*Flashback On
Aku duduk sendiri disebuah kursi taman diantara rindangnya pepohonan dan sayup-sayup suara ramai dari beberapa anak yang bermain di taman itu.
Aku menatap seseorang yang dari kejauhan tampak berlari-lari kecil menghampiriku.
"Maaf aku telat." Ucapnya tersenyum sambil mengatur nafas.
"Udah biasa!" Jawabku singkat sembari memutar bola mataku. Jengah.
Aku menyandarkan kepalaku disandaran kursi taman.
"Maaf ya. Jangan marah, nanti cantiknya luntur lho"
"Siapa juga yang marah. Buang-buang waktu aja."
"Dih..... Serius ini gak marah? Aku tadi kena macet, Yang. Biasa." Bujuknya lagi seraya tersenyum, duduk disampingku lalu menepuk-nepuk pelan punggung tanganku.
"Udah tau jalanan itu memang tiap hari macet. Ya dicepatin dong berangkatnya. Aku nggak mau nunggu-nunggu kayak gini. Nggak ada dalam kamus hidup aku nih nunggu-nunggu begini. Males tau!" Keluhku seraya menatapnya dan memanyunkan bibir.
"Hahaha kok gitu sih? Aku kalo disuruh nunggu kamu selama apapun aku pasti tunggu lho. Serius!! kamu kalo marah kayak gitu aku angkat tangan deh, Yang. Gak kuat aku. Ampun Nyai!"
Sambil mengangkat kedua tangannya dan menggelengkan pelan kepalanya, Erick mencoba memasang wajah memelasnya.
"Ya jelas aja kamu mau nunggu aku, lha aku nggak kemana-mana ini. Yang ada juga aku yang selalu nungguin kamu." Ujarku lagi sambil tetap cemberut.
Erick tahu seberapa seringnya aku mengomelinya karena perkara yang sama, toh buktinya aku tetap selalu menunggunya.
"Yaudah, jadi nggak nih? Aku udah laper, Yang" tambahnya lagi sambil mengelus perutnya sendiri.
"Apalagi aku! Udah keriput lambung aku nih nungguin kamu."
Beberapa detik kemudian kami saling bertatapan lalu kami tertawa serentak.
Aku dan Erick sudah menjalani hubungan kurang lebih empat tahun. Dalam kurun waktu itu hampir setiap hari kami lewati dengan adu mulut yang sudah menjadi hal biasa bagi kami.
Dan ujung-ujungnya tetap aku yang menang. Tentunya dengan memakai jurus andalanku. Cemberut sambil memanyunkan bibir.
Terkadang juga aku memilih mengalah dengan mencairkan suasana. Ikut tertawa bersamanya. Seperti saat ini.
Kami pun berjalan beriringan menuju rumah makan Padang favorite kami yang berada diseberang taman.
Kami masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan beberapa makanan dan minuman.
Ini salah satu yang aku suka dari Erick. Dia tidak pilih-pilih mau makan dimana. "Yang penting bersih dan tentunya enak" katanya.
Tak berapa lama makanan kami pun datang dan kami mulai melahapnya.
"Yang, abis ini temenin aku ke cafe bentaran ya. Aku mau ambil flashdisk aku ketinggalan, besok mau dipake dikantor." Ujar Erick sembari meraih sedotan minumnya dan menyeruput es teh digelasnya.
Erick punya Cafe sendiri yang dibangunnya dengan jerih payah hasil tabungannya sedari masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dia mengelolanya sendiri hingga jadi Cafe yang ngetrend dikalangan anak-anak zaman now.
Sedangkan kantor yang dimaksudnya adalah tempatnya bekerja sebagai Translator. Jadi Erick punya dua penghasilan sekaligus. Tapi itu membuatnya sangat sibuk bahkan kadang harus mengurangi jatah tidurnya dan jarang bertemu denganku tentunya.
"Huum. Siap bos" ucapku disela-sela makanku.
"Tapi Minggu gini kalo ketemu Kak Rina disana jangan kaget ya" tambahnya lagi.
Aku seketika diam dan menunduk lesu.
"Udah, tenang aja kan ada aku. Lagian juga, Nggak mungkin lah dia berani bilang apa-apa ke kamu, malu pasti dia. Rame kalo Minggu mah."
"Yang, dimana-mana aku yang malu. Aku yang minder. Walau cuma ditatapin aja sama kak Rina." Keluhku.
"Jadi gimana dong? Bentaran doang, Yang! Abis itu langsung cabut. Janji!!" Erick mencoba membujukku dengan mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.
Aku malas harus bertemu kakaknya, jujur saja kakaknya terang-terangan tidak menyukai aku didepan aku dan Erick.
Alasannya sangat jelas. Tidak cocok katanya. Karena aku bukan Sarjana lah. Pekerjaanku tidak jelas. Dan asal usul ku dari keluarga biasa-biasa saja. Tidak bisa membawa diri nanti.
Itulah yang menurutku "Pemikiran kolot." Tapi mungkin bagi sebagian orang yang punya silsilah keluarga yang berada diatas akan tetap memandangku rendah dan sebelah mata. Hanya sebagian ya. Dan keluarga Erick termasuk bagian didalamnya. Kecuali Erick tentunya, yang memandangku istimewa. Hihihi
"Oke. Aku dimobil aja deh, biar nggak ketemu. Ribet amat!" Tawarku kepada Erick.
"Hmm, yaudah."
Kami melanjutkan makan kami hingga tandas. Lalu kami menuju cafe milik Erick.
Sesampainya disana, aku memutuskan menunggu dimobil sesuai kesepakatan kami. Bisa kulihat Erick berjalan masuk kedalam Cafe nya. Aku memutuskan memainkan ponselku. Berselancar didunia maya. Tidak berapa lama Erick sudah kembali.
"Nggak lama kan?"
"Nggak kok. Hehehe."
"Mau kemana lagi ini?" Tanya Erick sambil menyalakan mesin mobilnya dan bergerak perlahan.
"Anterin aku pulang aja ya. Aku ngantuk." Mendadak aku malas kemana-mana.
"Yah kok pulang sih Yang? Ini hari minggu lho. Besok kita udah kerja lagi. Sibuk masing-masing. Jarang lho kita kayak gini." Katanya sambil mengemudikan mobil dan matanya tetap fokus ke jalan.
Sesekali dia melihat kearahku.
"Jarang apaan. Tiap minggu juga kita Jalan."
"Ya lama kan nunggu Minggu lagi. Lagian minggu depan aku ada urusan kantor, Yang. Jum'at nya udah berangkat ke Jogja. Senin atau selasa baru balik kesini lagi."
"Loh loh aku ditinggal lagi ini ceritanya?" Ucapku melongo.
"Mau nggak mau lah, Yang. Demi masa depan kita juga kan. Aku mau nabung banyak biar nggak ngarepin orangtua kalau aku nanti menikah sama kamu."
"Memangnya mau menikah sama aku?" Kataku menyindir.
"Loh kamu ngelamar aku, Yang?" Senyum Erick mengembang membentuk lengkungan dibibirnya.
"Dih.....PeDe kamu yaaaa!!!" Ucapku memukul-mukul lengan Erick dan dia tertawa-tawa.
"Itu tadi pertanyaan kamu kayak orang mau melamar. Kan nggak salah aku tanya dan aku pasti jawab mau kok, Yang. Hahaha"
"Dimana-mana itu cowok yang ngelamar ceweknya. Huh." ucapku sebal sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.
"Iya iya. kan udah aku bilang aku mau, Makanya ini aku nabung untuk masa depan kita."
"Mau apa coba?"
"Ya mau menikah sama kamu lah, Anggia!"
"Erick, jangan bahas masalah ini dulu lah" kataku sudah tidak bersemangat.
Aku selalu badmood kalau membahas pernikahan sama Erick. Bukan aku tidak serius dengannya. Tapi membahas pernikahan selalu membuat aku teringat akan keluarga kami yang dari kalangan sosial yang berbeda. Bukan sekali dua kali Erick sudah menyinggung soal pernikahan.
"Kamu selalu gitu kalau udah bahas soal ini. Kesannya kayak aku yang nggak mau seriusin kamu, Yang."
Aku diam saja mendengar pernyataan Erick. Aku tau betul dia serius sama aku. Dan mau dibawanya kemana hubungan kami. Aku tau.
Tapi aku menolak untuk memikirkannya. Karena itu hanya buat hatiku jadi berharap terlalu banyak. Sementara sudah berulang kali mencoba dan berusaha belum ada lampu ijo tuh dari keluarga kami. Terutama keluarga Erick.
Menyinggung keluarga, Erick adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mamanya dulunya seorang Dosen, sekarang pengusaha Butik. Papanya pensiunan dari pekerjaannya yang dulunya Petinggi disalah satu instansi pemerintahan.
Kakak pertamanya kak Rina, Seorang wanita karir yang sukses. Dia bekerja di Kedutaan Negara. Sudah berkeluarga dengan Suaminya yang juga Horang kaya, pengusaha sukses.
Anak nomor dua adalah Abangnya, Frans. Frans merupakan seorang Lawyer yang sudah punya kantor sendiri dan dia beristrikan seorang Dokter muda nan cantik dan gemilang di karirnya.
Mereka adalah pacuan Erick untuk suskes. Ketika masih sekolah, Erick sudah ditanamkan nilai-nilai dari orangtuanya, yakni harus lebih bisa membanggakan dibanding dua saudaranya. Harus diatas mereka. Itulah beban dipunggung Erick sebagai anak bungsu. Harus lebih sukses.
Karena orangtua nya tidak punya perusahaan untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Jadi mereka bertiga harus gigih dan giat untuk menjadi sukses tanpa hal yang diwariskan dari orangtuanya.
Erick Tidak bisa lepas dari bayang-bayang saudaranya yang sudah sukses duluan mencapai karir. Oleh sebab itu dia berusaha yang terbaik.
Meski dia tidak pernah kesusahan untuk membeli hal yang dia mau, dan selalu hidup senang sedari kecil.
Satu lagi, otaknya yang cerdas adalah anugerah hingga dia bisa sukses dengan jerih payahnya sendiri.
Dan ketika Erick memilihku yang hanya butiran debu ini, aku merasa minder sebelum berperang.
*Flashback Off
Aku termenung memikirkan masa itu diatas Ranjang kamar rumah Lyra dan Nico. Cukup lama juga aku memikirkan Erick. Orang yang mengisi hariku belakangan ini. Orang yang aku cintai. Dan orang yang adalah ayah dari anak yang ku kandung.
*"Aku harus memikirkan masa depanku dan anakku, aku nggak boleh larut dalam masalalu itu lagi"* gumamku didalam hati.
Aku memutuskan membuka ponselku. Nomorku sudah ku ganti sebelum beranjak menuju kota ini. Aku tidak mau ada panggilan dari pihak keluarga maupun dari Erick.
Aku juga sudah menutup semua akun sosial media ku demi memutus hubungan dengan orang-orang yang pernah mengenalku. Aku pergi kesini dengan niat memulai hidup baru tanpa ada bayang-bayang masa lalu.
Tapi rencana semesta terkadang sangat lucu. Aku malah dipertemukan dengan Lyra. Lebih parahnya dengan Nico pula.
Aku berselancar di gugel. Aku mencari alamat yang ada dikota tempat ku sekarang. Yang bisa ku tempati dan tinggali. Mencari pemukiman penduduk yang bisa ku sewa dengan harga miring. Menyesuaikan budget yang aku punya. Semakin murah semakin baik agar aku bisa berhemat.
Aku mencari-cari sampai aku pilih beberapa yang cocok dan menyeleksinya lagi.
Setelah selesai, aku memikirkan rencana besok untuk aku pergi meninggalkan rumah Lyra dan Nico.
Aku akan pergi tanpa mereka tahu. Itulah rencanaku. Karena aku tidak mau mereka mengantarku ke bandara. Dan tiket yang ku bilang akan ku beli, tentu saja tidak pernah masuk list pengeluaranku alias tidak ku beli sama sekali.
Malam ini terasa amat panjang, bahkan untuk memejamkan mataku pun aku tidak bisa. Aku sibuk berpikir apa yang harus ku lakukan besok.
Aku menulis surat, seperti kebiasaan orang lama. Atau kebiasaan orang kabur dari rumah untuk meninggalkan pesan.
*"Seperti saat aku kabur dari rumah, Aku bahkan udah pernah kayak gini"* Batinku terkekeh geli.
Akupun menulis surat untuk dua orang yang sudah menolongku. Yang satu membawaku kesini. Yang satu lagi bahkan memberiku uang banyak. Aku menyunggingkan sudut bibirku mengingat itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
meimei
hmmmm...pingin kenal Erick...
2022-01-09
0
Zulfa
Salken kak, JIKA mampir membawa like nih. Mari saling dukung kakak😍
2021-04-17
1