Setelah melalui gerbang istana, terlihat penampakan ibukota yang ramai di siang hari. Banyak orang berlalu lalang melakukan aktivitas mereka. Aku mengibaskan tanganku, tak lama kemudian kantong kain yang ayah berikan muncul dihadapanku, kubuka dan terkejut isinya hanya 5 keping emas. Untuk mencapai kekaisaran Bintang tempat kak Nala berada, setidaknya 4 hari 3 malam perjalanan jika menunggangi kuda karena harus melewati kerajaan api. Kerajaan api merupakan kerajaan yang masuk wilayah kekaisaran matahari dan merupakan perbatasan antara kekaisaran matahari dan kekaisaran Bintang. Bagi mereka yang bisa terbang atau membuka portal tentu bisa sekejap melewati jarak itu.
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku tidak memiliki bakat apapun. Di dunia ini keluarga kerajaan dan orang-orang terpilih lahir dengan bakat mereka. Ada yang lahir dengan bakat teleportasi, ada pula yang dapat menguasai api, angin, air dan masih banyak lagi. Ada yang hanya memiliki satu bakat, ada pula yang memiliki banyak bakat, bakat yang ada bisa dilatih hingga kemampuan maksimal. Berbeda denganku yang sejak lahir tak memiliki bakat apapun, aku kembali menghembuskan nafas dengan kasar. Aku kembali teringat ketidakpantasanku, karena dalam keluarga, hanya aku yang terlahir tidak memiliki bakat. Walaupun terlahir tidak memiliki bakat, keluargaku sangat menyayangiku, entah kenapa kali ini ayah begitu tegas terhadapku.
Aku mencoba kembali fokus menjalankan perintah ayah. Untuk membeli kuda setidaknya aku butuh 10 koin emas (1 koin emas\=100 koin perak, 1 koin kristal\=100 koin emas). Uang yang diberikan ayah tidak cukup sama sekali. Maka mau tidak mau aku harus berjalan kaki. Walaupun jika aku berjalan kaki ke tempat kak Nala mungkin memakan waktu lama, tapi apa boleh buat, aku tak punya pilihan lain.
Aku kembali memasukkan kantong kain ke dalam cincin penyimpanan. Kulangkahkan kakiku menuju hutan hujan, kerajaan api berada dibalik hutan hujan. Aku ingin melewati hutan hujan sebelum malam, mengingat sekarang matahari masih berada di puncaknya. Aku bergegas melewati pasar yang ramai dengan penjual dan pembeli. Fokusku mulai teralihkan, barang yang dijual amat beragam, ada makanan, buah, sayur, pakaian, sepatu hingga aksesoris dan belati.
Tiba-tiba mataku menangkap seonggok pisau kecil dengan ukiran naga di pegangannya. Tempat pisau itu berwarna emas, dengan ukiran naga berwarna hijau emas.
"Aku benar-benar berharap kaisar segera mengangkat Putri Aira menjadi Putri Mahkota, aku tidak sabar melihat wajahnya," ucap seorang pemuda yang sedang memilih pedang disampingku. Aku membetulkan tudung dan menutupnya ke kepalaku, mencoba menyembunyikan wajah dan berpura-pura bingung memilih beberapa pisau di hadapanku, mengulur waktu sambil mendengarkan diam-diam.
"Sebenarnya aku juga bingung, kenapa Putri Aira belum juga diangkat sebagai Putri Mahkota. Selain itu, dibandingkan Putri Nala dan Putri Prisa yang sering muncul di acara kerajaan, Putri Aira sama sekali belum pernah muncul di hadapan kita secara resmi. Kenapa ya?"
Aku membenarkan ucapan pemuda berbaju merah, aku memang terlalu malas mengikuti acara kerajaan. Di sisi lain ayah juga tidak pernah menyuruhku untuk mengikutinya, kata ayah, ayah akan mengijinkanku ketika memang aku sudah siap.
Pemuda berbaju biru menatap pemuda berbaju merah. "Jangan berpikiran macam-macam, melihat Putri Nala dan Putri Prisa yang kini menjadi ratu yang hebat di kekaisaran masing-masing, aku yakin Putri Aira juga tak kalah hebatnya."
Aku terhenyak kaget, darimana pemuda berbaju biru mendapatkan keyakinannya atas diriku? bertemupun belum pernah, tapi kenapa bisa seyakin itu? Hatiku sedikit sakit karena aku tak memiliki sedikitpun kehebatan yang diyakini pemuda itu.
"Dari mana kau bisa seyakin itu?" tanya pemuda berbaju merah menampakkan kebingungan yang sama denganku.
"Melihat Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri yang begitu bijaksana dan adil, sudah membuatku yakin bahwa semua Putri pun memiliki jiwa agung yang sama. Bahkan kudengar Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri sangat memanjakan Putri Aira, dilihat dari itu saja sudah bisa membuktikan bahwa mungkin Putri Aira bisa lebih hebat dari kedua kakaknya."
Aku melengos, lebih hebat apanya! Dibandingkan dengan kedua kakakku saja, tidak bisa, apalagi dibilang lebih hebat! Ya ampun aku tidak tahu kalau rakyat memiliki harapan yang tinggi terhadapku, maafkan aku.
"Maaf tuan berapakah harganya?" aku bertanya pada penjual sambil menunjukan pisau belati naga yang kupilih, setelah kehilangan minat untuk mencuri dengar lebih lama.
"50 perak nona," kata penjual yang menjawab dengan sopan.
Aku mengeluarkan sekeping emas dan menerima kembalian 50 keping perak. Menurutku ini terlalu murah, tadinya aku menaksir harganya 1 keping emas. Entahlah tapi aku bersyukur bisa berhemat uang.
"Terima kasih," ucapku seraya pergi dan memasukkan belati ke dalam saku celanaku. Pakaianku adalah pakaian rakyat dengan celana dan atasan berwarna hitam, dilengkapi dengan tudung berwarna senada sehingga aku bisa leluasa berjalan, tanpa mencemaskan identitasku terbongkar. Aku sedikit bersyukur karena aku tak pernah tampil di acara kerajaan, membuat kemungkinan kecil untuk dikenali.
"Wah ibu lihat," teriak seorang anak kecil yang sedang digendong ibunya, jari telunjuknya menunjuk ke arah langit. Terdengar keras suara kepakan sayap di udara, banyak orang mulai mengikuti arah pandang si anak. Aku menengadahkan kepalaku. Seekor elang putih raksasa terbang dengan gagah di langit, di punggungnya duduk seorang yang amat ku kenal, "Fiacra, paman Ezio."
Sepintas kudengar Fiacra bersuara, matanya seolah menemukanku dikerumunan dari atas sana, sementara paman Ezio mengikuti arah pandang Fiacra. Tatapan kami sempat bertemu, walaupun jauh di atas sana tapi aku merasa paman menatapku kaget. Kaget mendapatiku berdiri diantara rakyat tanpa pengawalan, aku mengangguk dan memberi senyuman ke arahnya, aku berharap paman Ezio melihatnya walau dari jauh, dan mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.
Setelah Fiacra dan paman Ezio tampak terbang menjauh ke arah istana, aku mulai melanjutkan langkahku.
"Wah sepertinya jendral agung telah kembali, syukurlah, senang melihatnya lagi."
Banyak orang memulai percakapan dengan wajah tersenyum, mereka membahas paman Ezio.
Paman Ezio adalah Jendral Agung Kekaisaran Matahari, orang kepercayaan ayah. Paman Ezio tak memiliki hubungan darah dengan ayah maupun ibu, tapi aku menyayanginya seperti pamanku sendiri. Usianya masih muda, 31 tahun, lebih muda 2 tahun dari kak Nala tapi lebih tua 2 tahun dari kak Prisa, dan masih belum menikah, entah kenapa. Padahal ibu pernah bercerita kalau banyak putri kerajaan yang menawarkan diri menjadi istrinya.
Sambil berjalan, ingatanku mulai mengembara. Saat aku kecil,selain digendong oleh ayah ibu dan kedua kakakku, aku hanya pernah digendong oleh ibu asuh Sarala dan Paman Ezio. Tidak ada orang lain yang pernah menyentuhku selain mereka, bahkan kalau keluar istana, ayah selalu memerintahkan banyak pengawal di sisiku, kecuali hari ini, tentunya.
'Mungkinkah ayah sudah tak menyayangiku lagi?' batinku lirih.
"Yang Mulia, ke mana Yang Mulia hendak pergi?"
Aku menghentikan langkahku dan menatap asal suara. Di hadapanku berdiri seorang prajurit berseragam khas kekaisairan matahari, sedang bertanya dengan sopan. Aku melihat sekeliling dan menemukan setidaknya ada 10 prajurit yang memakai seragam yang sama. Mereka terlihat berjaga di depan sebuah gerbang besar. Gerbang itu terbuat dari tumpukan batu yang terlihat telah berlumut, dengan tulisan setengah melingkar tertulis Hutan Hujan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
guest1052940504
hmmmm
2021-06-20
1
EL CASANDRA
nah kan gk kerasa kl lagi ngelamun
2021-05-25
2