3. Sebuah Rasa

Semester kenaikan kelas satu bulan lagi. Seluruh murid As sobirin selain melunasi uang spp serta uang semester, mereka juga harus menyetor hapalan Al-quran yang sudah ditentukan setiap semesternya. Walaupun murid itu sudah lunas dalam pembayaran administrasi tetapi belum hapalan, tetap saja mereka tidak bisa mengikuti semester.

Seluruh murid sangat sibuk pagi itu, mereka membuka Al-quran masing-masing untuk menghafalnya. Begitupun Bela yang meminta Zahra untuk mengetesnya. Pelajaran Agama diminta untuk bu Fauziah agar mereka menyetor surat. Di kelas Zahra hanya terdengar suara murid menghafal Al-quran.

Sehabis istirahat bu Fauziah menunggu mereka yang belum nyetor hapalan di kelas XI Akuntansi. Zahra termasuk yang belum nyetor karena sejak tadi membantu Bela menghafalnya.

"Ke kantin yuk!" Ajak Bela pada Zahra.

"Yuk."

Mereka pun menuju kantin. Zahra dan Bela tercengang saat sampai di kantin, karena hari itu kantin benar-benar sepi. Hanya beberapa murid saja yang makan di sana, ternyata murid-murid yang lainnya memilih tidak ke kantin daripada harus tidak ikut semester kenaikan kelas. Murid As sobirin memang dididik untuk bertanggungjawab dan tidak menyepelekan hal-hal seperti itu.

Bela heran mengapa Zahra sangat santai memakan makanannya, padahal dia belum menyetor hapalannya pada bu Fauziah.

"Kamu tidak kepikiran Zahra?" Tanya Bela.

"Kepikiran apa?" Zahra bertanya balik.

"Setoran surat sama bu Fauziah." Jawab Bela.

"Tidak, mudah-mudahan saja aku bisa ya." Ucapnya.

"Aamiin. Tapi, kamu hapalan di kelas XI Akuntansi loh."

"Memangnya ada apa di sana?"

"Itu kan Kelasnya kak Akbar, masa sih kamu tidak tau."

Zahra menghentikan makannya dengan alasan sudah kenyang. Dan mengajak Bela ke kelas.

Bel masuk pun sudah terdengar, bahkan ketua kelas sudah memberitahukan kepada teman-temannya bagi yang belum setor hapalan surat ditunggu bu Fauziah di kelas XI Akuntansi.

"Zahra giliran kamu." Ucap salah seorang teman kelas Zahra.

Zahra berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju kelas XI Akuntansi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Masuk Zahra." Suruh bu Fauziah pada Zahra.

Mendengar nama Zahra dipanggil, Akbar langsung memandang gadis itu. Pandangannya tidak ke mana-mana, ia tertunduk sampai duduk di depan bu Fauziah.

Akbar tersenyum sumringah mengetahui Zahra akan hapalan di kelasnya, sebab ia tidak perlu repot-repot meminta Zahra mengeluarkan suaranya untuk membaca Al-quran.

Suasana menjadi hening, mereka semua terdiam dari hapalannya saat mendengar Zahra mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-quran. Zahra tidak hanya sekedar hapalan, namun ia juga memperhatikan tajwid serta panjang pendeknya. Satu kelas dibuat kagum oleh Zahra, suara indah yang ia miliki mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarnya.

Semua murid kelas XI Akuntansi saling pandang setelah Zahra menyudahi hapalannya. Bu Fauziah menyuruh Zahra untuk kembali ke kelas.

"Kok jadi sepi?"

Pertanyaan bu Fauziah menyadarkan muridnya, mereka kembali melanjutkan hapalannya. Namun siapa sangka Akbar begitu mengagumi suara indah Zahra, pertemuannya di masjid mampu membuat dirinya senyum-senyum sendiri.

Satu hari ini mereka hanya akan setor hapalan supaya ikut semester, bahkan kepala sekolah memang mengkhususkan bahwa akan menjadi pelajaran Agama bagi seluruh kelas tanpa terkecuali. Dan itu terjadi satu minggu full.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, Zahra keluar kelas sambil memandangi air hujan, karena ia sudah selesai hapalan makanya ia bisa santai sejenak. Tanpa ia sadari bahwa Akbar pun ikut memandangi dirinya dari seberang kelas yang terhalang oleh air hujan.

"Zahra!" Panggil bu Fauziah.

"Iya bu." Zahra langsung berjalan menujunya.

"Tolong kamu dengarkan hapalan murid XI Akuntansi ya, ibu harus ke kelas XII Marketing. Ini absennya, siapa yang sudah hapalan, kamu tulis ya surah apa dan berapa ayat." Ucap bu Fauziah.

"Ta...Tapi bu."

"Kamu tidak perlu gugup, mereka itu teman kamu. Nanti ibu kasih tau mereka kalau mereka nyetor hapalan ke kamu."

"Emm... Baik bu."

Zahra pun menuruti apa yang dikatakan bu Fauziah. Lalu ia duduk dikursi guru sambil membaca nama-nama murid kelas XI Akuntansi. Untungnya kakak kelas Zahra begitu baik padanya, tidak senioritas di sekolahnya walaupun ia murid baru.

"Zahra aku mau setor hapalan ya." Ucap salah seorang siswi duduk di hadapan Zahra.

"Iya kak, silahkan."

Lalu Zahra mendengarkan lantunan surah yang sedang dibacakan oleh kakak kelasnya itu.

"Udah selesai kak?" Tanya Zahra.

"Segitu dulu ya, besok lanjut lagi, hehehe." Jawabnya.

"Iya deh. Surah An-nisa ayat 1-50 ya." Ucap Zahra.

"Kamu hafidzah qur'an ya?"

"Emm... Iya." Jawab Zahra malu-malu.

"Masyaallah, semoga aku bisa kayak kamu ya."

"Aamiin."

"Ada lagi yang mau setor?" Tanya Zahra sambil melihat jam dinding, karena sebentar lagi akan masuk sholat dzuhur.

"Ada."

Akbar berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah Zahra dan duduk di hadapannya. Saat Akbar mulai melantunkan hapalannya, baik Akbar dan Zahra saling menundukkan kepalanya. Zahra tidak mau larut dalam pandangannya pada laki-laki yang baru saja ia kenal namanya. Begitupun dengan Akbar, ia tidak mau menatap wajah cantik Zahra, ia takut nafsu dalam dirinya keluar sehingga menghilangkan ayat-ayat suci Al-quran yang sudah ia hapalkan.

Teman-teman sekelas Akbar saling pandang menyaksikan sikap kedua temannya di depan. Mereka tidak tahu mengapa alasan Akbar dan Zahra menunduk. Namun sikap mereka membuat teman-temannya tersenyum.

Selesai Akbar setor hapalan, Zahra meminta seluruh murid pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Mereka pun langsung keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju masjid, sedangkan Zahra merapihkan absen lalu memasukkannya ke dalam laci meja.

"Kamu cocok jadi guru agama." Ucap Akbar berjalan di depan Zahra.

"Makasih." Kata Zahra sambil tersenyum dibelakang Akbar.

"Emm... Apa kamu tinggal di Aceh selamanya?" Tanya Akbar.

"Maksudnya?"

"Maksudku... Apa kamu akan balik lagi ke Mesir?"

"Lulus sekolah aku ingin belajar di Arab, di sana ada paman dan bibiku." Jawab Zahra.

"Oh."

"Kenapa tanya seperti itu?" Tanya Zahra.

"Tidak apa-apa." Akbar langsung membuka sepatunya dan segera pergi untuk meengambil air wudhu.

Zahra termenung sejenak, ia berpikir mungkin Akbar ingin mengetahui keluarganya, dan rencana Zahra ke depannya.

Selesai sholat dzuhur mereka kembali ke kelas dan melanjutkan setoran surat pada Zahra. Seusai sholat ashar mereka semua pulang, Zahra memberikan absen kelas XI Akuntansi pada bu Fauziah di kantor. Ia berjalan menuju kantin siswa, karena ia merasa lapar kembali datang.

"Bela, kalau kamu mau pulang duluan tidak apa-apa kok. Aku makan sendiri saja." Kata Zahra menunggu bakso pak min.

"Aku belum dijemput Zahra." Ucap Bela.

Saat mereka sedang makan, Akbar bersama dua temannya datang ke kantin dan memesan bakso pak min. Mereka duduk di seberang meja Zahra. Bela yang tahu Akbar datang langsung merapihkan kerudungnya dan menjaga sikapnya agar terlihat manis didepan kakak kelasnya itu.

Selesai makan Akbar menghampiri meja Zahra dan Bela. Ia duduk di depan Bela sambil membawa minumannya.

"Udah makan?" Tanya Akbar.

"Alhamdulillah sudah kak." Jawab Bela.

Zahra hanya tersenyum melihat sahabatnya. Sebenarnya Akbar bertanya pada Zahra namun ia juga tidak bisa memberi alasan untuk siapa pertanyaan itu ia ajukan.

"Zahra, kak Akbar, aku duluan ya. Aku udah dijemput." Kata Bela.

"Iya hati-hati ya." Ucap Zahra.

"Okeh, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Balas Zahra dan Akbar.

"Emm... Kapan ngisi pengajian lagi?" Tanya Zahra.

"Insyaallah besok malam." Jawab Akbar.

"Kamu mau datang?" Tanya Akbar.

"Insyaallah."

"Zahra, apa kamu benar akan belajar di Arab?"

Akbar menanyakannya lagi untuk memperjelas semuanya. Bahwa perempuan yang sedang ada di hadapannya itu akan bersekolah jauh darinya.

"Kenapa kamu tanyakan itu lagi?" Zahra bertanya balik.

"Aku tidak bisa jawab sekarang, kenapa aku bertanya itu ke kamu. Tapi suatu hari nanti itu menjadi jawaban buat diriku sendiri."

Zahra tidak mengerti dengan jawaban Akbar, ia juga tidak bisa bilang bahwa ia tidak akan ke Arab karena memang ia ingin sekali belajar di sana.

"Aku akan meneruskan sekolah di sana. Kalau kamu serius bertanya keberadaanku, tanyalah pada orangtuaku dan berikan mereka alasan." Ucap Zahra.

Akbar terdiam cukup lama, sampai akhirnya Zahra pergi meninggalkan Akbar dikantin sendirian. Perkataan Zahra akan terus Akbar ingat sampai kapanpun. Ia pun pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya.

...***...

Seusai sholat isya, Akbar duduk di teras rumahnya yang sederhana. Ia memandang lurus ke depan sambil memikirkan kata-kata Zahra. Baru kali ini ia merasakan berbeda saat bertemu dengan seorang perempuan. Apalagi saat Zahra menjawab pertanyaannya sewaktu itu di masjid, tentang bagaimana jika seseorang merasakan rindu pada orang lain. Ia memegang dadanya yang berdetak kencang, lalu ia tersenyum sendiri.

"Wah-wah! Ada yang sedang kasmaran nih!"

Akbar terkejut mendengar suara perempuan yang sudah tidak asing lagi baginya. Dia adalah Khodijah, adik Akbar yang baru pulang dari pesantren.

"Khodijah?!"

"Iya ini aku. Kakak nih senyum-senyum sendiri, ada apa sih?" Tanya Khodijah.

"Kok kamu pulang tanpa bilang aku? Memangnya ada apa?" Akbar bertanya balik.

"Katanya ibu sakit."

"Alhamdulillah sudah baikan, masuk yuk." Ajak Akbar.

"Assalamu'alaikum bu." Khodijah memberikan salam di depan kamar ibunya.

"Wa'alaikumsalam, Khodijah kenapa kamu pulang nak?" Tanya ibu Neni.

"Aku khawatir sama ibu." Jawab Khodijah.

"Loh ibu kan sudah sehat. Besok kamu balik lagi ke pesantren ya tidak enak sama bu ustadzah." Kata Ibu bangun dari kasur lalu berjalan menuju ruang tamu.

"Ustadzah baik kok sama aku, dia kasih izin 3 hari buat jenguk ibu. Lagi pula liburan kemarin kan aku tidak pulang bu, memangnya ibu sama kakak tidak rindu padaku." Ujar Khodijah.

"Kita rindu kamu kok. Hanya saja, kakak tidak ada uang waktu itu untuk ke pesantren kamu." Sahut Akbar tersenyum tidak enak pada adiknya.

Semenjak kepergian ayah, Akbar menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

"Ah kakak nih, kamu sudah terlalu banyak keluarin uang buat aku. Tapi... Akunya saja yang masih egois. Maaf ya kak, bu." Khodijah menyandarkan kepalanya pada Erik dan menggenggam tangan ibunya.

"Iya tidak apa-apa. Kamu sudah makan?" Tanya ibu.

"Belum." Jawab Khodijah manja pada ibunya.

"Kalau begitu kamu makan dulu ya, ibu temani."

"Oke."

Melihat kedua wanita itu, di dalam hati membuat Akbar bahagia. Namun ia juga sadar kalau tabungan ayah untuk dirinya dan keluarga sudah mulai menipis. Untung saja liburan sekolah sebentar lagi, ia akan pergunakan untuk mencari pekerjaan buat tambah biaya sehari-hari.

Mengingat keadaannya seperti ini, rasanya Akbar sadar bahwa ia tidak cocok untuk mendampingi seorang wanita bernama Zahra. Jangankan untuk menjadi pendamping hidup, memikirkannya saja harusnya ia tidak lakukan.

Namun hatinya tidak bisa berbohong, semakin hari Akbar coba lupakan Zahra dan menjaga jarak padanya di sekolah, justru semakin dalam perasaannya. Apalagi saat Zahra melantunkan ayat suci Al-qur'an, hatinya semakin yakin pada Zahra.

Di sepertiga malam, Akbar meminta Allah agar memberikan kejelasan pada hatinya. Bahkan ia meminta wanita terbaik untuk dirinya kelak yang bisa menyayangi keluarganya, yang bisa menerima kekurangan dirinya. Nama Zahra ada di dalam do'anya, ia meminta pada sang pemilik hati, jika memang ia jatuh cinta maka buatlah cintanya menjadi kenyataan.

..."Ya Allah, engkau maha pemilik hati, engkau yang maha membolak-balikkan hati hambamu. Ya Allah jika memang aku mencintai Zahra, jadikan cintaku ini karenaMu, bukan karena nafsu di dalam diriku. Ya Allah jadikan dia sebagai jodohku, semoga dia adalah pemilik tulang rusuk diriku."...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!