Kabar pertunangan Iva dan Ben cepat menyebar ke seluruh penjuru kota. Bahkan menjadi headline di beberapa radio dan majalah regional. Ben yang memang merupakan tokoh party kelas atas selalu berdekatan dengan dunia hiburan.
Tentu saja kabar itu dengan mudah sampai ke telinga Aarav. Meski ia tidak menyaksikan sendiri, namun ia bisa melihatnya dari berbagai media sosial. Hal ini membuatnya terdorong untuk segera berbicara serius dengan Iva.
"Aku mau bicara. Aku tunggu di cafe tempat kita biasa bertemu." pinta Aarav pada sebuah sambungan telepon dengan Iva.
"Aarav, apakah kamu benci padaku?" tandas Iva dengan suara bergetar
"Apakah aku ada hak untuk membencimu?" Aarav menjawab pertanyaan dengan kembali bertanya.
"Iva kita segera berangkat ke cafe saja ya. Aku tidak bisa bicara di telepon," ajaknya sambil menutup telepon.
Iva terdiam, menatap karin yang sedang asyik bermain game online di sebelahnya. Karin mengerti makna tatapan sahabat kentalnya.
"Oh noooo...!! No.. No.. No..!!" tolak Karin.
"Sebentar saja, Rin," iba Iva memelas.
"Kamu gila? Kalau keluarga Ben tahu kamu masih hubungan sama Aarav, bisa-bisa bubar semua pertunanganmu! Ingat aset! Aset! Aset!" Tangan Karin mengetuk-ngetuk kepala Iva pelan.
"Pleaaaassseeeee...." Iva merengek.
"Haduuuuuh... Ya sudah ayo!" gerutu Karin mengambil kunci mobil.
"Kamu hutang budi sama aku lho ya. Karena itu aku. menuntut carikan teman Ben yang keren, cakep, baik hati. Tidak seperti tunanganmu yang playboy itu!" canda Karin berjalan menuju pintu keluar diiringi gelak tawa Iva.
"Kalian mau kemana?" Tiba-tiba suara Ben menggelegar di belakang mereka. "Kok tunanganmu yang playboy ini tidak diajak?" lanjut Ben menyindir.
Iva dan Karin terkejut dan langsung pucat pasi. Sejak kapan Ben ada di rumah ini? Dan apakah ia mendengar semua percakapan sebelumnya? Tentang Aarav?
Baik Iva maupun Karin tidak ada yang berani menjawab. Berkali-kali mereka menelan ludah untuk menutupi kegugupannya. Dua sahabat saling berpandang-pandangan tidak tahu harus berkata apa.
"Kalian itu udah besar masih hobi ya main patung-patungan kayak begini?" kesal Ben sambil menghempaskan dirinya ke atas sofa. Pandangannya menatap Iva penuh selidik.
"Eeemmm... Eh itu.. kita.. kita mau ke mall" dusta Karin berusaha menyelamatkan hidup Iva.
"Ke mall shopping apa mau cari cowok?" tanya Ben sinis.
"Cari cowok lah," tukas Iva. Ia berharap Ben akan emosi dan segera pergi meninggalkannya.
Ben berdiri dari sofa dan melirik Iva, menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki.
"Kamu cantik lho, Va.. Kok murahan amat cari cowok di mall?" Kembali Ben merendahkan Iva.
Seketika darah Iva terasa mendidih dan sampai ke Puncak ubun-ubunnya. Ia mendatangi Ben dengan tangan gemetar menahan emosi. Seumur hidupnya, belum pernah ia mendapat penghinaan seperti ini.
PLAK!!!!!!!!!
Tamparan keras Iva mendarat di pipi Ben. Pemuda tampan dan berbadan tegap itu terkejut. Sama sekali ia tak menyangka Iva berani menamparnya. Kulit putih bersih diwajahnya memerah dengan bentuk telapak tangan.
Baru kali ini ada seorang perempuan berani marah bahkan menamparnya. Biasanya, perempuan manapun akan bertekuk lutut dan bersedia diperlakukan seperti apapun olehnya.
"Dasar perempuan gila!!" Ben mencengkram kedua pergelangan tangan Iva sembari mengguncang-guncangkan tubuh tunangannya.
"Minta maaf sama aku!!" bentak Ben menarik tubuh Iva dengan kasar. "Cepaaaattt...!!!" hardik Ben kembali.
Iva menjerit dan mengaduh. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Ben. "Lepaskan aku...!!" jerit Iva.
Seketika Bu Lelly keluar dan melongo melihat tingkah polah anak dan calon mantunya.
"Eeeeh kalian apa-apaan berantem kayak anak kecil?!" teriak Bu Lelly mendatangi.
"Dia tampar aku, tante," adu Ben menunjukkan pipinya yang merah.
"Dia bilang aku murahan, Bu!" jerit Iva mulai terisak.
Bu Lelly menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah ayo saling minta maaf dan berbaikan. Dalam enam bulan lagi kalian akan menikah. Tidak baik saling kasar seperti ini. Emosi itu boleh tapi jangan berlebihan," tutur Bu Lelly bijak.
"Karin, ayo tinggalkan mereka berdua. Supaya mereka bisa berbaikan." Bu Lelly menggandeng tangan Karin pergi meninggalkan ruang keluarga.
"Emmm.. Va, aku kabari Mila ya kalau kita tidak jadi datang ke mall," ucap karin mengganti nama Aarav dengan Mila, salah satu sahabat mereka bersama.
Iva mengangguk lemah. Air matanya cepat ia keringkan. Tidak sudi ia menangis di depan Ben.
"Heh! Kamu denger ya, seumur hidup, baru kamu yang tampar aku kayak tadi! Belom jadi isteri udah kurang ajar kamu ya!" Kembali Ben memaki Iva.
Gadis berambut ikal dengan kulit putih bagai susu itu terdiam. Ia tidak ingin menanggapi Ben. Hatinya sudah terlanjur kecewa tidak bisa bertemu Aarav siang ini.
"Malah diam??? Maumu apa sih Va?" dengus Ben.
Iva menggeleng pelan. Lebih baik diam daripada memperpanas suasana, pikir Iva. Dan perasaan menyesal mulai muncul. Kenapa ia tidak bisa menahan amarah pada Ben? Kenapa ia membiarkan Ben memprovokasi emosinya?
Kalau saja keluarga Ben tidak terima dengan perlakuan kasarnya bagaimana?
Kalau pertunangan mereka dibatalkan bagaimana? Iva terhenyak. Bayangan penyitaan berbagai aset perusahaan sang ayah muncul di angannya.
"Va.. Kamu mendadak bisu?" Ben tetap terus mengejar dan menghina Iva.
"Aku minta maaf, Ben." ucap Iva datar.
Ben kembali terkejut. Dalam bayangannya Iva akan semakin mencak-mencak dan meminta pertunangan mereka dibatalkan.
"Aku cuma bisa berharap lain kali kamu jaga mulutmu. Sehingga aku tidak perlu selalu sakit hati setiap kamu bicara," lanjut Iva sembari berlalu dan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Kalau kamu selalu sakit hati, kenapa tidak kamu minta batalkan saja pertunangan kita?" Ben mengejar Iva.
"Dan menyakiti hati kedua orang tua kita?" tanya Iva jengah terhadap kekacauan pikiran Ben.
"Aku dipaksa menikah dengan kamu. Kalau aku tidak mau, aku diusir dari rumah. Kalau kamu? Apa yang orang tuamu paksakan kepadamu?" tanya Ben menghentikan langkah Iva.
Kini Iva baru menyadari. Ben ternyata tidak tahu menahu akan kebangkrutan perusahaan ayah Iva.
Hal ini merupakan sebuah nilai plus untuk Iva. Paling tidak, ia tidak harus merasa rendah karena telah menyodorkan diri di depan Ben demi aset perusahaan.
"Aarav, pacarmu itu, dia tahu kita sudah tunangan?" Ben bertanya kembali dan membuyarkan pemikiran Iva.
"Ga usah sebut nama Aarav. Tidak pantas namanya kamu sebut-sebut, " tukas Iva ketus.
"Kenapa? Apa dia lebih baik dari aku?"
"Sepuluh ribu kali jauh lebih baik dari kamu!"
Iva segera masuk kamar dan menutup pintunya. Akhirnya bisa terbebas dari Ben, pikir Iva.
"Lebih baiknya dimana?" Ternyata Ben tetap mengikuti bahkan menerobos masuk kamar Iva.
"Ngapain kamu disini?? Keluar!!" usir Iva mendorong Ben ke arah pintu.
Ben yang pertama berada di posisi terdorong keluar, mendadak secepat kilat membalikan badannya dan memeluk Iva erat. Membuat gadis itu membeku ketakutan.
"Bagaimana Aarav bisa lebih baik dari aku? Sementara aku yang ada di kamarmu, sambil memeluk kamu? Menikmati harum tubuhmu?" bisik Ben mesra pada Iva.
"Dasar playboy!! Rayuan gombal!!" Iva mulai marah dan mendorong Ben menjauh darinya sampai telepon genggam Ben terjatuh.
Tetiba telepon itu berbunyi. Wajah perempuan cantik khas blasteran bule muncul di layar. Tertulis nama perempuan itu. Kayana. Nama dan wajah yang tidak asing bagi Iva.
"Tuh.. Kayana udah nyariin," ucap Iva sebal.
Kayana adalah masa lalu Ben. Satu-satunya gadis yang menurut gosip, benar-benar membuat Ben pernah bertekuk lutut. Satu-satunya gadis yang pernah membuat Ben sakit hati, merasa kehilangan, dengan meninggalkannya pergi ke luar negeri selama beberapa tahun.
Iva kenal dengan Kayana. Karena mereka memiliki pertemanan masa kecil bersama. Termasuk dengan Karin, Mila dan tentunya... Ben.
Anak-anak para orang kaya di kota memang kerap bersekolah dan bercengkrama di tempat yang sama. Dimana pada akhirnya, mereka biasanya akan dijodohkan. Sama seperti Iva dan Ben.
Iva sudah merasa kalah di awal jika harus bersaing dengan Kayana dalam kepantasan mendampingi Ben. Secara fisik dan harta, jelas Kayana ada di atasnya. Bahkan keluarga Kayana memiliki harta kekayaan diatas keluarga Ben.
"Yes baby?" Ben menjawab telepon. Suara Ben terdengar mesra dan bahagia sekali. Mereka berdua kemudian tertawa-tawa. Sesekali Ben melirik Iva yang kini juga sibuk dengan telepon genggamnya.
"Kamu ngapain sih?" Ben menarik telepon genggam Iva dengan mendadak. Iva kaget dan shock. Kenapa Ben bisa tidak terlihat saat mendekat?! Jerit Iva dalam hati.
Ben melihat telepon genggam Iva yang masih belum terkunci. Gambaran masa lalu penuh cinta Iva dengan Aarav terpampang jelas disitu. Ben melihatnya dengan wajah geram.
"Gila aja, kamu sudah jadi tunangan aku, tapi masih kangen sama cowok lain?? Sampai sebegininya kamu harus lihat-lihat foto kalian berdua? Hapus!!" perintah Ben pada Iva dengan marah.
"Kamu juga sudah jadi tunangan aku tapi masih manggil perempuan lain baby?? Makanya berkaca sebelum ngomel! Tuh kaca rias aku besar banget," cibir Iva sambil mengambil dan mengunci kembali telepon genggamnya.
"Kemarin bilang pacaran sama Tiara? Model super sexy, sekarang sama Kayana? Besok sama siapa?"
Ben terdiam. Kali ini ia tidak bisa membalas kalimat Iva. Ia merasa ditampar lagi oleh Iva. Tapi dengan cara yang halus. Melalui kalimat demi kalimat.
Terdengar suara Pak Henry memanggil dari bawah. Ben harus pulang. Tanpa pamit, tanpa ucapan apapun, dan tanpa tatapan sedikitpun, Ben berlalu.
***
***Teaser Next Chapter :
Aarav menghela nafas panjang. "Iva.. aku tidak bisa berkata banyak saat ini. Yang aku bisa katakan adalah aku mencintai kamu, dengan sangat besar. Tentang Ben, aku sungguh tidak tahu harus berkata apa..." ucapnya jengah.
"Kamu sadar kan bahwa aku tidak ada pilihan? Menikah dengan Ben atau bisnis Ayah hancur!"
"Iya aku tahu. Dan sebagai seorang anak, kamu harus membantu ayahmu."
"Jadi kamu setuju aku menikah dengan Ben?!" Iva mendelik dan menaikkan intonasi suaranya***.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Lia Rosita
Hadir Thor. Salam dari LAGU CINTA ELLENA
2021-05-04
2
𝑨͢𝒔𝒌𝒂
next 🤗
2021-04-20
2