Semua menunggu mama Shinta dengan cemas di depan UGD. Papa Tara masih menatap tajam Tara. Seakan sangat membenci anaknya sendiri.
"Lihat akibat perbuatanmu, hah?! kamu hamili cucu papa. Dan kamu buat mama sekaratt!"
Tara langsung mengangkat wajahnya ketika sang ayah mengucapkan kata sekaratt.
"Punya anak satu, tapi tak tahu di untung! lebih baik tak punya anak!!"
Hati Caca mencelos saat mendengarnya. Begitupun Tara yang merasa amat bersalah. Bahkan pria itu tak berani menatap wajah Caca. Takut melihat tatapan iba dari gadis itu. Mengingat dirinya begitu berantakan sehabis di pukuli oleh ayahnya.
"Mas, di obatin dulu ya?" bujuk Caca dengan suara mencicit.
Tara menggeleng. Enggan meninggalkan tempatnya kini. Ia harus tahu keadaan mamanya sekarang.
"Kalau di obatin disini aja, gimana?"
"Terserah!" sahut Tara dengan suara yang terdengar ketus. Bukannya ia marah dengan Caca. Hanya rasa khawatir dan bersalah membuatnya reflek mengucapkannya dengan ketus seperti itu.
Caca yang tadi langsung menunduk sekarang berdiri dan akan melangkah pergi. Merasa Tara tak menginginkan keberadaannya. Tapi ia juga tak tega meninggalkan.
"Mau kemana?" cegat Tara dengan suara yang masih dingin. Tak hangat seperti biasa.
"Mau panggil suster buat obatin, kamu." Caca berlalu tanpa menunggu tanggapan dari Tara.
"Sabar, nak. Ayahmu hanya sedang banyak pikiran." mengusap perutnya yang sudah terlihat membesar dengan belaian lembut.
***
Hari-hari berlalu. Keadaan masih sama. Mama Shinta masih tak sadarkan diri dalam masa kritisnya. Tak ada yang bisa di lakukan selain menunggu keajaiban. Dokter sudah mengupayakan segala yang terbaik yang mereka bisa.
Tara masih sama. Diam dan hanya menjawab ketika di tanya. Hanya sesekali pulang untuk membersihkan diri.
Begitu pun ayah Tara. Tapi pria paruh baya itu masih lebih terlihat hidup di banding dengan putranya.
Devi? wanita itu datang satu kali dengan kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Devi yang sudah tahu masalah yang membuat mama Shinta masuk rumah sakit, mengucap beribu maaf atas kesalahan putri mereka yang cukup memalukan.
Bahkan orang tua Devi sendiri yang akan mengajukan gugatan cerai. Mereka akan membebaskan anaknya memilih sendiri kebahagiaan dalam hidupnya. Termasuk menikah dengan ayah dari bayi yang di kandung.
"Makan dulu mas. Nanti kamu sakit." bujuk Caca untuk kesekian kalinya.
Tara tidak akan makan jika tidak di paksa. Semakin hari semakin susah membujuk Tara yang sedang putus asa karena mama Shinta tak kunjung sadar.
"Kamu bisa diem gak sih?! kepala aku udah cukup pusing! denger kamu ngomong bikin tambah pusing tau gak?!" bentak Tara yang merasa bosan mendengar Caca membujuknya untuk makan.
Pria itu sangat menyayangi mamanya. Jadi sebenarnya wajar jika Tara bersikap demikian. Apa lagi mengingat kondisi mama Shinta yang kian menurun.
Tapi karena hormon kehamilan membuat Caca syok dan semakin merasa jika kehadirannya tidak di harapkan.
"Maaf.." cicit Caca dengan mata berlinang. "Aku pulang dulu. Makanannya aku taruh disini. Nanti kalau mas sudah lapar-"
"Iya. Iya. Bawel banget sih kamu!"
Caca menelan ludahnya kelat. Berdiri dan meninggalkan Tara dengan hati bergemuruh.
***
Semalaman penuh Caca menangis. Hingga rasa lelah membuat wanita berbadan dua itu tertidur menjelang pagi.
Merasa bersalah. Merasa di acuhkan dan tak dibutuhkan.
Bahkan hingga hari berganti sore lagi dan Caca tidak datang ke rumah sakit pun, tidak ada yang mencari atau hanya sekedar menanyakan kabarnya. Apa ia baik-baik saja? atau kenapa ia tak datang ke rumah sakit?
Caca tertawa getir. "Dia bilang menyayangiku. Tapi nyatanya dia tak peduli."
Otaknya tak mampu lagi berpikir jernih. Dengan keputusan yang sudah bulat ia ambil, Caca mengemas semua barang-barangnya. Bersiap meninggalkan rumah itu dan segala kenangan dan orang-orang di dalamnya.
Bukannya ia tak tahu keadaan Tara yang tengah mengakhawatirkan mama Shinta. Tapi rasanya sudah cukup ia membuat kekacauan dalam keluarga yang dulu sangat menyayanginya itu.
"Non Caca mau kemana?" seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan tergopoh dan khawatir melihat Caca menuruni tangga dengan membawa sebuah koper.
Caca tersenyum dan mengusap lengan atas wanita paruh baya itu.
"Terimakasih ya bi. Selama Caca di sini, bibi udah baik banget sama Caca. Manjain anak Caca juga." Caca mengelus perut besarnya.
Biasanya jika ia mengidam sesuatu selalu asisten rumah tangga itu yang mencarikan atau membuatkan.
Meski sejak lama wanita itu tahu Caca hamil. Tapi tak sekalipun ia membocorkan rahasia Caca. Justru ia sangat menjaga dan memanjakan Caca yang bernasib malang itu.
"Non Caca mau kemana?" tanya wanita itu lagi karena belum mendapatkan jawaban.
"Caca mau pergi. Sudah cukup Caca buat keributan di sini. Sampai bikin nenek kritis." air mata mengalir begitu saja.
"Tapi nanti tuan Tara pasti khawatir nyariin, non." Karena Tara yang menitipkan Caca pada asisten rumah tangga ibunya itu. Untuk menjaga dan menuruti semua keinginan Caca.
"Dia sudah gak peduli bi." lirih Caca dengan getir.
"Maksud non Caca?" bukanya tidak mendengar. Hanya rasanya tidak mungkin saja majikannya tidak peduli pada istri dan anak yang di kandungnya itu.
"Dia pasti lagi khawatir banget jagain nenek. Aku gak mau bikin dia tambah pusing."
Tak mau semakin lama berada di rumah itu, Caca melenggang pergi. Sebelum keberanian dan niatnya yang sudah bulat menguap begitu saja.
Meski entah kemana ia akan pergi nanti. Tak mungkin ia pergi ke rumah Rani. Karena pasti sahabatnya itu akan menjadi orang pertama yang di cari Tara begitu pertama kali sadar dirinya menghilang.
Caca menghela napas. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Membawa mobilnya berputar-putar tak tentu arah.
Hingga pada sebuah jalan sepi, mobilnya terasa aneh. Dan ketika turun untuk melihat apa yang terjadi, ternyata roda belakangnya kempes.
"Pantesan goyang. Gimana dong.. Aku gak pernah ganti ban mobil." menengok kanan dan kiri yang begitu lengang. Tak ada satupun kendaraan atau orang berjalan kaki yang lewat.
Jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul sebelas malam.
Pantas saja jalan begitu sepi. Terlebih itu bukan jalan raya yang di lalui banyak kendaraan jika siang hari.
Mencoba mencari bengkel atau montir yang bisa di panggil ke tempat, di internet.
Dari banyak bengkel yang ia hubungi. Tak satu pun dari mereka yang bisa membantunya.
Hingga sebuah ketukan pada kaca jendela di sampingnya membuatnya berjingkat kaget. Pasalnya ia tak mendengar kendaraan lewat sebelumnya.
Tak berani menoleh, Caca langsung mengunci mobilnya agar tidak bisa di buka dari luar. Takut-takut jika itu orang jahat, mengingat tempat itu begitu sepi.
Tapi bukannya pergi. Gedoran semakin mengencang.
*
*
*
Caca hadir lagi.. maaf jika lama hihihi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Eka Iraone
waduh
2021-04-28
1
Novita Ningrum
next thor...
2021-03-26
1
Fenda_Wijaya
lanjut thor
2021-03-26
1