Ahru membenarkan letak bandana biru kesayangan yang sedikit miring. Lututnya sedikit menekuk agar kepalanya terlihat di dalam kaca mobil. Kadang-kadang matanya melirik ke kaca bagian belakang yang memantulkan lalu lalang siswa-siswi yang menatapnya. Ada yang tak acuh, ada yang sedikit berbisik.
Bukan Ahru namanya, kalau dia peduli dengan isi pikiran orang lain. Dia tidak mau mengambil pusing. Padahal bisa jadi, gumaman-gumaman itu karena keheranan melihat dirinya di jam sepagi ini sudah sampai di sekolah. Jika kemarin jam 06.50 adalah pemecah rekor kedatangannya paling pagi, hari ini lebih fantastis lagi, pukul 06.28.
Dengan tempo sesingkat-singkatnya, dia sudah membulatkan tekad. Sejak kedatangan si murid baru, dia akan datang lebih pagi dari biasanya, sebagai wujud kesungguhan hatinya yang tak main-main.
"Ngaca mulu dari tadi." Sindir Tami yang sejak berangkat sudah ngedumel tidak jelas.
Mereka bertiga semalam tidur di rumah Kiet. Ijin dari Ayahnya kemarin tidak akan dia sia-siakan. Setiap ada ijin, mereka selalu kumpul di rumah Kiet. Bukan di rumahnya, karena Ayahnya terkenal cukup galak. Bukan di rumah Tami, karena neneknya sering ngomel. Tapi kalau rumah Kiet, mereka bebas. Kedua orang tuanya sangat memahami kehidupan masa muda, terlebih lagi karena orang tua Kiet yang sering pergi ke luar kota. Membuat mereka berasa di rumah sendiri.
"Kan, mau ketemu pangeran gue." Jawab Ahru enteng.
"Gue masih enggak habis pikir loh. Heran gue, kok Lo sampe segitunya."
"Hooh. Kenapa harus pake cara gini?"
Ahru berbalik menghadap Kiet."Terus Lo kira kalau gue diem aja, dia bakal ngedeketin gue? Harus ada yang maju, lah. Gue atau dia."
"Tapi.."
"Kalian enggak lihat gimana tatapan dan ekspresi wajah dia pas kita berhadapan kemarin? Kayak enggak ada ekspresi-ekspresi tertarik gitu. Dia dingin dan enggak peduli sama sekali."
"Kemarin dia rada merem kali, makanya enggak sadar ada cewek cantik yang siap digodain di depan muka dia." Seloroh Tami. "Tapi ya, kalau gue inget-inget lagi muka songongnya kemarin, rasanya pengen gue toyor tahu enggak, sih."
"Sabar, Tam. Gitu-gitu juga ipar Lo." Celetuk Kiet.
"Bagi kita. Bagi dia?"
"Berisik tau nggak."
Ahru segera berjalan meninggalkan kedua temannya yang sejak pagi sudah cerewet. Rencana paginya untuk menunggu si doi di parkiran gagal. Moodnya sudah keburu hancur lebih dulu. Kadang kedua temannya itu bersikap mendukung, kadang juga memojokkannya. Mereka sudah seperti bunglon.
Biarkan saja Ahru masuk ke kelas sepagi ini, biar orang-orang mati keheranan. Dia tidak peduli. Dia berjalan melewati koridor kelas sepuluh dan sebelas. Matanya sesekali melirik ke dalam kelas yang masih cukup lenggang.
'Jadi begini suasana pagi di sekolah.' Batin Ahru baru tahu.
Beberapa orang yang melewatinya tampak menatapnya sekilas, hanya sepersekian detik. Jika dihitung, tatapan yang Ahru berikan pada siswa lain jauh lebih lama. Dia tidak pernah berpikir panjang. Dia bukan golongan siswi famous, hanya menjadi siswi sekedarnya. Sekedar ada, sekedar tahu, sekedar lihat.
Bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelas Ahru segera mengambil tempat duduk mereka. Suara yang semula gaduh, seketika jadi hening. Hentakan sepatu Bu Kinan menggema di sepanjang ruangan.
Bu Kinan adalah guru sosiologi yang terkenal killer. Guru paling teliti dalam hal mencari detail kesalahan siswanya. Untungnya, Bu Kinan bukan BK. Tapi kalau begini ceritanya, anak IPS terlihat kurang beruntung. Apa ini penyebabnya siswa-siswi banyak yang lebih memilih masuk IPA?
Sebelum memberi salam dan sebagainya, Bu Kinan tampak meneliti setiap siswa. Dia berdehem lalu memberikan salam.
"Kumpulkan tugas kalian!" Ucap Bu Kinan dengan mata yang tampak membuka-buka buku.
Tugas?
Ahru tidak tahu hari ini dia ada tugas. Seingatnya Minggu kemarin dia mengikuti pelajaran dari awal, meskipun terlambat tapi dia ingat tidak pernah mendengar Bu Kinan memberikan tugas. Dia menoleh ke Tami dan Kiet yang ikut tolah-toleh tak mengerti.
Ketua kelas dan sekretaris kelas tampak berjalan mengambil buku-buku tugas milik anak-anak. Sampai pada bangku paling belakang.
"Mana buku tugas kalian?" Tanya Arif ----si ketua kelas, sambil menengadahkan tangannya.
"Tugas apaan, sih?" Ahru masih belum tahu.
"Hooh, perasaan Bu Kinan enggak ngasih tugas, Minggu kemarin."
"Bu Kinan salah kali."
Hem Hemm
Deheman Bu Kinan membuat perhatian kembali mengarah ke depan. "Makanya, kalau pelajaran itu, ikutin dari awal sampai akhir." Sindir Bu Kinan.
Oh iya. Mereka bertiga baru tersadar. Saking bosannya, Minggu kemarin mereka tidak mengikuti kelas Bu Kinan sampai akhir. Di dua puluh menit terakhir, mereka ijin pergi ke toilet. Nanggung, kalaupun mereka balik lagi ke kelas pasti jam Bu Kinan juga sudah habis.
"Sebagai gantinya, kerjakan tugas kalian di lapangan!" Bu Kinan memberikan keputusan.
"Yah, Bu. Sama-sama di lapangan, kita hormat bendera aja deh Bu." Tawar Ahru.
Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana tersiksanya. Sudah panas fisik, panas otak. Kalau mereka mendapat hukuman hormat bendera, lumayan, mereka tidak perlu repot pusing-pusing mengerjakan tugas.
"Tidak ada bantahan. Sekarang keluar!" Ucap Bu Kinan tegas.
Dengan malas, Ahru dan teman-temannya keluar sambil membawa buku sosiologi mereka. Wajah mereka sudah tidak dapat dilihat bentuknya lagi. Suara kikikan anak-anak terdengar samar di telinga mereka.
"Struktur sosial merupakan keseluruhan jalinan unsur-unsur sosial yang..."
Suara Bu Kinan mulai terdengar sayup dari telinga Ahru. Mereka sudah berada di koridor hendak menuruni tangga.
"Emang dasar apes." Gerutu Tami.
"Nikmati ajalah, kayak baru pertama aja." Kekeh Ahru.
"Lo kok kayak seneng gitu, sih?"
"Daripada di kelas." Dia ngeloyor jalan lebih dulu ke arah lapangan.
"Tuh orang sehat, kan?" Hearan Kiet pada Tami yang hanya dibalas dengan mengedikkan bahunya.
"Kalau dipikir-pikir, iya juga sih." Tawa Tami yang segera menyusul Ahru.
Matahari belum terlalu terik, angin juga masih sepoi-sepoi. Mereka anteng duduk di tengah lapangan tanpa terusik sama sekali. Buku-buku yang ada di tengah mereka dibiarkan menari-nari tersibak angin. Dari lima soal, mereka cuma sanggup mengerjakan tigal soal, dua soal sisanya mereka biarkan kosong.
"Asik juga. Berasa di pantai." Kikik Kiet yang menyelonjorkan kedua kakinya.
"Kurang es kelapa muda." Celetuk Ahru membuat mereka tertawa keras tak peduli kalau ada satu-dua anak yang berlalu lalang memperhatikan mereka. Pemandangan yang tak wajar, di hukum kok seneng.
Mata Ahru ia gerakkan menyisir setiap penjuru sekolahnya. Tampak sepi karena memang masih dalam kegiatan belajar mengajar, hanya satu-dua anak yang keluar sambil membawa buku ke arah kantor. Dia kembali mengedarkan matanya dan berhenti pada deretan kelas 12 IPA. Tepatnya kelas 12 IPA 2.
Anak-anak dari kelas itu tampak santai keluar-masuk kelas. Bahkan saat matanya menyipit memfokuskan pandangan, Ahru bisa melihat ada yang sedang naik di atas meja dengan tingkah absurd memainkan sapu.
Sebuah smirk muncul di bibir Ahru.
"Lo kenapa?" Tanya Tami.
Ahru yang tak menjawab langsung berdiri dan membawa buku-bukunya berjalan ke gedung IPA, diikuti Kiet dan Tami yang masih setia mengekor. Mereka berjalan mengendap-endap takut kena tegur guru. Mereka belum selesai menyelesaikan hukuman Bu Kinan, ya masak iya katambahan hukuman dari guru lain.
Kepala mereka celingukan tak ingin ada yang melihat. Setelah memastikan kondisi, Ahru menyumbulkan kepalnya ke jendela kelas 12 IPA 2. Benar, ternyata kelas itu sedang jam kosong, bahkan siswa-siswinya tinggal dalam jumlah hitungan jari. Tebaknya, pasti sebagian sudah pergi ke kantin, kan sebentar lagi bel istirahat.
"Sstt." Desis Ahru pada kedua temannya.
"Aman." Kiet memberikan jempol.
Setelah dikiranya aman, mereka berdiri tegak membenarkan penampilan lalu berjalan masuk dengan percaya dirinya. Seperti dugaan, perhatian mengarah kepada mereka bertiga, termasuk cowok yang bergelar murid baru itu. Begitu juga 3 cowok yang tengah duduk di atas meja di sekeliling cowok itu.
Ahru melangkah yakin ke arah cowok itu. Dia duduk kursi kosong sebelah cowok itu. Senyumnya ia keluarkan dengan tingkat manis di atas rata-rata, dan..
"Ahru." Kata Ahru sambil mengulurkan tangannya menunggu di balas.
Dua detik. Hanya butuh dua detik hingga keterkejutan cowok itu hilang bersamaan dengan kedua matanya yang ia putar malas. Cowok itu berdiri dan meninggalkan tangan Ahru yang masih terulur.
Mulut Ahru yang tersenyum lantas merapat menahan agar tak mengumpat. Dia dicuekin, lagi. Dia tarik cepat tangannya dan melirik tajam ke arah cowok itu yang sudah berada di ambang pintu.
Ahru masih berakhir sama. Dicuekin.
TBC..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments