RICH PRANAJA PEWARIS TIRTANALA
KEMARAHAN DUA SAUDARA
Bila mencintaimu adalah ilusi, maka ijinkan aku berimajinasi selamanya.
Brak!
Pintu ruangan pamujan dimana Panembahan Somawangi biasa bersemedi hancur berantakan. Pintu kayu jati setebal satu hasta itu tumbang dihajar tendangan kaki Santika. Sambil menggandeng tangan Miryam. Santika masuk ke dalam ruangan itu.
Diujung ruangan, diatas batu gepeng dan bundar, Panembahan duduk terpekur. Matanya terkatup rapat, wajahnya begitu tenang, terselubung asap dupa yang dibakar didepannya. Memakai kain putih yang diikat dipinggang dan diselempangkan ke bahu kanannya, penguasa tanah perdikan Somawangi sepertinya sedang menunggu kedatangan mereka. Rupanya dia sudah tahu, segala kebohongannya pasti akan terbongkar.
“Keparat Somawangi! Jangan berlagak menjadi orang suci. Kejahatanmu tidak diampuni sampai tujuh turunan!” teriak Santika.
Sambil menghunus pedangnya Santika berlari menerjang tubuh Panembahan. Namun baru beberapa langkah berlari, Panembahan mengibaskan tangan kanannya. Terasa hawa dingin menyergap ruangan itu. Menyelubungi tubuh Santika, merasuk ke dalam saluran darah dan urat-urat syarafnya, membuat tubuhnya membeku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
Di belakang Santika, Miryam berdiri mematung. Wajahnya terlihat marah, namun ada titik air di sudut matanya. Hati dan perasaannya seperti di aduk-aduk. Disaat rasa hormat mulai tumbuh di dalam hatinya, tiba-tiba kebenciannya membuncah kepada Panembahan Somawangi. Rasa simpatinya kepada perjuangan suaminya yang begitu telaten membimbingnya, berganti dengan rasa dendam yang ingin sekali dia lampiaskan saat itu juga.
“Akhirnya kau mengetahui semuanya Miryam,” kata Panembahan dengan suara tersendat. “Santika pasti sudah menceriterakan semuanya.”
Miryam memandang wajah suaminya dengan penuh kebencian. Bibirnya nampak bergetar menahan kemarahan, tapi tidak ada kata-kata yang sanggup dia ucapkan. Sekarang dia sudah tahu kebenarannya. Santika memang telah menceriterakan siapa pembunuh ayahnya yang sebenarnya. Panembahan Somawangi telah membunuh Lurah Reksoyudho, ayah Santika dan ki Jogoboyo, ayah Miryam, secara bersamaan.
“Aku sudah siap isteriku. Puluhan tahun aku hidup bersamamu, aku juga menderita, karena harus menanggung kebohongan ini kepadamu. Tetapi rasa cinta ini telah membutakan hatiku. Selalu saja ada yang menghalangi saat aku ingin mengungkapkan kebenaran ini kepadamu,” ujar Panembahan.
“Cinta? Terbuat dari apa hatimu Somawangi. Betapa teganya kau memisahkan kepala ayahku dari jazadnya. Lalu kau tunjukkan kepadaku agar aku mempercayai segala kebohonganmu? Tidak ada cinta di dalam hatimu, yang ada hanyalah nafsu untuk memiliki,” sahut Miryam.
Perlahan tubuhnya melayang mendekati Panembahan. Sesampainya didepan tubuh Paembahan dia berhenti. Ditatapnya wajah Panembahan dengan tajam. Tapi titik air di sudut matanya tetap menetes.
“Maafkanlah kesalahanku isteriku. Setelah itu kau boleh melampiaskan dendammu,” pinta Panembahan dengan suara menghiba. “Aku sudah lelah, sudah saatnya menyelesaikan sesuatu yang sudah aku mulai. Bunuhlah aku, biar aku dapat membayar semua dosa-dosaku kepadamu.”
Miryam tak bergeming. Ingin rasanya mencabut kepala Panembahan secepatnya, tapi entah kenapa hatinya tak sanggup melakukannya. Padahal Panembahan sudah melepaskan semua kekuatan yang dimilikinya. Kini tubuhnya kosong, bahkan anak kecilpun sanggup membunuhnya.
Perlahan kedua tangan Miryam memegang bahu Panembahan. Matanya terpejam, wajahnya ditengadahkan ke atas. Panembahan merasakan ada hawa dingin yang merasuki tubuhnya, dari leher sampai ke kaki. Membuat sebagian tubuhnya itu membeku.
“Apa yang kau lakukan isteriku?” tanya Panembahan terkejut. Mulut, mata, dan pendengarannya masih berfungsi tetapi dari leher sampai kaki tidak bisa digerakkan. Rupanya Miryam telah melumpuhkannya.
Santika yang telah terbebas dari kekuatan Panembahan segera berjalan dengan cepat, bermaksud menghabisi laki-laki tua yang telah membunuh ayahnya, tapi Miryam mencegahnya.
“Jangan kakang. Tidak perlu mengotori tanganmu dengan darah kotornya,” kata Miryam. “Biarkan dia menderita sebelum ajal menjemputnya.”
Miryam memeluk tubuh Santika, mengusap punggungnya, lalu memegang kedua pipi Santika. Dipandanginya wajah laki-laki muda itu penuh cinta. Santika merasakan hawa sejuk merasuki kepala dan tubuhnya. Meredakan amarah di dalam hatinya. Santika menganggukkan kepalanya, lalu membalas pelukan Miryam. Merasakan cinta sejati yang bergejolak di dalam jiwa.
Ow, betapa sakitnya hati Panembahan Somawangi melihat pemandangan didepannya. Perempuan yang sangat dicintainya dipeluk oleh laki-laki lain. Betapa siksaan Miryam jauh lebih menyakitkan daripada hunjaman pedang di ulu hatinya.
Lalu keduanya berbalik. Tanpa menoleh sedikitpun, sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta itu meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan tubuh Panembahan yang terpuruk di depan altar pemujaan, disaksikan patung dewata yang selalu dipujanya.
***
Selama berbulan-bulan roda pemerintahan di tanah Perdikan Somawangi tidak berjalan. Miryam yang dianggap pewaris kekuasaan setelah Panembahan Somawangi mengalami kelumpuhan malah pergi begitu saja bersama kekasihnya. Hal itu menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat dan prajurit Somawangi. Tapi untuk begerak sendiri tanpa ada perintah pimpinan, mereka juga merasa sungkan, karena Panembahan yang masih bisa berbicara itu melarangnya. Rasa bersalah dan cinta yang begitu dalam membuatnya rela disakiti oleh Miryam.
Akhirnya beberapa telik sandi di kirimkan untuk mengabarkan keadaan sang Panembahan kepada Roro Lawe dan Eyang Karangkobar, kakak dan adiknya sendiri. Tentu saja tanpa sepengetahuan sang pemimpin tanah Perdikan itu. Betapa marahnya mereka mendengar kelakuan Miryam yang tega menyiksa suaminya sendiri demi hasrat pribadi dan pergi bersama kekasihnya.
“Dasar perempuan tak tahu malu! Berani memperlakukan adikku serendah itu. Bahkan Kanjeng Sultan Panembahan Senapati Ing Ngalaga saja begitu menghormatinya,” ujar Roro Lawe dengan geram.
Dia benar-benar tidak rela adiknya di perlakukan begitu kejam oleh Miryam. Sudah dilumpuhkan kemudian ditinggal pergi begitu saja dengan kekasihnya.
“Perempuan rendah! Tidak punya etika sama sekali! Bagaimanapun Panembahan masih menjadi suaminya,” umpat sang Dewi Pengetahuan tiada henti.
Tubuh perempuan si segala tahu itu melayang di udara dengan tenang. Lalu terbang melesat keluar dari gua meninggalkan puncak bukit Lawe menuju tanah Perdikan Somawangi. Diantara tiga bersaudara itu, sesungguhnya Roro Lawe adalah yang paling sakti disbanding kedua adiknya. Kalau Karangkobar menguasai kekuatan inti api dan Somawangi menguasai kekuatan inti air, maka Dewi Pengetahuan itu menguasai kekuatan inti tiga elemen kehidupan. api, air dan angin.
Yang paling mengerikan adalah kemarahan Eyang Karangkobar. Dia adalah Dewa Kemarahan. Tidak pernah sedetikpun perasan Eyang Karangkobar terlepas dari kemarahan.
Dia selalu berteriak marah untuk menghilangkan kewarahan di dalam hatinya yang tidak marah. Tapi sekarang, Hatinya pun diliputi kemarahan. Begitu marahnya Eyang Karanagkobar sampai sekujur tubuhnya diselubungi api yang sangat panas. Hal yang membuat para telik sandi yang menyapaikan berita itu, lari lintang pukang. Lalu manusia api ini melayang, lalu melesat keluar gua Batu Hitam meninggalkan gunung Sewu menuju tanah perdikan Somawangi.
Panembahan Somawangi masih tenggelam dalam puja-puji kepada sang dewata, saat kedua saudaranya dating menyambanginya. Tidak ada rasa terkejut yang tersirat di wajahnya yang begitu pucat. Rupanya dia sudah tahu para prajuritnya pergi ke gnung Lawe dan gunung Sewu untuk mengabarkan keadaanya kepada saudara-saudaranya itu.
“Salam Somawangi!” ucap kedua saudaranya.
“Selamat datang kakakku Roro Lawe sang Dewi Pengetahuan dan adikku Karangkobar sang Dewa Kemarahan,” sahut Panembahan.
Senyum tipis tersungging di wajahnya yang nampak begitu rapuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
kids maw
👍
2023-04-18
0
Neng Dasa
👍🏻
2021-11-30
0
Jimmy Avolution
Sipp...
2021-10-29
2