Aku membetulkan posisi dudukku, sehingga rubah putih sedikit menggeliat di pangkuanku.
"Aku rasa kalian salah paham, aku melakukan perjalanan ini sebagai hukuman akibat tindakanku yang amat sangat tidak bertanggung jawab. Ayah sangatlah murka padaku," ucapku sedih.
"Bagaimanapun juga aku menyadari, bahwa aku yang tak berbakat ini, tak pantas menyandang gelar putri mahkota, bahkan tak pantas dikenal sebagai putri bungsu Kekaisaran Matahari. Dari cerita kalian, bagaimana mungkin aku terlahir dari ayahanda dan ibunda yang begitu agung? Apakah aku hanya anak angkat?"
Aku memandang kedua elf dihadapanku dengan tatapan mohon penjelasan, tapi mereka malah tertawa mendengarku. Kenapa malah ketawa?
"Maaf Yang Mulia, bagaimana anda bisa mengatakan bahwa anda tidak berbakat? Saya bersumpah atas nyawa saya bahwa Yang Mulia Putri Aira adalah Keturunan yang Lahir dari Yang Mulia Kaisar Abimanyu dan Yang Mulia Permaisuri Elina."
Vivian mengangguk membenarkan ucapan suaminya. "Yang Mulia bahkan memberi kami berkah kebahagiaan saat datang, bagaimana mungkin Yang Mulia tidak berbakat?"
Aku mencoba memproses kata-kata Vivian, 'berkah kebahagiaan'. Apakah serbuk emas yang kulihat menghujani rakyat hutan hujan adalah berkah atas ucapanku agar mereka bisa selalu bahagia? Tapi bukankah berkah hanya ditujukan untuk orang berkemampuan sekelas dewa dewi? Ya ampun bagaimana aku menjelaskan agar mereka paham bahwa aku tidaklah seperti yang mereka pikirkan, boro-boro dewi, kekuatan aja gak punya, pengin rasanya nangis tapi malu.
"Aku benar-benar tidak berbakat, aku tidak punya kemampuan khusus satupun apalagi kemampuan seperti kalian, jadi mulai saat ini jangan memberiku penghormatan yang berlebih, karena aku benar-benar hanya manusia biasa."
Jangan-jangan aku memang benar anak angkat yang statusnya dirahasiakan oleh ayah dan ibu, sehingga selama ini ayahpun tak memberikan aku ijin untuk muncul secara resmi di hadapan rakyat. Mungkin perjalanan ini adalah hukuman agar aku tahu bahwa aku hanyalah anak angkat, batinku.
Kali ini Edward dan Vivian tersenyum lebar menanggapi ucapanku, "Tidak perlu merendah Yang Mulia."
Ya ampun merendah gimana si, ucapku kesal dalam hati. Yaudahlah terserah aja, udah capek rasanya menjelaskan kepada mereka.
"Ehm, sesaat sebelum kalian datang padaku, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang memanggilku untuk mendekat, sesuatu entah apa dari arah berkebalikan saat kalian datang, apakah memang ada suatu tempat yang perlu kudatangi atau hanya perasaanku saja?"
Edward dan Vivian berpandangan, lalu mereka berdiri bersamaan, "Mari saya antar Yang Mulia."
Mendengar ucapan Edward, aku membopong rubah putih yang masih terlelap, aku berdiri dan kemudian membaringkan rubah putih di kursi yang tadi kududuki. Setelah itu aku menghampiri Edward dan Vivian yang telah menunggu. Edward menggerakkan tangan kanannya dan terbentuklah sebuah portal di hadapan kami.
"Silahkan Yang Mulia," Vivian mengulurkan tangan kanannya, aku menggapai uluran tangan Vivian dan perlahan memasuki portal, diikuti Vivian dan Edward. Seketika kakiku menginjak rerumputan hijau dipinggir sebuah danau yang amat jernih. Kudengar jelas suara air terjun, aku menengadahkan kepalaku, dan air terjun yang indah menyergap penglihatanku. Airnya sangat jernih, puncak air terjun tak terlihat saking tingginya. Airnya mengalir deras seolah tak pernah habis. Dibawah air terjun terdapat sehampar batu transparan bagaikan es batu pipih yang menutupi sepertiga danau. Danaunya pun sangat jernih hingga dasarnya terlihat begitu jelas. Ikan berwarna-warni berenang dengan senangnya, seolah menyapaku dengan riang. Bunga teratai emas tumbuh dengan suburnya menghiasi danau ini.
"Selamat datang di danau Keabadian, Yang Mulia," sesosok laki-laki tua memegang sebilah kayu berukir naga di tangan kanannya, muncul dari atas hamparan batu transparan, mendekat dan memberi hormat padaku. Lagi-lagi ada orang yang mengenaliku, aku kembali dikagetkan dengan kenyataan ini.
"Hormat kami, tetua," ucap Edward dan Vivian pada sosok itu.
Aku pun bersiap memberi hormat seperti Edward dan Vivian, tapi seketika orang tua itu mengetukkan bilah kayu yang ia pegang.
"Yang Mulia, Anda tidak diperbolehkan memberi hormat kepada siapapun, kecuali pada keluarga Yang Mulia," ucapnya tegas.
Aku berdiri mematung, menghentikan gerakanku yang hendak memberi penghormatan.
"Yang Mulia Putri Aira merupakan kehormatan itu sendiri, maka Yang Mulia harus mematuhi apa yang hamba anjurkan."
Aku membenarkan posisi berdiriku, laki-laki tua ini memiliki kharisma yang kuat. Walaupun berumur tapi aku merasakan kekuatan besar dari dalam dirinya.
"Maaf bila saya melakukan kesalahan," ucapku memandang laki-laki itu, yang kini tampak terkejut dengan ucapanku.
"Yang Mulia bisa memanggil saya Mahanta," ia memperkenalkan diri.
"Terimakasih Tetua Mahanta, apakah benar tadi anda memanggil saya untuk datang ke tempat ini?" tanyaku hati-hati, entah kenapa ada rasa sungkan padanya.
"Benar Yang Mulia," Tetua Mahanta menatap kedua mataku. "Yang Mulia, bersediakah Anda bersemedi di bawah air terjun keabadian?"
Aku sedikit kaget dengan permintaan langsung dari Tetua Mahanta, "Kenapa?"
"Yang Mulia perlu meningkatkan kekuatan Yang Mulia sebelum Bulan Dewa datang," ucapnya kemudian, Edward dan Vivian terlihat terkejut mendengar ucapan Tetua Mahanta.
"Yang Mulia lahir tepat saat Bulan Dewa bersinar dengan terangnya, kelahiran Yang Mulia bukan hanya disambut dan diketahui oleh seluruh makhluk ketiga kekaisaran, tapi juga di seluruh benua."
Aku menatap mata Tetua Mahanta, matanya menatapku tajam penuh keseriusan. "Yang Mulia harus mempersiapkan diri, melatih kemampuan Yang Mulia agar dapat melindungi diri jika saatnya tiba."
"Apa itu Bulan Dewa? Kenapa aku harus mempersiapkan diri?" tanyaku bodoh, banyak hal baru dalam waktu singkat yang masuk ke otakku, belum selesai mencerna cerita Edward dan Vivian, kini ditambah lagi cerita dari mulut Tetua Mahanta.
"Kenapa banyak sekali informasi baru yang kalian ceritakan? Keluargaku bahkan tak pernah menceritakan semua ini, tolong jelaskan padaku."
Tetua Mahanta mempersilakan kami duduk di bongkahan kayu besar yang indah. "Yang Mulia, Bulan Dewa adalah Bulan yang bersinar terang setiap 17 tahun sekali, Bulan Dewa sangat istimewa karena saat Bulan Dewa bersinar, semua kekuatan makhluk yang berjiwa murni akan naik berkali-kali lipat, sebaliknya, makhluk gelap akan kehilangan kekuatan mereka."
Tetua Mahanta mempererat cengkeramannya pada bilah kayu naga di tangan kanannya, "Ada ramalan kuno yang menyebutkan bahwa akan lahir seorang penguasa tak terkalahkan pada Bulan Dewa yang akan membawa kemakmuran seluruh makhluk, menyatukan perbedaan dan menjunjung tinggi keadilan."
Erdward dan Vivian ikut terhanyut dalam cerita Tetua Mahanta, aku menatap Tetua Mahanta. Apa tetua menganggapku sebagai perwujudan dari ramalan itu? Ya ampun, jelas-jelas bukan aku yang tak berdaya ini.
"Tetua itu jelas bukan saya, bagaimana bisa saya menjadi penguasa bila saya sama sekali tak mempunyai kemampuan untuk melindungi diri saya sendiri, apalagi orang banyak?"
Aku mencoba menyadarkan Tetua Mahanta bahwa beliau salah orang, "bahkan saat ini saya masih meragukan apakah saya benar-benar anak kandung ayahanda dan ibunda."
Sekilas aku melihat Edward, tatapannya terlihat sedih, apakah aku menyinggungnya karena tadi ia menjamin bahwa aku anak kandung orangtuaku? Bahkan ia sampai bersumpah atas nyawanya, tapi aku masih meragukannya, seketika aku merasa bersalah karena telah meragukannya. Tetua Mahanta menatapku dengan tatapan berbeda, aku tak tahu apa yang dia pikirkan.
"Tolong ikuti saya agar Yang Mulia bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan Yang Mulia," tatapan mata Tetua Mahanta sangat tajam tertuju padaku. "Duduk dan bersemedilah, kami bertiga akan melindungi Yang Mulia."
Edward dan Vivian mengangguk setuju dengan Tetua Mahanta. Aku mengangguk pelan, aku benar-benar membutuhkan jawaban atas semua pertanyaan di kepalaku. Melihatku mengangguk setuju, Tetua Mahanta mengetukkan bilah naganya ke tanah, seketika tubuhku melayang hingga berhenti diatas hamparan batu transparan dibawah air terjun. "Duduklah bersila Yang Mulia, satukan tangan Yang Mulia di depan dada, tutup mata Yang Mulia dan fokuskan pikiran, hilangkan seluruh gangguan yang ada."
Aku segera mengikuti kata-kata Tetua Mahanta. Tak lama setelah mencoba memfokuskan pikiranku, aku merasakan diriku diterpa air terjun yang begitu kuat, tapi kata-kata Tetua Mahanta terus terngiang untuk fokus dan menghilangkan seluruh gangguan.
Aku menarik nafas panjang, memfokuskan pikiran ke satu titik hingga semua menghitam. Lambat laun aku melihat satu titik cahaya yang lama kelamaan membesar bagaikan melahap kegelapan yang ada, dan bum! Aku merasa cahaya menembus tubuhku, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh. Entah kenapa tubuhku terasa sangat ringan, seolah melayang. Masih dengan mata terpejam, aku mulai merasakan udara yang berbeda. Dalam cahaya yang amat terang lambat laun kini muncul berbagai warna, indah tapi rasanya menyakitkan, tubuhku serasa ditarik ke berbagai arah, masing-masing warna saling bertabrakan, tarik menarik, bahkan terlihat hampir meledak.
Sakit, aku merasakan tubuhku tertusuk jutaan pisau di setiap titik. Sangat menyakitkan, panas dan sakit.
"Bertahanlah Yang Mulia," terdengar suara Tetua Mahanta mengingatkan.
Aku mengepalkan kedua tanganku, mencoba menahan semampuku, tapi sakitnya amat tak tertahan. "AAAAAAAAAAAAAAAAAA!" Teriakku kencang seraya mencoba membaurkan semua warna yang ada.
"BUUM!"
Suara keras menggelegar keluar dari tubuhku, membuatku melayang di udara. Tenagaku habis terkuras, sangat lemas rasanya. Samar kulihat semua warna telah berbaur bagaikan pelangi, hingga semua kembali menggelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
guest1052940504
nyimak..... anteng thor
2021-06-20
1
Eny Imam
hdir thor
2021-06-07
0
EL CASANDRA
hehe emang kl bermeditasi tuh rasanya badan enteng dan pikiran tenang rasanya juga punya tenaga lebih dan otak kerjanya lancar makanya kl ada tugas yg bikin pusing meditasi dulu usahakan yg tempatnya yg dialam bebas,banyak pohon,nah itu bakal banyak enargi alam yg masuk ke tubuh sehingga lebih nyaman
2021-05-25
6