...PERINGATAN!!...
...BEBERAPA ADEGAN TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU!!...
...⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠...
...****************...
“Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.. Hahhh.. Hahhh… Hiks.." Isak tangis tertahan kembali menggema dalam ruang biru laut malam itu.
Ara menggerakkan tangannya mencari-cari selimut tebal berwarna biru laut dan kemudian membenamkan wajahnya sambil berbaring meringkuk. "Kenapa masih sakit?? Kenapaaa?? Hiks.. Hiks..”
Kuku ibu jarinya terus menekan dengan kasar jari telunjuknya sendiri, Ara kembali menatap langit-langit kamarnya.
Iya, hal yang baru saja Ara lakukan sampai terbatuk-batuk adalah mencekik lehernya sendiri dengan kedua tangannya. Sesekali bayangan masa kecil Ara terlintas dibenaknya.
“Apa aku jadi orang yang terlalu serakah? Aku udah dapat kasih sayang keluarga ku, tapi kenapa rasanya aku masih butuh kasih sayang orang-orang brengsek itu?" Ucap Ara pilu. Air matanya terus merembes dari sela-sela kelopak mata yang terkatup rapat.
"Kenapa rasanya sakit banget. Kenapa aku dibuang? Apa salah aku?? Aku udah selalu berusaha bersikap manis, penurut, jadi anak yang pintar. Tapi apa mereka pernah menganggap aku ada?? Kenapa orang yang aku sayang juga ninggalin aku?” Terisak Ara menutup separuh wajahnya dengan lengan kanannya sendiri. Matanya terasa panas dengan linangan air mata yang sudah membasahi seprai kasurnya.
"Aku salah apa?? Aku salah apa??!! Hiks.. Hiks.." Gumam Ara berkali-kali sambil menggigit kuku ibu jari tangan kanannya.
"Kenapa aku dibuang?? Aku salah apa??" Suara bergetar dan nyaris menghilang ditelan kerapuhan terdengar sangat memilukan. Memukuli dadanya secara asal, Ara merasakan udara yang dihirupnya semakin menipis.
Dengan hati yang masih berkecamuk, Ara beranjak duduk, menatap meja kecil di sisi kiri rak buku. Ia mengambil jarum pentul yang memang diletakkannya di meja itu dan dengan mantap digoreskan ujung tajam jarum itu di lengan kirinya.
Goresan pertama.
Goresan kedua.
Goresan ketiga.
Ara berhenti menghitung setelah beberapa goresan kecil pada tempat yang sama meninggalkan bintik-bintik merah nyaris membentuk garis. Belum juga merasa puas, Ara terus membuat goresan lain. Berharap dapat merasakan sakit di tubuh fisiknya agar rasa sakit di hatinya dapat berkurang.
Kelegaan jelas menghiasi relung hati Ara kala ukiran abstrak di lengan tampak mengisi penuh. Menjatuhkan diri di atas kasur dengan kasar, Ara memandang kosong langit-langit kamarnya. Seulas senyum tidak berarti terlukis indah di lengkungan bibir Ara.
“Hah! Aku harus tidur. Besok kuliah pagi.” Ara mencoba menutup matanya perlahan hingga tiba-tiba ia teringat jika dirinya baru saja menangis. Bola matanya seketika seolah meloncat keluar, kelopak mata yang terbuka lebar seakan lupa untuk melindungi keberadaan bola matanya sendiri. Ara sudah terbelalak lebar dan merutuki kelakuannya.
“Aaaahhhh!!! Mataku bisa kayak kena sengat tawon besok pagi!! Dasar Ara bodoh!!” Tersadar dengan tingkahnya Ara mengusap wajahnya dengan gusar. Mengumpat dirinya sendiri dengan kesal.
'Harus ambil air es sama kapas dulu nih. Ayo kita kompres mata jelek ini dulu.' Pikir Ara dalam hati untuk menenangkan pikirannya yang kalut.
Perlahan Ara membuka pintu kamarnya menuju tangga dengan waspada dan mengintip keberadaan keluarganya pada ruang tengah di ujung anak tangga. Takut jika ia akan tertangkap basah, terkadang entah itu Papa Yudith atau Jona sering tertidur di sofa atau bahkan karpet ruang tengah sembari televisi menonton pertunjukan keduanya tertidur.
Mengingat saat ini sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi dan tidak terlihat siapa pun, Ara dengan cepat berlari ke arah kulkas di dapur mengambil air es dan kembali ke kamarnya untuk mengompres mata.
...----------------...
Waktu berlalu, hingga sinar matahari pagi itu mulai masuk menyeruak ke kamar Ara lewat celah jendela yang gordennya tersingkap. Bunyi alarm dari ponsel Ara sudah berulang ribuan kali tapi diabaikannya. Terlalu nyenyak menyelami dunia fantasi, menyaksikan pertempuran antara kadal jingkrak dan iguana gemoy.
“KAKAK KULIAH GAK?? UDAH JAM 7!!!” Teriakan memekik Mama Lauritz dari lantai bawah tanpa pengeras suara menggelegar ke seluruh sudut rumah. Jika para semut bisa demo, mungkin akan heboh karena teriakan Mama Lauritz menyebabkan gempa bagi para semut.
“Hemmm.. Ada.” jawab Ara lirih yang pasti hanya Ara yang mendengarkannya.
Tok.
Tok.
Tok
“Kakak ayo bangun!! Rian bawain roti bakar nih.. Pakai telur ceplok setengah matang juga..” Goda suara di balik pintu kayu berwarna coklat kamar Ara itu.
“Oke.. Oke.. Kakak bangun.” Berjalan dengan mata setengah terpejam.
Ceklek.
“Mana rotinya?? Jangan turun dulu.. Cium!” Ara memegang piring kecil berisi roti bakarnya sambil menyodorkan mukanya.
Cup.
Rian si adik bungsu mengecup pipi kiri Ara sekilas. Senyum merekah pada wajah Ara yang masih enggan membuka matanya lagi.
“Sebelahnya mana!?”
Cup
Dikecupnya lagi pipi kanan Ara.
“Dahi, mata, hidung, dagu, mmm..” ucap Ara sambil memonyongkan bibir miliknya seperti bebek. Tentu saja yang Rian lakukan hanya menurut untuk menciumi wajah kumal Ara.
“Oke. Udah di cas. Rian turun sana, kakak mau makan terus ambil handuk. Bye my baby beruang madu.” Ucap Ara sambil tangannya meraih potongan roti bakar itu.
Untuk sebagian orang kebiasaan Ara pasti aneh dan tidak wajar, tapi bagi keluarga Papa Yudith dan Mama Lauritz itu adalah hal yang 'biasa saja'.
Bagi Ara sendiri mencium atau dicium oleh keluarganya itu bisa menunjukan rasa kasih sayang, kedekatan dan kepedulian. Apalagi mereka merupakan keluarga, jadi sangat wajar menurutnya. Terkadang Ara malah bingung pada kebanyakan anak-anak yang canggung berinteraksi dengan keluarganya sendiri.
“Kakak jorok banget belum kumur, cuci muka, minimalkan cuci tangan ini malah udah nyosor makan aja!” Ucap Mama Lauritz sambil menaruh kedua tangannya di sisi pinggang.
Bukannya membuat yang melihat takut, melainkan tingkah Mama Lauritz terlihat sangat menggemaskan. Maklum saja karena Mama Lauritz memiliki perawakan yang imut, wajahnya pun tidak kalah cantik dengan wanita di awal usia 30 tahun, padahal Mama Lauritz sendiri sudah berusia 43 tahun.
“Hehehe.. Mama.. Habisan diantar ke kamar sama embul. Mager banget mau turun dulu tadi, butuh energi duluan. Ya kan ikan buntal nya kakak?” Menuruni tangga membawa piring kosong dan handuk yang disampirkan pada bahu kirinya menggantung menutupi hingga ujung jari, Ara menatap adiknya, Rian.
“Berapa nama panggilan lagi buat Rian yang kakak buat sekarang? Little star, ndut, beruang madu, honey bee, buntal, embul, terus apalagi itu lupa nah sekarang ikan buntal!? Padahal Rian udah kurus sekarang.” Protes Jona pada Ara.
“Loh mas kok belum berangkat? Kemarin bilangnya mau berangkat pagi ada piket kelas? Ah udah lah, kakak mau mandi. Udah telat. Jam 8 masuk. Harus kebut jadi Rossi dulu habis ini." Cerocos Ara panjang sambil berlalu ke kamar mandi satu-satunya di dalam rumah orang tuanya itu.
Rumah berlantai 2 sederhana milik keluarga Ara memang sengaja hanya membuat 1 kamar mandi di bagian dalam dan 1 lagi di luar khusus untuk tamu agar mudah menjangkau dari ruang tamu atau halaman rumah. Selain itu juga sebagai antisipasi jika kebelet massal melanda tidak harus antri panjang.
Keputusan Papa Yudith dan Mama Lauritz membangun rumah seperti itu untuk lebih mengontrol kegiatan anak-anaknya. Tampak terbukti saat ini, khususnya untuk Ara Si Kutu Kasur seperti julukan yang diberikan Jona agar lebih sering bergerak keluar dari kamarnya.
Papa Yudith yang melihat tingkah anak-anak dan istrinya hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Sudah rutinitas sehari-hari dimana kala pagi si Mama akan berubah menjadi petir yang menggelegar dan si kakak bak model professional melenggang santai melewati gemuruh petir. Jangan lupakan aksesoris handuk oren di bahu kiri yang terkadang ditambahkan gelas bekas susu atau piring bekas aneka jenis roti di tangan kanannya.
Sedangkan si bungsu Adrian sudah seperti layaknya kurir makanan masa kini yang selalu setia mengantar sarapan ke kamar Kakak kesayangannya itu. Sudah seperti pemancing saja. Tapi bukan pemancing ikan yang bisa di goreng, melainkan kebo ngorok penghuni kamar biru laut rumah berlantai dua.
Menghembuskan nafas dengan kasar, di kamar mandi berdinding keramik putih itu Ara meneliti tangan kirinya. “Untung aja gak bengkak matanya. Gak sadar ternyata banyak juga lukanya. Kalau sadar gini kok sakit sih. Emang psiko banget aku. Kepribadian ganda banget kayaknya. hehehehe” Sudut bibir kanan Ara tertarik sedikit menyunggingkan senyum yang dirasa bahagia. Entahlah benar-benar bahagia atau hanya paksaan otak ke saraf motoriknya.
Bukannya segera menuntaskan ritual mandinya, Ara masih setia memandangi sayatan demi sayatan karya nya. Seperti lukisan abstrak yang tertuang di atas bidang hidup berupa daging di bawah kulit. Ara bukan orang munafik atau bermuka 2, ia hanya terlalu handal berkamuflase dari kekacauan hidupnya.
...****************...
*
*
*
Terima kasih sudah membaca karya pertama Hana🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Ririn hiat
emang masa lalu Ara seperti apa kok bisa sampe kayak gitu
2022-04-14
1
Hearty 💕
Kok Ara spt itu yaaa siapa yg ninggalin Ara?
2022-03-29
1
Mommy Eng
aku mampir Thor, semangat dan sukses
2021-10-17
1