Dalam perjalanan ke tempat keluarga Zello, Veron melihat Zello yang terus menatap lurus ke jalan. Terlihat sangat angkuh.
'Apa bagusnya lelaki ini, bahkan sampai Anita tadi menganga melihat dirinya?'
Suasana dalam mobil benar-benar hening. Veron juga tidak bisa menebak suasana hati Zello. Apa Zello tidak mengingankan dirinya atau memang wajah Zello tercipta seperti itu, tampang datar,dingin?
"Tuan Agra, apa boleh saya nyalakan musiknya?" Veron benar-benar nggak tahan dengan terus membungkam mulutnya.
"Hm." Saut singkat Zello.
Entah sudah berapa lama perjalanan mereka, Veron sudah larut kebosanan dalam alunan musik dalam mobil itu. Benar-benar larut dalam alunan musik itu yang membawa dirinya seakan berada di luar studion musik karena kehabisan tiket, antara menikmati tapi juga capek. Namun lebih banyak capeknya.
Rasa bosan Veron terganti dengan rasa penasaran dan penuh kekaguman saat mobil yang mereka bawa memasuki sebuah halaman rumah megah. Nggak hanya megah tapi dari depan bangunan sampai depan gerbang sangatlah modern. Bahkan, saat pemilik rumah ini mengadakan acara, rasanya nggak perlu menyewa tempat. Halaman luas dengan taman dan pajangan di setiap titik membuat Veron langsung menelan salivanya.
'Kalau halamannya saja seperti ini, apa lagi dalamnya?'
Veron terkesiap dengan yang dilihatnya. Veron mendadak merasa seperti butiran debu sekarang.
'Agra memang sosok pria yang 'sempurna' seperti yang diucapkan Anita'
Lagi lagi Veron hanyut dalam pikirannya. Veron yang sedari melihat area halaman luas itu beralih ke wajah pria yang dikursi pengemudi, mengamatinya secara intens. Hidung mancung, bibir tipis, wajahnya yang kontras dan padat serta alisnya yang tebal. Jangan lupakan juga wajahnya itu mulus, putih bersih. Tampan? Iya, pria yang dikursi pengemudi itu tampan. Veron akui. Tapi pria yang sering menjelajahi tubuhnya juga tampan-tampan. Hanya saja yang disebelahnya ini selalu memasang wajah datar saat bersama dirinya.
"Lilie." Suara datar Zello membuyarkan pikiran Veron. Veron juga langsung sadar kalau mobil mereka sudah terparkir dekat pintu masuk rumah ini.
"Ah iya." Sahut Veron langsung. Veron langsung meraih handle pintu untuk keluar dari mobil.
"Lilie." Suara Zello lagi. Veron yang baru saja ingin mendaratkan kakinya seketika berhenti.
"Panggil aku Zello! Aku nggak nyaman dengan panggilan lain." Imbuh Zello yang kemudian keluar dari mobil. Veron tidak menjawab, meskipun begitu dia sangat paham dengan ucapan Zello.
"Zello - Agra- Zello, - Agra." Veron merapal nama Zello berulang dengan gumaman. "Agra lebih enak di dengar." Gumam Veron lagi.
Veron yang tengah asyik bergumam langsung menelan salivanya dengan berat karena mendapatkan tatapan tajam dari Zello. "Hehehe iya 'Zello' aku akan memanggilmu Zello." Ucap Veron kaku.
Veron juga langsung mensejajarkan langkahnya mengiringi langkah Zello. Zello sendiri juga membuang nafas kasar mencoba merilekskan tubuh dan wajahnya, mengingat mereka sudah semakin dekat dengan pintu rumah.
Sekian detik Veron terpukau setelah menginjakkan kaki ke dalam rumah. Veron menyapu semua isi rumah itu dengan matanya. Dan yang akhirnya matanya tertuju dengan pria tua yang berada di kursi roda dengan dibantu oleh perawatnya yang mendorong kursi itu guna menyambut Veron dan Cucunya.
"Kek." Ucap Zello langsung merangkul kakeknya yang langsung dapat balasan tepukan di bahu dari Hanif- kakek Zello. Veron juga langsung mendekat dan meraih tangan Hanif, mencium punggung tangannya dengan bakti.
"Siapa namamu?" Tanya kakek Zello.
"Alia Kek. Kakek bisa manggil saya lili." Sahut Veron hangat.
"Kamu sudah makan malam?" Tanya Hanif lagi.
"Kebetulan belum Kek."
"Baiklah, ayo kita makan malam. Kebetulan kakek sudah lapar."
Veron mengangguk dengan senyum dan mengiringi kursi roda itu.
Veron yang sudah di meja makan terpana dengan banyaknya menu di atas meja. Seorang pelayan juga tengah bersiap menyiapkan nasi untuk kakek Zello.
"Maaf, biar saja," Pinta Veron.
"Tidak perlu Nona. Biar saya saja." Sahut pelayan itu langsung.
"Biarkan dia saja Din!" Ucap Hanif. Mendengar ucapan Hanif, pelayan tadi langsung menyerahkan piring kosong Hanif ke diri Veron. Veron juga langsung menerimanya dengan senang.
"Kakek mau pakai lauk apa?" tanya Veron antusias.
"Terserah kamu saja. Kebetulan orang rumah selalu masak apa yang bisa saya makan."
"Baiklah." Dengan telaten Veron menyiapkan makan untuk Hanif yang kemudian untuk Zello.
Zello sendiri memasang wajah santainya, yang membuat Veron melirikkan matanya ke Zello. Saat Zello hanya dengan dirinya dia sangat bersikap dingin dan datar, tapi saat bersama kakeknya berubah dengan wajah hangat. Sedikit Veron pahami sekarang 'Zello menyayangi kakeknya'.
Suasana makan malam berjalan sangat nikmat. Hanya suara deting garpu dan sendok yang menemani mereka. Setelah hampir setengah jam, piring mereka mulai sudah kosong dengan bersusulan.
Setelah acara makan selesai, susana di meja makan hening sesaat. Sampai Hanif membuka suara, "sudah berapa lama kalian mengenal?"
"Belum sampai tiga bulan Kek." Sahut Veron.
"Sedini itu?"
"Iya." Sahut pasti Veron.
"Apa pekerjaan kamu?"
"Saya hanya karyawan kecil di sebuah butik."
Hanif menganggukkan kepalanya sedikit, merasa puas dengan sautan yang Veron ucapkan.
"Orangtuamu sangat hebat. Bisa mendidik dirimu menjadi pribadi yang sopan dan bertutur lembut seperti itu." Puji Hanif.
"Anda terlalu memuji Kek. Tapi-sebenarnya, bukan orang tua yang sudah berhasil mendidikku. Karena masa kecilku hidup di sebuah panti. Orang-orang panti sangat berjasa dalam hidupku." Veron berbohong dengan lancar, dengan raut wajah yang mendadak sendu.
Sendu?
Veron memang tidak tinggal di panti, tetapi memang dirinya nggak memiliki orang tua.
"Maaf, Kakek tidak bermaksud membuka lukamu," Ucap Hanif iba.
Veron tersenyum manis dan menggeleng sedikit. "Tidak Kek. Lagipula, terkadang ada sesuatu yang nggak bisa kita pikul sendiri. Aku juga sudah sering mendapatkan pertanyaan semacam ini. Justru akan aneh bila kakek tidak menanyakan orang tuaku atau keluargaku."
"Kamu benar-benar wanita yang hebat." Puji Hanif.
"Kakek terlalu banyak memujiku."
"Dorong kursiku ke ruang keluarga Lilie! Kita akan leluasa mengobrol banyak disana."
"Baik, Kek." Hati Veron bersorak mendapatkan perilaku hangat dari kakek Zello. Sesuai dengan keinginan mereka. Zello pun juga ikut mengekor, berkumpul bersama di ruang keluarga.
Sesampai sana, Hanif langsung memposisikan kursinya sendiri supaya dapat tempat yang puas dengan keinginannya.
"Kek! Saya permisi ke toilet ya."
"Ah iya. Zello antarkan Lilie ke toilet!"
"Nggak perlu, Kek. Aku akan bertanya saja nanti sama pelayan." Veron tersenyum ringan dan langsung beranjak dari sana.
Sepeninggal Veron, Hanif dan Zello hanya mengobrol ringan. Zello paham situasinya pasti nanti Hanif akan lebih fokus ke Lilie ke timbang ke dirinya. Sesaat kemudian, Lilie sudah kembali dari toilet dan langsung duduk di sofa.
Dengan kehadiran Veron, Hanif menatap Zello lagi. "Zello, Kakek rindu dengan kopi buatan tangan kamu. Tolong racikkan buat kakek!" Ucap Hanif meminta tetapi dengan intonasi memberi titah.
Zello tahu dengan niatan Hanif, tapi dia juga nggak bisa menolak, yang akhirnya dia mengiyakan ucapan Hanif
Veron juga merasa dirinya paham dengan situasi tersebut, terlebih mendapat pandangan aneh dari Zello sebelum ia pergi dari sana.
"Lilie! Seberapa besar kamu mencintai Zello?"
"Lilie... " Veron terdiam sesaat, menyadari kakek Zello bukanlah orang sembarangan.
"Kenapa terbata? Apa karena kamu nggak bisa berbohong?"
Veron terkesiap, merasa perasaannya mendadak tidak nyaman.
"Terlihat sangat jelas, tidak ada binar cinta di matamu ke Zello."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments