Satu malam berlalu tanpa kejelasan pasti.
Disebuah kamar, Elisabeth bolak balik tak tentu arah. Pikirannya masih melayang menunggu pagi menjelang. Tak bisa tidur, tentu saja! Gelisah? ya pasti. Siapa sih yang bisa tenang setelah gagal dihari pernikahannya.
"Sudah pukul 7," guman Elis sambil melompat dari ranjang nyaman dan empuk namun tak bisa membawanya tertidur semalaman.
Elisabeth menuju ruang tengah apartemen Resty. Sebuah ponsel yang batrainya telah terisi penuh diraihnya dari atas nakas. Sambil melepas kabel carging dari ponselnya, Elisabeth langsung menghubungi nomor ponsel Darian.
"Tuuuut tuuutp tuuut," suara pertanda ponsel Darian sedang aktif namun tak kunjung diangkatnya.
Berulang ulang Elisabeth menggubungi Darian namun hasilnya sama, tidak diangkat Darian.
"Ah, kak Delilah." Elisabeth menghubungkan panggilan ke nomor Delilah kakak Darian.
"Tuuut tuuutt tuut."
"Hai Elish," sapa Delilah masih dengan suara malas dan serak pertanda baru saja bangun tidur.
"Kak, Darian dimana kak. Elish ingin bicara dengannya," ucap Elisabet lembut sedikit memohon.
"Loh, dia belum hubungi kamu?"
"Belum kak, Elis telponin tapi nggak diangkatnya. Apa Darian disitu, berikan ponsel kakak padanya, Elis ingin ngomong sebentar dengannya."
"Jam berapa ini? Jam 7? Bentar kakak cek dulu. Nanti kakak telpon kamu balik," ujar Delilah langsung menutup ponselnya.
Elisabeth mondar mandir diruangan tengah berukuran sedang, berharap harap cemas Darian akan menghubunginya kali ini.
Beberapa saat, ponsel dalam genggaman Elisabeth berbunyi.
"Kak Delilah?"
"Elish, Darian baru saja ke bandara. Dia sudah kembali ke Bandung pagi tadi. Maaf Elis, kakak tak bisa membantu apa apa, sebaiknya kamu ikhlaskan Darian untuk Reyna, dia sekarang tengah mengandung anak Darian..."
Kedua tangan Elisabeth jatuh terkulai dikedua sisi badannya. Delilah masih sedang bicara namun Elish tak mampu lagi mendengar ucapan dan petuah dari wanita yang lebih 7 tahun diatasnya.
Nggak, Elish harus menemui Darian. Sebelum Elish mendengar langsung dari Darian, Elish nggak akan percaya ucapan kalian. Elish percaya Darian nggak akan menyakiti Elish. Dia sudah janji akan selalu mencintai Elish hingga maut memisahkan. Elish harus ke Bandung sekarang.
Elisabeth bergegas kembali ke kamar mengambil shal putih dan hampir menabrak Resty yang juga sedang terburu buru karena hampir terlambat masuk kantor pagi itu.
"Loh udah bangun Lis?"
"Res, aku pergi dulu," pamit Elisabeth.
"Kamu mau kemana?" teriak Resty pada Elish yang sudah bergerak keluar dari pintu apartemennya.
"Pulang Rey," sahut Elisabeth yang sudah berada diluar.
Elisabeth menghubungi Jenie adik perempuannya.
"Tuuuuttt."
"Jen kamu dimana?" tanya Elisabeth.
"Aku sudah dijalan menuju sekolah, kenapa kak?" tanya Jenie.
"Papa masih dirumah?"
"Seperti biasa, jam 7 pagi papa sudah ke toko. Kakak pulang aja, kayaknya papa sudah nggak marah deh." ujar Jenie.
"Oke Jen, kakak dalam perjalanan pulang sekarang. Udahan dulu ya. Bye.”
"Iya kak, bye." sambungan telpon berakhir.
Beberapa menit Elisabeth tiba dirumahnya. Rumah nampak sepi seperti biasanya. Ayah dan Ibu setiap hari sibuk mengurus toko sepatu yang dikelola ayahnya sejak Elisabeth masih bayi. Ayahnya keluar rumah pukul 7 pagi dan akan pulang ke rumah pukul sepuluh malam. Kesibukan ayahnya membuat Elish jarang bertemu ayahnya.
Pagi itu pak Dadang dan istrinya bi Minah yang mengurus rumah. Pak dadang sedang membersihkan taman sedangkan bi Minah sibuk memasak didapur. Kedatangan Elisabeth tak dihiraukan kedua orang tua tersebut. Bahkan saat Elish kembali keluar dengan koper ditangannya tidak mereka sadari.
Elish langsung menuju bandara dengan taxi yang telah menunggunya didepan rumah.
...
Elisabeth tiba dibandara Husein Sastranegara pukul 12:25 siang itu.
Sepanjang perjalanan Elis mengenang setiap kenangan yang dilewatinya bersama Darian dikota pelajar itu. Walaupun beda jurusan namun Elisabeth bahagia bisa terus bersama Darian disatu universitas yang sama.
Kebersamaan mereka sejak kecil membuat Elisabeth tak bisa jauh dari pria pujaan hatinya itu, apapun yang terjadi hidup Elisabeth hanyalah untuk Darian.
Elisabeth akhirnya tiba disebuah rumah sederhana yang disewa Darian selama dua tahun terakhir setelah diterima bekerja disebuah perusahan bonavit dikota itu.
Elisabeth dengan hati hati membuka pagar besi yang hanya dikait asal dari dalam. Dengan sebuah harapan besar akan segera bertemu Darian, Elisabeth melangkah pasti menuju pintu rumah tersebut.
"Tok tok tok."
"Tok tok tok."
Tak sampai beberapa saat, gagang pintu bergerak, kemudian pintu terbuka separuh.
"Elish? kamu ngapain disini?" Mata Darian terkejut setengah mati melihat Elisabeth yang sedang berdiri didepan pintu.
"Aku terus menghubungimu, tapi kamu nggak angkat," jelas Elish.
"Kamu paham nggak sih situasi sekarang, aku..." Darian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah frustasi. "Aku akan mengurus masalahku dulu baru aku akan menghubungimu," lanjut Darian.
"Ada masalah apa?" Wajah polos Elisabeth meminta penjelasan lebih.
"Pokoknya sekarang kamu pergi dulu, aku akan menghubungi mu saat keadaanku sudah lebih baik. Percayalah, aku pasti akan selalu bersama mu," ujar Darian. Ucapannya bergetar seolah ada keraguan pada ucapannya.
"Aku ke sini hanya ingin tau, kenapa kemaren kamu nggak datang? Apa kamu baik baik saja?" tanya Elisabeth dengan suara lemah namun dengan wajah yang sarat akan keingintahuan.
"Aku, belum bisa jelasin sekarang. Ceritanya panjang."
Elisabeth menatap lekat wajah Darian. Pandangannya tak pernah menatap mata Elisabeth seperti biasanya. Kepanikan bercampur khawatir terpancar disana.
"Sayang?" suara seorang wanita memanggil Darian.
Mata Elisabeth langsung tertuju ke arah sumber suara. Pintu telah seutuhnya terbuka. Sosok Reyna berdiri tegap disitu.
"Rey, Elisabeth datang kesini karena," Darian berusaha memikirkan cara memberi sebuah penjelasan yang tepat kepada Reyna.
"Reyna? Kamu Reyna Widodo teman satu angkatan jurusan Teknik..." Elisabeth teringat sosok Reyna teman satu angkatan namun beda jurusan. Saat ada kelas gabungan Reyna pasti akan datang menemui Elisabeth dan duduk bersamanya.
"Ya saya Reyna, kamu sudah ingat saya?" tanya Reyna dengan senyuman mengulum menahan ejekan diwajahnya.
"Reyna," tegas Darian mencoba memperingati Reyna.
"Haha." Tawanya pecah seketika. "Elisabeth kamu jangan terlalu naif. Jangan berpikir kalau kamu bisa menikahi Darian. Dia menikahi kamu hanya karena kasihan. Kalian berpacaran? Cih, Itu hanya perasaan mu saja Elish, selama ini Darian telah membohongi mu! Aku tengah hamil anaknya, mana mungkin dia menikah denganmu! Kamu wanita bodoh...," Dibalik tertawa Reyna yang terbahak. Wajahnya melotot garang menatap Elisabeth, wanita yang selalu dilindungi Darian.
"Hentikan Reyna," bentak Darian.
"Benarkah itu Darian?" Wajah Elisabeth memelas menatap Darian. Elisabeth berharap sebuah sanggahan keluar dari mulut Darian atas ucapan Reyna.
"Sejak kuliah semester satu hubungan kami sudah sangat intim, mana mungkin aku bohong." Reyna kembali berucap dengan sarkastik. Sembari melangkah dan memeluk lengan Darian.
"Darian? Jadi selama ini?" wajah memelas Elisabeth berubah menjadi sebuah kesedihan yang tak terbendung. Seakan tak sanggup lagi menatap kedua orang dihadapannya yang saling menggandeng satu sama lain.
"Maafkan aku Elish, aku selalu berjanji akan menjaga mu. Tapi nyatanya, aku ingkar. Aku nggak bisa memenuhi janjiku, Reyna sekarang tengah mengandung anakku," ucap Darian sambil menunduk. Bahasa tubuhnya berbicara maaf, wajahnya menyiratkan sebuah penyesalan.
Jadi aku harus pergi sekarang? Jadi aku harus meninggalkan Darian sekarang? Aku harus melupakannya?
"Darian?" Tangisan telah terurai di pipi Elish.
"Pergi, kamu tuli. Apa kamu nggak punya otak?" bentak Reyna.
Seketika Darian melepas tangan Reyna yang menggandeng lengannya erat. Tangan Darian berpindah ke atas bahu Elisabeth. "Elish, walaupun hubungan kita bukan hubungan spesial lagi, tapi aku akan memenuhi janjiku. Aku akan menjaga mu, kamu bisa menganggapku sebagai kakakmu. Kamu nggak usah sedih. Jika kamu butuh sesuatu aku akan membantumu, ok?" Ucapan Darian begitu tulus. Senyuman lembut keluar dari kedua sudut bibirnya.
"Tapi aku mencintaimu Darian, sedari dulu aku hanya mencintaimu." Kepalanya tertunduk, airmata tak henti hentinya keluar dari pelupuk matanya.
"Salah mu dewe, siapa suruh kamu nggak bisa membahagiakan Darian?" gumam Reyna.
"Jadi selama ini kamu tidak bahagia bersamaku?" tanya Elisabeth.
"Mana mungkin dia bahagia, lihat dirimu. Kamu pasti tidak tau bagaimana membuat lelaki bahagia." Reyna kembali memeluk Darian mesra.
Pemandangan menyakitkan itu membuat Elisabeth menutup matanya.
Aku bisa apa? Darian tak bisa ku pertahankan lagi. Dunia ku akan runtuh tanpa Darian, raga ku hidup namun hatiku akan mati untuk selamanya...
Elisabeth meninggalkan tempat itu membawa asa yang terkoyak.
*Next **🔜*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
kelinci lucu
sprtinya seru..
pi bngung cz da yg menyangkut agama, dri awal dgreja trus da rang azan n dia nyebut allah, agama si cewek sbnernya apa?
saran j.. jka begronny brat y brat n pergaulan bbasny j jngn bwa2 agama🙏🙏🙏
2023-06-28
0
Rewul Ajach
wehhhh
2021-12-10
1
༂𝑶𝒑𝒑𝒂👑ˢQ͜͡ᵘⁱᵈ༂
03.33 wita,
2021-07-24
1