Drrt.. Drrt..
Bass, drum, rideum wie mic
Guitar Player, this is N. Flying
Out of control jojong bulga
Hold up, hold up, you know who we are
Yo, yo
This is N. Flying sensations
Okay, come on
…
(N. Flying – Awesome)
“Halo Ra udah dimana sih sekarang kok belum sampai juga?” Pertanyaan tidak sabaran itu menyerbu bak meriam saat Ara selesai menggeser ikon hijau.
“Coba kalau nanya pakai titik koma gitu Yuki. Bikin gagal jantung aja.”
“Idih amit-amit deh. Jangan berdoa macam-macam ya anda. Lagian mana kelihatan titik komanya. Emang bikin makalah Pak Kim.” Begitulah Yuki. Kalau berbicara kadang mulutnya lupa rem.
Baru juga mulai bicara Ara sudah muncul tanda-tanda pusing. Ada saja hal yang Ara tidak ketahui dari pembicaraannya dengan Yuki, seperti saat ini saja dia tidak tau siapa itu Pak Kim yang disebut Yuki.
“Kok diem sih Ra?? Lagi dimana? Bentar lagi ini.. Tinggal 20 menit lagi masuk kelas. Jangan bilang kamu baru mau pakai sepatu?”
Dan benar saja tebakan Yuki. Ara memang baru mau memakai sepatu atau lebih tepatnya sedang menenteng sepatunya.
“Gak kok. Udah di motor ini. Ya udah deh aku matiin, mau OTW nih.” Sahutan penuh dusta Ara tanpa beban dosa mengalun indah sambil mematikan panggilan sepihak.
Memacu motor matic berwarna pink hadiah dari Papa Yudith 7 tahun silam yang sama sekali bukan selera Ara dengan kecepatan nyaris menyentuh 100km/jam, Ara membayangkan sedang berada di sirkuit balap.
“Belvya Aara Jozefa!! Lo pasti ugal-ugalan di jalan lagi hari ini kan?” Mata memicing sok tajam menatap Ara dengan jarak yang semakin terkikis.
“Eh.. Ada Dimas Cuit. Jangan garang gitu bos.” Celetuk Ara di samping Dimas, temannya dalam kembang tiga serangkai.
“Nama gue Dimas Zuwitd peak!! Bukan Cuit.” Sergah Dimas kesal sambil menoyor kepala Ara.
“Gaya lo pakai gue-gue. Aku-akuan aja, dasar Cuit!”
Mendelik sebal Dimas berlalu meninggalkan Ara dan bersiap mengecek kelengkapan perkuliahan dimana dia saat ini menjadi asisten penanggung jawab mata kuliah Oseanografi.
Yuki, Dimas dan Ara terkenal dengan kembang tiga serangkai bukan tanpa alasan. Pertemanan ketiganya sudah dimulai sejak awal kuliah hingga bersama-sama meraih nilai tertinggi dan dipercaya menjadi asisten dosen. Pertemanan yang diawali dengan pembicaraan canggung di koridor fakultas kelautan sambil berbagi donat gula milik Dimas, air minum Ara dan tisu milik Yuki demi menanti dosen pembimbing akademik yang sama.
Ketiganya kala itu malu-malu saat berbagi donat Dimas. Hingga mulai nikmat menyantap setengah potong donat harus dikejutkan dengan sang dosen pembimbing akademik di ujung koridor berjarak 15 meter.
Sebagai MABA alias Mahasiswa Baru yang takut terlambat kala itu, tanpa pikir panjang ketiganya melahap setengah potong donat dengan dorongan air minum Ara. Tidak ada kecanggungan lagi. Apalagi disaat Yuki dengan hebohnya mengeluarkan tisu untuk membersikan tangan Ara akibat semburan air dari mulut Dimas.
“Sstt.. Kenapa senyum-senyum? Pak Rendi ganteng ya?” Bisikan halus Yuki sampai di telinga kanan Ara.
“Pak Rendi emang ganteng, tapi sayang istrinya cantik, anaknya gemesin banget. Bikin pelakor mental sebelum perang.” Terkekeh Ara menjawab pertanyaan tidak berguna Yuki. Bisa-bisanya Ara menjawab seperti itu.
“Jangan mikir aneh-aneh Yuki. Aku cuma ingat donat Dimas aja.” Sanggahan langsung yang harus Ara lontarkan sebelum otak luas Yuki bekerja tidak pada tempatnya.
...----------------...
“Dim.. Ra.. Jalan yuk ke mall habis kuliah.”
“Ngapain jalan kalau ada motor Ki?” Ini adalah salah satu dari sekian jenis pertanyaan balik mode tidak peka dan sableng milik Dimas pemicu perang.
“Heh! Dasar cowok gak peka! Bukan jalan kaki sampai ke mall. Tapi jalan-jalan yang artinya main, have fun, nyantai, senang-senang gitu!” Nah kan benar feeling Ara, itu adalah pertanyaan balik pemicu perang. Sebentar lagi akan ada adu mulut bebek dan angsa diantara pagar pembatas berupa Ara.
“Yang bilang jalan kaki siapa? Gak ada. Yang ngajak jalan juga siapa?” Sergah Dimas.
“Ya ngapain sebut motor tadi kalau gak maksud jalan kaki?” Balas Yuki tentunya tidak mau kalah.
“Kan aku punya motor. Dipakai dong motornya.”
“Aku juga punya motor sendiri kali.”
“Terus?”
“Ya aku juga punya motor!”
“Oh.”
“Oh aja?” Memekik dan melotot, itulah gambaran Yuki saat ini.
'Oke, udah lewat 1 menit.' Batin Ara memutuskan mengakhiri perdebatan. “Udah ayo kita jalan sebentar ke parkiran terus naik motor masing-masing buat ke mall. Kita have fun satu jam aja di sana.”
Memilih beranjak terlebih dahulu agar Dimas dan Yuki mengekorinya selalu menjadi pilihan terbaik. Jika tidak begitu bisa jadi Ara harus berobat ke dokter THT.
“Ke timezone lagi?” Celetuk Dimas sesaat memasuki area main di mall yang mereka kunjungi yang dijawab anggukan serentak oleh Ara dan Yuki.
Timezone basketball arcade layaknya menu favorit saat pergi ke rumah makan. Disinilah ketiga anak manusia itu asyik memasukan bola.
“Ara berhenti!” Suara berat tertahan dengan mata sendu Yuki menatap tangan kiri Ara yang digenggamnya.
“Jelasin!” Lanjutnya dengan nada merendah sambil menatap lekat mata Ara.
“Apaan sih kayak gitu? Biasa aja kali. Nanti aku ceritain, ada Dimas disini.” Jawaban dengan nada santai dan tak kalah pelan seperti bisikan tetangga terlontar dari bibir Ara. Sesekali Ara melirik ke arah Dimas yang masih asik bermain dan tidak menyadari keadaan sekitar yang menegang. Terbukti sudah bahwa memang benar kalau Dimas tidak peka.
Sepanjang waktu di mall hingga menjelang pulang Yuki menjadi lebih pendiam. Tidak tahu kenapa Yuki memilih menghemat suara cemprengnya. Godaan Dimas pemicu bencana juga tidak mempan.
Sesaat setelah tiba di parkiran mall, Dimas buru-buru melajukan kuda besinya terlebih dahulu akibat panggilan darurat sang kakak yang ngidam bakso beranak.
“Jelasin ke aku Ra! Kamu kumat lagi? Obatnya masihkan? Kalau perlu terapi lagi ayo kita pergi. Kalau uangnya kurang masih ada tabungan aku buat tambah. Cerita kalau ada apa-apa itu.” Menahan pergelangan tangan Ara, intonasi tegas Yuki lama-lama hilang berganti dengan suara yang kian parau.
“HAH!” Helaan nafas kasar Ara diikuti bibir yang sudah berkedut dan bergetar.
“Aku bilang ke tante Liz kalau kita bakal lembur tugas ya? Kita cari tempat buat kamu tenangin diri dulu. Aku temenin tidur sambil di usapin kepalanya. Mau ya Ra?” Benar-benar tidak ada lagi suara cempreng Yuki. Suara itu kini sangat lemah lembut. Apalagi usapan lembut tangan Yuki di punggung Ara yang seakan mampu mengatakan bahwa dia tidak sendirian.
Menatap Yuki dengan senyum yang dipaksakan. Genggaman tangan Yuki juga diurai Ara dengan halus. Ara seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh temannya itu.
“Aku memang sempat iseng kelewatan. Tapi aku baik-baik aja Yuki. Ini juga luka lama kok. Pulang sekarang aja ya, udah mau sore.”
Mana bisa Yuki mempercayai ucapan Ara. Terlihat sangat jelas bahwa luka yang masih memerah itu goresan baru. Jika Yuki tidak perhatian terhadap Ara pasti dia masih akan dibodohi kebohongan Ara yang berkata dicakar kucing. Padahal untuk berdekatan dengan kucing saja Ara tidak bisa dan sebagai pecinta kucing, luka di tangan Ara bukan pola cakaran kucing.
...****************...
*
*
*
Terima kasih udah baca kisah Ara dan kasih dukungannya buat Hana🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Fitri Yani
gx ngertiii
2024-09-27
1
EkaChan, Daisuki•🌙
Fiks, ku jadi pengen punya temen kayak Yuki #ABL❤️
2021-09-15
1
EkaChan, Daisuki•🌙
Eh jadi pengen punya temen yang kayak Yuki dah
2021-09-15
1