Menyesal

Rasanya baru beberapa beberapa menit Tara terpejam ketika papanya membangunkan dirinya.

"Mama sadar." hanya satu kata itu yang terucap dari mulut pria yang sangat ia hormati.

Ia langsung berlari berdiri di depan pintu ruang ICU dimana mama Shinta terbaring lemah.

Mama Shinta tengah di periksa dokter dan beberapa tenaga medis lainnya.

"Tadi papa lagi jagain mama. Tiba-tiba mama bangun. Mamamu manggil Caca. Lebih baik kamu jemput dia kemari. Mama sepertinya merasa bersalah pada gadis itu." tak sedikitpun papa Tara menatap anaknya ketika berbicara.

"Nanti setelah Tara melihat mama, Tara jemput Caca, pah." Ia bahkan sampai melupakan gadis yang sudah dua hari tak kelihatan itu. Dan pertemuan terakhir mereka juga jauh dari kata baik.

Entah apa Caca mau bertemu dengannya lagi.

"Kondisi pasien sudah stabil dan bisa di jenguk. Tapi tolong jangan membuat pasien syok atau emosi dulu, atau kondisinya akan kembali memburuk."

Tara mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada dokter yang sudah merawat ibunya. Menyusul papanya yang sudah lebih dulu masuk untuk melihat keadaan sang ibu.

"Caca mana, Tara?" suara lemah dari mama Shinta menyambut Tara yang baru memasuki ruangan.

"Caca di rumah, mah. Kasihan kalau disini. Gak baik untuk kandungannya."

Mama Shinta mengangguk. "Besok mama mau ketemu. Mama mau minta maaf."

"Mama tidak usah banyak pikiran dulu. Caca pasti ngerti."

"Kasihan anak itu. Kamu harus segera menikahinya Tara."

"Iya. Nanti Tara akan mengurus pernikahan Tara dengan Caca setelah mamah sembuh. Makanya mama harus sembuh. Mama gak mau menyambut cucu mama lahir nanti."

Mama Shinta meneteskan air matanya begitu mendengar kata cucu. Teringat pada Devi yang sudah begitu ia manjakan. Tapi ternyata itu anak dari selingkuhannya.

Tapi mama Shinta juga tidak bisa menyalahkan Devi. Karena anaknya sendiri pun melakukan hal yang sama. Anaknya menghamili wanita lain.

"Bagaimana dengan Devi?"

Tara menghela napas. Kenapa ibunya keras kepala sekali, memikirkan banyak hal di saat kondisinya sendiri saja sedang tidak bagus.

"Devi akan segera mengajukan cerai, biar ayah dari anaknya bisa segera bertanggung jawab."

Mama Shinta mengangguk. Kali ini lebih bisa lapang dada menerima semua. Karena semua tidak bisa dirubah. Nasi telah menjadi bubur yang hanya bisa kita nikmati dan syukuri.

"Maafin mama yang sudah memaksa kamu untuk menikah dengan Devi. Seharusnya kamu bilang jika kamu menyukai Caca."

Tara tak tahan melihat ibunya menangis. "Sudahlah, mah. Aku nggak pernah nyalahin mama kok. Justru aku yang minta maaf sudah membuat mama susah dan sakit seperti ini."

***

Pagi sebelum subuh, Tara sudah kembali ke rumah orang tuanya. Niat hati ingin tidur sejenak sebelum nanti mengajak Caca ke rumah sakit.

Tapi alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati kamar yang istrinya tempati sudah kosong. Sampai ke kamar mandi ia mencari istrinya dan hasilnya nihil.

Bahkan hampir semua baju yang ada di lemari tidak ada.

Hanya tertinggal kaos-kaos yang mungkin sudah tidak muat jika di pakai istrinya yang tengah hamil besar itu.

"BI! BIBI!!" suara Tara menggelegar memecah keheningan pagi buta di rumah besar itu.

Dengan rahang mengeras Tara menuruni tangga dan mencari asisten rumah tangga mamanya berada.

Wanita paruh baya yang tengah berada di dapur datang tergopoh dengan wajah tegang. Tahu apa yang majikannya inginkan.

"I-iya tuan."

"Dimana Caca?!" tatapan tajam Tara membuat wanita itu gemetar.

"Anu.. itu tuan.."

"APA?!" bentak Tara yang tak sabar menunggu jawaban.

"Du-dua hari yang lalu.. Non Caca pergi." suara bibi terdengar mencicit takut. Takut di salahkan, juga takut melihat kemarahan tuannya.

"Pergi kemana maksud bibi?!"

"Bibi ndak tau tuan. Non Caca hanya bilang sudah cukup dia bikin keributan di rumah ini. Begitu katanya tuan. Non Caca juga bawa koper. Tapi ndak bilang mau kemana."

"ARGHH!!!" Tara yang kalap menghamburkan semua barang yang ada di bufet ruang keluarga hingga hancur berkeping-keping. Berserakan memenuhi ruangan yang rapi itu.

Bibi yang takut langsung menjauh dari sana. Takut-takut ia yang kena imbasnya.

"Kamu kemana sih sayang?? maaf jika kemarin aku selalu kasar. Aku hanya sedang kalut." tertunduk menyesali perbuatannya pada sang istri yang bahkan saat ini entah dimana.

Tiba-tiba terlintas tempat yang mungkin di kunjungi Caca jika pergi dari rumah.

Tara langsung menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar.

***

Perumahan itu masih sepi dari aktifitas. Jam menunjukan setengah 6 pagi, ketika Tara sampai di depan gerbang rumah Rani.

Hanya Rani satu-satunya sahabat Caca yang ia tahu. Bahkan hubungan kedua gadis itu sudah seperti saudara. Jadi tidak mungkin kan jika Rani tidak tahu keberadaan Caca saat ini.

Setelah menunggu beberapa saat, Rani muncul di ruang tamu masih dengan wajah ngantuk dan baju tidur yang melekat.

"Kenapa, Om?"

Sebenarnya Rani heran kenapa Tara pagi-pagi seperti ini sudah datang bertamu ke rumahnya. Padahal sebelumnya pria itu tidak pernah datang kecuali menjemput Caca yang kadang menginap di sana.

"Caca mana?" tanya Tara langsung tanpa basa-basi.

Dahi Rani mengernyit. "Caca? maksud Om Tara?"

"Caca pasti menginap di sini kan? dia pasti kabur kesini?"

Rani langsung melotot mendengarnya. Apa lagi wajah serius dan panik Tara membuatnya yakin jika pria itu tidak sedang bercanda.

"Maksud Om, kabur apa?"

"Tolong kamu bilang dimana Caca saat ini, Rani. Om khawatir sama dia juga janin dalam kandungannya."

"Janin? Caca hamil?" Rani sangat kaget mendengar kabar ini.

Caca tidak pernah cerita tentang kondisinya yang tengah hamil. Tapi memang tingkah Caca beberapa bulan terakhir terasa aneh. Kadang ingin sesuatu dan harus dapat. Kadang tidak napsu makan dan muntah-muntah.

Tapi Rani tidak pernah berpikir jika sahabatnya itu tengah hamil. Karena jika ada apa-apa pasti Caca cerita padanya. Tapi nyatanya ini tidak.

Apa lagi selama satu bulan ini ia tak bertemu sahabatnya itu.

Caca selalu menghindarinya di masa libur semester ini dengan alasan sedang berlibur dengan keluarga Tara. Yang Rani tidak ketahui sebenarnya Caca hanya tidak ingin Rani melihat keadaan perutnya yang sudah sulit di sembunyikan.

"Caca hamil hampir tujuh bulan. Aku tidak sengaja berkata kasar ketika di rumah sakit. Aku sedang kalut karena mamaku masuk rumah sakit. Tapi begitu aku pulang, Caca sudah meninggalkan rumah beserta baju-bajunya."

Rani masih terpaku dengan kabar yang ia dengar. Semua sungguh mengagetkannya.

"Tapi Caca bawa mobil kan, Om?"

Tara yang tengah menunduk mengangguk lemah.

"Kenapa Om gak minta tolong orang buat ngelacak mobil Caca berada. Mungkin kita bisa tau dimana lokasi terakhir Caca. Karena saya sungguh tidak tau dimana Caca."

Tara langsung mendongak seperti baru saja mendapatkan jakpot. Kenapa ia tak berpikir ke sana. Lagi pula ia juga sudah memasang GPS di mobil Caca ketika baru di beli dulu.

*

*

*

Ayoo dong pencet favorit ❤ sama lieknya 👍 biar othornya semangat.

Ajakin juga yang laim buat meramaikan hihihi

Lopelope kalian semua 🤗🤗

Terpopuler

Comments

Demti 79

Demti 79

lanjut

2021-09-06

1

Eka Iraone

Eka Iraone

lanjut

2021-04-28

1

NoNa

NoNa

yg ketok si Rian mgkn ya?? eh bener Rian ya teman kuliah yg naksir Caca itu ☺️

2021-03-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!