KEMBALI KE SOMAWANGI
Panembahan Somawangi menyimpan potongan batu Kristal itu dalam ikatan bajunya. Lalu dia kembali ke makam ayahnya. Memohon doa restu karena akan menempuh perjalanan suci menuju negeri keramat, Dataran Tinggi Dieng. Daerah datar diatas awan, dibatasi gunung-gunung yang dipercaya sebagai negeri kahyangan tempat tinggal para dewa.
Ada duapuluh satu gunung yang melingkari kawasan negeri para Dewa itu. Yang paling tinggi adalah gunung Prau dan Sikunir, sedangkan yang paling rendah adalah gunung Kemulan yang konon dihuni oleh Begawan Wanayasa, ayah Panembahan Somawangi. Kemulan adalah nama isteri sang begawan sendiri.
Begawan Wanayasa sendiri dipercaya telah menjelma menjadi Dewa. Menurut keyakinan, dewa-dewa merupakan jelmaan para brahmana yang keagungannya telah mencapai tingkatan sempurna. Para brahmana agung yang telah menjadi dewa itu menjadi penghuni negeri kahyangan dataran tinggi Dieng. Mereka menempati deretan pegunungan yang menjadi batas kawasan yang sejuk itu.
Setelah menyelesaikan ritualnya, sang Panembahan segera memulai pendakiannya. Saat terakhir datang bersama Miryam, dia masih memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sehingga tidak terlalu mengalami kesulitan. Tapi sekarang dia harus berjuang sendiri, dari awal lagi. Sama seperti saat masih muda dulu dia pernah melakukannya.
Setelah berjalan melintasi dataran tinggi Dieng sampailah dia di kaki gunung Kemulan. Gunung ini nampak begitu keramat. Terletak di dataran paling utara diantara deretan gunung-gunung mati yang ada di Dieng, gunung Kemulan masih cantik seperti dulu. Begitu eksotis dan mempesona. Di kaki gunung Kemulan itulah keberadaan air terjun Curug Plethuk.
Air terjun bertingkat tujuh yang tidak begitu tinggi. Tapi suara gemuruhnya begitu kentara terdengar dari kejauhan. Seperti tumbuhan rambat yang mengular ke atas, aliran air terjun Curug Plethuk begitu cantik untuk dilihat dan dikagumi.
“Hmm, akhirnya aku kembali menemuimu, ibu” gumam Panembahan sambil menatap air terjun terindah dalam hidupnya itu.
Curug Plethuk adalah air terjun yang diciptakan Dewata untuk memenuhi permintaan ayahnya. Air terjun yang menjadi perlambang cinta Begawan Wanayasa kepada isternya, Dewi Kemulan, yang tidak pernah habis, tetapi selalu mengalir dan menghidupi banyak makhluk didalamnya. Kekuatan air terjun itulah yang menjadi inti kekuatan ajian Tirtanala.
Satu per satu dia melepaskan seluruh pakaiannya. Tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya, tubuh tua itu mulai melangkahkan kakinya ke dalam air. Suhu air di curug itu sangat dingin, dibawah batas terendah. Tubuh Panembahan sampai bergetar hebat menahan dinginnya air. Tapi bibirnya tiba-tiba tersenyum, teringat saat Miryam meloncat kembali ke darat begitu kakinya menyentuh permukaan air curug.
Panembahan terus berjalan menuju ke arah air terjun. Dia tidak mempedulikan rasa dingin yang menyerangnya. Namun, tiba-tiba dia teringat dengan batu kristal pemberian Dewa yang tersimpan dalam ikatan bajunya. Dia pun berbalik kembali ke darat. Membuka ikatan itu, lalu mengambi isinya. Digenggamnya erat batu kristal itu. Dia yakin kekuatan batu itu akan nampak saat tersentuh kekuatan air curug Plethuk.
Setelah itu kaki Panembahan masuk kembali ke dalam air. Sekejap dia seperti terhenyak. Aneh, setelah dia menggenggam batu itu, airnya menjadi lebih hangat, tak sedingin tadi. Ada aliran panas yang mengalir dari batu Kristal itu ke seluruh bagian tubuhnya.
Dia terus berjalan, lalu berdiri tepat dibawah air terjun. Setelah membaca doa-doa, dia duduk di atas sebuah batu gepeng, seperti tempat para pertapa. Dinginnya air terjun yang jatuh tepat diatas kepalanya betul-betul terasa menyiksanya. Terjadi pertarungan kekuatan dalam dirinya, aliran panas dari batu kristal yang digengammya, melawan hawa dingin air terjun Curug Plehuk.
Malam pun menjelang. Bulan purnama bersinar begitu terang dalam bentuknya yang bulat sempurna. Panembahan duduk terpekur diatas pertapaannya. Diantara guyuran air terjun yang begitu dingin, dia menjadi lupa dengan dirinya. Pikirannya melayang-layang seperti kembali ke masa lalu. Mengingat kembali masa-masa indahnya hidup bersama Miryam.
Teringat saat dalam perjalanan ke dataran tinggi Dieng mereka harus melewati hutan Damar. Hutan berisi ratusan pohon Damar yang tumbuh menjulang tinggi ke langit. Mereka tumbuh teratur dalam satu barisan yang sama. Konon, pohon-pohon damar ini adalah jelmaan prajurit-prajurit dewa langit yang dikutuk. Mereka hanya berubah sebulan sekali, yaitu pada malam bulan purnama.
“Apapun yang kau dengar, atau ada yang memanggil, jangan menengok ke belakang isteriku. Kalau kau melanggarnya kau akan tersedot ke dalam dunia gelap hutan Damar dan gagal sampai ke Dataran Tinggi Dieng, negeri Kahyangan,” pesan Panembahan.
Miryam berhenti, lalu mengeluarkan selendangnya. Ditutupnya mata dan telinganya dengan kain itu dan diikat ke belakang kepala.
“Kalau begitu, aku tutup saja mata dan telingaku, biar aku tidak mendengar dan tidak menengok ke belakang,” sahut Miryam.
Panembahan tersenyum mendengar jawaban isterinya. Betapa Miryam begitu pandai menyiasati keadaan.Setelah menutup mata dan telinganya, dia mengulurkan tangan kanannya.
“Sekarang peganglah tanganku suamiku. Tuntunlah jalanku, agar aku bisa selamat sampai tujuan seperti keinginanmu,” katanya kemudian.
Beberapa saat Panembahan tertegun, seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
“Aku adalah isterimu. Keselamatanku terletak di tanganmu, itu adalah tanggung jawabmu,” kata Miryam lagi. “Apa kau ragu dengan dirimu sendiri? Atau kau ingin pergi sendirian tanpa aku?”
“Tentu saja isteriku. Aku akan selalu menjagamu kemanapun kita pergi,” janjinya
Tanpa sadar bibir Panembahan tersenyum. Betapa indahnya kata-kata yang keluar langsung dari bibir perempuan yang sangat dicintainya itu. Begitu tulus dan penuh keyakinan, bahwa suaminya akan menjaga keselamatannya.
Saat purnama mencapai puncaknya, keajaiban itu terjadi. Perlahan, air terjun Curug Plethuk berubah menjadi es. Lalu semuanya berhenti. Tidak ada lagi air yang mengalir, tidak ada lagi suara debur air yang bergejolak. Semua diam. Begitu dingin dan membeku. Mengurung tubuh Panembahan didalamnya. Panembahan Somawangi belum sadar kalau kekuatan Tirtanala telah menyatu kembali dalam tubuhnya, dan membuat air terjun Curug Plethuk berhenti mengalir.
Pemandangan yang sangat indah terjadi. Dibawah sinar purnama yang menembus lewat air terjun, terlihat sinar putih berkilauan yang mengelilingi tubuhnya. Dan cahaya bulan itu membias lewat butiran-butiran air es yang terpental kesana kemari menjadi spektrum warna ungu, merah, biru, kuning dan warna lainnya.
Sesaat kemudian batu kristal yang ada di dalam genggamannya ikut mengeluarkan cahaya putih cemerlang. Merambat dan menyelubungi seluruh tubuhnya, lalu memindahkannya dari balik air terjun itu. Dalam posisi duduk, tubuh panembahan seperti diterbangkan ke daratan. Dan air terjun itu pun mengalir kembali seperti biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Perlahan Panembahan membuka matanya. Mimpinya bertemu kembali dengan Miryam, membuat hatinya begitu bahagia. Lalu dia berdiri, memakai kembali pakaian kebesarannya. Diikatnya batu kristal itu dengan kain bajunya.
“Terimkasih ibu, kau telah mengembalikan kekuatan Tirtanalaku,” batinnya.
Panembahan Somawagi merasa tubuhnya jauh lebih ringan dari sebelumnya, bahkan dibanding sebelum kehilangan kekuatannya. Matanya dipejamkan, tangannya bersedekap di depan dada, lalu menghentakkan tubuhnya. Melayang melesat kembali ke Somawangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
Seru....
2021-10-29
1
Diah Fiana
semangat kak
2021-07-27
1
🤍
Mampir akak..
2021-07-18
1