"Kau sudah siap, Alice? Mana barang bawaanmu?" Jonathan bertanya usai membereskan barang-barangnya sendiri yang kebanyakan berupa makanan.
Yang ditanya mengerinyitkan dahi tidak suka, "Aku hanya perlu baju dan jaket ini, lalu pedang, busur, sekaligus panah. Kau yang bertanggung jawab atas diriku, jadi aku mengandalkanmu untuk masalah makanan."
"Oke, lagipula kita bisa berburu."
Bibi Teresa keluar dari rumah, ia menyapa tamunya dengan senyuman ramah, tapi menatap keponakannya dengan jengkel, "Jonathan, kemarilah. Ambil makanan yang sudah bibi buatkan."
"Tidak adil sekali!" Cibir Alice seraya menatap keduanya yang melangkah pergi ke dapur untuk mengambil makanan.
Sedangkan di dapur, bibi Teresa tampak menunjukkan raut khawatir. Jonathan menangkap secara langsung keadaan wanita itu, "Jaga dia baik-baik ya, ingat apa yang sudah kau janjikan. Aku tidak akan segan-segan menuntutmu kalah terjadi sesuatu pada Alice. Aku tidak peduli walau sebenarnya kau dari keluarga bangsawan sekalipun."
"Bibi tenang saja, ini semua juga demi kebaikan Alice. Ngomong-ngomong bibi ternyata sangat peduli dengan Alice, tapi dia sepertinya tidak menyadari."
"Aku bersikap seperti ini agar bisa mendidiknya sebagai pekerja keras, anak itu sebenarnya sangat pemalas tapi pandai dan mudah paham melakukan suatu hal baru. Ya sudah, ada bahan makanan di sini, bawalah dan segera berangkat."
...---...
"Kau... haruskah berbuat sekejam ini padaku. Sebentar lagi kita akan menikah. Kenapa malah tidur, dan tidak bisa dibangunkan?"
Seorang wanita muda bersurai merah panjang sepinggang, kini tengah menelungkupkan kepala di dekat peti kaca yang ditempati sang kaisar. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan terdapat lingkaran merah kehitaman di sekitar mata. Tampak sekali ia sangat menderita akan keadaan kaisar saat ini.
Gaun putihnya sudah sangat kusut, berbagai jenis dedaunan dari hutan terlihat menghiasi setiap sisi. Lumpur dan kotoran juga turut serta.
"Tidak ada gunanya kau seperti itu, apalagi dengan jalan pintas mencoba bunuh diri seperti tadi. Kau pikir hal itu akan menyelesaikan semuanya? Cobalah berpikir dengan bijak!" Adik dari kaisar Enrique menegur. Sore tadi, ketika matahari berniat terbenam, Celine, calon istri sang kaisar berniat bunuh diri di hutan. Gadis itu ditemukan memanjat pohon dan meraih tali berserat rotan untuk dikalungkan di lehernya sendiri.
Celine mendengus, lalu mulai terisak lagi. Sudah entah ke berapa air matanya banjir, hatinya terasa hancur setiap kali mengingat Enrique, calon suaminya yang kini terbaring tak berdaya, namun seolah masih bisa mendengar tangisan Celine.
"Berhentilah menangis, coba kau berbuat sesuatu," tegur Edmund lagi. Ia merasa jengah setiap kali Celine, anak dari duke Alberto itu, selalu datang untuk menumpahkan air mata di kastilnya. Memang semua orang yang datang juga melakukan hal yang sama, tapi Celine sungguh betah dari hari ke hari di posisi yang sama, pakaian yang sama pula. Dia tidak akan pulang sebelum diseret.
Mendengar nada suara Edmund yang terlalu kasar, membuat Celine menukikkan alisnya tajam, "Lalu apa yang sudah kau lakukan selama ini?! Diam saja, dan menunggu Enrique bangun kan?! Lalu membuat sayembara yang sampai sekarang masih tidak ada hasilnya!"
"Kau saja yang tidak tahu, aku selalu menemui ahli sihir setiap malam dari berbagai wilayah. Kau sering mendengarku pergi kan? Karena aku sedang mencarikan obat untuk kakakku, bukan sepertimu yang hanya bisa menangis dan menyalahkan orang lain! Tolong sadar diri!"
Celine geram, ia bangkit dengan susah payah. Tiba-tiba tangannya mencengkeram kuat, dan memukuli calon adik iparnya bertubi-tubi, "Edmund! Berani-beraninya kau!"
Edmund sigap menghindar, kemudian beralih mencekal kedua tangan Celine erat supaya tak lagi berniat memukulinya, "Masih ada satu ahli sihir yang belum ku temui. Dia tinggal di kaki gunung aresh, pergilah ke sana dan minta bantuan. Jika kau mau Enrique segera bangun, berjuanglah, jangan hanya mengandalkan air matamu! Bodoh!"
Celine menangis menjadi-jadi usai Edmund menghempaskan tubuhnya hingga terjatuh, "Baiklah Enrique, aku akan segera membangunkanmu. Aku akan membawakan sesuatu yang bisa menyembuhkanmu!"
Dari balik pintu Edmund tersenyum miring, 'Ya, tunjukkan seberapa besar cintamu pada Enrique. Sampai kau mati!'
...---...
Alice menatap sedih langit yang dihiasi bintang-bintang kecil. Sekarang sedang musim hujan, tapi entah mengapa malam ini sepertinya awan hitam tak berani mendekati kampungnya.
Saat merasakan hawa dingin menerpa tubuhnya, Alice merapatkan jaket rambut unta miliknya, "Alice, kendarai kudanya dengan benar. Aku sedang fokus."
Kepala Jonathan menyelinap dari sisi kanannya, rambut hitamnya yang menyentuh leher Alice, membuat gadis itu bergidik kegelian, "Jauh-jauh sana kepalamu! Geli!"
"Kita di satu kuda yang sama Alice, mana bisa berjauhan," balas Jonathan seraya kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda, yaitu melukis rasi bintang orion. Sesuai dengan apa yang akan ia butuhkan nanti, dan sudah tertulis di lembaran kertas papyrus waktu itu.
"Kau keras kepala sekali! Padahal kita bisa bawa kuda sendiri-sendiri, bisa lebih nyaman."
"Tapi aku lebih nyaman seperti ini, kalau dingin tinggal merapat padamu," ujar Jonathan terkikik geli, ia merasa jijik sendiri dengan ucapannya.
"Sudah ku duga. Kau bukan orang baik-baik, tidak seperti bagaimana sikapmu saat bertemu bibi Teresa. Sok sopan dan sok jagoan!" Cibirnya, Alice merasa kalau sekarang dirinya benar-benar dalam keadaan bahaya. Harusnya bibi Teresa tidak mempercayai sembarangan orang begitu saja, terlebih untuk didekatkan dengan dirinya. Meski bisa bertarung, tentunya tenaga Alice tak akan sebanding dengan lelaki yang terlatih, seperti Jonathan ini.
"Alice, jangan banyak bicara dan jangan banyak bergerak. Jalankan saja kudanya dengan baik. Nanti lukisanku bisa tercoret."
Semakin dilarang, malah semakin menjadi. Alice menggerakkan tubuhnya ribut, hingga Jonathan mendesis kesal dan berhenti melukis. Aneh memang, melukis tengah malam, di atas kuda pula, "Jo, sebenarnya apa yang sudah bibi Teresa janjikan padamu? Aku tahu kalau kau pasti mendapat sesuatu yang berharga hingga mau menjadikanku partner. Sungguh, pasti tujuanmu tidak hanya meraih hadiah dari sayembara itu kan?! Jujur padaku!"
Jonathan menunjukkan tatapan datar, usai memasukkan kanvas pada tas selempang di sisi tubuh kuda, ia kembali mengambil alih kudanya. Karena Alice menunggang di depan dan dirinya dibelakang, sekarang posisinya seolah-olah Jonathan sedang memeluk pinggang Alice, "Tidak ada apapun, murni tujuan ini hanya untuk uang atau hadiah imbalan dari kerajaan nantinya jika berhasil."
Alice merasa tidak nyaman dengan posisi mereka, jadi ia terus menggerakkan tubuhnya, "Kapan kita akan sampai? Apa nantinya kita harus menunggang satu kuda seperti ini?"
"Sebentar lagi, teman-temanku sedang menunggu di rumah tua dekat sungai chaos. Tapi kau harus menunggang kuda bersamaku atau orang lain agar tetap aman. Karena aku sudah menjamin keselamatanmu pada bibi Teresa."
...Tale of The Sleeping Emperor...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Putri Adilamyska
ya benar cinta butuh pengorbanan
nagis aja gak akan ada hasil
2022-01-09
0
Adinda Kinanty
alice wanita tangguh!!! suka thoor
2021-07-15
0
要钱💸
uwuuuu
2021-07-10
0