"Sebenarnya tiga bulan bukan waktu yang lama, tetapi bukan waktu yang singkat juga. Kalau Kakek tanya tentang perasaan saya, saya juga belum bisa memastikan. Tapi yang pasti, saya nyaman saat bersama Zello. Awalnya saya mau menepis rasa nyaman untuk melanjutkan lebih lanjut. Tapi mengingat Zello memintaku untuk datang kemari, saya yakin, hanya saya wanita yang dekat dengan dirinya untuk saat ini. Beri kami kesempatan untuk melangkah lebih jauh. Zello pria yang baik dan juga mapan. Saya tidak bisa mundur sebelum memastikan perasaan saya sendiri. Dengan saling seringnya bertemu dan komunikasi, kami yakin, rasa kami akan semakin dalam nanti."
"Jadi, sebenarnya apa hubungan kamu dengan Zello?"
"Mm..." Veron dengan perlahan mendekati dan membisikkan kalimat ke Hanif. Meskipun tidak tepat di telinganya, Hanif bisa mendengarnya dengan jelas.
"Lumayan masuk akal," ucap Hanif tersenyum hangat.
"Jika demikian, kamu pasti tidak keberatan untuk menikah dengan Zello?"
Veron hanya menghela nafas kecil, benar-benar merasa seperti di ruang sidang. Meskipun yakin akan menang, tapi tetap saja membutuhkan otak dan energi tentunya.
"Sepertinya Kakek sangat menyukai saya ya." Celetuk Veron yang ia bumbui tawa kecil.
"Tentu. Aku menanyakan ini artinya aku memberi restu kalian. Jadi, bagaimana?"
"Aku mau Kek." Veron dengan senyum kalimat itu. "Tapi, saya ingin ingin kita dengan tunangan dulu. Baru nanti kami akan meni-"
"Kakek ingin kalian langsung menikah, menikah!" Hanif berucap dengan serius, intonasi kepemimpinannya timbul lagi. Veron pun langsung menelan salivanya, tercengang membuat matanya melotot dan beberapa detik pandangan Veron tertuju dengan Zello yang nggak jauh dari sana, mematung dengan cangkir kopi di tangan.
Pandangan Veron pun penuh tanda tanya ke Zello dengan semburat matanya 'aku harus bagaimana' seolah-olah kalimat itu wakilan dari pandangan Veron. Namun Veron dibuat heran dengan sikap santai Zello, tidak ada raut terkejut dari wajahnya, padahal Zello tidak jauh dari mereka, seharusnya Zello bisa mendengar ucapannya juga.
"Kalau kamu tidak menyanggupinya. Zello akan kunikahkan dengan wanita pilihan." Sambung Hanif.
"Kek ... aku akan sangat senang bila akan menjadi bagian dari keluarga Kakek. Tapi, saya minta waktu untuk memikirkan semua ini." Veron berucap dengan kaku. Cukup. Tugas Veron cukup sampai di sini. Veron tidak bisa membayangkan kalau dirinya benar-benar menikah dengan Zello, membohongi orang besar seperti Hanif dan Zello. Andai latar belakang dan pekerjaannya terkuak saat dia menyandang jadi istri Zello, sama saja seperti mendekatkan diri ke ajal.
'Tapi- yang mati seharusnya Rossa. Ah, tapi aku akan mati juga.' Veron membatin dengan frustrasi.
Veron teringat dengan ucapan mereka tadi di resto, memang ada kemungkinan kakeknya untuk meminta mereka menikah, dan Zello memastikan akan bisa mengatasinya. Tapi melihat dari cara Hanif berbicara, apa Zello bisa mengatasinya. Perasaan Veron buruk akan hal ini.
"Kek." Suara Zello sembari membawa secangkir kopi di tangannya.
"Terima kasih, kopi buatan kamu memang yang terbaik." Puji Hanif setelah menyesapnya. "Kamu tidak membuatkan juga buat Lilie?" Sambung Hanif.
Zello tersenyum kecil, "Lilie nggak suka kopi."
"Oh, lalu kesukaan kamu apa Lie?" tanya Hanif.
"Saya lebih suka minuman dingin Kek." Sahut Veron.
"Jangan pakai kata 'saya'! Itu terlalu formal." Hanif berbicara dengan pelan, tapi intonasinya sangat tegas. Yang membuat Veron tersenyum kaku. Andai Hanif tidak menyinggung tentang menikah dengan Zello dia akan tersenyum dengan ceria. Tapi sekarang, rasa frustrasi mengelilingi otaknya.
"Zello. Tadi kakek sudah berbicara banyak dengan Lilie. Kakek menyukainya. Tapi kakek tidak ingin memaksa dia dalam keinginan besarku untuk mendapatkan anggota keluarga baru. Bicarakan hubungan kalian berdua. Mau bersama? Atau akhiri segera."
"Baik Kek."
Pukul sepuluh malam, mereka pamit untuk pulang. Veron mencium punggung tangan Hanif untuk yang kedua kalinya. Hanif yang mendapatkan perlakuan manis dari Veron merasa sangat senang. Akan menyenangkan jika mendapatkan anggota baru yang sopan dan nurut seperti Veron. Dan entah mengapa dirinya menghangat melihat wajah Veron sejak pertama kali.
Dalam perjalanan pulang, Veron langsung menunjukkan ekspresi yang sesungguhnya. Rasa kesal, bingung menjadi satu, FRUSTASI.
"Tuan!"
"Lili!"
Suara mereka bertabrakan di udara. Veron yang tidak bisa menutup rasa kesalnya menoleh, melihat ke Zello tapi sesaat langsung membuang muka ke tempat lain. Sikap yang mewakilkan dia saat ini.
"Bicaralah!" ucap Zello dingin.
"Tuan- aku ingin mengakhiri semuanya. Anda tinggal bilang saja ke Kakek kalau aku tidak menyanggupi keinginannya." Setelah kalimat itu meluncur, Veron juga langsung mengarahkan pandangannya ke Zello penuh, berharap Zello memberi jawaban yang akan membuat dirinya puas maupun tenang.
"Bagaimana bisa?! Aku sudah terlanjur mengenalkanmu ke Kakek." jawab Zello.
Suara santai Zello membuat Veron frustrasi. "Tapi kalian bilang, kalau hanya ada kemungkinan tunangan bukan menikah." Suara Veron meninggi, karena terlalu kesal, apalagi melihat dan mendengar suara Zello yang sangat santai. Veron merasa dirinya adalah korban sesungguhnya.
"Memang apa bedanya? Kamu mau jadi tunanganku atau jadi istriku, aku tidak akan menyentuhmu. Dan, aku rasa kamu nggak ada pilihan."
"Bukannya begitu, aku-" Veron menjeda kalimatnya, tidak mungkin jika dia harus jujur bahwa dirinya adalah wanita malam, dan menipu Kakek Zello sampai sejauh itu. Rasanya Veron tidak tega. "Aku masih ingin. Lagi pula, kita baru bertemu beberapa jam yang lalu. Apa kamu tidak takut dengan masa laluku atau keluargaku atau apa pun itu yang berkaitan denganku." Tandas Veron.
"Pertama, kamu akan tetap bebas saat menjadi istriku. Kedua, kita tidak perlu mengenal lebih jauh, kita hanya menikah di atas kertas. Ketiga, semua orang punya masa lalu. Dan, kamu adalah pilihan Rossa, aku percaya dia."
Veron tersenyum miris.
"Kumohon, kalau kamu menolaknya aku akan dijodohkan dengan orang."
"Wah apa kamu memohon?!" Cibir Veron.
"Aku mencintai Rossa. Apa boleh buat, demi dia aku harus memohon dengan wanita asing sepertimu."
'Ya, aku tahu, terlihat bodohnya kamu, selalu menurut semua ucapan kekasihmu itu. Meskipun harus terjun ke jurang sekalipun.' Batin Veron kesal.
"Memang di mana ruginya kamu bila menikah denganku? Nggak perlu dibahas lagi." Sambung Zello penuh penekanan.
"Kalau aku tidak mau?!" ucap Veron dengan keras.
"Kenapa?"
"Keluargamu orang yang berkuasa. Aku tidak mau orang terdekatku akan kena imbasnya bila keluargamu ada yang tahu pernikahan itu hanya pura-pura. Dan Kakekmu, apa pantas untuk dibohongi seperti itu?”
"Tidak. Tapi Kakek menyukaimu. Bila waktunya tiba, aku akan mencari cara untuk melepaskanmu dengan baik. Sehingga Kakek bisa menerimanya. Dan Kakek, dia tidak akan mengusut kamu sampai sejauh itu. Dia selalu percaya padaku, menyerahkan semua kepadaku."
"Benarkah?"
"Iya."
"Kakekmu- benarkah demikian?"
"Dia menyerahkan semuanya padaku. Memberikan kepercayaan sepenuhnya. Dan untuk satu ini, aku tidak bisa menolak permintaannya, untuk membuat aku punya keluarga. Dia sudah terlalu sering memohon. Aku tidak bisa terus memberikan harapan palsu kepadanya."
'Eh, kenapa dengan hatiku? Mendengar ucapannya aku merasa senang. Saya juga menginginkan keluarga yang hangat.'
Veron melihat keluar jendela setelah mendengar ucapan Zello melihat kelap-kelip dari bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Bahkan, langit pun juga sangat ramai dengan kelipan bintang yang berpesta tengah.
"Mm ... Bagaimana kalau aku carikan wanita lain?" ucap Veron serius.
"Apa kau gila? Tadi aku membawamu, dan lain hari aku membawakan wanita lain. Aku akan seperti pria brengsek di mata kakek." Zello menjawab dengan santai, meskipun begitu Veron paham dengan nada serius Zello.
"Kamu sangat menyayangi Kakek," ujar Veron.
"Hanya dia yang aku punya. Lilie, menikahlah denganku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments