"Yang Mulia,"
Aku kembali menatap laki-laki itu dan tersenyum padanya, "Balin, kenapa kau di sini? pantas saja aku tak melihatmu sejak kemarin."
Balin bersimpuh dengan satu kakinya di hadapanku, layaknya seorang ksatria yang memberi hormat. Balin adalah kepala pengawal pribadiku yang diutus ayah untuk menjagaku. Tak heran jika ia begitu cepat mengenaliku walaupun kepalaku tertutup tudung.
"Mohon ampun Yang Mulia, saya mendapat tugas dari Yang Mulia Kaisar untuk mengontrol penjagaan Hutan Hujan sejak kemarin," ucap Balin sambil menunduk.
"Berdirilah Balin, tidak ada yang harus kuampuni."
Balin berdiri di hadapanku, "Terimakasih Yang Mulia."
Balin adalah seorang pemuda ksatria, murid paman Ezio. Dia tidak setampan paman Ezio, tapi bisa dibilang di atas rata-rata. Berbeda dengan Paman Ezio yang terlihat dingin dengan rambut silver pendek dan mata coklat muda, Balin terlihat hangat dengan kulit coklat, rambut hitam dan mata hitam pekat. Pembawaannya gagah, bisa membaur dengan mudah, tapi bisa amat sangat kejam jika diperlukan. Aku pernah melihatnya marah pada bawahannya, dan tidak ingin melihatnya lagi, sangat mengerikan.
"Balin, jadi apa aku bisa masuk ke sana?" tunjukku ke dalam hutan hujan. "Kenapa diperlukan penjagaan di pintu masuk hutan ini?"
Balin sedikit ragu untuk menjawab, terlihat sorot matanya yang sedikit gusar. "Ampun Yang Mulia, apakah saya boleh tau, apa alasan Yang Mulia ingin masuk ke hutan hujan?"
Aku kembali tersenyum, "Ayah menyuruhku mengantar sesuatu untuk Kak Nala."
Balin seolah tak percaya dengan yang ku katakan, ia menelisik ke sekelilingku seperti mencari seseorang.
"Ini hukuman Balin," singkat tapi Balin pasti akan mengerti kenapa ia tak menemukan ibu asuh Sarala atau pengawal yang selalu ayah perintahkan untuk mengawalku.
"Bukankah melewati hutan hujan adalah jalan satu-satunya?"
"Tidak Yang Mulia, ada jalan lain melewati Kerajaan Green. Rakyat biasanya memilih jalan tersebut walaupun membutuhkan waktu lebih lama," Balin menjelaskan apa yang tidak aku ketahui. Ternyata aku memang benar tidak mengetahui kekaisaranku sendiri, satu lagi kenyataan pahit yang harus kuterima, pantas saja ayah semarah itu.
Aku berpikir sejenak, lewat hutan hujan atau lewat kerajaan Green ya? Tapi selama ini Kak Nala dan ibu hanya pernah mengatakan jalur melalui hutan hujan, bukan kerajaan Green. Tapi sepanjang jalan tadi aku mendengar bahwa banyak rakyat yang takut melalui hutan hujan, dari obrolan mereka kusimpulkan bahwa hutan hujan penuh dengan binatang buas dan sesuai namanya, hujan akan turun tiba-tiba, tanpa bisa diprediksi.
"Balin, menurutmu apakah aku bisa selamat kalau melewati hutan hujan? Kau tahu, dengan keadaanku ini?" Aku meminta pendapat Balin, setidaknya jawabannya bisa kupertimbangkan untuk membuat keputusan.
"Untuk itu silahkan Yang Mulia mencari jawabannya sendiri, hamba tidak bisa memberi jawaban," jawab Balin membuatku penuh tanda tanya. Balin tak pernah bermain teka-teki seperti ini. Kalau jawabannya seperti ini, mungkin hutan hujan tidak semengerikan yang orang bicarakan. Balin bukan orang yang akan membahayakan nyawaku, bahkan sebaliknya, ia akan siap berdiri paling depan untuk melindungiku.
"Baiklah, aku akan masuk ke hutan hujan. Terimakasih Balin, sampai bertemu lagi."
"Berhati-hatilah Yang Mulia," aku mengangguk dan tersenyum padanya seraya melangkahkan kakiku melewati gerbang hutan hujan.
Sejuk dan lembab, itu yang kurasakan. Pohon dan berbagai tanaman tumbuh dengan suburnya seolah tak ada yang menghalangi. Bahkan kulihat banyak pohon-pohon besar yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Aku terus berjalan memasuki hutan itu, waspada tapi tetap tenang, tanganku bersiaga untuk mencapai belati di saku celana bila ada keadaan mendesak.
Semakin masuk aku semakin heran, aku sama sekali tidak mendengar apapun, sangat sunyi dan semakin lembab. Langkahku terhenti, mataku menjelajah hutan hanya dengan bantuan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah pepohonan. Angin berhembus membuat tudungku jatuh terlepas di bahu.
"Selamat datang Yang Mulia, maafkan hamba terlambat memberi hormat."
Aku terhenyak kaget, spontan tubuhku bergerak ke arah sumber suara. Aku berani bersumpah tadi sama sekali tak ada orang, tapi kenapa tiba-tiba muncul begitu saja.
Terlihat sepasang laki-laki dan perempuan di hadapanku, sepertinya suami istri. Mereka sangat rupawan dengan mahkota kristal terpasang indah di kepala mereka. Perubahan terjadi sekejap, hutan yang sunyi kini mulai menampakan keindahannya, bunga-bunga bermekaran, aroma wangi bunga dan buah seolah menari di hidungku. Beberapa hewan mulai muncul, seolah menyapaku. Mereka mulai berkumpul, lebih tepatnya berbaris.
"Maaf, bolehkah saya tahu siapa kalian berdua? Apakah kalian mengenal saya?" Aku sama sekali tidak menemukan sosok mereka dalam ingatanku, aku yakin aku belum pernah mengenal mereka, tapi kenapa mereka tampaknya mengenalku?
"Perkenalkan Yang Mulia, saya Edward dan ini istri saya, Vivian. Selamat datang di kerajaan kami, Yang Mulia." Mereka memberi hormat padaku, bahkan hewan-hewan pun menundukkan kepala ke arahku.
"Kerajaan? Apakah hutan hujan adalah kerajaan?" tanyaku bingung, aku benar-benar baru mengetahuinya.
Vivian terlihat tersenyum ke arahku, "benar Yang Mulia. Namun hanya keluarga kekaisaran dan tetualah yang mengetahuinya. Hutan hujan dibuat khusus oleh Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri, dan kami diberi kepercayaan untuk menjaganya."
Maka mereka adalah raja dan ratu, segera setelah menyadari aku memberikan hormat kepada mereka, "Maafkan kelancanganku Yang Mulia Raja Edward dan Yang Mulia Ratu Vivian."
"Yang Mulia," tiba-tiba mereka bersimpuh dihadapanku. "Kami tidak pantas menerima hormat Yang Mulia."
Apa-apaan ini, kenapa mereka merasa bersalah ketika aku memberi hormat kepada mereka? Aku hanya putri kaisar, bukan putri mahkota. Bukankah memang sudah seharusnya aku memberi hormat?
"Saya mohon berdirilah, saya akan merasa bersalah jika kalian terus seperti ini." Aku merasa kikuk, aku yakin mereka bukan manusia tapi entah kenapa aku merasa mereka tidak memiliki niat jahat terhadapku. Mereka masih tak bergeming dan masih bersimpuh di hadapanku. "Tolong berdirilah, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi."
Ajaib, janjiku membuat mereka langsung berdiri, walaupun rasa hormat masih jelas terlihat di wajah mereka. "Jadi aku harus memanggil kalian bagaimana?"
"Cukup panggil dengan nama kami Yang Mulia," jawab Edward padaku.
"Baiklah Edward," jawabku masih kaku memanggil namanya. "Maafkan aku tapi bolehkah aku bertanya?"
"Dengan senang hati Yang Mulia," jawab mereka berdua bersamaan.
"Bagaimana kalian bisa mengenaliku?"
Mereka terlihat tersenyum penuh arti, "Semua di hutan ini mengenali Yang Mulia. Aura Yang Mulia terpancar begitu indahnya, bagaimana mungkin kami tidak mengenali Yang Mulia Putri Aira."
'Aura?' tanyaku dalam hati. Aku bahkan tidak memiliki bakat, bagaimana mungkin aku memiliki aura. Bahkan aura yang indah? Apa-apaan ini? Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku lontarkan, tapi kucoba untuk menahannya.
"Yang Mulia, bersediakah Yang Mulia mampir ke istana kami?" kata-kata Vivian lebih terasa bagaikan permohonan. Aku mencoba menelisik kedua pasang mata Erdward dan Vivian, dan aku hanya menemukan ketulusan.
"Tentu, maaf sudah merepotkan."
"Terimakasih, kehormatan luar biasa bagi kami Yang Mulia," jawab keduanya bersamaan.
Mereka memimpin jalan, aku berjalan di samping mereka. Setiap langkah kami diiringi dengan bunga-bunga bermekaran, seolah menyambutku dengan bahagia. Seekor unicorn putih berjalan di samping kananku, dan harimau putih nan gagah berjalan di samping kiriku. Kicauan burung terdengar sangat merdu bagaikan paduan suara yang indah. Aku tak henti-hentinya tersenyum, sungguh tempat yang indah.
Tak lama kemudian terlihat sebuah istana kristal yang indah nan megah. Di depannya berdiri puluhan rakyat yang berpakaian sama seperti Edward dan Vivian tapi lebih sederhana, kali ini aku terpaku. Baru kusadari kedua telinga mereka meruncing, tanda khas Elf. Mereka Elf? Elf dikenal sebagai makhluk abadi, dan yang mengejutkan lagi, aku menemukan kerajaan Elf di kekaisaran ayah? Apa ini? Aku benar-benar baru mengetahuinya.
"Hormat kami Yang Mulia Putri Aira," mereka bersimpuh serempak. Tampak lebih banyak hewan yang ikut memberi hormat. Hatiku terasa sesak, seolah tidak pantas menerima penghormatan yang begitu tulus. Aku hanya putri tak berbakat, bagaimana bisa kaum Elf yang abadi memberi hormat padaku?
"Terimakasih, berdirilah. Semoga kalian selalu diliputi kebahagiaan," ucapku tulus. Sekejap aku melihat cahaya bagaikan serbuk emas menghujani mereka.
"Terimakasih Yang Mulia," ucap mereka seraya berdiri, kulihat senyuman menghiasai wajah mereka. Tapi serbuk emas apakah tadi itu?
"Silahkan Yang Mulia", Vivian mempersilahkanku duduk di sebuah kursi dengan meja kristal bundar di tengahnya. Seorang pelayan menggeser kursiku dengan sopan, mempersilakanku duduk.
"Terimakasih," senyumku tak bisa hilang. Kini aku duduk di sebuah gazebo di tengah hamparan bunga yang bermekaran dengan indahnya. Edward dan Vivian duduk melingkari meja. "Sungguh indah kerajaan kalian, aku sangat senang melihatnya."
"Mereka bersikeras ingin menyambut Yang Mulia," ucap Vivian sambil menghidangkan teh untukku.
Aku memandang deretan hewan yang masih berjajar di sekeliling gazebo, dan mataku tertuju pada seekor rubah putih berekor sembilan. Cantik, aku benar-benar ingin menyentuhnya.
"Maaf, bolehkah aku menyentuhnya?" tanyaku berharap.
Edward dan Vivian menjawab dengan anggukan.
"Kemarilah," ucapku pada rubah itu. Kulihat rubah itu mendekat dengan senyum dan tatapan bahagia. Aku menepuk pahaku, seolah mengerti apa yang kumaksud, rubah putih besar itu kini mengecil menjadi seukuran kelinci dan melompat ke pangkuanku. "Ya ampun lucunya," kubelai bulu putihnya yang sangat lembut, ia pun tampak nyaman dan senang, hingga terlelap dalam pangkuanku.
"Yang Mulia, maafkan kelancangan hamba, bolehkah hamba tau ke mana tujuan Yang Mulia?" Edward bertanya dengan hati-hati.
"Ke tempat Kak Nala," jawabku seraya mengangkat cangkir dan meneguk teh yang teramat harum, aku tersenyum puas.
"Bolehkah kalian menceritakan apa yang tadi kalian katakan kepadaku? Tolong ceritakan tentang asal muasal kekaisaran ayah, aku yakin kalian mengetahui semuanya."
Edward mulai membuka mulutnya, "Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri merupakan pewaris dari dua kekaisaran besar di benua lain, mereka saling mencintai."
Edward meneguk tehnya, dan memandangku dengan tatapan sayu. "Sayangnya mereka dikelilingi orang-orang serakah yang menginginkan kedudukan mereka sebagai pewaris, hingga akhirnya Yang Mulia berdua sepakat untuk menikah dan melepas kedudukan mereka sebagai pewaris."
"Beberapa rakyat yang setia terhadap Yang Mulia, mengucap sumpah untuk tetap setia melindungi Yang Mulia dan mengikuti ke manapun Yang Mulia pergi. Kami salah satunya, hingga yang Mulia menemukan daratan ini dan membangun Kekaisaran Matahari. Yang Mulia bahkan membuatkan kami kerajaan dengan kemampuan mereka, Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri adalah Penguasa sesungguhnya, Penguasa yang kami akui dan kami lindungi sampai kapan pun."
Aku menangkap beberapa celah dari kata-kata Edward, "Bagaimana bisa kalian yang abadi mengakui kami manusia sebagai pemimpin?"
Tak kusangka Edward dan Vivian tersenyum mendengar pertanyaanku, "Bagaimana Yang Mulia bisa menyebut diri Yang Mulia sebagai manusia?"
Mataku seolah melotot, "Apa maksudmu? Apa aku bukan manusia?"
Tapi keduanya hanya memberiku jawaban dengan senyuman. "Yang Mulia Tuan Putri Aira, perlu Yang Mulia ketahui bahwa selama Yang Mulia berada di wilayah kekaisaran Matahari, Bintang dan Bulan, tidak ada seorangpun yang akan berani membuat Yang Mulia terluka."
Belum sempat aku bertanya, kini Vivian mulai melanjutkan kata-kata Edward. "Ketiga kekaisaran dilindungi sihir pelindung yang berlapis, tidak bisa ditembus bahkan dimasuki oleh satupun makhluk yang memiliki niat jahat terhadap anggota inti kekaisaran. Semua dibuat untuk melindungi Yang Mulia Kaisar beserta seluruh keturunan Yang Mulia."
Apalagi ini, sihir pelindung? Kenapa ayah ibu bahkan kak Nala dan Kak Prisa tidak ada yang pernah menceritakannya padaku. Ya ampun apa yang sebenarnya ku ketahui.
"Tapi kenapa aku baru mengetahui kisah ini dari kalian?"
Edward menyatukan tangan kanannya dengan tangan kiri Vivian, "saya rasa Yang Mulia Kaisar, ingin memperkenalkan Yang Mulia Putri Aira kepada kami."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Sri Wahyuni
👍👍👍💪💪💪🌹🌹🌹
2024-05-24
0
Asmi Pandansari
bagus
2022-04-21
0
achaaa_AlisyaJeslynchaniago
padahal bagus kok sepi sihh..
woyy pada kemanee nii like and votenyaa
2021-11-19
4