5. Jatuh Cinta

Tak terasa sudah hampir dua minggu Akbar bekerja diperusahaan pak Heru. Ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang office boy yang sangat baik. Bahkan menurut pak Heru andai saja Akbar telah lulus sekolah mungkin ia akan dipromosikan naik jabatan.

Akbar sangat sibuk selama liburan sekolah tahun ini, sampai-sampai ia melupakan sejenak perasaannya pada Zahra. Sebenarnya ia tidak benar-benar melupakan gadis itu, hanya saja ia ingin menyibukkan dirinya sendiri supaya tidak terlalu memikirkan Zahra.

Di sisi lain Zahra menantikan kabar Akbar, ia menatap ponselnya dan berharap ada nomor baru di hp nya. Begitu pun Akbar, ia memang sudah memiliki nomor Zahra namun enggan rasanya untuk mengirimi pesan. Ia masih minder dengan dirinya yang belum bisa menghasilkan apa-apa. Andai saja Zahra tahu alasan mengapa Akbar menjauh darinya pasti Zahra merasa kecewa dengannnya, padahal Zahra menerima siapa pun yang ingin dekat dengannya.

Saat Akbar sedang berjalan dalam lamunannya, tanpa sengaja ia menyenggol seorang perempuan. Akbar panik melihat sepatu yang dikenakan oleh perempuan itu kotor oleh percikan kopi yang jatuh ke lantai. Suara gelas pecah membuat orang-orang menoleh dan memperhatikan Akbar.

Akbar langsung membersihkan pecahan kaca tersebut, ia berdiri lalu meminta maaf kepada perempuan itu.

"Saya minta maaf, karena saya, sepatu anda kotor." Ucap Akbar takut. Ia takut perempuan itu akan memaki dirinya karena kelalaiannya.

"Anda? Apa kamu pikir saya sangat tua?!" Sahut perempuan itu berkacak pinggang sambil menatap wajah Akbar.

Mendengar suara perempuan itu, karyawan yang lalu lalang terkekeh melihatnya.

"Emm..." Akbar bingung harus memanggil dengan sebutan apa pada perempuan itu.

Perempuan itu tersenyum ramah lalu mengulurkan tangannya, "Panggil saya Hawa." Ucapnya.

Akbar terkejut saat tangan itu berada di hadapannya, "sa... saya Akbar."

"Apa kamu anak magang yang diceritakan oleh karyawan kantor di sini?" Tanyanya lagi, nada suara Hawa kali ini terdengar bersahabat dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

"Saya bekerja saat liburan sekolah saja."

Hawa mengangguk pelan, "Aku juga sedang liburan sekolah. Kantor ini hebat ya bisa menerima anak sekolah seperti kita." Ucapnya.

"Iya." Kata Akbar.

"Yaudah kalau begitu, maaf kamu harus buat ulang kopi untuk atasan kita."

"Ah, tidak apa-apa. Saya yang salah kok."

"Oke, good luck ya." Kata Hawa berjalan ke arah toilet untuk membersihkan kaki serta sepatunya.

Hawa melihat dirinya yang terpantul dari cermin toilet. Ia menatap dirinya sebentar lalu tersenyum, ia merapihkan rambut dan menguncir ulang rambutnya.

"Akbar.. Lumayan tampan juga." Ucapnya pelan.

Dengan kaki jenjangnya, Hawa berjalan ke meja kerjanya. Ia meminta Akbar membuatkan kopi untuknya.

Akbar merasa Hawa sangat beruntung karena bisa magang menjadi sekretaris perusahaan tersebut. Padahal ia hanya anak SMA sama seperti dirinya. Akbar menaruh kopi di meja Hawa, namun Hawa langsung meminta nomor telepon Akbar dengan alasan kejadian itu perlu ada bayarannya.

Akbar langsung memberikannya tanpa basa-basi, sebab memberikan nomor telepon tidaklah susah daripada Hawa harus bilang pada atasan bahwa ada gelas yang pecah karenanya. Karena ia masih ragu jika orang lain yang bilang kejadian tersebut akan berlebihan.

Hawa melihat Akbar sedang menunggu di depan ruang pak Heru. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi. Hawa mendengarkan pembicaraan mereka berdua dari balik pintu.

"Ada apa Akbar?" Tanya pak Heru.

"Emm.. Begini pak... Emm..."

"Ada apa? Katakan saja." Ucap pak Heru memandang wajah Akbar yang tampak ragu tidak seperti biasanya.

"Sebelumnya saya minta maaf pak. Emm... Ada gelas kantor yang tanpa sengaja pecah pak saat saya berjalan ke ruangan bapak." Akbar menjelaskannya, ia akan menerima konsekuensinya.

Pak Heru tersenyum, "Tidak apa-apa Akbar. Sekarang kamu pulang saja sana."

"Bukan begitu maksud saya pak, emm... Saya menerima konsekuensinya, kalau memang bapak menyuruh saya untuk ganti rugi gelas itu pak."

"Saya mengerti, tapi itu tidak perlu di ganti. Kamu tahu kenapa?" Tanya pak Heru.

Akbar menggeleng.

"Karena kamu orang pertama yang berani bertanggungjawab di bidang kamu. Sudah lah tidak perlu dipermasalahkan, sekarang kamu pulang saja ya." Ucap pak Heru.

"Sekali lagi saya minta maaf pak. Terimakasih atas kebaikan bapak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Akbar langsung keluar dari ruangan pak Heru dan langsung berjalan pulang dengan perasaan lega.

Hawa berdecak kagum dengan kejujuran Akbar, belum pernah ia melihat karyawan kantor yang sadar akan kesalahannya. Hawa mengetuk pintu ruangan pak Heru lalu masuk ke dalam dan duduk sambil memainkan pulpen.

"Laki-laki itu tanpa sengaja menyenggol aku dan gelas itu pecah deh pah. Tapi aku suka karena dia sangat jujur atas sikapnya." Ucap Hawa.

Pak Heru langsung memandang putrinya, saat ia sedang cerita bertemu dengan Akbar pertama kalinya.

"Dia memang anak yang sangat jujur dan bertanggungjawab. Tidak salah papah memperkerjakan dia. Lalu apa yang membuatmu senyum-senyum seperti itu?" Tanya pak Heru.

"Tidak apa-apa pah. Aku tidak bilang padanya, kalau aku anakmu. Hanya saja aku selalu tersenyum saat pertama kali menatap wajahnya." Jawab Hawa.

"Apa kamu menyukainya?"

Hawa mengangkat bahunya.

"Kamu pernah bilang ke papah ada yang namanya cinta pandangan pertama, apa itu sedang terjadi padamu?"

Hawa langsung menatap papahnya, "papaaaaah.. Aku tidak tau apa yang aku rasakan padanya. Hayu lah kita pulang, dan setidaknya kau jujur pada Akbar bahwa kau pemilik perusahaan ini."

"Hahahaha kamu juga harusnya jujur bahwa kamu anakku."

Mereka pun berjalan bersama dan langsung menuju rumah.

Di dalam kamar Hawa duduk dibalkon kamarnya, ia merasakan ada sesuatu di hatinya saat pertemuannya dengan Akbar, ia juga senyum-senyum sendiri mengingat wajah Akbar saat kejadian di kantor.

"Sepertinya aku menyukainya." Ucapnya pada dirinya sendiri.

Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya mengirimkan pesan pada Akbar, apalagi ia tidak tahu apakah Akbar sudah memiliki kekasih atau belum.

Setiap kali Hawa ingin mengirimkan pesan ia selalu menghapusnya, ia benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya menjadi seperti itu. Untuk mengirimkan pesan pada cowok yang lain saja dengan sangat mudah ia lakukan, namun untuk Akbar, Hawa benar-benar bingung bagaimana cara menyampaikan pesannya.

Hawa menarik nafasnya panjang, lalu mengetik pesannya dan dikirimkan ke Akbar.

"Akbar, ini aku Hawa."

Kali ini Hawa kesal tidak ada balasan, bahkan ia sudah menunggu sepuluh menit. Biasanya cowok yang dapat pesan dari Hawa langsung membalasnya dengan cepat.

Sekitar pukul 9 malam, Hawa tersenyum sebab yang ia tunggu membalas pesannya.

"Iya."

Meskipun hanya "iya" Hawa tetap senang, setidaknya Akbar menyimpan nomornya. Ia langsung menelepon Akbar dan berharap Akbar mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum."

Suara Akbar terdengar dari sambungan telepon membuat Hawa gugup dan senyum-senyum sendiri.

"Halo."

^^^"Halo Akbar, kamu udah save nomor aku kan?"^^^

"Iya sudah. Ada apa Hawa?"

^^^"Memangnya aku tidak boleh menelepon?"^^^

"Bukan begitu, besok kan harus kerja."

^^^Hawa melihat jam dinding kamarnya, "baru juga jam 9. Aku sms kenapa baru bales sih? Sibuk banget. Hehhee"^^^

"Aku baru selesai tadarus di masjid."

^^^"Oh gitu. Emmm.. Udah dulu ya bar tiba-tiba aku ngantuk."^^^

"Iya."

^^^"Dah."^^^

"Assalamu'alaikum"

^^^"Wa'alaikumsalam."^^^

Akbar langsung mematikan teleponnya, Hawa tersenyum lalu merebahkan tubuhnya di kasur.

"Akbar berbeda." Ucapnya.

Hawa semakin yakin bahwa hatinya menyukai cowok yang menjadi anak magang di kantor papahnya. Bahkan ia tidak segan-segan menunjukkan perhatiannya pada Akbar.

Berhari-hari Hawa sangat perhatian pada Akbar, bahkan pernah Hawa membawakan makan siang untuk Akbar. Saat itu Doni hanya memperhatikan sikap temannya yang biasa saja pada sikap Hawa. Apalagi Akbar memang tidak tahu bahwa Hawa adalah anaknya pak Heru.

Cinta yang Hawa rasakan dihatinya semakin hari semakin dalam, bahkan ia berandai-andai ingin menjadi pendamping hidup Akbar. Meskipun mereka masih sekolah tetapi Hawa benar-benar menyukainya, belum pernah sekali pun Hawa sangat mencintai seorang cowok selain papahnya.

..."Aku mencintainya, dan aku tidak mau ia hanya menjadi angan di otakku. Aku mencintainya sepenuh hatiku. Tuhan, aku benar-benar mencintai orang islam itu." ...

...~Hawa~...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!