebaiknya disebut adik ketemu gede saja.
"Dari tadi belum."
"Aku bisa sendiri, tidak perlu dibantu." Laras menolak untuk ditolong.
Sebisa mungkin Laras bangkit tapi baru mencoba mengangkat badannya untuk berdiri, sakit yang Laras rasakan pada perutnya bertambah hebat hingga membuat Laras hampir hilang keseimbangan.
Tangan Vim yang kekar menahan tubuh Laras dan punggung Laras bersandar di dada Vim. Keharuman rambut Laras yang terurai mengalirkan desiran halus di dada Vim. Dia segera mengangkat Laras dengan kedua tangannya dan meletakkan Laras
di atas pembaringan.
"Mana yang sakit Laras. Mami olesi minyak angin."
"Laras bisa sendiri mi."
"Ya, ambillah minyak ini."
Minyak angin sudah diberikan oleh mami tapi Laras urung mengusapkannya pada perut sebab dilihatnya Vim masih berdiri di hadapannya. Mata Laras mengarah pada Vim.
"Pergilah aku segera mengoleskan obat ini. Apa kau ingin melihat perutku?" Laras bertanya pada dirinya sendiri, tanpa berani mengutarakan pada Vim.
"Ada apa dengan Laras mi. Kenapa dia?"
Vano datang dengan kecemasan di raut wajahnya.
"Laras sakit perut. Mungkin Laras masuk angin."
"Aku ambilkan air teh hangat dan makanan."
"Jangan. Jangan mas, aku bisa makan di dapur nanti."
"Kamu pasti tidak akan melakukannya. Minum teh hangat dan roti ya. Aku ambilkan."
Kesempatan bermain bersama yang telah terbentuk sejak mereka masih kanak-kanak tak membuat mereka berjarak sebagai teman, Laras dan Vano sangat dekat. Bahkan Vano terlihat lebih melindungi Laras apabila ada teman-teman mereka yang membuat Laras menangis.
"Manja sekali. Sebentar lagi kau suapi dia Van hhhh...Letakkan saja nampan itu di sebelahnya."
"Vim biarkan saja Vano menolong Laras."Ibu Maharani menyela.
Sepertinya mami dan Vano sudah tersihir oleh Laras, pikir Vim. Perhatian mereka tercurah buat Laras, perempuan yang mau tidak mau harus dianggap sebagai adik oleh mereka.
Senyum Vano mengembang melihat Laras menghabiskan makanannya. Nampan di sebelah Laras diambil kembali oleh Vano menjadikan Vim semakin tidak suka.
"Laras, istirahatlah nak. Vim, Vano ayo keluar."
"Ya mi."Laras menjawab ucapan Ibu angkatnya itu.
Pandangan Laras mengikuti mereka bertiga meninggalkan Laras dalam kesendirian. Untuk saat ini Laras merasa bersyukur berada di antara mereka meskipun sikap Vim pada Laras tidak seramah Vano.
...~~...
Laras mulai disibukkan dengan kegiatan di rumah barunya. Membersihkan kamar Vim setelah kamar itu kosong ditinggal pemiliknya pergi bekerja, menyiapkan makanan para pekerja di meja setelah dimasak oleh tukang masak dan menerima hasil pekerjaan Ibu-ibu yang telah selesai menuntaskan melukis kain panjang mereka. Untuk barang dagangan yang siap dipasarkan tidak setiap hari para Ibu rumah tangga itu mengantarkan ke rumah Ibu Maharani.
Semua itu tidak melelahkan bagi Laras. Kamar Vim tidak terlalu kotor dengan sampah, Laras hanya perlu merapikan tempat tidur, menggantung pakaian yang diletakkan secara acak di sofa atau di tempat tidur, kemudian membawa baju kotor ke belakang.
Laras meluruskan badannya setelah mengambil handuk dan celana pendek yang tergeletak di pinggir tempat tidur ketika suara Vim membuat Laras berjengit kaget.
"Berapa lama kau membereskan
kamar ini. Aku mau istirahat. Minggir."
Suara Vim ketus. Laras menggantungkan handuk pada tempatnya dan juga celana yang sedang dipegang Laras.
"Aku sudah selesai. Tidak bisakah mas berkata dengan volume rendah."
"Tidak bisa. Ini masih volume rendah. Sebaiknya kau cepat keluar, aku sudah mengantuk."
Tapi Vim memperhatikan Laras tidak berjalan keluar kamarnya melainkan berjalan mendekati nakas.
"Aku memintamu keluar. Mau apa ke situ?"
"Maaf aku ambil ini."
"Ya sudah, cepat keluar. Kau menggangguku."
Ikat rambut Laras hampir saja tertinggal dan bisa menjadi penghuni keranjang sampah milik Vim jika Vim membuangnya ke situ. Secara Vim suka senewen sama Laras tanpa alasan yang jelas. Bila berbicara pada Laras sering dengan nada tinggi.
"Lama banget jalannya.Keong!"
"Jika aku keong, mas_.."
"Berani kau.."
Laras buru-buru menutup pintu kamar Vim sebelum kata-kata Vim yang pahit menghujani Laras lagi.
Tidak penting Vim menyukainya atau tidak, Laras tidak terlalu memikirkan itu. Menurut Laras
ucapan Vim padanya hanyalah kalimat-kalimat biasa yang tak perlu dihiraukan dan dimasukkan ke dalam hati.
Laras tidak merasa rendah diri dengan pekerjaan yang diberikan padanya. Selain Laras sudah dianggap sebagai bagian dari rumah itu, Laras pun diberikan uang setiap bulan dari hasil keringatnya bekerja di situ. Di luar dari uang saku yang diberikan setiap hari oleh Pak Dewantara suami dari Ibu Maharani.
Dari situ Laras bisa menabung uangnya sendiri setelah sebagian ia berikan kepada ibunya. Di satu sisi Laras senang menghasilkan uang dengan hasil keringatnya sendiri namun di sisi lain Laras merasa kehilangan masa muda
nya terutama kesempatan untuk menuntut ilmu.
"Non Laras, mas Vim ada di dalam?"
"Ada Pak, kenapa Pak? Kelihatannya mau tidur."
"Ada tamu ini non. Bagaimana ya."
"Bapak coba saja bangunkan. Saya tidak berani."
"Baiklah non."
Laras memilih berlalu dari ruang keluarga yang sangat luas dan mencari tahu siapa tamu Vim.
Di dekat sofa ruangan tamu Laras mendapati seseorang berdiri sedang menunggu.
Baru saja Laras menganggukkan kepala kepada tamu dan sang tamu juga melakukan hal yang sama dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Akan tetapi Vim yang telah muncul mengarahkan Laras tidak berada di situ.
"Masuk Laras. Biarkan kami berdua. Mami mencarimu di dalam."
"Oh mami sudah pulang mas."
"Ya. Pergilah. Kapan kau datang Ed. Tidak memberi kabar sebelumnya?"
Barangkali kehadiran Edo yang memaksa Vim berbicara sedikit lunak pada Laras untuk menjaga martabatnya. Kedua lelaki dewasa itu saling berangkulan.
"Kemarin siang. Kau sehat?"
"Sehat. Kau juga sehat?"
"Beginilah. Berarti kau tidak ke Jepang lagi?"
"Masih, untuk liburan saja. Sepertinya aku memilih gadis sini saja."
"Hei mau kau kemana kan gadismu di sana."
"Ahh hatiku tidak terikat di sana. Naluriku memanggilku untuk kembali dan Tuhan memberikan jalan melalui perusahaan yang mengirimku kembali ke sini."
Laras kembali dengan baki berisi minuman buat Vim dan temannya.
Minuman diletakkan dengan sangat hati-hati. Edo mencuri pandang ke wajah Laras dan Vim memperhatikan Edo.
"Di mana Bibik?"
"Bibik di dapur mas, kebetulan ketemu aku dan memberikan minuman ini."
"Ya sudah kalau begitu."
Pandangan Edo tak pernah lepas dari Laras yang kembali masuk ke ruangan keluarga, sampai Laras tidak kelihatan lagi.
"Woiii..ckck matamu."
"Siapa dia? Pembantu?" Tanya Edo
"Bukan. Dia adikku. Jaga pandanganmu darinya."
"Adik? Setahuku adikmu cuma Vano."
"Ini adikku juga.Titik. Jangan coba-coba dekati dia."
Mata Edo membelalak.
"Kau tidak percaya padaku. Titip salamku padanya ya."
"Tidak. Tidak ada titip salam segala."
"Busyettt..Gimana laki-laki mau mendekat jika belum-belum sudah kau cekal begitu. Yang benar saja."
"Aku beneran ini. Jangan dekati dia, jika kau langgar kau berhadapan denganku."
"Waduh. Benar-benar memang."
"Bagaimana jadi kau merayakan kepulanganmu? Dimana?"
"Tempat kita biasa ke sana. Besok malam saja. Aku akan menghubungi Dion."
"Minumlah. Dari tadi kau hanya berbicara. Tidak kering tenggorokanmu."
"Hahaha..Iya aku haus. Hmmm ini pasti manis seperti yang membawanya tadi."
"Ya..ya.. dan kau harus puas hanya memandangnya saja ya. Selebihnya tidak."
"Haha..jika takdir membuatku memilikinya kau mau bilang apa. Siapa namanya?"
"Laras. Dia adikku. Awas jika kau berani mendekatinya."
"Hai bro. Aku temanmu. Percayalah."
"Omong kosong apa ini. Kau cuma mau membahas hal itu saja? Buang-buang waktu."
"Hei aku baru datang dan ingin bertemu denganmu. Sorry aku mengganggu istirahatmu. Jadi berikan aku kesempatan mendekati Laras ya."
"Kau serius?"
Kepala Edo mengangguk.
Vim jadi heran dengan Edo yang bersemangat membicarakan Laras. Padahal Edo baru kali ini bertemu dengan Laras. Terselip rasa khawatir di sanubari Vim seandainya Edo berhasil menarik perhatian Laras, kemudian Laras menyukai Edo. Hatinya tidak rela untuk itu meskipun Edo adalah salah satu sahabatnya.
"Kau sendiri bertahan begini terus. Sampai kapan kau hanya memberi harapan palsu pada gadis-gadis itu. Waktunya memikirkan dirimu sebelum kau dilangkahi Vano."
"Mereka yang datang padaku. Aku tidak pernah memulai duluan."
"Tapi kau menanggapi mereka, hingga mereka bergantung padamu dan akhirnya kau tinggalkan begitu saja."
"Hanya itu dan tidak lebih." Vim mencoba menepis ucapan Edo.
Edo menarik nafas panjang dan menghembuskan kembali. Meluruskan punggung menjadi sembilan puluh derajat dengan pahanya.
" Aku pulang dulu Vim. Sambung nanti malam."
Mesin mobil milik Edo telah menyala tanda sebentar lagi akan dibawa pemiliknya meninggalkan halaman rumah temannya. Senyumnya merebak manakala matanya menangkap pergerakan Laras dari kaca mobil. Vim bisa melihat itu dan segera melambaikan lima jari sebagai kode agar Edo segera pergi.
"Ras ngapain di situ?"
Vim bertanya pada Laras yang berdiri di samping kolam ikan.
"Sepertinya ikan-ikan lapar, aku ingin memberinya makan."
"Kau tanya dulu Pak Is, sudah diberi makan atau belum."
"Ya mas tapi aku tidak melihat Pak Is dari tadi."
"Buatkan aku kopi susu saja dan bawa ke kamar."
"Ya sebentar, aku buatkan."
Vim membalikkan badan meninggalkan Laras. Aneh dia merasakan gemuruh di dadanya barusan. Laras anak kemarin sore itu yang masih berumur sembilan belas tahun mengguncang hatinya.
Gerak-gerik Laras, rambutnya yang tergerai dan pipi Laras yang kemerahan terkena pantulan sinar matahari mampu membuat Vim terpana dan tak mau memalingkan wajahnya dari Laras Sesungguhnya Laras itu cantik alami.Vim enggan mengakuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
mampir di sini 😍 salam kenal 🙏
2022-03-05
0
Lora Widodo
nyimak
2022-02-07
1
°•Anne's chaa•°
Mampir, semangat 🤗
2021-11-24
1